. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan. Tulisan kedua dan terakhir bisa diikuti di (teori) Desain, sebuah perbincangan berikut (Redaksi).
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Desain dalam dunia engineering menekankan aspek efisiensi dan afektivitas, sedangkan dalam kesenirupaan desain ditekankan pada pemaknaan. Karena ditekankan pada aspek pemaknaan desain berkaitan dengan teori-teori budaya misalnya sosiologi, psikologi, antropologi, dll. (bukan berarti desain dalam kesenirupaan sepenuhnya meniadakan efektivitas dan efisiensi, bahkan masih diperhatikan pula aspek ergonomi dan pragmatik).
Di lain sisi terdapat beberapa faktor yang terdapat dalam desain, misalnya faktor kreasi, faktor resepsi (berkaitan dengan pengguna), faktor apresiasi (biasanya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dihasilkan sebuah desain), serta faktor diseminasi (mengenai bagaimana desain ditransfer ke masyarakat, misalkan melalui galeri, museum, tempat-tempat penjualan, gerai, dll.).
Mengenai faktor apresiasi yang menekankan pada nilai, antara lain estetik, ekonomi, fungsional-praktis, nilai budaya, lingkungan hidup. Artinya, desain dalam konteks ini ditekankan pada nilainya.
Sebagai contoh, kita kembali pada masa di mana ornamen menjadi ciri khas desain, misalkan pada masa Art nouveau menjadi semangat zaman waktu itu. Ornamen, atau kesan menghias (bedakan dengan dekoratif), dianggap memiliki nilai-nilai yang menyenangkan dan berguna, pleasure and usefull. Art nouveau dengan ciri gaya yang menekankan garis lengkung hasil adopsi terhadap bentuk-bentuk inspirasi dari alam (tumbuhan), menjadi sebuah style yang berusaha memenuhi aspirasi jamannya. Bahwa di masa tersebut modernitas menemukan ruang budaya di mana budaya modern tersebut harus ditandakan dengan style yang mampu memenuhi aspirasi jaman. Art nouveau tidak lain penanda modernitas yang masih menekankan sisasisa estetik masa sebelumnya (Victorian), di mana kesan menghadirkan ornamen masih dianggap penting.
Art nouveau mengalami sifat kemenduaan, di satu sisi jejak estetika masa sebelumnya masih diambil, di lain sisi di atas jejak tersebut ditaruh harapan pengalaman akan kemodernan (kemajuan). Di satu sisi menekankan jejak ornamentik, di lain sisi belum siap meninggalkannya untuk menyambut gempita abad mesin. Hadirnya kredo “ornament is crime” bisa jadi menjelaskan situasi ambiguitas mental manusia modern yang berjalan ke depan (kemajuan), namun masih saja ada yang kurang kalau tak menengok ke belakang (masa lalu). Antara Art nouveau dan kredo “ornament is crime” memberi gambaran bahwa faktor apresiasi (estetik) menjadi salah satu faktor dalam perjalanan desain. Bukan saja perjalanan gaya desain, namun perjalanan dalam tingkat apresiasi/nilai-nilai yang ditekankan. Contoh ini sekaligus dapat menjelaskan bahwa desain dalam lingkup kesenirupaan berkaitan dengan teori-teori budaya seperti gaya hidup. Melalui teori-teori tersebut makna desain dapat ditelusuri.
Desain Art nouveau pun dapat dijadikan contoh untuk memelajari metode desain konvensional, salah satunya craftmanship. Craftmanship di sini diartikan Art nouveau memiliki kadar craftmanship yang tinggi, misalkan desain fashion (busana, sepatu, perhiasan, dll.). Ketrampilan menjadi hal penting, dan perancang bertindak sebagai penentu hasil akhir sebuah desain (produk). Meski demikian, dalam perjalanannya, Art nouveau diterapkan ke dalam metode desain draughtmanship, yaitu dengan diciptakannya pola-pola hias/ornamen ke dalam bentuk buku, yang memungkinkan diterapkannya gambar sebagai alat bantu dalam proses desain, meskipun dalam kadar metode draughtmanship yang rendah. Paling tidak, ketrampilan yang dimiliki seseorang dapat dilakukan oleh orang lain dengan media bantu gambar/pola. Melanjutkan desain Art nouveau, di mana letak kebermaknaannya? Di sinilah desain mesti dibaca dari teori sosial yang lain, tidak sebatas estetik, misalkan sosiologi gaya. Ditinjau dari sosiologi gaya desain Art nouveau pada dikonsumsi oleh kelas berada. Kelas berada di sini maksudnya orang-orang yang berada pada kelas tersebut memandang gaya sebagai nilai keber-utama-an, dikarenakan secara ekonomi mereka mampu untuk mengonsumsi gaya tersebut. Ibarat makan, mereka memerlukan sendok yang ber-gaya. Ibarat rumah, mereka menghiasnya dengan ornamen yang meliuk-liuk. Apakah semua ini bermakna? Jawabannya, ya. Mengapa? Salah satunya untuk membedakan diri dengan kelas lain.
Paragraf di atas sebenarnya hendak menjelaskan bahwa perancangan desain pada kasus desain Art Nouveau memandang kelas dan gaya sebagai salah satu faktor, yaitu faktor apresiasi (estetik), mengingat di sanalah kebermaknaan desain menjadi muncul dan membedakannya dengan desain dalam konteks engineering.
Lantas bagaimana dengan pertentangan antara Art nouveau yang menekankan kesan menghias dengan “ornament is crime”? Pertentangan tersebut tidak sebatas pada estetika gaya. Pertentangan tersebut disebabkan desain Art nouveau dalam konteks kesenirupaan tidak mampu lagi memecahkan persoalan jaman. Masa-masa setelah Art nouveau masyarakat “digiring” menuju abad mesin, abad yang sedikit banyak menggantikan faktor tenaga manusia pada proses produksi. Hal ini bisa saja dikaitkan dengan terjadinya pergeseran nilai apresiasi kesenirupaan dalam desain yaitu bahwa pelan-pelan bahasa engineering mulai hadir dan memengaruhi aspek estetik. “Ornament is crime” menghendaki diperlukannya estetika permesinan, yaitu salah satunya makna estetik ditemukan pada nilai fungsi pada material (the truth of material).
Kredo lain yang lantas muncul ialah paham “less is more”. Istilah ini dalam berbagai kesempatan (yang saya jumpai, baik dalam perbincangan dengan orang lain maupun bacaan-bacaan yang saya temui), kerap juga disebut dengan paham minimalisme. Paham-paham tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh konsep desain dalam konteks engineering, yaitu efektivitas dan efisiensi. Namun, faktor kebermaknaan tidak dapat dilepas dan digantikan begitu saja oleh efektivitas dan efisiensi. Artinya, meski sedikit banyak mulai menerapkan efektivitas dan efisiensi, rupa-rupanya kesenirupaan desain masih tetap hadir, bahwa desain pertama-tama juga mengandung kebermaknaan di mana kebermaknaan erat kaitannya dengan nilai budaya. Maka muncullah berbagai gaya desain yang merayakan semangat jaman Machine Age, misalkan Futurism, Konstruktivism, sampai The New Typography. Kata machine bukan diartikan sebatas mesin seperti mesin yang kerap kita temui (mesin di pabrik, mesin kendaraan, mesin perang, dll.). Kata machine sebaiknya dilihat sebagai sebuah kiasan jaman industrial.
Pertanyaan berikutnya: mengapa lahir metode-metode baru? Kita bisa menjawab berdasarkan kisah di atas, kira-kira demikian, sebuah metode baru lahir karena metode yang lalu tidak mampu lagi menjawab persoalan/kebutuhan/aspirasi jaman.
Mari mengimajinasikan dengan contoh cara berkirim kabar: merpati pos, kurir kerajaan, berkirim surat, telepon, sms, email, telepati, telegram, dan contoh lainnya. Kita lantas dapat memberikan gambaran/alasan/latar belakang mengapa untuk saat ini cara berkirim kabar tidak lagi menggunakan (metode) kurir kerajaan, misalkan, namun menggunakan email. Atau mengapa di jaman ini email lebih banyak dipergunakan sebagai cara berkirim kabar ke luar negeri dibanding mengirim surat?
Saya sebatas hendak mengatakan bahwa tiap jaman memiliki jenis kebutuhannya masing-masing. Namun bukan berarti metode masa lalu menjadi tidak bisa dipergunakan kembali. Dalam batas tertentu, metode lain masih bisa digunakan. Saya meyakini itu. Mengapa? Kadar kebermaknaan tidak bisa dinilai sebatas kebutuhan atas kaidah efektivitas dan efisiensi (konteks engineering), bahwa ada nilai lain yang lebih abstrak, tak terukur, namun memberi nilai/arti/makna.
Tulisan ini dibuat dengan melihat (dan masih berdiri di atas keyakinan) bahwa desain dalam konteks kesenirupaan menekankan aspek pemaknaan. Salam. (Koskow, Metodologi Desain, Maret 2009).
Silakan download materi aslinya di sini > Teori Desain 1
•••
Professor Christopher Frayling (1993),dari Royal College of Art mengadaptasi konsep dari Herbert Read (1893–1968), ke dalam penelitian seni dan desain berupa:
research into art/design
research through art/design
research for (as) art/design
Seni maupun desain, kedua2nya masih berjuang utk menjadi domain tersendiri yg setara dgn disiplin ilmu psikologi, pendidikan, komunikasi, sosiologi, dsbnya.
Penulisan ttg teori seni dan desain sangat dibutuhkan dalam bentuk buku, beberapa yg mulai menuliskannya spt:
Design Studies: Theory and Research in Graphic Design
Design Studies: A Reader
Graphic Design Theory: Readings from the Field
Beberapa penulis rutin dalam desain spt Victor Margolin, Maud Lavin, Guy Julier, dsbnya memberi awalan utk pengenalan metode2 desain tetapi lebih bersifat dialektika sejarah perjalan desain.
[…] . . . . . . Tulisan ini adalah bagian terakhir dari dua tulisan. Tulisan pertama bisa anda ikuti di (teori) Desain, sebuah perbincangan awal (Redaksi). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . […]