oleh: Toto M. Mukmin
Pendidikan desain grafis sedang menjadi tren di beberapa perguruan tinggi di tanah air kita pada masa satu dekade terakhir ini. Hal ini ditandai dengan merebaknya kehadiran program studi yang mengatasnamakan jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) di luar perguruan tinggi negeri yang sebelumnya sudah menyelenggarakannya. Meskipun pada umumnya pendidikan desain grafis ini masih terkonsentrasi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Bali. Namun jumlah mahasiswa lulusan desain grafis setiap tahun dari sejumlah perguruan tinggi terus meningkat dari tahun ke tahunnya. (+/- 1500 lulusan mahasiswa desain grafis tiap tahunnya, Djoko Hartanto, Concept, 2005 Vol. 01 edisi 05). Lalu bagaimana dengan ketersediaan lapangan industri desain grafis? Apakah jumlah biro grafis juga meningkat pesat seperti pesatnya jumlah mahasiswa desain grafis yang terus bertambah setiap tahun?
Masih menurut Djoko Hartanto (pendiri & publisher majalah desain grafis CONCEPT) “meskipun tak semuanya memutuskan menjadi desainer, tetap saja perkembangan industri grafis dalam waktu dekat ini tak akan mampu menyerap jumlah lulusan DKV, akibatnya ya oversupply desainer. Kalau saat ini desainer grafis relatif mudah untuk mendapatkan pekerjaan, saya pikir hal ini tak akan berlangsung lama”. Banyak yang meramalkan bahwa tak sampai 3 tahun lagi kita akan mengalami oversupply lulusan DKV. Mangsa-mangsa kita tidak cukup banyak, taruhlah industri perbankan, raksasa ritel, perusahaan pertambangan, property developer, tourism, rokok, makanan, dll. Yang notebene saat ini telah dilayani oleh biro-biro desain yang telah cukup mapan di Indonesia. Lalu tambahan lulusan DKV ini mau dikemanakan? Bagaimana kita menyikapi hal ini?
Pada dasarnya dunia desain grafis kita belum jauh beranjak dari pengaruh bayang-bayang dunia desain grafis barat (meskipun mungkin sudah tak relevan lagi bicara Barat -Timur). Namun kenyataannya, desain grafis di Indonesia seperti halnya dunia Pop yang tak pernah lepas dari tren dan style yang ada di belahan dunia Barat sana. Lalu Pop biasanya bagian melekat dari dunia industri. Maka tak heran jika gaya desain grafis yang muncul ke permukaan adalah gaya yang seragam, teknis yang seragam, dan akhirnya seolah semua orang bisa menjadi desainer grafis karena murahnya beli software/plug ins yang beredar ilegal. Desain grafis kita jadi generik. Yang terjadi kemudian adalah ketika semua orang bisa membuat gaya desain yang sama, maka apa yang akan dijual oleh setiap desainer? kecuali berani menjual fee desain dengan harga murah dan cepat! Belum lagi persoalan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap desain grafis. Adanya kecenderungan beberapa desainer mengambil untung dari separasi dan cetakan bukan dari design fee, juga merupakan fenomena yang sedikit banyak memberi sumbangan terhadap rendahnya apresiasi terhadap harga sebuah desain.
Persoalan oversupply jumlah lulusan mahasiswa desain grafis itu merupakan keniscayaan jika dibandingkan dengan jumlah pertumbuhan ketersediaan jumlah biro/agency yang tak seimbang. Namun para lulusan calon desainer tersebut harusnya dilengkapi dengan kemampuan enterpreneurship yang tinggi dan harus punya kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya. Industri saat ini begitu luas, jika kita lihat dunia global. Orang bisa bekerja dari mana pun melalui dunia maya, ini pun peluang besar. Belum lagi daerahdaerah di luar pulau Jawa dengan peluang otonomi daerah mereka mempunyai kemampuan dana besar untuk membranding daerahnya. Orang cenderung melihat industri itu hanya pada ruang lingkup biro grafis atau graphic house di Jakarta saja, padahal sumber mata uang yang berlimpah itu ada di Kalimantan, Batam, Papua dll yang belum tersentuh pekerjaan desainer grafis!
Saran-saran untuk lingkungan akademisi :
1. Meningkatkan mutu desain grafis baik dari segi artistik, ketepatan waktu, maupun service
2. Bereksperimen mencari kemungkinan ide inovatif, baik dalam hal ideasi maupun teknis eksekusi
3. Membangun jejaring kerja sama dengan industri, instansi pemerintahan, LSM, pemerintahan daerah (profesional dan UKM) secara online dan offline, nasional/internasional.
Upaya Mahasiswa yg bisa dilakukan :
1. Aktif mengikuti ikuti ajang kompetisi internasional melalui dunia maya / internet, sebagai uji coba kualitas berstandard internasional, tak berorientasi harus industri lokal, dalam rangka mengumpulkan portfolio yg berlaku global.
2. Membuat portfolio pada situs2 freelance di dunia maya, deviant art, peluang kerja desain grafis semakin terbuka lebar asalkan mhs siap dengan perkembangan teknologi yg semakin membutuhkan skill dan wawasan
3. Punya kesadaran kuat untuk mempunyai skill yang dapat diandalkan serta mempunyai style atau gaya yang dibangun agar tidak terjebak pada peniruan masal karena adanya template dan plug ins yang dijual bebas
4. Mempunyai kesadaran dan etos kerja yang berorientasi pada profesionalisme
5. Kritis pada fenomena desain yang terjadi pada masyrakat industri dan akademis
Mengutip komentar Djoko Hartanto untuk para mahasiswa :
Bekerja keras, apa yang ditabur itu juga dituai, kalau sekarang menabur waktu untuk sungguh-sungguh belajar, bereksperimen, kerja keras mengasah skill, nantinya akan menuai spirit dan skill seorang desainer yang kampiun. Judul diatas dikutip dari Majalah Concept tahun 2005 Vol. 01 edisi 05, dan sekarang sudah tahun 2008, mari kita lihat dan ternyata memang lulusan DKV sudah Oversupply. (Tom)
Toto M. Mukmin, pendidik di DKV Universitas Tarumanagara, Jakarta
Sumber: FDGI
•••
rendahnya apresiasi terhadap harga sebuah desain
Saya bertanya pada seorang dosen yang saat ini namanya masih cukup “ternama”: “Pak, kenapa di Indonesia tidak ada standarisasi harga desain grafis, agar tidak terjadi kekacauan karena ketidakjelasan dan serba tebak-tebakan”
Jawabnya: “wah itu masih 5-10 tahun lagi… saat ini Indonesia masih belum siap… kita masih bicara soal perut”
kejadian itu hampir 16 tahun yang lalu ketika saya masih kuliah mungkin semester 3 atau 4
Beberapa tahun yang lalu saya menghadiri seminar bisnis desain grafis
Saya bertanya pada seorang pembicara seminar yang sangat terkenal di Indonesia ” Pak, apakah Indonesia sudah saatnya membuat buku “Pricing & Etntuhical Guideline untuk desain grafis, kalau di Amerika sana buku itu selalu di update”
Jawabnya: “sudah terlambat”
- Kita sering bicara harga desain grafis rendah, yang saya tau setiap daerah di Indonesia harga desain Grafis haruslah berbeda2 karena perbedaan beban biaya hidup, hal itupun terjadi di Amerika… bila kita melihat salah satu buku bisnis desain grafis di sana tercantum jelas bahwa per hourly rate untuk di New York berbeda dengan di San Fransisco misalnya.
Nah kalau asosiasi atau apapunlah namanya… tidak bergerak ke arah ini dan hanya menggerutu saja karena harga rendah padahal tidak ada standard harganya (yang jelas-jelas tingkat invlasi luar biasa per tahun)……. MAKA SUDAH SAATNYA PARA AKADEMISI DI PENDIDIKAN TINGGI DKV SE INDONESIA BERSATU UNTUK BERSAMA SAMA MERISET HAL INI…….
sangat menyedihkan.. bila ada seorang mahasiswa bertanya pada kita… pak berapa sih harga sebuah logo…?? lalu kita membandingkan dengan landor yang membuat logo pertamina yang harganya konon mencapai 3 M….. (mahasiswa kita akan frustasi)
Sekali lagi di amerika sana sangat jelas antara student, first graduade dan profesional dalam menentukan harganya… setidaknya sudah ada buku yang disahkan untuk dipakai dan selalu diupgrade
wah sangat setuju dengan komentar pak Irwan, disini kita berperan sebagai desainer grafis cenderung tidak dihargai, dan banyak juga praktisi yang memberi harga rendah, akibat ketidakseimbangan tersebut makanya terjadi ketimpangan ketimpangan dan sangat susah untuk berkompetisi harga, khususnya mereka yang memiliki agency / biro desain (dimana overhead setiap bulan lebih tinggi) dibandingkan dengan desainer freelancer yang memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam menentukan harga jualnya
Ada baiknya permasalahan pricing desain grafis diperjelas dan diberi aturan standar dan baku bagaimana menentukan harga sebuah proyek desain yang lebih ‘seimbang’ sehingga tidak terjadi ketimpangan harga yang sangat jauh antara seorang desainer freelance dengan agency desain grafis
klo di : http://www.designcentre.page.tl bisa disebut patokan harga gak..?????
[…] Toto menuliskan pendapatnya di sini > […]