Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Pendidikan Desain Komunikasi Visual-Masalah dan Kiat-Kiatnya

Priyanto Sunarto

Masa Merayakan Mata

Perubahan cepat, meluas dan merasuk dalam bidang komunikasi menjadi salah satu ciri menonjol masa ini. Radio dan surat kabar yang semula merupakan primadona makin tergeser oleh peningkatan keragaman media: televisi, jejaring internet, celullar, cakram padat. Banyak yang menduga budaya kertas akan segera berlalu, meski sampai hari ini tak terbukti. Yang makin nyata adalah bahwa, keluasan jangkauan komunikasi merasuk hingga ke celah terkecil kehidupan. Ragam materi dan karakter komunikasi pun melebar. Kemudahan menipiskan saringan pada isi pesan, semua hal dapat menjadi berita, seremeh apapun. Bila dahulu media massa lebih bersifat searah, kini interactivity menjadi penting. Penerima pesan menuntut untuk terlibat, makin langsung (realtime) makin baik. Penerima ingin ikut menjadi pengirim. Masyarakat tak ingin tertinggal, merasa perlu selalu berada di tengah banjir informasi.

Perluasan komunikasi membuka pintu bagi demokratisasi media, menghargai keberbedaan daripada keseragaman. Meski disadari tetap kuatnya dominasi penguasa media, dalam batas tertentu kelompok yang semula tersisihkan mendapat tempat bicara. Masuk dalam jejaring komunikasi dunia, tiap kelompok masyarakat mendapat kesempatan mengutarakan aspirasi, mengusung kepentingan, dan melakukannya dengan cara sendiri. Ini merupakan peluang bagi keabsahan lokalitas dalam berkomunikasi, yang sekaligus memperkaya ragam ungkap sesuai karakter komunitas pendukungnya.

Dalam kemarakan ini, olah visual menjadi fenomena baru yang makin digarap media. Terjadi pergeseran karakter komunikasi dari hanya mendengar menjadi melihat. Mata sangat dimanjakan dalam komunikasi dewasa ini, seeing is believing. Retorika yang bersandar pada kata makin didominasi pembujukan melalui gambar. Meski dibanding kata, gambar dianggap tak cukup terstruktur bangun maknanya, gambar diakui mengatasi kendala perbedaan bahasa verbal dan secara tersirat menampilkan hal yang sulit terkatakan. Karena itulah makin banyak penelitian dilakukan terhadap bahasa rupa. Dan akhir-akhir ini secara luas budaya visual merupakan pokok bahasan interdisiplin yang menonjol.

Dalam suasana inilah pendidikan komunikasi visual menjadi bidang yang berkembang pesat di seluruh dunia, memasok ahli olah visual dalam pasar kerja industri komunikasi. Desentralisasi pusat produksi komunikasi memungkinkan tiap wilayah mengembangkan isi dan karakter komunikasi visual sesuai aspirasi masyarakatnya. Pendidikan komunikasi visual secara regional menjamur melayani peluang keahlian yang sesuai dengan iklim komunikasi setempat, di samping pada tingkat lebih luas, ikut memberi warna pada kekayaan kebudayaan dunia.

Dari Seni Grafis Hingga Multimedia

Pendidikan grafis di Seni Rupa ITB didirikan tahun 1967 oleh Mochtar Apin, A.D. Pirous dan Kaboel Soeadi. Studio tersebut menggabungkan pendidikan baik untuk seni grafis (printmaking: woodcut, lihography, etching) maupun desain grafis secara terbatas (kaligrafi, ilustrasi, fotografi, desain buku, poster, kalender, iklan). Karena pendidiknya adalah para seniman ternama, masa tersebut aspek estetika terlihat sangat kental diolah dibanding aspek komunikasi.

A.D. Pirous pada tahun 1969 berkesempatan belajar di Rochester Institute Of Technology, Amerika Serikat, untuk mempersiapkan pendirian sekolah desain grafis di Institut Teknologi Bandung (ITB). Niat ini didasari dari pengamatan bahwa, negara yang baru berkembang membutuhkan tenaga desain grafis untuk mengkomunikasikan berbagai program pemerintah. Maka pada tahun 1973 Studio Grafis dimekarkan menjadi dua studio. Studio Seni Grafis diserahkan tanggung jawabnya pada Kaboel Soeadi. Studio Desain Grafis dipimpin oleh A.D. Pirous dengan dibantu T. Sutanto, Priyanto S. (desain grafis, ilustrasi), Suyadi (ilustrasi, animasi), Leonardi, Djoni Djuhari (fotografi) dan Tjun Suryaman (Proses Cetak). Kemudian Primadi Tabrani bergabung mengembangkan studi audio-visual, yang diberikan mendasari pengetahuan tentang media bergerak seperti animasi dan televisi.

Pendidikan semula berorientasi pada desain grafis untuk percetakan yang saat itu berkembang pesat. Revolusi teknologi cetak offset memicu peningkatan kebutuhan tenaga ahli di bidang penerbitan buku, surat kabar dan majalah, Materi grafis untuk pameran juga diberikan untuk mengantisipasi kebutuhan promosi dan pameran dagang. Animasi yang merupakan kuliah lanjutan dari ilustrasi ternyata disukai siswa. Dengan makin meningkatnya minat pada animasi dan audio-visual dalam bidang profesi komunikasi, mulai terasa bahwa istilah desain grafis sudah tidak begitu tepat dengan materi pendidikan yang diberikan.

Studio desain grafis ITB pada tahun 1984 secara resmi berubah menjadi Studio Desain Komunikasi Visual. Meski semula istilah ini membingungkan masyarakat, dalam satu tahun orang terbiasa menyebut inisial DKV. Di bawah nama tersebut siswa diharapkan menjadi ahli yang secara kreatif mampu memecahkan masalah pesan komunikasi melalui media visual / seni rupa. Struktur kuliah yang bersifat broad-based ini memberikan bekal yang umum kepada siswa, karena makin lebarnya kemungkinan profesi yang terbuka di lapangan. Pendidikan demikian lebih menekankan pada pengetahuan konseptual daripada pematangan ketrampilan. Dalam proses pendidikan siswa dapat saja secara mandiri mendalami salah-satu bidang khusus yang kelak akan menjadi pilihan karirnya. T. Sutanto pada tahun 1985 melanjutkan pendidikan di Pratt Institute, New York, untuk menggali sisi teoretik dalam komunikasi visual. Indarsjah T. dan Alfonso R.K. tahun 1987 mengikuti program kerja praktek di beberapa studio grafis terbaik di Belanda, untuk menghayati sendiri kemantapan desain grafis negeri yang kekuatannya diakui dunia.

Sementara itu perkembangan kekaryaan dan keilmuan komunikasi visual makin meluas dengan kecenderungan pada bidang spesialisasi. Masyarakat pengguna alumni mulai mempertanyakan kematangan sistem pendidikan broad-based. Segi konseptual alumni memang diakui mutunya, hanya saja dibutuhkan masa cukup lama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja. Muncul perbincangan di kalangan pengajar DKV-ITB mengenai sistem pendidikan yang memungkinkan siswa memperdalam bidang tertentu yang dibutuhkan masyarakat. Pada tahun 1989, Priyanto S. mengunjungi beberapa sekolah di Inggris untuk mempelajari, bagaimana pendidikan spesialisasi desain grafis dilaksanakan. Ternyata tiap sekolah mempunyai kebijakan sendiri-sendiri. Pendirian studi khusus didasarkan pada: (1) kebutuhan masyarakat pada suatu bidang tertentu, (2) ketersediaan tenaga pendidik yang ahli dalam bidang tersebut, (3) minat mahasiswa dalam bidang tertentu. Di samping desain grafis untuk media cetak dan periklanan, bidang yang menonjol adalah desain informasi (information design), film animasi, pemrogram televisi, dan media grafis untuk pendidikan (educational media design).

Pada rapat kerja evaluasi kurikulum tahun 1993, para staf pengajar DKV-ITB menggagas pendidikan yang memungkinkan mahasiswa memilih dan menggali kemampuan di salah-satu bidang komunikasi visual. Kesulitan muncul karena lembaga pendidikan terikat pada berbagai ketentuan baku, tak bisa diubah secara sembarang. Dalam kekakuan ini tak mudah juga memastikan bidang khusus yang akan menjadi tuntutan masa depan dan bentuk kurikulum. Sebelum memutuskannya, untuk sementara waktu dilakukan uji-coba melalui pembagian kelompok minat di tahun terakhir melalui kurikulum tunggal yang ada. Dalam pertemuan saat itu pula disepakati bahwa komunikasi visual adalah bidang yang merupakan gabungan dari ilmu komunikasi dan ilmu seni rupa.

Dalam perjalanan waktu, para staf pengajar mulai memantapkan kekhususan pada berbagai bidang dalam komunikasi visual, baik teoretik maupun kekaryaan. Pada masa uji-coba ini, alumni banyak berjasa memberi saran mengenai materi yang diperlukan dunia profesi, bahkan kadang ikut menjadi pengajar tamu. Minat mahasiswa sangat fluktuatif terhadap beberapa bidang menonjol seperti publication design, kampanye sosial, periklanan, information design, illustrasi, fotografi, animasi dan audio-visual. Trend minat sejalan dengan perkembangan industri komunikasi di negeri ini.

Sementara itu masyarakat industri komunikasi makin menuntut pengadaan ahli dalam bidang tertentu. Perusahaan grafis, penerbitan dan industri percetakan yang meningkat sejak 1980an membutuhkan ahli desain grafis. Masyarakat periklanan mengharapkan dapat diperoleh alumni yang berbekal cukup untuk terjun dalam industrinya. Stasiun Televisi makin bertambah dengan jam tayang makin panjang, memberi peluang bagi pendidikan audio-visual. Sebagai sekolah yang berada dalam lingkungan teknologi, kematangan teknologi digital disertai perkembangan internet dan interactive media memberi indikasi bidang yang akan dikembangkan dalam komunikasi visual ITB.

Setelah sepuluh tahun masa mengkaji, tahun 2003 program studi DKV-ITB memulai langkah baru program jalur peminatan. Sistem ini membagi perkuliahan dalam tiga tahap: dua semester untuk pendidikan dasar senirupa / foundation year; tiga semester tahap pendidikan dasar komunikasi visual; dan tiga semester terakhir memantapkan diri dalam jalur minat utamanya. Pada tahap awal siswa mendapat pendidikan dasar yang sama bagi seluruh mahasiswa seni rupa. Setelah berada dalam lingkungan DKV, siswa dibekali kemampuan dasar dan wawasan umum yang harus dipunyai oleh ahli komunikasi visual. Pemantapan konseptual ditekankan pada tahap ini. Baru pada tahap berikut mahasiswa dipersilakan memilih jalur minat yang ingin ditempuhnya. Pada tahap ini mahasiswa hanya mendalami salah-satu bidang minat saja. Siswa tetap diberi kesempatan mengambil kuliah pilihan melengkapi keperluan mereka dengan beberapa kuliah terkait di luar jalur pilihannya. Dengan demikian siswa dapat merencanakan sendiri karirnya dan memusatkan perhatian pada kekhususan yang diinginkan. Sementara ini hanya tiga jalur peminatan yang dibuka untuk mewadahi: (1) Komunikasi Grafis, (2) Kreatif Visual Periklanan, (3) Multimedia.

Struktur Kurikulum 2003 Perndidikan Desain Komunikasi Visual-ITB

Komunikasi grafis (on surface media) menampung minat siswa mengembangkan diri dalam desain grafis, ilustrasi, fotografi, tipografi, information design dan branding. Kreatif Visual Periklanan merupakan bidang minat bagi yang ingin menerjunkan diri di periklanan dan kampanye. Pendidikan jalur minat periklanan, ditekankan kepada bidang kreatif (creative division). Bidang minat yang makin diminati adalah Multimedia (time-based media), yang menampung minat mahasiswa dalam animasi, pertelevisian dan desain interaktif. Teori RWD (Ruang Waktu Datar) Primadi Tabrani membantu mahasiswa, terutama di bidang multimedia. Dalam perkembangan terakhir, melalui kerjasama dengan Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika (STEI-ITB), jalur peminatan multimedia membuka peluang studi dalam game-technology. Sambil berjalan, program studi DKV-ITB masih terus membenahi beberapa bagian dari sistem pendidikan di atas. Penyesuaian selalu dilakukan untuk meningkatkan mutu tiap bidang minat.

Dunia industri komunikasi terus bergerak, pendidikan harus siap mengantisipasi perkembangan tersebut. Dalam waktu tak terlalu lama struktur pendidikan di atas harus dievaluasi ulang. Dengan basis konseptual yang kuat tiga jalur diharapkan dapat menampung perkembangan yang terjadi. Saat ini masih dievaluasi komposisi yang terbaik antara pendidikan dasar komunikasi visual dengan pendidikan jalur peminatan. Sementara itu juga pemantauan perkembangan bidang baru dalam industri selalu dilakukan. Bila tuntutan situasi mengharuskan dan kesiapan sarana memungkinkan, bisa saja dirancang program peminatan yang baru. Pendidikan masa kini lebih menekankan pada competency-based dan problem-based, menjawab perkembangan kebutuhan industri dan aspirasi masyarakat.

Mengolah Siasat, Menghembus Rasa

Secara sederhana komunikasi visual mengemban tugas, mengantar pesan dari pengirim kepada penerima melalui impuls visual. Ahli komunikasi sangat berperan dalam menentukan apa dan bagaimana komunikasi massa dibangun bagi masyarakat yang disasar. Pesan komunikasi selalu dilatari strategi, mempunyai tujuan tertentu kepada khalayak tertentu. Ahli komunikasi yang handal mampu merancang siasat yang jitu. Dalam mewujudkannya ke dalam bentuk visual, terdapat sejumlah masalah. Disinilah ahli komunikasi visual bekerja memecahkan, bagaimana menampilkan gagasan visual yang dapat “menyambungrasakan” pesan dengan penerima. Masalah “olah rasa” disini mengindikasikan keberadaan domain estetik dalam komunikasi visual.

Desain komunikasi visual memanfaatkan aspek estetik sebagai jembatan penghubung agar pesan mau diterima oleh khalayak. Periklanan kadang memakai istilah tone and manner untuk aspek ini. Tiap khalayak memiliki karakter dan nilai estetik yang berbeda dalam menanggapi wujud yang dilihatnya. Bahasa dan budaya rupa menjadi studi yang penting dalam menggali pengertian tentang aspek kognitif dan afektif terhadap objek visual.

Thomas Ockerse dalam ceramahnya tahun 2000 di ITB mengidentifikasi tiga jenis bahasa dalam komunikasi visual: bahasa practical yang bersifat kognitif bermakna tunggal, bahasa dialectic yang bersifat persuasif mengundang argumen, dan bahasa poetical yang merangsang imajinasi kepada kesadaran yang lebih tinggi. Ketiga jenis bahasa itu tak berdiri sendiri dalam satu impuls visual, melainkan saling mengisi. Dari ketiganya, aspek poetic menarik karena menampilkan sesuatu secara tersirat dengan maksud menawarkan sensasi puitik yang lebih dalam.

Bagian yang sulit diterangkan ini dalam proses komunikasi secara tersembunyi membentuk persepsi pelihat. Gambar mempunyai kekuatan emotif yang besar dalam menggerakkan rasa. A.D. Pirous menyampaikan dengan cara berbeda, yaitu kesatuan antara Head (pemikiran), Hand (ketrampilan) dan Heart (rasa) yang selalu muncul dalam karya komunikasi visual. Bahwa proses pemikiran merupakan dasar konseptual dalam desain, tak dapat dipungkiri. Ketrampilan dalam arti luas tak hanya bersifat fisik, tetapi kemampuan menggabung berbagai potensi ke dalam karya. Di atas segalanya, bagaimana olah rasa dihembuskan dalam karya, menentukan keberhasilan komunikasi visual.

Dalam pendidikan komunikasi visual kekuatan konseptual (head) menjadi landasan kukuh bagi siswa dalam mengidentifikasi masalah dan menggagas pemecahan yang sesuai. Hal ini dapat dilakukan dengan membekali kesadaran siswa tentang peranannya dalam pemecahan masalah komunikasi visual melalui latihan dan diskusi intensif dengan pembimbing. Perkembangan sistem kerja, metodologi, dan strategi dalam dunia komunikasi mengharuskan lembaga pendidikan memantau terus apa yang terjadi di industri komunikasi, agar siswa tak gagap saat terjun ke lapangan.

Berterimakasihlah pada kemajuan teknologi, proses produksi menjadi lebih ringkas dan mudah. Ketrampilan (hand) yang dulu harus dipelajari susah-payah sekarang tinggal dipetik tanpa keringat dari komputer. Pada masa lalu hanya lembaga pendidikan yang sangat kaya mampu mendanai laboratorium yang nyaris mirip situasi dalam industri. Itupun tak menjamin kelanggengan peralatan yang cepat ketinggalan jaman. Kini peralatan produksi diciptakan lebih praktis. Siswa bahkan dapat memiliki perangkat yang secara operasional tak jauh berbeda dengan yang digunakan di industri. Dalam situasi sebenarnya tentu perangkatnya lebih canggih, tapi pada dasarnya sistem kerjanya sama. Pekerjaan tata-letak, sunting gambar ataupun olah suara dalam batas tertentu dapat dilakukan siswa di laptop.

Mendesain, memotret, menggambar dan menyusun huruf jadi pekerjaan gampang yang bisa dilakukan siapa saja. Semangat ini tentu sejalan dengan demokratisasi desain, siapapun boleh menjadi desainer. Kemudahan ini merupakan tantangan bagi siswa, bagaimana menampilkan diri sebagai yang terbaik di antara jutaan desainer dadakan. Mengadu kecanggihan di ranah teknologi tak menjamin, karena teknologi makin murah bagi siapa saja, dan mengikuti kebaruannya hanya membuat kita menjadi budak. Dalam persaingan ini yang ditingkatkan bukan hanya kebaruan, tetapi juga kepekaan, sensibilitas mengolah aspek emotif / rasa tampilan desain. Kemampuan ini tampak dalam kepekaan memilih dan menyusun gambar / huruf dan elemen visual lain. Banyak siswa dan desainer mulai melirik kembali cara kerja manual, dengan tangan, untuk menampilkan keunikan yang tak dapat diciptakan komputer. Tampilan gambar maupun huruf yang tampak tak terlalu sempurna justru memberikan “rasa manusia”.

Dalam pendidikan komunikasi visual, latihan sensibilitas dan kreatifitas menjadi kunci. Hal ini menyebabkan praktik pendidikannya menjadi lebih rumit. Sensibilitas ditingkatkan melalui latihan melihat, membuka kepekaan seluruh indera, mengerjakan, menghayati, merasakan. Latihan kreatifitas menuntut siswa menggali jawaban sendiri. Jawaban yang sama adalah salah. Siswa diminta menemukan gagasan yang unik dan segar, tanpa melupakan tugasnya dalam proses transfer pesan yang dikehendaki. Jawaban yang sangat logis belum tentu menarik untuk dilihat, membosankan. Di sisi lain, jawaban unik yang menarik perhatian, mungkin tak sesuai tujuan pesan, menyesatkan. Pembimbing dalam latihan ini berperan sebagai “sparring partner” yang memotivasi siswa untuk terus mencari.

Berkecimpung di antara sisi kreatif dan sisi komunikatif membutuhkan usaha ekstensif, terus menerus melatih sensibilitas dan kreativitas olah visual. Keahlian yang diandalkan adalah menggali ungkap kreatif yang sesuai isi pesan, dan menyambungrasa tampilan dengan khalayak yang dituju. Horisonnya terbentang antara keapikan desain Swiss School hingga ke dekonstruksi David Carson, di antara kelembutan Prancis hingga absurditas Polandia, di antara keanggunan parfum Nina Ricci hingga minyak Putri Duyung… Dimana letak “rasa” khalayak kita yang berjumlah duaratus limapuluh juta jiwa ini? Itulah tugas ahli komunikasi visual Indonesia menggali terus sepanjang negeri ini masih ada.

Beberapa Pustaka Acuan:

Bierut, Michael, (ed), 1997, Looking Closer 2, Allworth Press, New York
Mierzoeff, Nicholas (ed), 1998,
The Visual Culture, Routledge, London.
Naisbitt, John & Patricia Aburdene, 1982, Megatrends, Megatrends Ltd.
Pirous, A.D., 2003,
Melukis itu Menulis, Penerbit ITB, Bandung
Robinson, Jeffrey, 1998, The Manipulators, Simon & Schuster UK Ltd., London
Toffler, Alvin, 1975,
The Third Wave, Bantam Books Inc., New York
Toorn, Jan van (ed), 1997, Design Beyond Design, Jan van Eyck Academy Edition

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. Saya pribadi melihat masalahnya yang lain adalah ketidaksadaran akan budaya visual di sekitaran kita sendiri. Dan ditambah lagi budaya instanitas dan dana yang tidak mengalir lancar bagi penelitian baik utk mahasiswa maupun dosen. Riset untuk desain seringkali jungkir-balik dan disamaratakan dengan riset pemasaran. Tidak ada salahnya cuma akhirnya desain cuma jadi suatu alat untuk jualan. Salam Mas Pri, lama gak bersua.

  2. DKV dewasa ini sudah berkembang pesat..cuma sayang metaforsenya menjadikan banyak orang yang melupakan dan cenderung meremehkan dasarnya yaitu seni itu sendiri. Selain maunya instant, banyak yang mengangap dasar seni tidak diperlukan asal orang itu bisa mengoperasikan komputer atau alat lainnya. Itu sih namanya operator.
    Sayang..padahal itu adalah sarana, dan sarana tidak akan mencipatakan nyawa dengan sendirinya pada suatu desain apabila kita tidak punya basis yang kuat..

  3. “Berkecimpung di antara sisi kreatif dan sisi komunikatif membutuhkan usaha ekstensif, terus menerus melatih sensibilitas dan kreativitas olah visual. Keahlian yang diandalkan adalah menggali ungkap kreatif yang sesuai isi pesan, dan menyambungrasa tampilan dengan khalayak yang dituju.”

    > pernyataan yg sangat menarik, ketika institusi gagal menciptakan output seperti yg tersebut diatas,
    dan designer non akademis yg ternyata lebih sensitif seperti pernyataan diatas, apa yg akan institusi lalukan ?

    institusi haruslah bersikap tegas, mencari jati diri mereka secara TEGAS, karena impactnya adalah nilai dari lulusan itu sendiri, apakah satu hal yg wajar ketika analisis/karya seorang akademis yg terdidik, sama dengan pelukis jalanan (tanpa mengurangi rasa hormat kepada pelukis jalanan).

    rhode island school of design, berhasil mencetak designer sekelas karim rashid dan kawan-kawannya.

    sementara kita berkutat, berputar-putar, apakah kita akan lebih berkeinginan menelurkan operator-operator grafis industrial yang banyak diperlukan pasar.

    to lead the market or to supply the market ?
    institusi harus mampu menjawab pertanyaan diatas,
    baru bergerak membenahi kurikulum mereka,

    kalau tidak, oh well, jangan salahkan dunia, ketika sma umur 16tahun yang jago photoshop dan illustrator, gajinya/penghasilannya lebih besar dari pada gaji, art director dari fakultas FSRD lulusan tahun 95.

    quo vadis ?

  4. Setuju dg pendapat Sdr Sukartoen….saya lihat kadang kala atau bahkan mahasiswa DKV tidak mengerti bahwa Bidang Ilmu mereka hanya merupakan bagian kecil dari Seni-Rupa, mungkin yang salah yg membuat kurikulum ya….(yg di Univ-nya hanya ada DKV saja) tidak memberikan pengertian atau pengantar secara menyeluruh…akibatnya mahasiswa DKV tidak mengenal Seniman2 pendahulu dibidang lainnya (pematung,pelukis dsb)…………..

  5. melenceng dari bahasan..saya heran pendidikan disain grafis jaman sekarang belum tentu dia yang bisa menggambar..atau sejenisnya..bahkan dulu test menggambar tuk masuk perguruan tinggi pun diwajibkan kenapa sekarang tidak..

  6. Sangat disayangkan..beberapa institusi DKV yang menelorkan lulusan2 yang hanya bangga dengan gelarnya saja tanpa memperhatikan ilmu saat keluar.
    Menurut saya ini adalah masalah mental. Mereka sangat mengagung2kan nilai yang didapat dari tempatnya dulu menuntut ilmu tanpa membekalinya dengan skill yang dituntut di industri desain.
    Beberapa yang kaget dengan kenyataan bahwa mereka masih berada dibawah standart berkilah bahwa mereka dididik untuk menjadi konseptor yang hanya membuat konsep. Waduh…perlu ada pelajaran berkaca nih kalau semua lulusan pengennya jadi art director terus yang dibawahinya siapa??

  7. anak2 lulusan seni rupa yg mengutamakan skill tentu saja boleh menjadi bawahan anak2 DKV yg dididik utk membuat konsep desain. Hal itu lumrah terjadi di berbagai industri viscomm di dunia, baik itu di swiss, belanda, perancis maupun Jepang. Bahkan di Belanda, desainer grafis dianggap sbg komunikator-nya para seni rupawan, artinya mereka menguasai bidang komunkasi visual yg bukan menjadi tanggung jawab si seni rupawan. Dikotomi seni-desain, High dan Low, rasanya sudah cukup out of date, deh.

  8. yah.. kadang klien cuman butuh hasil akhir saja, tanpa melihat latar belakang pemikiran. jadi para desainer terjebak untuk bersikap instant dalam menghasilkan karya2 desain nya…

  9. saya pikir, karena itulah perlu pendidikan desain bagi klien, itu pun bukan untuk mengajari mereka tetapi untuk kemajuan desain di Indonesia juga. Menyalahkan lulusan S1 karena kurang skill gambar atau komputer rasanya lucu, sebab untuk sdm itu telah tersedia lulusan dari berbagai kursus desain grafis dan juga lulusan D1 dan D2. Hanya saja memang biasanya perusahaan desain/iklan maunya all-in-one kalo desainer menguasai semua program mulai dari ilustrator fotosop sampai bikin web dan video, tentu lebih murah menggaji satu orang daripada banyak orang dgn keahlian beda2.

  10. Salam damai mas Karna..
    Maaf…perlu ditekankan bahwa kita tidak menyalahkan atau menjelek2kan lulusan yang kurang skill atau apalah..Saya hanya menyikapi untuk membangun. Saya cuma menceritakan kenyataan bahwa pendapat bahwa lulusan DKV tidak begitu perlu skill gambar atau komputer itu boleh saja tapi tidak mutlak untuk semua orang. Karena misal saya punya Art Director saya pasti akan lebih bangga bekerja dengan seorang yang tidak hanya bisa berkonsep (konsep juga skill..menurut saya) tapi juga mempunyai karya dan bisa dijadikan rujukan bila ada masalah. Kalau lepas seperti yang anda ceritakan diluar negeri bukannya itu hubungan antar divisi dimana si seni rupawan memang berbeda profesi dengan desain grafis?? kalau art director nggak nguasai bawahannya gimana?? Presiden kalau maunya lepas urusannya pada menterinya apa negaranya akan bisa dikendalikan dengan baik??
    Tapi nggak papa kok kalau tetap berpendapat lulusan DKV harus jadi atasan anak SMA/D1/D2 karena pendapat itu pasti akan terkikis karena bawahannya nantinya yang akan menikmati ilmu atasannya..Dan harap disadari bahwa konsep bagus tidak hanya mutlak milik lulusan DKV. Yang tidak S1 itu hanya kalah kesempatan belajar formal, secara ilmu belum pasti.
    Seseorang yang diangkat jadi atasan, menurut saya memang karena pantas karena hasilnya..kalau sudah ada hasil..oke kita punya anak buah.

    Sekali lagi, ini bukan menjelekkan mas..semuanya memang saya hadapi di dunia industri jadi mari kita bersama membuka mata pada kenyataan.

    http://sukartoen.blogspot.com/

  11. good

  12. menurut saya design grafis untuk multimedia adalah kemajuan untuk masa depan dan langkah keberhasilan, karena peluh yang tercurah di dunia yang kita senangi senilai dengan satu koin emas di puncak keberhasilan kita kelak, jadi ambilah jalan yang disuka agar semua mimpi menjadi menyenangkan untuk diraih…

    http://www.designerlistic.net (viva desain grafis)

  13. tambahan satu lagi, kenapa institusi mesti kian dan lebih TEGAS,
    karena saya banyak sekali melihat, kejadian seperti berikut ini :

    “gue dipecat karena kantor firm arsitektur gue bangkrut, ya udah gue jadi grafik designer, jadi webmaster”

    “ya lulus dari design produk, gue gak tau mesti kemana, eh ada order ngedesign, ya udah, gue lakuin aja”

    “otak gue cetek mo masuk tehnik, eh ada FSRD, ya udah gue masuk aja”

    hellow, profesi designer ternyata profesi pelarian, kasian bener yg bener2x belajar jadi designer.

    atau mungkin ada pendapat lain ?

  14. “…memotivasi siswa untuk terus mencari.”

    Itu yang saya rasakan sangat penting ditanamkan. Dan bukan saja untuk siswa tapi juga praktisi professional. Perkembangan bidang komunikasi visual tidak hanya dalam segi teknologi, tapi juga strategi dan konsep. Dan saya yakin masih akan terus berkembang. Kalau termotivasi secara demikian, mudah-mudahan kita tidak terjebak dalam “budaya instanitas” seperti disebut di atas. Terus mencari dan berinovasi, buat siswa tentunya tidak hanya dalam lingkungan akademis, tapi juga non akademis.

    Pembentukan mental yang membangun “self confidence” dan penanaman sensitifitas budaya yang kuat, adalah hal lainnya yang saya rasakan sangat penting. Semua ini tentunya tanpa mengecilkan pengetahuan dalam segi “skill” (bisa “conceptual skill” ataupun “technical skill”) yang saya rasa secara mendasar sudah seharusnya para siswa terrmotivasi untuk menguasai dengan sebaik-baiknya.

    Salam hormat dan hangat untuk semua..

  15. Pak Widarto,
    Contoh yang baik dari fenomena yang saya yakin tidak hanya terjadi pada disiplin ilmu desain grafis saja. Sebagai praktisi dan alumni akademis, saya pribadi sama sekali tidak menentang adanya fenomena tersebut. “Sometimes we need challenge to grow.” Buat saya itu malah menjadi suatu tantangan yang menarik untuk para pendidik dan praktisi desain grafis. Apa yang membedakan suatu karya grafis dari seorang berlatar belakang akademis dengan seorang pemilik software desain? Dan bukan tidak mungkin seorang arsitek ataupun desainer produk ternyata punya intuisi sosiologi dan komunikasi visual yang kuat. Mungkin secara tidak sadar itu bagian dari proses pencarian.

    Kalau saya seorang arsitek yang punya “passion” dan “confidence” yang tinggi akan disiplin ilmu saya, saya akan terus mencari jalan keluar untuk tidak gulung tikar.

  16. hehe. mas soekarton, saya tegas aja. bukan karena belum pernah melihat ‘kenyataan’. bukankah kenyataan kalo art director hingga creative director seringnya dipegang bukan oleh latar belakang desain grafis ato dkv? pengalaman saya dan teman2, malah sering ketemu yang lulusan dari sastra, komunikasi, jurnalistik, ekonomi, manajemen, dsbnya, minim sekali yg dari S1 DKV. Alasannya ketika itu, anak desain cuma bisa skill tapi gak bisa ngonsep. Kenapa sekarang ketika sekolah2 S1 mendidik konsep, di lapangan ternyata masih berlaku stigma ‘anak desain cuma perlu belajar gambar dan program komputer’ yg akibatnya di dunia serba instan ini, desain grafis menjadi profesi pelarian dan semua orang belajar instan di kursus2 komputer grafis atau Diploma. Tokh skill mereka sama dgn yg belajar di S1, malah mungkin bisa lebih bagus, karena pada dasarnya, kursus dan diploma adalah semacam sekolah portfolio. =)

  17. Trimakasih Pak Hanny,sudah mengirimi saya tulisan Pak Pri.Tulisan yang membuat saya semakin “melek”akan dunia yang saya cintai.Yang lebih menarik lagi,ungkapan rasa/pikiran dari para komentator. Saya rasa,kita perlu semacam forum khusus untuk mengurai dan mencari solusi untuk masalah yang memang ada di depan mata kita.Kalau saya tidak salah tangkap,masalahnya adalah “positioning” yang berujung pada penghargaan.Terimakasih..

  18. wah informasi yg berguna nih..bisa untuk bahan.

  19. bagus sekali infonya…thx

  20. Ada yang juga sangat perlu dalam pendidikan disain: manajemen proyek, manajeman bisnis, dan…. mental disainer.

  21. Saya setuju dengan pendapat Pak Karna. Tapi kalau pendapat kita digabungkan kayaknya ketemu deh uneg2 saya dan Bapak. DKV perlu menciptakan seorang konseptor yang setidaknya juga mempunyai dasar seni atau “sedikit” ilmu komputer.
    Benar pak…ditempat saya pernah ada lulusan S1 ternama tapi jadi nggak kepakai lama karena untuk buka komputer, save atau apa dia nggak bisa. Terus yang jadi pertanyaan selama kuliah dulu kalau ada tugas komputer yang mengerjakan siapa ?!!
    Menurut saya institusi sepertinya perlu menekankan pencapaian sesuatu bukan berdasarkan nilai saja..ada aspek lain yang akan menentukan dia berhasil tidaknya saat keluar dari tempatnya belajar.
    Mental untuk menerima diri untuk berangkat dari bawah juga diperlukan. Kalau semua lulusan langsung mau memegang jabatan, berapa perusahaan baru harus dibuat untuk menampung mereka ??
    Maaf..he..he..saya bukan bermaksud sok tahu atau apa. Saya memang tidak mengerti bagaimana kurikulum DKV. karena terus terang saya hanyalah lulusan STM ditambah D1..he..he..nggak papa kan berargumen ??
    Semoga argumen saya yang dangkal bisa diterima.

    Pak Karna, makasih atas argumen2 hebatnya..sekali lagi saya bukannya mau menjelek2kan, saya sangat hormat dengan DKV-tempat saya mencari makan.

    Saya sangat berharap ada yang mau mampir ke blog saya dan kasih masukan sejujur2nya.

    http://sukartoen.blogspot.com/

  22. good taste……

  23. maaf, bukannya mau membandingkan… tapi sampai saat ini memang belum banyak lulusan DKV yang benar-benar oke untuk masalah desain…
    malah, sekarang lulusan dari teknik arsitektur yang bisa dibilang merajai dalam segi konseptor sebuah produk dan art desainer… semoga muncul orang-orang dari DKV yang lebih mumpuni bergerak di bidang visual..
    amin..

  24. nambah….
    dari segi kemampuan penggunaan komputer grafis pun saya rasa mahasiswa arsitektur lebih familier dengan program grafis 2D dan 3D bahkan mahasiswa arsitektur sekarang mempresentasikan hasil karyanya dengan visual animasi…
    apakah mahasiswa DKV dapat sekompeten itu…??
    hidup arsitek…….!!!!!

  25. wah sepertinya dunia DKV merupakan ladang yang luas ya..

    serasa berada di alam lain habis baca tulisannya, nggak ngebaca semua sih (pusing juga liat banyak tulisan gini), mungkin ini juga bisa disebut menjadi masalah (o+)karena apa…

    karena jurusan DKV tu tukang ngKomunikasiin Visual, jadi semua wajib ngerti DKV - Komunikasiin Visual…
    Hasil akhir ilmunya ntu tukang, di gembalain ama nyang namanya “dosen” (jadi nyampek nggaknya tu domba, tergantung gembalanya) secara garis besar, kualitas akademisi nyang lulus dari warung yang namanya “kampus DKV” itu tergantung dari cara nyajiin penjualnya, apa yang disediain dan dimakannya…

    Jadi nggak adil kalo mahal-mahal bayar uang kuliah di kuliah cuma dibilangin “Dosen cuma ngasih tugas!!! mahasiswa belajar sendiri” lah, kalo dibayar cuma ngasih tugas, n sibuk mroyek diluar “apa tantangannya!!!”….

    nyang pengen didapetin mahasiswa saat kuliah ntu belajar untuk kreatif, dosen bukan hanya evaluator aja, tapi juga motivator untuk menelorkan desainer handal yang di inginkan pasar….

    bukannya nganggep mahasiswanya males nggak mau kreatif bikin even kek, ngliat ato ikut pameran kek tapi dosen, suasana kuliah, kampus pun ikut jadi motivator untuk memajukan lulusannya

    berawal dari gimana kurikulumnya, up to date nggak… masih kompetitif gak…

    kalo dosen mikir nyang sulit2 kayak gitu
    apa ya mampu dosen S1 baru lulus ngajar angkatan bawahnya??
    kalo mampu!!
    ya sukur…
    kalo nggak??
    ya mujur baru lulus dah jadi dosen….
    nyang penting nyadar…
    he
    he..

    soalnye ape…
    nyang di obrolinkan DKV
    direc link nya kan Akademisinye
    kalo akademisinye parah
    ya 2-3 orang dari tiap angkatan nyang bisa survive
    nyang laen….
    ya jadi teler di bank
    sekertaris di perusahaan swasta
    wih….mmmuuaaacem macem lah….

    soalnya ya ngerti lah..
    lha wong indonesia tiap tahunnya aja
    menghasilkan 3000 pengangguran lulusan S1
    ya kalo sekarang motonya
    “kerja apapun asalkan halal..”

    apa ya salah???

    yah semoga
    segera sugeng wilujeng lah
    DKV di indonesia

    Hidup cah DKV ……….

  26. Dunia DKV tidak hanya menjadi milik orang2 yang berpendidikan DKV. Seorang otodidakpun boleh berada di ladang ini asal memiliki kapabilitas yang baik. Masalah utamanya sangat klasik yaitu penyamarataan profesi ini oleh pemakai jasa DKV. Tugas utama Institusi DKV sangat berat karena menyiapkan lulusan yang bagus konsep dan skillnya. Selalu ada, karena ini manusiawi, lulusan yang kurang kompeten yang pada akhirnya -maaf- melacurkan profesi ini, misal dengan menetapkan free design, cheap design, pokoknya sangat pragmatis. Mendidik klien? Ah, sebodo teuing, yang penting mah hepeng. Jadi mari kita bersama berjuang untuk sistem yang lebih baik.

  27. Deskomvis : ibarat kisah cinta antara seni dan teknologi namun sayang dalam perjalan kisah cinta mereka ada pihak ke tiga yang turut campur yaitu ilmu sosial..

  28. cara menuntut ilmu mahasiswa DKV berbeda dengan cabang ilmu yang lain…pengetahuan, wawasan bahkan teori sekalipun belum cukup menjasikan seorang mahasiswa DKV layak menjadi menyandang gelar sebagai seorang DESAINER..

    DKV

  29. Salam Design,

    saya sangat terkesan dengan design grafis,..
    hehehe…
    lumayan lama juga sich saya menggeluti bidang ini…
    tapi kayaknya selalu menantang yang membuat saya terus belajar dan belajar..

    oh ya, saya mau mengundang saudara untuk menyempatkan diri melihat2 tentang design grafis saya,

    saya berharap anda dapat memberi komentar bagi saya di buku tamu

    thanks before

    Regards

    joni pranto simanjuntak

  30. Mas Pri,
    Memang pendidikan DKV ini berkejaran dengan industri komunikasi, dan sebaiknya kedua belah pihak bisa saling mengisi/memberikan masukan yang positif di berbagai bidang. Industri membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang terdidik dengan baik, sementara di kampus dana pengembangan ataupun peningkatan pendidikan bagi para dosennya juga terbatas. Jadi, ya pantas kalau kualitas lulusannya juga ya seperti itulah, apalagi kalau “bahan bakunya” juga tidak berkualitas. Jadi memang perlu sekali kita menyaring “bahan baku,” dan meningkatkan kualitas pendidikan (proses belajar mengajar, kualitas dosen, penelitian, fasilitas pendidikan, dsb), tetapi juga jangan sampai kita terlalu mengekor kepada dunia industri. Tetap harus berpijak pada kata “DKV”nya.
    PS. Salam juga buat Totot, apa kabar?

  31. wah……! hebat banget lo gmn sih caranya jd orang sukses di bidang grafis ajarin gue dong

  32. dunia desain adalah dunia dimana orang bisa memberikan sebuah karya yang berbentuk visual dimana ketika orang melihat nya akan menimbul kan sebuah gejolak dihati nya di karnakan dia bisa membaca dan meng artikan nya apa yang sedang di tatap nya oleh kasat mata sutu karya itu dikatan telah memenuhi syarat ketika orang awam sudah mengerti apa yang sedang di lihat nya

  33. saya mah cuman mhasiswa jadi hanya menyerap ilmunya terimakasih master2,jd nambah ilmu nh

  34. setuju bapa sukartoen

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly