Oleh: Koskow/FX Widyatmoko
Sabtu sore, 1 Agustus 2009, Jogja National Museum. Hari cerah, cenderung (men)dingin. Buku Punk! Fesyen-Identitas-Subkultur, diluncurkan di Lantai II, gedung bekas Studio Patung (sewaktu bernaung di bawah nama kampus ASRI). Malamnya, di lantai dasar, anak-anak Punk turut merayakan peluncuran buku tersebut dalam ritual musik. Ini bukan sesuatu yang istimewa. Namun, momen ini menjadi istimewa ketika kita boleh terperangah betapa erat ikatan di dalam subkultur Punk, dan betapa sebagai sebuah subkultur, Punk pun tak enggan untuk duduk bersama orang lain dan membicarakan diri mereka.
Buku Punk! Fesyen-Identitas-Subkultur “ditulis” oleh John Martono (Kapten John) dan Arsita Pinandita Djumadi (Dito). Buku tersebut diterbitkan oleh Halilintar Books, penerbit yang menginisiasikan diri sebagai penerbit visual books. Buku setebal 112 halaman, dicetak dalam dua warna (merah, hitam), baik isi maupun sampulnya. Maka tak heran jika visual (gambar, foto, tipografi) menyikat perhatian saat membacanya. Meski demikian, buku ini kurang mendapat pembicaraan saat acara launching dan diskusi sebagai sebuah (genre) visual books. Tulisan ini adalah sebuah usaha dalam mengapresiasi buku Punk! sebagai sebuah visual books.
Pengalaman membaca
Pengalaman saya membaca buku ini, diam-diam, belumlah akrab dengan visual sebagai unsur (utama) kebahasaan. Selama ini, saya memandang teks (tulisan) sebagai medium utama yang mengantarkan makna tiap-tiap kata yang dituliskan. Seolah-olah, tulisan menjadi perpanjangan lidah, menjadi perpanjangan apa-apa yang hendak dikatakan, menjadi apparatus kebenaran. Sedangkan, sang gambar, sebatas medium pendukung, perannya nomor dua (setelah tulisan). Maka tak heran jika pembaca yang terlanjur meyakini bahwa tulisan sebagai (satu-satunya) medium penyampai kebenaran akan kesulitan melihat visual-visual yang berhamburan dalam buku Punk! Meski demikian, menurut Halilintar Books, mereka mensinergikan tulisan dan gambar sebagai visual books. (hlm. 110)
Tulisan ini hendak menyampaikan mengenai bagaimana membaca visualitas buku Punk! tersebut. Visualitas menjadi penting manakala tulisan diperhatikan tidak sebatas konvensi bahasa verbal. Tulisan diperhatikan melalui tingkat visualitasnya, baik gaya (style)/karakter, jenis huruf, ekspresi, bahkan hingga bagaimana ia diletakkan dalam lembaran-lembaran kertas (layout). Tingkatan ini bukan sebuah usaha kreatif yang berhenti pada tataran indah dalam artian nyaman untuk mata, alias sedap pandang dalam pengertian normal. Pada momen seperti inilah visual-visual dalam buku Punk! tersebut berusaha mampu dalam menghadirkan Punk sebagai sebuah subkultur. Artinya, melalui visualitas tersebut, Punk sebagai sebuah subkultur yang dituliskan, seperti menjadi jurubicara atas diri mereka sendiri: bahwa ukuran-ukuran normal adalah sebuah khayalan.
Meski demikian, jika kita (pembaca) sebatas memandang visual-visual dalam buku ini sebagai penghias, itu mengartikan kita percaya sepenuhnya atas tugas tulisan sebagai penyampai pesan. Apa-apa yang dituliskan dalam buku ini, tak mampu menghadirkan subkultur Punk. Sepertinya Punk dalam konteks penerbitan buku ini, akan memakan beratus-ratus halaman. Sedang, buku ini memilih (medium) visual untuk mengemban misi-misi tertentu dalam menyampaikan apa yang tak disampaikan oleh (medium) tulisan.
Pembaca yang menghendaki dirinya dipuasi dan menuntut terpuasi oleh tulisan, akan terhenyak ketika menemui tulisan-tulisan dalam buku Punk! yang tak seperti buku-buku pada umumnya. Bahkan, bagi yang selama ini merasa (baca: menuntut) nyaman dan mapan bahwa buku (harus) senantiasa demikian, mungkin merasa kecewa. Kekecewaan itu muncul manakala merasai sajian-sajian visual yang bolehlah dikata kurang sedap: warna merah, hitam, abu-abu, latar halaman berupa remasan kertas, juga kain, foto, gambar manual, tulisan tangan yang hadir bersamaan dengan tulisan komputer, juga ekspresi huruf yang kasar. Ke-kurangsedap-an tersebut merupakan salah satu cara dalam menghadirkan Punk, yang rupanya kurang mendapat ruang yang cukup jika sebatas dihadirkan melalui (medium) tulisan.
Hal-hal di atas harus pembaca dapati sendiri ketika membaca buku ini. Meski dibalut melalui latar belakang sejarah, isi buku tersebut kurang memuaskan karena begitu kikir dalam menginormasikan fesyen, subkultur, dan identitas Punk. Namun, buku tersebut justru tidak berusaha membagi tugas antara tulisan dan gambar yang sepertinya tulisan dan gambar memiliki wilayah masing-masing yang senantiasa harus demikian. Buku tersebut mensinergikan tulisan dan gambar. Jika sinergi yang demikian sudah dapat ditemukan, barulah terasa bahwa buku tersebut cukup proporsional dalam memaparkan fesyen, subkultur, dan identitas Punk. Pembacaan yang demikian memerlukan usaha dalam melupakan kenyamanan dan kemapanan kita, yaitu sebagai pembaca pada buku pada umumnya. Usaha nuntuk melupakan menjadi penting manakala kita, sebagai pembaca buku pada umumnya, terlanjur meyakini bahwa buku adalah tulisan, tulisan, dan selamanya (harus) tulisan. Sedangkan, gambar adalah ilustrasi, ilustrasi, dan selamanya (harus) ilustrasi, yaitu sebagai penghias, penjelas, atau pengisi ruang estetik halaman. Kita harus berani melupakan kenyamanan masa lampau dan memberi ruang dan kedudukan bagi gambar, bahwa dia (visual) mampu untuk menjadi tulisan, tulisan, dan tulisan. Dengan demikian, bukan tulisan sebagai tulisan, atau gambar sebagai tulisan, atau tulisan sebagai gambar, namun sinergi kuduanyalah merupakan satu kesatuan praktik kebahasaan: menulis. Dalam kerangka pemahaman yang demikianlah buku Punk! gebutan Dito dan Kapten John layak kita apreasiasikan.
Membaca: merumuskan diri
Jika kita terlanjur menaruh perhatian dan keyakinan sebatas (medium) tulisan dalam buku ini, maka dengan segera kita kecewa. Kecewa karena (mengukur) begitu minimnya tulisan. Namun, jika kita terlanjur percaya bahwa gambar adalah yang utama, maka dengan segera merasa tersesat dan kehilangan alur keseluruhan. Meski demikian, sebagai pembaca yang diharapkan telah mengalami perluasan pengalaman perseptual, saya menyampaikan bahwa Punk sebagai sebuah subkultur mencoba dihadirkan melalui berbagai jenis medium: gambar, tulisan, dan boleh jadi rabaan serta bau-bauan hasil cetakan.
Dalam buku ini, kadang tulisan menjadi pemandu utama. Manakala sang pemandu mulai lesu darah, atau dinilai terhegemoni kuasa verbal (jargon-jargon/isme-isme), gambar mencoba mengingatkan bahwa dirinya bukan hantu-hantu Punk, namun Punk itu sendiri, yang berusaha hadir melalui pengalaman-pengalaman riil mereka yang terekspresikan (praktik fesyen) dalam lembar-lembar buku. (Membaca) buku ini menyediakan alat dalam melawan kemapanan bagi diri kita, yang selama ini duduk di atas singgasana: pembaca dominan.
Meski demikian, sebagai pembaca dominan yang sedikit banyak mengenali Punk, dalam kadar tertentu visualitas buku ini dirasa kurang (nge)Punk. Barangkali, sang penerbit ternegosiasi oleh (selera) pasar. Atau, barangkali hal tersebut merupakan wujud mengendurnya garis demarkasi Punk itu sendiri. Namun di sini hendak disampaikan bahwa boleh jadi ekspresi visual buku yang demikian merupakan penanda Punk yang secara otentik sedang merumuskan kediriannya kini di sini, yang berbeda dari kultur asalnya. Siapa bilang bahwa Punk sebagai sebuah subkultur tidak mengenal demokratisasi. Halaman-halaman dalam buku ini menuliskan bahwa dalam tubuh Punk dihuni komunitas-komunitas dengan berbagai macam aliran dengan berbagai gaya berpakaian.
Buku ini memberi sumbangan bagi kedirian kita dalam melawan lupa untuk menjadi diri sendiri: bahwa kedirian kita kian ditentukan oleh mekanisme pasar. Selamat membaca, melawan, dan merumuskan diri. Salam.
Koskow, Jogja
•••
Lalu bagaimana dan seperti apa cara membaca visual itu? bagaimana pula yg disebut sebagai visualitas (kemampuan membaca visual) itu?
ini buku seni atau desain ya?
gmana cara mendapatkannya?
bagus, teman-teman sudah memiliki pertanyaan untuk dijawab yaitu melalui membaca buku tersebut. selamat membaca.
mengenai cara mendapatkan, konon untuk di jakarta ada di ruang rupa dan beberapa tempat lain yang saya tidak ingat nama-namanya.
sip
Gimana cara mendapatkan bukunya ?
@atok: Maaf kami tidak menyediakan buku tersebut. Terima kasih.