Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Pameran Video Musik Eksperimental Jerman-Indonesia | Sebuah Cara Melihat Perkembangan Video Musik Secara Berbeda dan Segar

Oleh Ardi Wilda

Saat industri musik nasional mengagungkan Ring Bact Tone (RBT) lantas apa pengaruhnya pada video musik nasional? Pertanyaan tersebut hanya menjadi salah satu topik diskusi hangat yang terjadi saat video talk pameran bertajuk ”Musikvideo – Pameran Video Musik Eksperimental Jerman Indonesia”. Video talk bersama Anggun Priambodo (pembuat video musik) dan Indra Ameng (kurator) tersebut banyak bicara tentang perkembangan video musik nasional khususnya terkait dengan industri musik nasional.

Pameran ini sendiri akan berlangsung dari 7-13 Agustus 2010 bertempat di Goethehaus, Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pameran ini akan diputar 31 video musik dari Jerman dan 17 video musik asal Indonesia. Pameran video musik ini sendiri berangkat dari gagasan Festival Film Internasional Oberhausen yang membuat sebuah program khusus video musik (MuVi Preis). Mengutip tulisan Veronika Kusumaryati dan Rizky Lazuardi dalam pengantar pameran, awalnya program khusus MuVi Preis tersebut ditujukan untuk mempertontonkan video-video musik Jerman. Program ini juga tercatat sebagai festival film internasional pertama yang menerima video musik sebagai ekspresi seni tersendiri.

Mempersandingkan video musik antara Jerman dengan Indonesia tentu menjadi kurang komplit tanpa melihat sejarah perkembangan medium ini di kedua negara. Meski sudah mengenal video musik sejak 1929 lewat ”Studie Nr 2” yang dibuat Oscar Fischinger baru pada 1980 video musik di Jerman mendapatkan dimensi barunya terkait dengan perkembangan budaya populer. Ditandai dengan mulai masuknya video musik di saluran televisi.

Sementara itu perkembangan video musik di Indonesia mulai menggeliat ketika televisi swasta pertama yakni RCTI mulai mengudara pada awal 1990. Bahkan pada tahun 1997-2001 RCTI sempat membuat sebuah kompetisi video musik bertajuk ”Video Musik Indonesia”. Video musik kemudian menemukan momentumnya di negeri ini ketika MTV mulai mengudara di ANTV dan Global TV. Pameran ini sendiri berusaha menangkap semangat-semangat tersebut lewat 17 video musik Indonesia yang ditampilkan. Tersebutlah misalnya Tromarama, Platoon Theodoris, Cerahati, The Jadugar dan beberapa video music artist lainnya yang menampilkan video musik secara berbeda dan segar.

Dalam video talk bersama Anggun Priambodo dan Indra Ameng yang dilaksanakan pada 6 Agustus 2010 terungkap beberapa permasalahan yang menyelimuti dunia video musik nasional. Masalah utama yang dihadapi adalah jalur distribusi dan akses yang terbatas. Masalah distribusi terkait erat dengan minimnya saluran untuk menayangkan video musik di televisi nasional saat ini. Tak seperti ketika masa kejayaan MTV di tahun 1990-an dan awal 2000 acara musik saat ini kurang menguntungkan bagi perkembangan video musik. Acara musik di televisi saat ini lebih banyak menaruh porsi pada penampilan live dari penyanyi atau group band yang membuat video musik menjadi semakin terpinggirkan.

Anggun Priambodo (kiri-bertopi) dan Indra Ameng (kanan) menjawab pertanyaan dari moderator dalam video talk Pameran Video Musik yang berlangsung di Goethehaus Jakarta. Pameran Video Musik ini berlangsung dari tanggal 7-13 Agustus 2010 dengan menampilkan 17 karya video musik asal Indonesia dan 31 karya video musik dari Jerman.

Perubahan yang terjadi di industri musik juga sangat mempengaruhi bagaimana perjalanan video musik di negeri ini. Dengan makin populernya RBT dan semakin tak beragamnya warna musik yang hadir membuat video musik yang muncul juga semakin minim kreatifitas. Padahal seperti diungkapkan Indra Ameng, dahulu bagi seorang pemusik video musik sama pentingnya dengan cover album. Baik cover album maupun video musik merupakan image artistik yang dibangun oleh musisi sehingga posisinya begitu penting bagi penciptaan image artistik si musisi. Hal tersebut saat ini hanya terjadi bagi musisi-musisi dengan image yang begitu kuat semisal White Shoes and The Couples Company.

Berbeda dengan Indra Ameng, Anggun Priambodo lebih menyoroti perkembangan video musik pada minimnya kompetisi maupun pameran yang bisa dijadikan sebagai trigger bagi lahirnya video music artist baru. Beberapa pihak seperti OK Video, Konfiden melalui program “Lagu-Gambar Gerak”, dan beberapa workshop terkait video musik memang kerap terjadi namun bila tidak secara konsisten diadakan akan sulit untuk melihat perkembangan video musik negeri ini.

Melihat pameran ini bagi saya pada akhirnya seperti sebuah piknik visual yang mengasyikkan. Tujuh belas video musik Indonesia dan 31 video musik asal Jerman seperti menjadi obat penawar diantara video musik di televisi yang menawarkan keseragaman.

Ardi Wilda
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM, kontributor untuk Rolling Stone Indonesia versi online, Jakartabeat.net dan sebuah majalah lokal di Jogjakarta

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly