Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Side House Design[i]

Artikel Side House Design ini merupakan pendalaman dari tulisan sebelumnya: In House Design / Side House Design* yang diperankan sebagai wacana awal sambil dilengkapi di sana sini guna memperluas isi maupun persoalan. Tulisan kali ini dipersiapkan berdua, oleh FX Widyatmoko (Koskow) dan Tri Noviana. Tri Noviana bekerja di sebuah perusahaan swasta dan menangani persoalan person/human. Komentar rekan-rekan pembaca sangat diharapkan demi pengembangan gagasan Side House Design (SHD). Terima kasih dan salam. – Redaksi

SIDE HOUSE DESIGN[i]

Oleh: FX Widyatmoko

“Semestinya, desainer mensyukur diri mengingat bidang ini lintas ilmu, lintas disiplin, lintas ruang, ragam pendekatan. Hal ini dapat dipahami secara demikian: jika desain adalah tentang pemecahan persoalan, maka selama solusinya dimungkinkan merupakan desain, apapun masalah atau persoalan itu desain (senantiasa) dapat hadir di sana. Maka, yang perlu dikerjakan yaitu memperluas cara memandang keilmuan yang selama ini dimiliki dan dipelajari.” (Koskow, DGI-Indonesia.com)


Soeda barang tengtoe iboekota haroes ditakloekan. Kemelaratan tinggal se-oemoer djagoeng sahadja. Pertjajalah Kawan!” (Sewon Bertekad, 31 Djoeli 2008). “Soeara-soeara dar-der-dor bole sahadja menggedor-gedor, namoen djangan sampei kita mati selebor!” (Harian Nestapa Berkala, 31 Djoeli 2008). “Hari depan memang soeda soeratan. Biar tiada mabok kepajang, djangan dengar oetjapan: Jang halal dan jang haram ajo dihantam!” (Harian Godaan Djaman, 31 Djoeli 2008). Foto-foto tersebut sengaja dipasang dengan alasan mau memberi gambaran tekad mahasiswa desain komunikasi visual yang barusan melulus dan siap memandang (masa) depannya. Salah satu yang menarik yaitu (simulasi) nama-nama lembaga yang digunakan: “Sewon Bertekad”, “Harian Nestapa Berkala”, dan “Harian Godaan Djaman”. Nama-nama tersebut dirancang bukan tanpa maksud, ia – di satu sisi – menjelaskan status teks (caption) di depannya. (Sumber foto: akun Facebook penulis)

MENGANTAR
In house design (IHD) umumnya dibentuk oleh perusahaan/lembaga bersangkutan. Artinya, perusahaan/lembaga tersebut memilih untuk memiliki divisi disain dalam organisasinya. Divisi tersebut mengurusi segala hal terkait dengan disain seperti perancangan media publikasi, media promosi, disain kemasan, dll. Meski demikian, tidak semua perusahaan/lembaga memiliki divisi disain. Perusahaan/lembaga yang demikian biasanya menyewa jasa disain dari luar, bisa berupa agensi, bisa juga disainer paruh waktu (freelance).

Menyewa agensi atau disainer paruh waktu, keduanya berada di luar perusahaan/lembaga pengguna jasa. Sedangkan in house design memang dimiliki perusahaan/lembaga bersangkutan. Meski demikian, beberapa pengalaman menyampaikan bahwa klien (dalam hal ini pengguna jasa disain) tidak selamanya menyewa jasa disain di tempat yang sama. Ada kalanya klien berpindah agensi atau disainer paruh waktu. Namun, ada kalanya pula klien kembali pada agensi atau disainer paruh waktu yang pernah disewanya. Biasanya, kembalinya si klien kepada agensi atau disainer paruh waktu untuk berbagai alasan seperti hubungan kepercayaan, selera (estetika/gaya) disain, menghindari mengulang menjelaskan produk/brand knowledge, dlsb.

In house design yang mau disampaikan dalam tulisan ini berbeda dari in house design seperti yang umum diketahui. Gagasan ini pun muncul dengan alasan di luar sana terdapat beragam jenis atau gaya (style) perusahaan/lembaga. Ada perusahaan/lembaga yang memang memutuskan diri memiliki in house design dalam manajemennya, ada pula yang menyewa jasa agensi/disainer paruh waktu. Namun, bisa jadi ada perusahaan/lembaga yang mengingini divisi disain yang berada dalam manajemennya namun tidak untuk selamanya, alias terikat kontrak waktu. Maka, untuk membedakan dengan in house design dalam pengertian di atas, kita tulis saja side house design (SHD), namun bisa pula ia ditulis sebagai design organizer. Praktik penamaan yang beragam (alias belum pasti) ini mau menunjukkan bahwa gagasan side house design belum jadi pembakuan dalam bidang kerja disain. Dalam kalimat lain, mungkin belum ada yang memulainya. Namun, bahwa di luar sana terdapat perusahaan/lembaga/klien yang menghendaki cara kerja demikian, sangat mungkin ada. Mengapa? Karena hubungan kerja tak sebatas pada forma birokrasi/kelembagaan, ia (lebih) menyangkut humanitas, relasi perjumpaan manusia. Pendek kata, bukan hubungan forma-forma obyektif, namun subyek berjumpa dengan subyek, dalam artian di sini subyek menghendaki ruang relasi kerja yang tak mau (ter/di)kurung dalam sebuah forma kelembagaan/divisi, alias subyek yang mau luwes dan mengatasi keterkurungan dalam berelasi.

Menjadi Disain(er)

Saat ini kata disain jamak digunakan. Secara luas ia digunakan untuk menjelaskan arti merancang. Dalam sejarahnya, disain tak bisa lepas dari Revolusi Industri yang mana pada saat itu ia hadir akibat kebutuhan produk/industri massal. Dalam perjalannya kata disain bersanding dengan bidang lain seperti sistem produksi (massal). Hingga kini, kata disain masih mengandung pengertian sebagai proses/aktivitas merancang. Jika pada masa modern disain, terutama mazhab Amerika, menekankan disain yang baik adalah disain yang menjual, kini di jaman posmodern disain mengandung arti pencarian pasar pada tiap ceruk pasar tertentu. Memang, sejak hadir modernisme dalam pengertian internasionalisasi gaya maupun budaya konsumen, disain sering dijadikan alat dalam meraih perluasan pasar. Kini, perluasan tersebut lebih rinci. Maka, disain yang tadinya berorientasi pada pasar kebanyakan kini ia berorientasi pada yang segmented hingga yang individual. Artinya, skala pengertian disain seturut skala penerapannya: ia digunakan di tingkat personal, komunitas, hingga tingkat massal/global. Ini menunjukkan bahwa disain secara keilmuan (mesti) mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Sebaliknya, jaman pun diwarnai kehadiran disain, dari yang dikritik habis-habisan seperti konsumtivisme, hingga yang termuliakan seperti user participation. Jargon green design, sustainable design merupakan paham-paham dalam disain yang mana ia tetap (mau) hadir bersama beragam persoalan hidup di dunia. Dengan demikian, pemahaman disain akan memengaruhi siapa yang dimaksud dengan disainer itu sendiri. Artinya, disain tak lagi sebatas persoalan teknis perancangan, ia menyangkut pula beragam persoalan seperti yang sosial, yang komersial, hingga yang personal. Sangat mungkin akan lahir spesialisasi sebagai disainer mengingat disainer juga sosok yang terbatas, tak semua hal dapat dikerjakan. Kecenderungan ini telah ada namun spesialisasi yang menunjuk pada entitas teknik-estetik seperti disainer pakar tipografi, disainer pakar logo, disainer pakar fotografi, hingga disainer yang pakar gambar manual. Di wilayah media pun juga lahir sosok-sosok spesialis seperti disainer yang kompeten di new/unconventional media, disainer yang pakar di media personal (direct mail), hingga disainer yang pakar di media grafis lawasan. Pendek kata, nilai (value) disain kian bergerak, sejak sebagai praktik mengomunikasikan need, want, hingga nilai lebih. Bahkan, oleh Widagdo[ii] ditegaskan yang mana sejak kini disain menjadi suatu keharusan: design or die! Dalam kalimat lain disain (mau) jadi budaya kerja.

Hal-hal di atas menjelaskan bahwa sebagai sebuah disiplin ilmu disain senantiasa berelasi dengan ilmu/wacana misalkan green design, di sini disain(er) mesti mengetahui sistem teknologi hingga peraturan/kebijakan industri mengingat green design menyangkut persoalan sosial dan komersial. Sebagai contoh, disain kemasan kerap menyumbang sampah/limbah dalam jumlah yang besar. Sayangnya, kebijakan yang berlaku belum membebankan persoalan sampah/limbah kemasan pada produsen. Walhasil konsumenlah yang menanggungnya. Dalam arti luas, masyarakat umum yang terbebani.[iii] Meski hal ini tak jadi variabel pengetahuan disain kemasan, namun sebagai sebuah pengetahuan sosial ia perlu dipertimbangkan agar disain senantiasa memertimbangkan pengetahuan secara (me)luas. Singkatnya, disainer mesti mengakrabi wacana sosial yang sedang dan akan berkembang, terutama jika ia menyangkut kesejahteraan hidup bersama. Kesimpulannya, mau tak mau green design menyerap berbagai pengetahuan teknis material hingga mengritisi kebijakan yang berlaku. Ini juga dikarenakan disainer juga mahluk sosial, bukan sebatas individual. Ringkasnya, sekali lagi, disain kian jadi keharusan, namun keharusan yang mesti dipahami bukan sebatas bagi kepentingan ekonomi/komersial. Ini jadi penting mengingat dalam tubuhnya disain (telanjur) terelasikan dengan matra lain di luar ekonomi. Artinya, sebagai sebuah keilmuan, disain tidak seteril dari dunia sosial. Justru dalam perjalanannya disain kian memengaruhi kehidupan sosial. Maka dari itu, sebagai sebuah pengetahuan, disain mesti memiliki mekanisme evaluasi dari dalam dirinya sendiri! Biasanya, evaluasi didasarkan pada berbagai hal seperti produksi (nilai efisiensi). Namun jauh lebih penting evaluasi tersebut mesti menginput dari yang etis-estetis, bukan sebatas dari yang teknis-estetis.

Tentunya, hal di atas merupakan pilihan-pilihan individual. Meski demikian yang senantiasa obyektif yaitu bahwa disain merupakan problem solving yang mana keluarannya, atau disain yang dihasilkan, merupakan jawaban terbaik (rationable) atas persoalan tersebut. Maka dari itu mendisain tetap melibatkan pengetahuan kognitif (analisis) serta yang kerap diandalkan yaitu pengalaman (jam terbang). Pengalaman, di satu sisi, akan menjadi sebuah pengetahuan manakala ia berhasil disistematiskan, dibuatkan konsep-konsep pemahaman. Dalam metodologi disain, mendisain melibatkan proses berpikir black box serta proses berpikir glass box. Ringkasnya, proses yang tak teramati, tidak transparan (mimpi, misalkan), hingga yang teramati (membuat jejak langkah proses mendisain) yang biasanya dapat berupa alur kerja disertai sketsa-sketsa rancangan. Ada pula yang menjelaskan mendisain melibatkan cara berpikir divergen dan konvergen, alias yang mau menganalisis dan yang mengandalkan warisan (pengalaman) tradisi dalam mencipta. Ada pula yang menjelaskan bahwa mendisain melibatkan kemampuan otak kiri dan otak kanan (perkembangan kini melibatkan otak tengah). Ada pula yang menjelaskan bahwa mendisain melibatkan pengetahuan kognitif, afektif, serta behavioral. Dlsb, dlsb. Paragraf ini hanya mau menyampaikan kalau sebagai sebuah (paradigma) keilmuan, yang lebih berperan bukan prinsip falsifikasi namun penyempurnaan terus-menerus, alias senantiasa melakukan sintesa-sintesa namun sembari tetap memandang bahwa ada kebenaran juga pada metode-metode sebelumnya yang bisa digunakan untuk kebutuhan sekarang. Orang-orang menamainya sebagai yang kontekstual dan re-kontekstualisasi. Jika digunakan prinsip falsifikasi maka ia falsifikasi yang tidak selalu jadi kebenaran tunggal dan pasti.

Perkembangan dalam wilayah metode dan metodologi pun nantinya senantiasa berkembang selama pengalaman mendisain mampu dijadikan sebuah sistem pengetahuan. Caranya, lewat menuliskannya ke dalam bahasa yang logis, argumentatif. Sayangnya, kerap dijumpai tulisan atas pengalaman mendisain yang sifatnya baru sebatas pelaporan teknis. Justru yang diharapkan yaitu tulisan yang menghasilkan pengetahuan “baru”. Dengan kata lain, menjadi disainer jika tak disertai kemauan belajar (mengamati, membaca, dan menulis atas aksi, reaksi, refleksi kerja mendisain) maka usia kerja disainer tersebut lekas tergilas deras perubahan jaman. Ciri-cirinya, mulanya ia populer, lantas senantiasa diulang-ulang (terutama oleh media yang kian mencirikannya sebagai sebuah tren), lantas klise (karena banyak pengikut dengan partisipasi dalam tingkat paritas maupun parodian), lantas gagap terhadap perkembangan jaman, akhirnya pasif. Padahal, yang telanjur ditinggalkan tadi belum tentu ia tak bisa digunakan lagi baik sebagai kode estetik maupun metode perancangan disain.

Merumah(kan) Disain

Gagasan tentang side house design yang coba ditawarkan di sini pun berangkat dari sebuah persoalan. Persoalan tersebut, seperti yang telah dituliskan di atas, bahwa terdapat berbagai tipe perusahaan/lembaga yang mana tiap perusahaan/lembaga tersebut mau mencari bentuk kerja disain yang pas sesuai dengan kebutuhan yang diiginkan. Sedangkan, saat ini kebutuhan akan disain tersebut difasilitasi lewat agensi, freelance, dan in house design. Agensi maupun freelance bukan hal baru. Ia warisan dari model kerja sewa jasa seni dan disain di masa lampau. Sistem gilda misalkan, yang memerlukan produk estetis akan memesan kepada pihak yang dapat memenuhinya. Sebelum ditemukan fotografi, seseorang (terutama kalangan bangsawan) yang menghendaki lukisan dirinya akan “memesan” pada pelukis tertentu. Maka dari itu kerap disebut pelukis istana (perkembangan kini ada juga kurator seni istana negara). Namun kebutuhan akan lukisan tersebut berasal dari si bangsawan. Agensi, freelance boleh jadi merupakan turunan dari praktik kerja yang demikian tersebut.

Lain halnya dengan side house design yang mana ia mengawali diri sebagai sebuah rumah kerja (tim kerja) disain yang mau masuk di sebuah perusahaan/lembaga. Sebagai ilustrasi akan coba dituliskan situasi budaya (ber)media di sebuah kampus seni di Jogja selatan.

Kampus ini cukup dikenal. Ia termasuk kampus seni (ter)tua di Indonesia. Kampus tersebut pun telah memiliki website. Pada lain pihak, sebagai sebuah lembaga pendidikan, tugas dosen adalah melaksanakan tridharma yaitu mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Belum lagi dosen diberi tanggung jawab dan kepercayaan mengelola sesuatu di kampusnya misalkan lembaga penelitian, jurnal, pameran, dlsb. Di lain pihak, kampus seni tersebut memiliki pusat komputer (PUSKOM). Tugas PUSKOM yaitu menangani segala hal terkait informasi yang menggunakan komputerisasi seperti administrasi akademik hingga website lembaganya. Walhasil, meski di awal penayangannya website kampus tersebut senantiasa diupdate, dalam perjalanannya ia kian tak terupdate. Kalaupun ada update itu pun sebatas satu dua paragraf kalimat informatif, tak ada tulisan naratif tentang kehidupan di lembaga tersebut, baik tentang mahasiswa, dosen, maupun sivitas akademik secara keseluruhan. Meminta peran dosen untuk menulis juga dijawab “baiklah, saya usahakan”. Meminta peran PUSKOM, itu pun bukan tanggung jawabnya karena PUSKOM mengurus yang teknis administratif, bukan konten pewartaan lembaga. Menyewa agensi ataupun freelance pun tak menyelesaikan masalah sepenuhnya karena agensi pun freelance berada di luar lembaga, alias tidak setiap hari mengetahui dengan persis situasi kampus. Jadi, dapat dibuat tabelnya sebagai berikut.

Melihat ilustrasi di atas, jawaban yang (setidaknya) dapat ditawarkan yaitu kampus bersangkutan memiliki divisi disain sendiri. Namun, divisi disain tersebut sifatnya tidak tetap, gambarannya bukan seperti in house design., namun side house design. Jadi, side house design mesti diberi ruang kerja di lembaga bersangkutan. Ia akan mengurus semua hal terkait dengan website, tentunya untuk persoalan teknis jelas tetap ditangani PUSKOM. Untuk urusan konten website perlu di bawah tanggung jawab dosen tertentu. Ia (side house design) juga diberi kewenangan penuh untuk melakukan liputan berbagai acara yang diselenggarakan/melibatkan kampus. Namun, side house design tersebut harus mengawali semua pekerjaannya sendiri sejak dari mengetahui kultur lembaga, visi misi, kurikulum, staf pengajar, mahasiswa, dll. Maka dari itu syarat pertama dari side house design yaitu kemauannya untuk senantiasa ingin tahu. Jadi, ini merupakan tim yang senantiasa sungguh-sungguh mau terus belajar yang mana hasil belajarnya berbentuk disain (website, dlsb.). Dengan demikian tabel di atas dapat dijawab sebagai berikut.

Tak sebatas website saja, side house design juga dapat dikesempatkan mengkaji semua persoalan dalam lembaga yang terkait dengan disain. Misalkan, mengkaji layout penulisan Tugas Akhir yang mana saat ini diberlakukan penerapan paragraf dua spasi, padahal pada umumnya data penelitian (di seni rupa) berupa data visual. Tentu hal ini akan menyita banyak halaman jika terdapat gambar berukuran besar dan letaknya di baris bawah pada sebuah halaman. Artinya, pada bagian bawah terdapat kekosongan ruang yang mana pada lembar berikutnya baru dapat dimunculkan gambar data visual tadi. Persoalan layout ini pun juga selaras dengan green design. Maka dari itu, di sini dapat dijelaskan apa yang telah dituliskan di atas terkait mekanisme evaluasi bahwa penggunaan satu setengah paragraf lebih baik dibanding dua paragraf didasarkan atas alasan yang teknis (sifat penelitian seni rupa) dengan yang etis (green design). Jika ditinjau dari jejak penyusunan format Tugas Akhir, bisa saja spasi dua paragraf dan terutama dicetak satu muka, ia merupakan warisan dari cara menyusun Tugas Akhir lewat mesin ketik. Pada masanya mesin ketik digunakan sebagai “alat menulis” Tugas Akhir yang mana ia membutuhkan tekanan yang lebih besar dibanding mengetik menggunakan keyboard (komputer). Yang pertama mencirikan teknologi manual, yang kedua teknologi digital termasuk seperangkat pendukung seperti printer. Maka dari itu, mengetik Tugas Akhir menggunakan mesin ketik berbeda jika menggunakan komputer. Mesin ketik akan memunculkan jejak membekas pada sisi balik selembar kertas, sedangkan printer belum tentu, tergantung ketebalan/gramatur kertas. Sayangnya, pada saat “budaya menulis” berada di era digital, cara menulis tersebut masih menerapkan era teknologi manual.

Hal di atas bisa dianalogikan seperti pada kebiasaan membuang sampah di jalan, yang justru dilakukan penumpang kendaraan roda empat maupun roda dua. Pada masanya, dahulu, membuang sampah di jalan tak begitu jadi masalah karena barang yang dibuang tersebut terbuat dari bahan alam, maka ia akan terurai dengan sendirinya. Sekarang, ketika barang-barang merupakan olahan kimia/bukan bahan alami, ia dibuang seperti orang-orang jaman dahulu berperilaku demikian.[iv] Persis seperti “mesin ketik” di era digital: perilaku terbelakang yang (secara tak sadar) dikerjakan di era yang lebih maju yang mana secara struktur kebudayaan sangat berbeda. Jika benar demikian, maka penulisan, tepatnya pengetikan dan pencetakan Tugas Akhir di era digital dapat menerapkan cetak dua muka karena hasil pencetakan tidak membekas/transparan dan berbeda dari mencetak menggunakan mesin ketik yang sangat berpotensi menimbulkan bekas/transparan. Pertanyaannya bukan ia menyalahi aturan yang telah ditetapkan, namun kampus justru harus memberi pengetahuan yang lebih baik! Hal ini dapat terjadi jika ruang disain tersebut (side house design) menyadari bahwa kemauan belajar menjadi syarat utama di samping kemampuan mengamati persoalan disain (layout Tugas Akhir, penyusunan paper seminar yang tadinya difotokopi dalam ukuran A4 yang kemudian dilayout dalam ukuran A5 sehingga meniadakan belanja map plastik [ bukankah map plastik juga merupakan suatu praktik yang tidak selaras dengan green design ], dlsb.)

Cakupan bidang disain komunikasi visual pun luas. Ia mencakup disain untuk informasi (design for information), disain untuk persuasi (design for persuasion), disain untuk edukasi (design for education), dan disain untuk administrasi (design for administration).[v] Disain untuk informasi setidaknya dapat dibedakan ke dalam dua tahap, pertama tentang pengorganisasian informasi, kedua tentang perencanaan presentasi informasi. Disain untuk persuasi dapat dibagi ke dalam tiga wilayah yaitu periklanan (komersial dan no-komersial), propaganda (politik dan ideologi), dan komunikasi sosial (misalkan kesehatan, keamanan, dlsb.). Disain untuk edukasi bergerak di antara informasi dan persuasi, namun ia lebih menekankan pada pemberdayaan audiens. Edukasi itu sendiri tidak dapat direduksi sebagai pengiriman pesan. Ini mesti dibedakan antara edukasi dengan pelatihan (training). Edukasi, sekali lagi, lebih menekankan pada soal development of the person. Disain untuk administrasi bisa mencakup ketiga hal di atas (informasi, persuasi, dan edukasi) dalam artian hal-hal tersebut berkontribusi bagi pengorganisasian dalam sistem administrasi. Wujud disain administrasi antara lain prangko, tiket, diagram organisasi, nota, lembar surat suara pemilu, serta instrumen lain yang serupa. Biasanya, disain untuk administrasi belum jadi kesadaran penuh, atau katakanlah kurang menarik bagi praktik disain karena disain telanjur dikaitkan dengan yang estetis. Padahal, dalam disain administrasi jauh lebih rumit karena disain(er) terlebih dahulu mesti memahami sistem administrasi sebuah lembaga atau event. Meski demikian belum tentu yang estetis tak dapat dihadirkan di wilayah disain administrasi tersebut! Setidaknya, empat wilayah disain di atas dapat memberi gambaran betapa luas wilayah kerja disain. Artinya, ditinjau dari sisi seni/taste, tiap wilayah memili kadar estetik masing-masing. Secara mekanisme evaluatif dapat disampaikan secara demikian bahwa dalam mendisain diperlukan kontrol estetik.

Menimbang Side House Design

Setelah membaca gagasan tentang side house design, ia bisa sangat menantang dan ke depannya besar kemungkinan dibutuhkan di suatu lembaga/perusahaan. Side house design juga dapat menjadi lahan kerja bagi fresh graduate. Beberapa lulusan disain komunikasi visual yang mengingini membangun agensi sendiri, namun terkendala pemodalan seperti infrastruktur kerja, keterampilan manajemen, pesaing yang established, dlsb. side house design dapat dijadikan bentuk/mekanisme kerja menuju ke sana. Dalam beberapa hal cara kerja side house design mirip agensi, yaitu pada soal team work. Namun, dikaji dari sisi pemodalan, ia (side house design) tak sebesar agensi, namun lebih kompleks dibanding freelance. Memang, side house design memiliki kekurangan dan kelebihan dibanding agensi atau freelance. Secara umum tabel [vi] berikut berusaha memetakan, katakanlah, plus minus side house design di antara agensi dan freelance.[vii]

  • Agensi

  • Freelance

  • Side house design

Dalam tubuh side house design sangat pasti selain terdapat disainer terdapat pula beberapa person berlatar belakang pendidikan yang berbeda, dan bisa juga dikarenakan pengalamannya. Hal ini patut disadari mengingat ruang kerja disain komunikasi visual, pertama-tama, ia menyangkut persoalan komunikasi. Di samping itu semua person dalam side house design mesti mengetahui kebutuhan klien (perusahaan/lembaga). Ia harus dapat menyublimkan kebutuhan perusahaan/lembaga dengan update wacana komunikasi yang berkembang. Hal ini disebabkan masyarakat kian dihadapkan pada era komunikasi bebas dan memandang informasi dalam konsep interpretasi, salah satunya disebabkan kian melubernya pilihan dan kemudahan akses informasi di masa ketika grand narration tak jadi pusat pengetahuan. Namun, pastinya pertimbangan objective dan kemampuan finansial dari lembaga/perusahaan yang menyewa/si pengguna jasa tetap jadi perhatian penting dalam kaitan bagaimana menjalankan kebutuhan akan disain yang dimaui.

Ditinjau dari nilai/budaya/sikap kerjanya maka person-person dalam side house design dipastikan memiliki hal-hal berikut: pribadi yang komunikatif, kreatif, inovatif, konsisten, berkomitmen dan berkemauan belajar, menyukai hal-hal baru, mampu bekerja dengan target namun memiliki ketenangan, membuka diri terhadap kritik dan masukan (tidak resisten), peka terhadap lingkungan (bukan tipe orang yang cuek), dlsb. Terkait prinsip evaluasi diri maka hal-hal tersebut dapat dijabarkan lagi seperti tabel berikut. Meski di sini tetap harus diingat bahwa side house design yang dibangun tetap harus menjadi ruang kerja yang tidak menenggelamkan subyek dalam forma-forma objektif, namun menciptakan hubungan-hubungan yang luwes dan mengatasi keterkurungan dalam berelasi.

Ditinjau dari sisi psikologis, sebenarnya apabila perusahaan tertarik menggunakan side house design namun telah memiliki in house design di dalamnya, dapat disikapi dengan melibatkan dan memberikan kepercayaan kepada designer in house design yang ada, nantinya sebagai guidance, fungsi controller (quality assurance) bidang disain, serta akan melanjutkan maintain apabila proyek atau kontrak side house design berakhir. Perusahaan mesti menciptakan suasana kompetisi yang sehat. Namun tetap saja kembali ke individu dan perusahaan, asalkan individu mau belajar, tidak pesimis, dinamis, tidak resisten terhadap perubahan. Pada sisi lain perusahaan memberikan kesempatan dan memperhatikan pengembangan terhadap kompetensi person, tidak melulu diperhitungkan pada masalah profit, pastinya akan bisa selaras dan sinergi dengan objective yang mau dicapai. Side house design pun nantinya dapat dikembangkan menjadi in house design, juga sebaliknya in house design dapat menyumur budaya kerja side house design. Jadi, antara in house design dengan side house design bukan mau menegasi bentuk (forma) kerja keduanya. Ini hanya mau memberi tawaran pilihan lain dari yang telah ada.


Wisuda sarjana merupakan peristiwa yang di satu sisi ia peristiwa bahagia (karena melulus dari kampus), namun di sisi lain ia mengancam (karena masa depan menganga cemas, setidaknya bagi sebagian wisudawan). Foto-foto di atas merupakan suatu cara bagaimana masa depan mau dihadapi, yaitu lewat pengironian, pemarodian. Konon, ironi-ironi atau parodi-parodi yang demikian kian luber dalam budaya posmodern. (Sumber foto: akun Facebook penulis)

(Mau) menyimpulkan
[viii]

Demikianlah penjelasan sistem kerja side house design. Tulisan-tulisan di bagian awal bermaksud memberi latar ilustrasi perjalanan pengertian disain beserta perkembangan metode dalam dirinya sebagai sebuah keilmuan. Gagasan side house design pun juga (di)bakar dari beberapa mahasiswa disain (disain komunikasi visual) yang barusan melulus diri. Mereka senantiasa menanyakan tempat kerja, biasanya yang terbayang sebatas agensi/perusahaan, in house design, di samping peluang menugas diri sebagai disainer freelance.

Side house design yang ditawarkan pun beresiko dalam artian (positif) sebagai sebuah tim ia terdiri dari berbagai disiplin keilmuan. Kalaupun terdapat desainer maka pemahamannya tentang disain tak sebatas yang teknis, namun menyangkut tim kerja/manajerial, will to learn, dan budaya/prinsip kerja yang egaliter. Tentu, gagasan tentang side house design ini ditawarkan bagi para disainer yang memang mau mengawali diri sebagai sebuah tim kerja yang proaktif menawarkan jasanya kepada pihak penyewa, baik berupa lembaga, perusahaan, komunitas, hingga personal. Maka dari itu, besar kecilnya side house design selaras kebutuhan tim itu sendiri terkait dengan jenis pekerjaan yang mau dikerjakan. Dalam kalimat lain alokasi person dalam tim kala memulai suatu proyek pastinya akan dilakukan orientasi atau journey terlebih dahulu, sehingga side house design yang mau dibentuk lebih memahami, selaras, dan sinergi dengan apa yang diharapkan oleh pengguna jasa. Sekali lagi, perlu diingat bahwa tawaran side house design ini dialamatkan kepada para disainer, terutama yang baru melulus diri dari kampus. Meski demikian, sebuah korporasi pun terbuka dalam membentuk side house design, namun ia memerlukan aturan main yang berbeda, baik sejak perekrutan person-person, hingga aturan pasca kerja (proyek).

Mengenai sistem kerja side house design pun belum dibicarakan dalam ruang ini. Setidaknya ada jawaban sementara yaitu ia berbentuk kontrak. Namun, yang pasti, side house design mesti berada atau beruang kerja dalam lembaga/perusahaan/instansi bersangkutan. Sekali lagi, mengutip Widagdo: design or die! Dan ia mesti in here, bukan out there. Namun ia tidak mesti in house, tapi (sangat) bisa side house. Salam. (Koskow dan Tri Noviana, Oktober 2011)

[i]Tulisan ini sebagian besar ditulis lewat pengalaman pribadi selama membentuk tim kerja disain kala diberi kepercayaan mengelola media (Freemagz Laskar Pelangi, Katalog Jogja Java Carnival 2010, dlsb.). Di samping itu dalam proses pematangan gagasan side house design ia juga didiskusikan kepada beberapa pihak antara lain mahasiswa, alumnus, dosen, dan (pemilik) agensi disain. Sebagian tertantang dengan gagasan side house design (alumnus, dosen), sebagian belum berani memutuskan (alumnus), sebagian memikirkannya (agensi, mungkin karena dianggap sebagai pesaing). Tulisan ini juga dilengkapi pengetahuan tentang person dan budaya kerja yang dikerjakan oleh Tri Noviana (kawan SD penulis yang kini bekerja mengurus divisi person di sebuah perusahaan Jakarta-Semarang). Tri Noviana juga didapuk untuk membagikan wawasan kerja di Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Tri Noviana lulusan Profesi Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang (1999-2001). Tulisan ini juga didiskusikan dengan seorang kawan, Gamaliel, pemilik agensi disain Kotasis, yang mana keberadaan side house design, baginya, tidak menjadi sebuah ancaman.

[ii] Widagdo adalah dosen senior di Fakultas Seni Rupa (FSRD) ITB. Oleh beberapa muridnya, terutama mahasiswa Pasca Sarjana, beliau kerap disebut simbahne disain. Widagdo bisa disebut sebagai Bauhausnya Indonesia. Penulis sempat menjadi mahasiswa beliau kala menempuh Pasca Sarjana di FSRD ITB (2000).

[iii] Tulisan Yulinah Trihadiningrum “Perkembangan Paradigma Pengelolaan Sampah Kota dalam Rangka Pencapaian Millenium Development Goals” (dalam buku MDGs Sebentar Lagi, Penerbit KOMPAS, Jakarta, 2010) memaparkan sampah sejak pengelolaan hingga peran-peran yang dapat dikerjakan. Secara ringkas tulisan tersebut memberi pengetahuan tentang pengelolaan sampah yang mana ia dapat dijadikan variabel pengetahuan desain mengingat sampah telah menjadi persoalan bersama yang di satu sisi ia diakibatkan oleh disain (kemasan, misalnya).

[iv] Tentang lingkungan hidup dan persoalan budaya dapat membaca buku A. Sonny Keraf yang berjudul “Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010. Dalam buku tersebut dipaparkan persoalan lingkungan hidup sejak asal-usul/penyebab, apa yang dapat dikerjakan dalam mengatasi, perundangan-undangan, hingga pemberdayaan bagi masyarakat sipil terkait pengentasan krisis dan bencana lingkungan hidup global.

[v] Jorge Frascara, dalam bukunya yang berjudul “Communication Design – Principles, Methods, and Practice”, Allworth Press, 2004, pada Chapter 5: The Practice: Proffesional Areas, pp. 129-168.

[vi] Tabel perbandingan didasarkan atas pengamatan dan pengalaman sebagai user jasa agensi dan/ freelance. Tabel dikerjakan oleh Tri Noviana dan dielaborasi oleh Koskow, juga berdasarkan pengamatan dan pengalaman melaku diri sebagai disainer freelance maupun tim kerja disain sebuah proyek disain.

[vii] Rules of the games/user needs dapat diterjemahkan sebagai aturan main atau kesepakatan/ketentuan yang mengacu pada kebutuhan pengguna jasa (user); Service level agreement dapat diterjemahkan sebagai kesepakatan penyelesaian proyek yang mana proyek dapat dibreakdown per sub-proyek hingga teraplikasi; Confidentiality agreement/royalty dapat diterjemahkan sebagai perjanjian kerahasiaan apabila terdapat data/sumber yang merupakan rahasia lembaga penyewa jasa dan hak paten disain/produk.

[viii] Gagasan side house design ini dikerjakan dalam batas-batas pengetahuan dan pengalaman penulis, misalkan ia belum disertai survei lapangan/users. Batas-batas pun dapat ditemui pada tabel-tabel dalam tulisan ini. Maka dari itu, tulisan side house design ini masih menyimpan kekurangan di sana sini.

Artikel terkait:
In House Design / Side House Design[i]
Setelah Melulus (dari) Kampus

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENT

  1. Beuuh,..mantap!!! Ini artikel atau makalah ya? Ilmiah sekali penuh pelbagai kata-kata yang variatif, definitif, edukatif dan istilah-istilah yang campursaritif,..saya sampai pusing dan bingung, apa yang mau disampaikan?

    Ide sederhananya apa sih Mas / Mbak..? Kalau gagasannya sudah rumit begini, mending diendapkan saja :-P

    Yudika Nababan
    http://99designs.com/people/rgorg

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly