Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Utilitarian dengan Gaya, Dada dengan Tujuan - Transformasi Deklarasi Individualitas

Oleh: Alfred Pasifico Ginting

Daniel dan Markus Freitag sangat berhasrat punya tas seperti yang dipakai kurir bersepeda di New York. Tas yang praktis, tahan air, berkapasitas besar, dan mudah dibawa ketika bersepeda.

Dua bersaudara desainer grafis ini merasa terlalu mahal untuk membeli tas kurir. Apartemen mereka saja sangat sederhana, di sisi jalan bebas hambatan yang membelah Zurich, Swiss, menghubungkan Jerman dan Italia. Namun pemandangan truk hilir mudik di jalan tol itu mendatangkan ilham bagi Daniel dan Markus.

Suatu pagi, di tahun 1993, Markus mencantelkan trailer ke sepedanya dan mengayuhnya ke sebuah kawasan industri. Dia kembali dengan beberapa lembar terpal bekas truk kargo. Bak truk di Eropa tidak ditutup dengan bahan yang solid, tapi terpal tebal yang dicetak logo produk atau perusahaan.

Markus menyikat terpal itu di bathtub. Setelah kering digelarnya di ruangan dan menggunting pola. Sabuk pengaman bekas dia gunakan sebagai tali dan potongan ban dalam dijahit di pinggir bahan. Sebuah konsep tas dari bahan bekas pun lahir; bermateri tahan air, kuat, berwarna-warni sesuai potongan terpal. Bahan baru yang mereka gunakan hanya kawat, velcro dan gesper.

Kini Freitag bersaudara tidak lagi mengerjakan tasnya di apartemen. Tahun 2003 Freitag lab. [bisa berarti “Laboratory” atau “Label”] mengantongi pendapatan sebelum pajak sebesar 52 juta dolar AS. Freitag lab. yang berdiri tahun 1995 mempekerjakan 70 karyawan tetap. Freitag juga menggaji sekitar 1.700 karyawan secara outsource kepada perusahaan manufaktur yang mempekerjakan kaum cacat.

Dari hanya memproduksi 40 buah tas pada tahun pertama produksi, pada 2007 Freitag memproduksi 160.000 item. Lini produk Freitag mencapai 40 model dari tas kurir, tas disc jockey (DJ), tas laptop, bungkus iPod, ransel, dompet, tas belanja, tas tangan wanita, samsak (punch bag) sampai bola kaki.

Freitag tersedia di 350 toko di Swiss, Jerman, Austria, Inggris, Prancis, Belanda, Belgia, Italia, Spanyol, Portugal, Swedia, Denmark, Finlandia, Irlandia, Yunani, Turki, Amerika Serikat, Australia, Selandi Baru, Jepang, Kanada, China, dan Singapura. Di Swiss, Freitag lazim terlihat di keranjang sepeda anak perempuan yang ke sekolah. Tidak sulit menemui anak muda di Eropa yang berjalan menenteng tas berwarna-warna meriah, dengan potongan huruf atau gambar, dan berbahan sintetis seperti plastik yang tebal. Itulah Freitag.

Bila terlihat agak kotor, bukan berarti sang pemilik tas jarang mencucinya. Maklum saja, tas itu dibuat dari terpal untuk melapisi badan truk yang kotorannya sulit luruh meski pabrik Freitag telah mencucinya sangat bersih. Justru di situlah letak keistimewaan Freitag. Kuat, unik dan otentik.

Tas Freitag model Top Cat menjadi salah satu koleksi Museum of Modern Art [MOMA] di New York pada galeri desain. Masuk MOMA termasuk pencapaian terbesar seorang seniman [sampai saat ini belum ada karya seniman Indonesia yang menembus MOMA].

Freitag melahirkan pertanyaan besar tentang hasrat konsumsi: kenapa orang rela menghabiskan 250 euro untuk sebuah tas terbuat dari terpal truk?

Ekspresi Individualitas

Sejak penghujung abad ke-19 desainer merayakan kenaikan strata sosial menjanjikan dari produksi industri yang meyakini jalur sejati modernitas terletak pada standardisasi. Pekerjaan seorang desainer adalah memastikan sebuah model harus bisa dikonversi menjadi prototype kerja –cetak biru untuk manufaktur.

Namun, sudah kodrat manusia untuk mengukir individualitas. Sejak tahun 1980an desainer mulai menyuntikkan “kromosom” identitas unik kepada produk berskala industri. Masyarakat berpendapatan tinggi -yang merupakan target industri- mengisi lubang besar kebosanan hidup kesehariannya dengan membeli. Namun menjadi kebosanan baru apabila mereka memakai benda yang persis dengan orang lain.

Era konsumsi seragam telah berlalu. Produksi massal terus dikonter oleh sesuatu yang benar-benar individual. Pseudo individual memang.

Pada periode 1980an juga, pertanyaan tentang kerusakan alam tidak lagi ekslusif dari para pejuang lingkungan. Seruan untuk menghentikan kehancuran hutan, polusi lingkungan, dan efek rumah kaca menjadi gerakan populer. Terminologi Eco, Green, dan Global Warming terus digemakan seiring pembicaraan pentingnya Penggunaan Ulang, Pengurangan dan Daur Ulang (Reuse – Reduce – Recycle).

Recycle dinilai terlalu mahal dan butuh energi besar. Maka merebak upcycle, memanfaatkan barang tak terpakai menjadi memiliki kegunaan baru, seperti yang dilakukan Freitag. Pameran Wonderground dari Nafka mengusung semangat yang sama dengan seruan-seruan untuk menciptakan responsible lifestyle product.

Penggunaan materi bekas membuat pekerjaan desainer terlokasi pada perancangan bentuk. Lalu sisanya, materi bekas memainkan perannya sebagai kejutan visual. Kita seperti melihat unsur karya montage atau kolase foto dari seniman Dadaisme pada aksesori seperti tas, sofa, partisi dan kap lampu dari bahan limbah reklame atau kemasan plastik bekas. Potongan gambar, nomor atau huruf terpotong, warna menumpuk.

Mirror Mirror on the Wall by Ayip

Dada yang lahir di Swiss mengejek kesenian yang mentradisi seperti avant-garde. Para aktivis Dada menganggap kebudayaan dan nilai-nilai masyarakat borjuis ketika itu yang menyebabkan Perang Dunia I. Para Dadais tidak ingin menyebut gelombangnya sebagai gerakan kesenian, tapi gerakan antikesenian, sehingga sering dianggap nihilis.

Untungnya, karya desainer Nafka tidak bermaksud nihilis. Ada pemanfaatan ulang bahan kayu untuk beragam furnitur dan artwork. Materi pameran ini terlihat melebur batasan antara seni dan kerajinan dan mewujud sebagai aksesori kehidupan sehari-hari.

Produk Nafka atraktif bagi mata yang terlatih secara visual. Pameran Wondergound adalah kejutan menyenangkan di tengah dunia keseharian yang dipenuhi produk massal yang standar. Karena sumber daya bahan limbah terbatas, maka jumlah produksi pun tidak massal. Prototype karya pada pameran ini sangat berpotensi menjadi aksesori-individual-tidak-ada-yang-punya-selain-saya.

Kobazumi Lamp by Desain 9

Produknya untuk ekspresi individualitas. Tapi produksinya dijalankan dengan semangat pengembangan komunitas. Nafka menjanjikan pengerjaan produknya kepada mitra kelompok-kelompok perajin. Perajin, seperti juga produsen tradisional lainnya kerap dimarjinalkan dalam belantara ekonomi distribusi.

Pada sistem perdagangan modern, tidak bisa dipungkiri kehadiran perantara atau pemasar. Ketika produsen dan konsumen terlalu berjarak hingga sulit mengakses satu sama lain, peran pemasar kian besar. Namun pihak perantara dagang kerap mendikte harga untuk memaksimalkan keuntungan. Produsen tidak punya daya tawar lebih untuk menjual dengan harga yang lebih menguntungkannya.

Ketidakadilan pemasaran ini hanya menguntungkan perantara dagang dan eksploitatif terhadap produsen. Di Bali, gejala ini telah berlangsung lama misalnya pada perdagangan barang seni atau kerajinan. Art shop menetapkan marjin keuntungan yang sangat tinggi, bisa mencapai 60 persen, atas produk perajin. Sampai ke tangan konsumen, kerajinan bisa menjadi mahal, namun nilai yang dinikmati produsen tak sebanding.

Kemitraan Nafka dengan perajin dijalankan dengan semangat perdagangan yang adil (fair trade). Ini menjadi saluran cita-cita keberlanjutan (sustainability) yang tidak semata-mata untuk memurnikan lingkungan, tapi demi manusia.

Fibre Textile by Achmad Sopandi

Butuh kerja keras untuk memelihara prinsip fair trade sebagai aktivitas ekonomi murni. Sehingga tidak menjadi “asal fair trade.” Dibeli karena kualitas bukan karena dikasihani.

Bila upcycling menjadi kegemaran yang mewabah, apakah benda-benda upcycle akan memiliki nilai ekonomi yang spesial? Setiap orang pasti bisa melihat benda-benda tidak terpakai di sekitarnya dan mentransformasinya ke bentuk dan kegunaan lain. Lantas akan adakah pasar bagi produk Nafka?

Di sinilah sebuah sistem bernama brand –yang kerap misterius- bekerja. Benda tidak sekadar diukur dalam perspektif utilitarian atau manfaat semata. Masyarakat urban tetap ingin berkomunikasi meski membutuhkan deklarasi individualitas di tengah perasaan disorientasi kesendirian hidupnya. Brand adalah tawarannya.

Brand menjadi alat interaksi, sebuah perayaan kebersamaan meski tanpa komunikasi. Tanpa bertukar pesan. Sebab brand adalah pesan itu sendiri.

Artikel terkait:
Press Release: Pameran “Wonderground by Nafka”

Pameran Nafka: “Wonderground”

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. “sampai saat ini belum ada karya seniman Indonesia yang menembus MOMA”
    Maaf kalau saya salah, bukankan Radio Magno karya Susilo Kartono masuk MOMA?

  2. Sedikit tambahan saja.
    Untuk kasus lokal, kita perlu mahfumi, masih sedikit atau hampir tidak ada apresiasi masyarakat terhadap ide-ide inovasi atau invensi.
    Media massa nyaris tidak pernah ‘memburu’ berita ttg inovator2 baik dari desainer maupun non-desainer. Maksudnya, berita2 ttg penemuan2 sepele, kecil, atau bersifat terbatas pada komunitas tertentu sangat jarang diekspos, acara tv hanya sesekali menampilkan hal2 tersebut, padahal setidaknya seminggu sekali, sehingga memicu adrenalin memancing menginspirasi para penonton utk berbuat yg sama.

    Kemudian juga dukungan atau ketersediaan dukungan dari masyarakat dan pemerintah sendiri. Segala macam peruntukkan, dana pembiayaan lewat berbagai jenis pemodalan usaha kecil yg ditawarkan pemerintah, hancur oleh sistem birokrasi dan korupsinya.

    Jadi, kalau kita mau inovatif, mau menjual, mempromosikan suatu produk inovatif, di negeri kita ini, mau tidak mau harus mengerjakan A-Z, dari hilir sampai hulu, yang artinya MODAL USAHA tetap utama. Selama korupsi masih menjadi kanker dalam kehidupan pemerintahan kita, meskipun masyarakat punya segudang kesempatan, tapi hanya sedikit yg bisa ter-realisir.

    Kreatifitas bukanlah ‘industri’ perse, kreatifitas adalah budaya. Menganggap kreatifitas sebagai mesin produksi ekonomi adalah wujud keterbelakangan, bukan kemajuan.

    selain reuse, reduce, dan recycle, ada satu lagi konsep yg seharusnya muncul dengan sendirinya yaitu: re-create. Masyarakat yg berbudaya kreatif tidaklah bermental konsumtif, tetapi produktif dalam arti yg paling sederhana, yaitu mengamalkannya dalam keseharian.

  3. “…Magno merupakan benda koleksi yang personal, bukan komoditas,”ujar Susilo Kartono.
    Begitulah seharusnya, kreatifitas bukan komoditas. Membudayakan kreatifitas bukan bermakna memproduksi secara massal setiap ide-ide kreatif dengan alasan ‘industri kreatif’. =)

  4. “Sampai saat ini belum ada karya seniman Indonesia yang berhasil menembus MOMA” MOMA New York atau Tokyo? Barusan saya cek di situs ini juga karya Festival of Sight and Sound oleh Sandy Karman berhasil terpampang di MOMA Tokyo, Jepang tahun 2009.

  5. Minggu lalu saya berbahagia mengunjungi Mas Singgih di desanya, Kandangan di Temanggung yang jadi markas Radio Magno sekaligus pusat aktifitas kesehariannya. Lewat obrolan dan paparan Mas Singgih ada satu istilah cemerlang “Economicology” (tanpa menyebut kreatif). Tanpa argumen saya meyakini inilah kontribusi nyata dari seorang desainer (punya karya, ada design thinking, punya sikap dan berkontribusi untuk lingkup lebih luas). Kita tak harus menyebutnya industri kreatif atau kreatif ekonomi atau lainnya jika belum memahami konteksnya.

    Banyak dari kita tidak menyadari bahwa proses menjadi sangat penting sebelum memasuki wilayah kesimpulan. Jika rujukan Magno dipergunakan alangkah baiknya melihat kapan pertamakali Magno diciptakan dan kapan Magno mendapat apresiasi yang menjadi titik balik dari karya mas Singgih. Dengan mengetahui ini kita akan paham bahwa dari waktu ke waktu mas Singgih yang saya kagumi ini melakukan penyempurnaan melalui proses yang tidak dibuat dalam satu hari. Dan jangan lupa, momen ini hanya terjadi pada mereka yang memulai “praktek” mewujudkan ide menjadi karya nyata, dan selalu mendapat penyempurnaan karena proses yang dilaluinya dengan kesungguhan dan iman. Pada akhirnya Mas Singgih shahih membuat teori atas apa yang dilakukannya. Dan kami percaya itu.

    Mari kita belajar bersama membiasakan “praktek” mewujudkan ide dan membuat teori atas proses yang kita lalui. Selamat berkarya. Kita bangsa Indonesia hanya perlu “entry point” atau titik masuk (yang tentu saja berbeda-beda) untuk mendapat sesuatu seperti yang Mas Singgih alami.

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly