Oleh: Teguh Achmadi
Beberapa hari terakhir ini saya membaca artikel di koran-koran nasional berwacana reformasi lanjutan, saya agak kaget juga, tapi beberapa saat kemudian jadi terpikir mungkin ada benarnya juga. Sudah lebih dari 10 tahun negara kita mengalami reformasi dengan turunnya rezim Orde Baru, berharap adanya perubahan tatanan negara dan sosial kemasyarakatan akan membawa Indonesia menjadi negara yang lebih makmur, wibawa mukti, gemah ripah-loh ji nawi, aman sentosa, seperti slogan yang banyak tercantum dalam lambang-lambang pemerintah propinsi. Ternyata, yang dirasakan malah tidak ada ubahnya seperti masa sebelum keruntuhan Orde Baru. Beberapa orang terlebih lagi meyakini kalau di era orde baru kehidupan lebih mudah bagi mereka. Pendapat tersebut pasti sering terdengar di lingkungan kita sehari-hari entah sambil nonton berita kriminal, politik atau malah gosip artis, entah kenapa kok bisa saja disambungkan ke topik keterpurukan bangsa ini.
Bukan hanya saya yang merasa bahwa kita memang dalam titik nadir, sudah pasti orang-orang yang lebih berkompeten pun lebih awal menyadari keadaan ini. Sebut saja Gerakan Lintas Agama yang diusung oleh Sjafie Maarif (Buya Sjafie) dengan beberapa tokoh lintas agama lainnya, beberapa pidato politik dan kebudayaan oleh Surya Paloh (Nasdem), pernyataan praktisi hukum seperti Adnan Buyung, Fadjrul Rahman dll di televisi, juga memberikan simpatinya tentang ketidak beresan dalam kehidupan politik, budaya, dan ekonomi di Indonesia. Terakhir karena kebetulan terlibat dalam perencanaan Gala Dinner untuk film mengenai tokoh nasional “Mgr. Soegijapranata” yang disutradarai oleh Garin Nugroho dengan latar belakang pesan sosio-culture Indonesia yang berazaskan Bhineka Tunggal Ika atau multikultur, telah membawa saya dalam beberapa kesempatan untuk terlibat obrolan ringan mengenai keadaan sekarang ini. Bahkan seperti yang membawa saya untuk menulis artikel ini, adalah dimuatnya pemikiran-pemikiran beberapa organisasi kemahasiswaan di Indonesia baik itu tingkat fakultas, universitas, atau bahkan nasional mulai menyuarakan pendapatnya tentang keadaan negara tercinta ini. Beberapa malah lebih keras menyatakan bahwa yang disampaikan oleh mereka adalah himbauan terakhir bagi pemerintah, DPR dan MPR untuk segera membenahi segala persoalan bangsa.
Tidak ingin terlalu panjang membahas politik, hukum dan bidang yang semirip dengan itu, saya lebih tertarik untuk membahas yang lebih dekat dengan bidang yang saya geluti; Komunikasi Visual, tapi masih ada korelasi dengan fenomena sosio-politik di Indonesia. Ya… sebenarnya saya sudah lama agak terganggu dengan aktivitas menjelang pemilu atau pilkada yang selalu membawa ratusan orang berkonvoi melewati jalur Ibu Kota yang sudah semakin padat ini, ditambah ribuan spanduk, flyer, pamflet, baligo, umbul-umbul, selain merusak estetika kota juga mengganggu kenyamanan ruang publik. Banyak yang sudah membahas bagaimana para calon eksekutif dan legislatif ini berkampanye lewat media luar ruang seperti itu. Sedikit menanggapi pendapat Pak Arbi Sanit dalam salah satu acara stasiun tivi swasta bersama para anggota klub pengacara Jakarta. Beliau mengemukakan pendapatnya mengenai penyederhanaan parpol dan sistem pemilu yang harus dibenahi, menurut beliau hal tersebut adalah salah satu inti untuk membenahi tata negara di Indonesia. Salah satunya mungkin dengan mengelola dan memberikan aturan yang lebih konkrit dalam berkampanye bagi caleg/parpol agar lebih bermanfaat bagi masyarakat tanpa harus mengurangi kenyamanan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Masih mending mengganggu estetika ruang publik, beberapa malah ada yang membahayakan publik. Salah satu contoh penempatan umbul-umbul di median jalan yang sekedarnya malah bisa mencelakan pengendara bermotor. Sempat di salah satu badan jalan protokol yang saya lewati, saat salah satu partai besar menggelar kongres nya. Beberapa buah media umbul-umbul yang mereka pasang roboh dengan tiang bambu yang mengarah ke jalan. Kalau tidak cekatan pengendara motor atau mobil pasti akan terkena tiang itu, tapi mudah-mudahan tidak ada yang celaka karena nya. Yaah… lagi lagi saya hanya bisa berharap seperti kita semua berharap untuk bisa hidup menjadi bangsa dan negara yang maju, aman, tentram dan sejahtera.
Seperti yang diurai di atas kesemrawutan media kampanye luar ruang yang dilakukan oleh caleg, atau parpol tersebut semakin memperparah keadaan ruang publik yang selain tidak nyaman juga sangat merusak estetika ruang. Warga kita tentu akan lebih menghargai mereka (caleg dan parpol) yang mampu melakukan kampanye dengan lebih smart. Tentunya pandai dalam mengkomunikasikan pesan tidak lagi harus dengan mengumpulkan orang dari Sabang sampai Merauke di Senayan, tapi bagaimana menyampaikan pesan dengan lebih efektif dan efisien. Kenapa mereka tidak memanfaatkan media on line, social media atau direct mail? Selain hal itu lebih spesifik pada target audience, para caleg dan parpol ini bisa lebih leluasa dalam mengkomunikasikan visi misi mereka. Sudah saatnya mengganti ribuan atau bahkan jutaan spanduk, baligo, billboard yang alih-alih mengkomunikasikan pesan kepada target malah menjadi ajang narsis para caleg. Sebuah pesan informasi yang baik akan mendorong act target audience. Tentunya sebuah sikap yang memberikan citra positif bagi si pemberi pesan. Jutaan media kampanye yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia selama ini saya yakini kurang memberikan sikap positif atau manfaat yang signifikan. Pemasangan media luar ruang seperti itu akan banyak menghabiskan dana (tidak efisien). Apabila satu titik strategis billboard di kota besar menghabiskan dana sekitar 200 – 500 juta per tahun atau anggap saja mereka (caleg/parpol) menyewa paket setengah tahun dengan kisaran harga setengahnya (125 – 250 juta/titik/6 bln). Kalau disimulasikan per caleg memasang 5 titik billboard dalam satu daerah pemilihan, dalam satu partai ada 100 caleg. Kalau dijumlahkan bisa mencapai angka 7 triliun lebih!! (itu baru 1(satu) partai, silahkan kalikan saja dengan jumlah partai yang ada di Indonesia). Angka fantastis yang akan lebih bermanfaat kalau digunakan untuk membangun sekolah di pedalaman, memperbaiki akses transportasi publik, mempernyaman taman kota, atau memperluas akses jaminan kesehatan untuk masyarakat yang kurang mampu, memaksimalkan daerah wisata dan membangun pulau-pulau terpencil sebagai aset negara di masa depan. Sistem kampanye yang tidak sehat ini juga mungkin yang bisa menjadi faktor penuh nya rumah sakit jiwa setelah perhitungan suara pemilu/pilkada. Ini pula yang membuka kesempatan terjadinya money politic, dirty campaign dan berlangsungnya pemerintahan yang korup, karena belum para anggota legistalif/eksekutif terpilih menjalankan tugas dan kewajibannya, mereka harus lebih dulu mengembalikan sejumlah modal yang dipinjam untuk berkampanye, yang sebenarnya kampanye model tersebut secara efektifitas pesan sama sekali tidak mengakar pada kebutuhan masyarakat, selain hanya memperbesar pas foto mereka sendiri. Sama sekali tidak terdengar program menyeluruh apa yang akan mereka lakukan dalam beraktivitas sebagai wakil rakyat nantinya (tidak efektif).
Akan lebih baik dan bermanfaat kalau pemerintah melalui jajarannya melakukan reformasi kebijakan dalam berkampanye. Bisa melalui sistem diskusi dan presentasi program yang sempat dijalankan beberapa waktu lalu, juga dengan membatasi dana kampanye untuk setiap caleg/parpol. Saya kira dengan semakin meningkatnya wawasan masyarakat, dan menjamurnya era digitalisasi serta kesadaran berpolitik banyak cara untuk mengkomunikasikan pesan politik mereka kepada masyarakat. Selain sebagai pembelajaran politik pada publik, juga sebagai kontrol masyarakat dalam mengawasai kinerja wakil-wakilnya. Sedikit berangan-angan saja, bagaimana kalau jutaan media luar ruang untuk kampanye itu diganti dengan pembuatan tempat sampah di area ruang publik, selain mengajak masyarakat untuk sadar lingkungan juga akan memberikan citra yang lebih positif. Menanam jutaan pohon di lahan-lahan kritis, menambah titik hijau di area terbuka kota. Atau kalau masih ingin hard branding bisa saja trotoar dan median jalan diperbaiki, warnai saja dengan warna yang merepresentasikan parpol (lumayan jadi agak kurang monoton selama di jalan… :P) tanpa harus menambah polusi visual. Mungkin juga para caleg di dapil (daerah pemilihan) diundang untuk berdiskusi dengan masyarakat sekitar, dengan melakukan roadshow ke kecamatan-kecamatan. Itu kampanye yang lebih bermoral dan bertanggung jawab dalam mengkomunikasikan program kerja caleg/parpol ini.
Kalau tren strategi komunikasi sekarang lebih banyak melakukan “jemput bola”, mengarah pada metode Through The Line dengan lebih memahami charactersitic, behaviouristic serta point of contact idea. Mengapa tidak dengan kampanye politik? Menurut riset TNS (majalah MIX Juni 2011) Indonesia mempunyai pertumbuhan pengguna internet lebih dari 1.000 persen dalam 10 tahun terakhir, dan 64 persen nya adalah remaja usia 15-19 tahun yang disinyalir sebagai driver perubahan pasar di Indonesia untuk 5-10 tahun ke depan, bisa dijadikan modal untuk menyampaikan komunikasi politik melalui media on line (dengan 77% meng-akses via mobile phone). Selain kita bisa melihat bagaimana pesta demokrasi berubah wujud menjadi suatu tontonan yang memang mencerdaskan kehidupan bangsa dalam hal wawasan politik, juga kita akan mendapat kesempatan melihat berbagai tontonan visual yang matang dengan placement media yang terukur (tidak sporadis dan sembarangan). Di sisi lain tidak akan ada lagi kemacetan lebih parah, bentrok massa saat kampanye, dan tidak ada lagi polusi visual musiman dan yang utama dapat disampaikannya pesan politik yang lebih comprehensive. Semuanya berorientasi pada smart, effective and eficient campaign. Reformasi Komunikasi Kampanye, semoga menjadi dasar pemerintahan yang bersih, aman dan akuntable dengan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Catatan kaki:
- Mahasiswa Dorong Reformasi Dilanjutkan. Jumat, 8 Juli 2011. KOMPAS
- Kelompok Cipayung: Stop Politisasi Rakyat!. Kamis, 07 Juli 2011. www.rakyatmerdekaonline.com
- Mahasiswa Peringatkan SBY untuk Terakhir Kali. Jumat, 8 Jul 2011 08:30 WIB. www.rimanews.com
- Tiga Kunci untuk Engage Generasi Z. 06/VIII/Juni 2011. Majalah MIX Marketing Communication
- Opini Publik, Sebagai Strategi Komunikasi Politik. 14 October 2010 | 10:35. www. politik.kompasiana.com
•••