oleh: Koko Boedhatmaka
Institusi Pendidikan sebagai penjaga ilmu pengetahuan agar tetap dalam koridor pengembangan ilmu pengetahuan dan aplikasi manfaatnya buat masyarakat banyak pada hakekatnya ada dalam wilayah independen yang bebas dari interfensi pihak lain. Dalam perkembangan Pendidikan Indonesia ada masa ketika politik dipaksakan masuk dalam sistem pendidikan, pada tahun 1978 akibat dari penolakan Mahasiswa hampir di semua Perguruan Tinggi di Indonesia terhadap pemerintahan Orde baru Suharto yang dijawab dengan mengirim aparat masuk kampus untuk membungkam gerakan Mahasiswa. Kemudian menyusul dinonaktifkannya kegiatan belajar mengajar semua Perguruan Tinggi di Indonesia selama satu semester sehingga strata pendidikan di bawahnya harus menyesuaikan dengan penambahan masa studinya setengah tahun.
Lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daud Yusuf pada waktu itu, diberlakukanlah dua konsep yang sarat nuansa politik yaitu : NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) di mana kampus secara sepihak “dikembalikan” fungsinya hanya sebagai tempat “mengajar”. Dosen sebagai representasi Institusi menjadi pusat otoritas ilmu pengetahuan. Kurikulum dibuat sangat padat dan Mahasiswa dijejali mata kuliah yang begitu banyak sehingga tidak punya waktu untuk melakukan kegiatan lain diluar Akademik. Konsep kedua adalah BKK (Badan Kordinasi Kemahasiswaan) dimana semua kegiatan Kemahasiswaan harus berkordinasi secara ketat dengan pihak Institusi sebagai lembaga kontrol yang secara berkala harus melaporkannya kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sehingga kegiatan Kemahasiswaan sangat dibatasi hanya yang langsung berhubungan dengan kegiatan Akademik dan tidak berpeluang membangun sikap kritis.
Lewat konsep NKK dan BKK maka dimulailah masa dihidupkannya mitos-mitos seperti : “Diam itu emas” yang diterjemahkan bahwa Mahasiswa yang baik adalah yang diam hanya menerima semua materi perkuliahan dari Dosen dan mengerjakannya tanpa bertanya. “Guru adalah dewa” sehingga semua yang disampaikan oleh Guru (Dosen) dianggap sebagai kebenaran mutlak yang harus ditelan bulat-bulat, sehingga tertutup ruang kritis dan kreatif Mahasiswa. Atau “Bertanya refleksi kebodohan” sehingga Mahasiswa enggan bertanya karena takut dianggap bodoh, padahal pertanyaan hanya muncul dari sikap yang kritis. Mitos-mitos tersebut menciptakan Mahasiswa yang pasif tidak kreatif dan takut berbuat kesalahan. Padahal kelas adalah laboratorium tempat dimana Mahasiswa belajar dari setiap kesalahan untuk menjadi lebih baik.
Dalam wilayah yang lebih spesifik yaitu Pendidikan DKV dan relasinya dengan Industri, secara substansial keduanya memiliki wilayah, nilai dan logikanya sendiri. Pendidikan DKV harusnya berorientasi kepada hasil yang personal, dimana output lulusan Mahasiswa seharusnya tidak general seperti disiplin ilmu yang lain seperti Ekonomi, Hukum dll. Dimana tujuan pendidikan DKV adalah memotivasi dan memberi stimuli sehingga potensi personal dari tiap Mahasiswa muncul dan mampu dikenali, dieksplorasi dan diaplikasikan. Setiap Mahasiswa akan muncul dengan kekuatannya sendiri sehingga tercipta Lulusan DKV yang berkarakter untuk memperkaya dunia DKV Indonesia. Sementara Industri lebih berorientasi kepada materi-profit dan hasil yang massal-general.
Dalam realitasnya relasi Pendidikan DKV dengan industri Juga memunculkan Mitos-mitosnya sendiri :
1. Menghasilkan lulusan siap pakai.
Idiom popular ini menjadi orientasi Pendidikan DKV bahkan menjadi parameter. Di sini terlihat bahwa posisi Pendidikan DKV hanya sebatas suplayer kepada industri. Orientasinya hanya menghasilkan lulusan yang sebanyak-banyaknya untuk diserap oleh industri. Bukan menghasilkan lulusan yang mandiri, cepat beradaptasi, responsif dan solusif. Yang mampu bertahan dan mengembangkan diri dalam kondisi dunia Industri seperti apapun.
2. Keahlian Komputer menjadi utama.
Penguasaan komputer menjadi syarat mutlak untuk masuk dalam dunia industri. Disatu sisi unggul dalam efisiensi waktu, efektifitas kerja dan hasil eksekusi yang prima, tetapi di sisi yang lain hasilnya cenderung general sehingga mereduksi potensi dan karakter personal yang seharusnya muncul. Penguasaan komputer harus diberikan kepada Mahasiswa tetapi keahlian manual sebagai dasar pengembangan karakter juga tidak bisa diabaikan.
3. Materi adalah segalanya.
Industri menjadi orientasi tunggal, lulusan DKV terkonsentrasi pada dunia kerja.
Sehingga melupakan potensi untuk memunculkan karya-karya personal maupun sosial yang peka terhadap kondisi lingkungan sekitar dan hal-hal lain diluar persoalan materi. Banyaknya lulusan yang mampu diserap industri menjadi satu-satunya parameter prestasi institusi Pendidikan DKV. Kompetisi antar institusi sebatas dalam keunggulan menerima sebanyak-banyaknya Mahasiswa.
Dalam realitasnya mitos-mitos tersebut “hidup” dianggap sebagai konsep kebenaran, atau khazanah kepercayaan atau suatu hal luar biasa yang dipercaya sebagai penentu keberlangsungan kehidupan (Lewis Spencer 1961). Sehingga terjadi ambiguitas dalam Pendidikan DKV, disatu sisi sebagai institusi pendidikan secara moral memiliki tanggung jawab kepada hal-hal yang ideal visioner berguna untuk masyarakat banyak, sesuai dengan tridarma Perguruan tinggi yaitu Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian masyarakat. Tetapi di sisi lain Perguruan tinggi DKV harus tanggap dan mampu mengakomodir kebutuhan industri yang pragmatis materialistis, sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendidikan DKV adalah simulasi dunia industri dalam kampus.
Antara Pendidikan DKV dengan Industri bukan merupakan dikotomi, masing-masing dalam posisinya terkait dalam relasi mutual yang saling membutuhkan. Industri membutuhkan Pendidikan DKV yang mampu menciptakan lulusan sesuai dengan kebutuhan dinamisasi industri. Sebaliknya Perguruan Tinggi DKV membutuhkan Industri untuk menyerap lulusannya. Dinamisasi industri seharusnya juga memunculkan inspirasi penelitian maupun pengabdian masyarakat bagi Perguruan tinggi DKV. Sehingga hubungan itu bisa dibangun dengan harmonis, dimana keduanya tetap mampu mengembangkan nilai-nilai ideal dalam wilayahnya sendiri.
Bagi Institusi Pendidikan DKV Ini adalah pilihan strategis bukan pilihan idealis, dimana instansi terkait yaitu DIKNAS dan DIKTI sebetulnya sudah memberi jalan untuk menentukan arah pendidikan. Seperti komposisi kurikulum Perguruan tinggi yang sebelumnya 60% muatan Nasional dan 40% muatan Lokal mengarahkan pada kurikulum yang cenderung seragam. Sekarang komposisi tersebut berubah dengan 20% muatan Nasional dan 80% muatan lokal. Sehingga memberi peluang setiap Perguruan tinggi untuk mengembangkan potensinya. Selain itu dalam proses Akreditasi untuk menentukan kualifikasi sebuah Perguruan tinggi DIKTI juga coba mengingatkan kepada hal ideal seperti penelitian yang dijadikan salah satu materi penilaian.
Dalam iklim kompetisi Pendidikan DKV yang ketat merupakan pilihan juga bila Institusi Pendidikan DKV berorientasi hanya kepada penerimaan Mahasiswa sebanyak-banyaknya sesuai dengan kuota yang berelasi kepada kebutuhan cash flow dan meluluskan Mahasiswa sebanyak-banyaknya sebagai indikator prestasi institusi. Bila pilihan ini yang diambil maka orientasi materi kuantiti sebagai logika industri tidak saja diikuti oleh Pendidikan DKV tetapi justru menciptakan Industri Pendidikan DKV.
Koko Boedhatmaka, pendidik di DKV Institut Kesenian Jakarta
Sumber: FDGI
•••
Terimakasih banyak untuk dosenku di interstudi, Pak Koko. Yang sudah mengajarakan saya menggambar manual. Ilmu bapak sangat kepake, walau komputer saya dirumah rada butut, namun saya masih bisa memulai desain dengan sketsa.
salam,
kurniaidi hajianto
[...] Penjelasan Koko bisa dilihat di sini > [...]
Salut untuk Mas Koko, terima kasih atas bimbingannya selama ini walau kita jarang berdiskusi. bagaimanapun, pendidikan ‘DKV’ di Indonesia masih seumur jagung, belum terlalu mengakar. nyatanya, referensi tentang ilmu DKV di Indonesia kebanyakan ‘mendewakan’ buku-buku luar. sehingga perlu sikap fleksibel untuk menghadapi permasalahan dalam pendidikan DKV di Indonesia. dengan demikian, sejatinya proses pendewasaan pendidikan DKV di Indonesia nanti akan memiliki karakter yang khas di mata dunia. “Strive To Solve!.”
hffff…..
sangat memprihatinkan senadainya makhluk-makhluk DKV akan menjadi budak industri. sungguh sangat mengerikan! hah!
tetapi setidaknya apa yang telah kita katakan dan perbuat telah menjadi sebuah senjata yang mewakili kita dalam bertempur di medan yang agak menyebalkan ini.
okelah kalo begitu… okelah kalo begitu…..
hidup kreatifitas!
mari kita perbudak industriwan dan industriwati dengan kreativitas
apa lulusan dkv itu mudah mencari kerja …?
bingung takut sudah lulus susah mencari kerja dengan jurusan dkv….!