Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

(teori) Desain, sebuah perbincangan berikut

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari dua tulisan. Tulisan pertama bisa anda ikuti di (teori) Desain, sebuah perbincangan awal (Redaksi).
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kaum Formalis
Bagaimana desain dipandang melalui estetika formalisme? Estetika formalisme merupakan pendekatan estetika atas sesuatu yang kasat mata, mengutamakan bentuk daripada isi. Bentuk atau yang kasat mata tersebut sifatnya ahistoris, dalam artian tidak memedulikan kapan desain dibuat, namun lebih menekankan bentuk formalnya. Pada umumnya yang dibicarakan di sini antara lain: garis, bentuk, ruang, warna, volume, tekstur, serta keseimbangan, pola, irama, proporsi, yang semuanya tersebut membangun komposisi sebuah desain. Nirmana, merupakan salah satu metode, cara, atau langkah mendisain melalui estetika formalisme (unsur/elemen, dan prinsip).

Roger Fry (1800-an), seorang tokoh formalisme, berpendapat bahwa seni dan desain berkaitan dengan efek atau emosi, di mana emosi itu bersifat universal. Maka seni atau desain tak perlu dikaitkan dengan siapa pembuatnya dan kapan dibuat.

Historisisme
Dari jajaran yang mengakui adanya paham historisisme, ada John Winckelman (1719 – 1768) yang berpandangan bahwa seni tidak lepas dari sejarah, bahwa seni berubah seiring dengan perubahan budaya. Di lain sisi dari pemikiran F. Hegel dikenal istilah zeitgeist, yaitu bahwa perubahan gaya berkaitan dengan perkembangan budaya.

The Bauhaus
Bauhaus, sebuah lembaga pendidikan di Jerman, berusaha atau memiliki obsesi untuk membuat “the science of aesthetic”. Maksudnya ialah, prosedur atau filsafatnya yaitu positivisme dengan metodologi reduksi. Positivisme adalah sejenis paham pemikiran yang diturunkan dari ilmu-ilmu alam dan berusaha mencari kepastian-kepastian (rumus). Sedangkan metodologi reduksi (reduce, artinya make less or smaller) secara longgar bisa diartikan sebagai usaha mengkompres dan mengambil sampai yang terpenting/sampai mencapai unsur pokok saja. Dalam arti tertentu Bauhaus ya beraliran formalis juga, dalam artian melihat desain pada tataran unsure and principal. Dalam dunia tipografi, dikenal huruf tak berkait yang menekankan sisi fungsional huruf yaitu keterbacaan, soal gaya (style) adalah bukan yang utama. Helvetica, Arial, dan huruf-huruf turunannya merupakan implementasi atas pendekatan tersebut. Huruf-huruf jenis demikian kadang “disindir” karena menyingkirkan emosi. Apakah huruf demikian berguna? Tentu saja berguna, terutama bagi komunikasi yang mengutamakan kecepatan dan kejelasan informasi seperti rambu lalu-lintas, rambu emergency, dll.

Pendekatan-pendekatan lain
Desain dari pendekatan sosial menekankan nilai fungsional desain, dan dibedakan dengan (nilai) individualisme. Karl Marx memberikan pemikiran bahwa semua tindakan manusia ditentukan oleh determinan ekonomi (without production no consumption, without consumption no production). Marx, yang dikenal sebagai sosok yang dikaitkan dengan sosialisme, di mana di sana terdapat kalim-klaim utopis bahwa terdapat sebuah usaha menggambarkan suatu harapan keadilan bersama, pada momen berikut melahirkan heroisme (heroic realism, socialist realism). Dari kubu (teori) psikoanalisis melihat tindakan manusia dipengaruhi alam sadar dan bawah sadar, misalkan dorongan seksual/libidinal. Dari kubu (teori) strukturalisme, terutama pendekatan sosiologis, melakukan usaha penstrukturan terlebih dahulu misalkan masyarakat dikelompokkan ke dalam kategori miskin – kaya, modern – tradisional, kasta, dll. Teori uang (tokoh George Simmel, sosiolog) berpandangan bahwa dunia manusia bisa ditengarai dengan uang di mana kemewahan, keagungan, ketamakan bisa diperoleh/terjadi karena uang. Desain lantas diukur dari harga, di mana harga menentukan (nilai/kualitas) budaya. Makin mahal desain, makin tinggi nilainya, begitu sebaliknya.

Kaum sosialis berpandangan bahwa desain tidak lepas dari lingkungan sosial dan budaya (termasuk tradisi dan ilmu pengetahuan). Dari wilayah ini muncul Viktor Papanek (penulis buku Design For The Real World, Papanek eksis di dunia industri) menekankan aspek keberdayaan dan ketidakberdayaan. Papanek berpendapat, tepatnya menyerang desainer-desainer industri, bahwa desain hanya membentuk keusangan dan berkutat sebatas mencari kebaruan-kebaruan. Sudah seharusnya desain menyentuh sampai permasalahan sosial, misalkan Papanek menyarankan desain bagi kaum cacat. Dari wilayah ini pula lahir teori user-participation, salah satu tokoh/pelakunya di Indonesia ialah Y.B. Mangunwijaya (perkampungan di tepi kali Code), di mana metode ini juga dilakukan oleh JMF (Jogja Mural Forum) yang dalam proyek-proyeknya bisa bergerak sebatas fasilitator. Hal tersebut menekankan bahwa dari pandangan user-partcipation, antara desainer dan masyarakat secara bersama memecahkan masalah. Nilai desain terletak pada solusi atas permasalahan tersebut. Dalam kasus yang demikian faktor resepsi menjadi penting, yaitu bahwa desain ditekankan pada pengguna.

Dalam sebuah perkuliahan, saya mengetahui bahwa ternyata ada desain pro-aktif. Desain pro-aktif di sini berkaitan dengan usaha mencari sesuatu yang baru, unik. Kadang pencarian tersebut berasal dari kemampuan menghubungkan hal-hal yang tak berhubungan (slogan iklan kerap lahir dari proses berpikir yang demikian, di Indonesia dikenal istilah yang oleh Budiman Hakim dituliskan sebagai lanturan tapi relevan). Desain pro-aktif menjadi penting ketika dia dihadapkan dengan fenomena desain re-aktif, di mana desain hanya ikut-ikutan, alias “me too design”.

. . .

Mengapa hal-hal di atas penting untuk kita ketahui? Metodologi desain salah satunya memelajari landasan teoritik desain agar desainer mampu menghasilkan cara berpikir yang jelas dalam memecahkan persoalan. Meski desain itu adalah tentang pemecahan masalah, namun dalam proses tersebut seorang desainer sudah semestinya memiliki kesadaran bahwa desain memiliki latar belakang, alasan, kepentingan, tujuan, batasan, serta pandangan tertentu. Salam. (Koskow, Metodologi Desain, Maret 2009)

i-want-you-1 i-want-you-3 i-want-you-4

Atas: Me too design (poster pertama/paling awal yaitu poster paling kiri)

baznas

Atas: Iklan dengan pendekatan strukturalisme, target dilihat dari tingkatan/golongan, misalkan kaum berada, yang diwakilkan melalui objek-objek (contoh di samping yaitu perhiasan, latar hitam, tata letak, dll.).

Meski iklan ini tentang BAZNAS, namun pendekatannya memakai kacamata strukturalisme. Bisa juga di sana hadir pendekatan teori uang yaitu metafor atas perhiasan, bahwa iklan ini ditujukan bagi kelas tertentu dan komunikasi iklan diperantarai melalui jalur kemewahan (luxurious), di mana semua itu merupakan metafor bagi kekayaang/uang/harta. Ringkasnya, iklan di samping mengiklankan “uang” (zakat) melalui “uang” (harta/kekayaan). Iklan ini sejenis iklan sosial (filantropi) di mana cara berkomunikasi iklan tersebut atas dasar “bahasa kelas” (struktur).

constructivism-1 constructivism-2

Heroic Realism, Socialist Realism, imaji-imaji yang demikian, yang memperlihatkan tubuh yang kekar, perkasa, sebagai pengejawantahan sikap monumentalistik. Representasi tubuh yang sedemikian heroik mengantar desain sebagai proyeksi ide-ide Constructivism di Rusia, bahwa seni dan realitas sosial saling membangun (“if the revolution can give art its soul, then art can endow the revolution with speech,” tulis Anatoly Lunacharsky).

iklan-gg

Iklan rokok Gudang Garam “Pria Punya Selera” jika ditinjau dari figur yang ditampilkan barangkali dipengaruhi oleh alam bawah sadar manusia Indonesia yang belum bisa lepas dari keterpesonaan akan bangsa Barat. Biasanya hal ini dapat diketahui/ditelusuri melalui pertentangan antara nilai individual - nilai komunal, warna kulit, wajah, dll. Bisa jadi iklan ini dipengaruhi alam bawah sadar atau mentalitas inlander akibat kolonialisme (iklan sabagai kolonialisasi budaya).

Materi aslinya bisa di download di sini > Teori Desain 2

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. […] . . Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan. Tulisan kedua dan terakhir bisa diikuti di (teori) Desain, sebuah perbincangan berikut (Redaksi). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . […]

  2. terminologi ‘user-participation’ itu dari siapa ya? apa ada kaitannya dengan ‘user-centered design’-nya Jorge Frascara?

  3. dari runtuhnya dominasi modernisme, yang dalam hal ini memandang konsumen (user) dalam kerangka selera massal. pendekatan sejenis ini bisa juga dipelajari dari buku Victor Papanek (design for the real world).

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly