Oleh: Ayip
Membahas Radio Magno hari ini memang tidak up to date alias telat. Tapi membicarakan bagaimana Radio Magno dibuat adalah sebuah diskusi menarik bagaimana sebuah desain tercipta dan membuat impact. Resep yang menarik untuk diteladani ketika Radio Magno mampu hadir sebagai beyond design.
Desember 2010 lalu setelah talkshow tentang green design di Bali Creative Festival dimana Singgih S. Kartono menjadi salah satu nara sumbernya, saya sampaikan padanya bahwa Radio Magno yang dipusatkan di desa Kandangan, Temanggung ini telah mengkontribusi pada prinsip destination management yang turunannya adalah destination branding atau place branding. Salah satu aspek yang membangun destination branding adalah people dan product. Dan Singgih S. Kartono dengan Radio Magnonya telah mengambil peran ini. Menjadikan Temanggung menjadi kota yang dikenal dan memberikan sebuah experience yang menarik, serta menggulirkan ekonomi yang berkesinambungan, economicology. Peran ini seharusnya adalah tugas pemerintah, tapi melakukannya untuk kebaikan bukan kesalahan seorang desainer.
Setelah mengikuti safari Do Good Indonesia mengajak David Berman ke Temanggung melihat dan bertemu Singgih sang master mind Radio Magno, semakin jelas bagaimana posisi Radio Magno yang beyond design. Dan tulisan dibawah ini dimuat di www.adgi.or.id untuk membagi kisahnya. Salam.
David Berman Kagumi “Economicology” Singgih Kartono
Dalam program Do Good Indonesia ke Yogyakarta, kami menyempatkan membuat agenda mengunjungi Singgih Susilo Kartono, sang pencipta Radio Magno yang membanggakan itu. Perjalanan Jogja-Temanggung yang padat dapat dilalui dan tiba tepat saat makan siang. Kami menuju desa Kandangan tempat dimana Radio Magno “dikembang-biakan”. Di desa Kandangan di kaki gunung Sumbing yang sejuk ini Singgih Susilo Kartono membangun infrastruktur bersahaja, sebuah rumah tinggal yang sederhana dan tempat pembuatan Radio Magno yang tak bisa kita sebut factory. Dari Desa ini Radio Magno disiapkan untuk memenuhi pesanan dari pelosok dunia.
Adalah Singgih Kartono yang desainer produk lulusan ITB ini memutuskan untuk “jump back” ke desa tempat ia dibesarkan. Melalui serangkaian amatan yang melatarinya, bagaimana desa yang karakternya produktif telah bergeser menjadi konsumtif dan magnet kota yang membuat desa kehilangan jiwanya. Dengan bekal pengalaman dan pengetahuan, plus apresiasi yang tengah diperoleh Radio Magno, Singgih mengembangkan gagasan technology intensive dan labor intensive yang disinergikan di laboratorium Magno.
David Berman yang begawan itu lebih banyak menyerap keterangan dan presentasi Singgih yang runut dan rinci perihal gagasannya mengenai Economicology, bagaimana pentingnya ekologi dalam menumbuhkan ekonomi yang berkesinambungan. Sebagaimana layaknya sebuah field trip, Singgih memulainya dari kebun pembibitan kayu yang secara berkala ditanam di desanya di kaki gunung Sumbing, atau diberikan secara cuma-cuma kepada warga desa yang berminat menanami lahannya. Pohon ini, kelak akan menjadi penyangga tanah dan air sekaligus dapat digunakan dengan pola yang benar.
Singgih menggaris bawahi bagaimana produk-produk yang diciptakannya berukuran minimal disebabkan pemaksimalan desain dan fungsi yang lebih penting ketimbang produk besar dengan penggunaan materi kayu yang banyak. Dengan pola ini akan menghemat resources kayu dimana diprakirakan untuk memperolehnya kelak akan sulit karena pertumbuhan pohon sangat lambat. “Cut less plant more” adalah prinsip yang digunakan Singgih. Singgih juga menyebut karyanya sebagai future product yang progressive, bukan hanya dalam desain dan pemasaran, tetapi juga mengenai keberlangsungannya yang tidak mengeksploitasi sumber alam dan lingkungan. Karena itu sebuah produk harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan atas keberadaannya.
David Berman semakin “jatuh cinta” ketika melihat proses kerja yang sedemikian mendetail dan rapih. Mesin dan alat-alat canggih memang dipergunakan untuk menunjang kualitas dan keakuratan desain hingga kesalahan dapat diminimalkan, namun sumber daya insani yang mengoperasikan dan menggunakan harus “canggih” juga. Menyoal ini Singgih membeberkan bagaimana karyawan yang diterimanya adalah mereka yang tidak memiliki keahlian soal kayu atau desain, namun siap menerima pembelajaran yang dimulai dari sikap dan disiplin. Budaya yang ditumbuhkan sebagai etos kerja di markas Radio Magno memang sangat luar biasa. Soal leadership, kerja tim, dan hal penunjang kerja lainnya selalu diasah dalam pertemuan rutin yang demokratis.
Ketika memasuki bagian akhir dari kunjungan ini, kami duduk dalam sebuah meja dimana Singgih menjelaskan seluruh rangkaian ini sebagai sebuah proses dan prinsip Radio Magno. Di akhir pemaparan David Berman menyalami Singgih dan menyampaikan apresiasinya yang tinggi atas upaya “do good” yang telah dilakukannya. Bahkan, Berman menegaskan Ia siap membantu Singgih untuk membuat “sekolah” bagi warga desa untuk mereka menemukan nilai-nilai yang tepat dalam menggerakkan ekonomi di desanya. Segera sore itu menjadi sore yang haru, penuh dengan nilai-nilai dan kebersahajaan.
Sore yang telah hilang berganti malam itu kami kembali ke Yogyakarta dengan dipenuhi berbagai imaji tentang karya anak bangsa yang mendunia. Seorang Singgih Kartono yang desainer itu telah membuat desanya, Kandangan dan kotanya, Temanggung menjadi titik penting di peta dunia. Magno dipesan dari penjuru dunia langsung ke desa itu melalui teknologi yang akrab kita sebut email. Radio Magno Kandangan itu kini ada di butik-butik desain dunia, di Design Museum London, juga di MOMA Shop New York. Penghargaan yang diterimanya: Good Design – Japan 2008, Asia Design Award Hong Kong-DFA Grand Award, dan banyak lagi lainnya dan tak membuat Singgih berhenti bermimpi soal membangun miniatur sebuah negara bernama desa. Imaji kita juga melayang betapa besar dampak yang diakibatkan design thinking dan semangat do good. David Berman, Singgih Kartono dan tentu saja kami semua masih saling belajar soal ini, dan tak pernah berhenti. (Ayip)
Foto: Ayip + Singgih S. Kartono
Sumber: Ayip
•••