Oleh Cons. Tri Handoko
ABSTRAK
Metroseksual saat ini menjadi wacana aktual di dunia fashion juga di masyarakat luas. Metroseksual adalah produk dari hegemonitas konsumsi-iklan-gaya hidup. Gaya hidup metroseksual ini tumbuh dan berkembang tidak lepas dari adanya sinergi antara produsen ‘ideologi’ budaya posmodern dalam ‘kerjasamanya’ dengan media serta iklan untuk menciptakan kebutuhan baru pada kaum pria. Dalam iklan- iklan tersebut, sosok metroseksual dihadirkan untuk menawarkan produk dari gaya hidup konsumtif, tubuh (cita rasa), dan citra. Jelasnya iklan tidak lagi menjual fungsionalitas produk namun juga telah dikaitkan dengan tampilan permukaan dan gaya, sehingga saat ini identitas metroseksual menjadi tidak hanya sekedar trend namun telah menjadi sebuah identitas sosial yang baru.
Kata kunci: periklanan, perilaku konsumen. metroseksual, iklan, gaya hidup posmodern.
ABSTRACT
Nowdays Metrosexual is becoming an interesting topic not just in the fashion field but also in the public. Metrosexual is the product of consumption-advertisement-lifestyle hegemonic. The growing of Metrosexual lifestyle because of synergic cooperation between producers of postmodern culture and media also advertising to create new needs for male. In advertisements, metrosexual models are appeared to promote products of consumption lifestyles, spectacle, body (taste) and image. Clearly, advertisements no longer offer product functions but also relate to image of surface and style, with the result that nowdays metrosexual identity not just a trend but has become a new social identity.
Keywords: metrosexual, advertisement, postmodern lifestyle.
PENDAHULUAN
Pola kehidupan konsumtif berkembang menjadi domain para produsen untuk menciptakan peluang-peluang ekspansi baru bagi produk-produknya. Pangsa pasar terbanyak untuk produk-produk tertentu, semisal fashion, parfum, jasa kecantikan sampai sekarang masih didominasi perempuan sebagai konsumen terbanyaknya. Namun, pola kecenderungan merawat dan memperhatikan diri bukan lagi hanya milik perempuan; pola pikir semacam itu telah bergeser pula pada pria. Peluang inilah yang sekarang ini mulai dilirik sebagian produsen karena kecenderungan yang ada selama ini pasar pria belum tergarap dengan baik. Menggarap pasar pria bukanlah sesuatu yang sia-sia mengingat semakin banyaknya pria tampil dalam berbagai acara, misalnya sebagai DJ, VJ/presenter, pembicara di televisi, model/artis, dan profesional lainnya yang membutuhkan penampilan yang baik ketika harus berhadapan dengan klien. Fenomena lain yang muncul dan menjadi peluang bagi para produsen adalah kecenderungan eksekutif muda untuk memanfaatkan waktu luang (leisure time) di luar rumah, seperti ke mal, music lounge, klub, salon dan spa. Dahulu bagi pria urusan fashion dan perawatan tubuh bukanlah yang utama; bagi mereka cukup berpakaian rapi bersih. Kini terdapat kecenderungan baru gaya. Merek fashion yang dulu khusus untuk kaum hawa seperti ‘Esprit’ sekarang mereka menjual produknya untuk pria, demikian juga dengan ‘Ovale’ pembersih muka yang memakai Ari Wibowo sebagai model iklannya. Awal mulanya produk ini khusus perempuan dan sekarang pria pun memakainya. Akibat dari gaya hidup yang berubah itu sekarang ini di pasaran membanjir produk kecantikan dan perawatan diri berlabel “for men”. Pria menjadi lebih dekat dengan after shave lotion, pembersih wajah, pelembab muka, wangi-wangian, pewarna rambut, sabun mandi, shampo, bedak tubuh, dan sebagainya. Sejalan dengan itu, di pusat-pusat perbelanjaan saat ini jenis pakaian pria beserta asesorisnya semakin beragam dengan warna-warna yang semakin variatif pula.
Bermunculannya kebutuhan akan produk tersebut bukanlah tanpa sengaja. Produsen melalui iklan-iklannya dengan menggunakan ikon-ikon ternama yang ber-style dandy dan modis seperti Ferry Salim, Ari Wibowo, dan model-model lainnya telah membuat sebuah terobosan baru dalam peta pemasaran produk dengan menciptakan sebuah kebutuhan baru bagi kaum pria.
Gambar 1. Model dengan penampilan dandy pada produk fashion for men (Sumber:
Popular No. 160, Mei 2001).
METROSEKSUAL
Istilah metroseksual sekarang ini sering kita dengar dalam wacana umum komunikasi. Kata metroseksual pertama kali dicetuskan oleh Mark Simpson di majalah salon edisi juli 2002.1 Namun ada juga sumber lain yang menyebutkan istilah ini pertamakali dicetuskan oleh orang yang sama di Koran Inggris ‘The Independent’ pada 1994.2 Bertolak dari dua sumber tersebut terdapat satu pengertian bahwa metroseksual adalah sosok narcissistic3 dengan penampilan dandy (pesolek), yang tidak jauh dari penampilan gaya dandan pria di media massa yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi juga gaya hidup metropolis. Belakangan ini pria metroseksual bukanlah pria yang hanya dandy dalam penampilan namun juga tipe-tipe laki-laki berduit, dengan pola hidup bergerak menjangkau kota-kota metropolis yang menyediakan segala hal yang terbaik seperti klub, spa, salon, butik, penata rambut, restoran, dan toko. Kalau menilai dari penampilan luarnya orang mungkin mengira bahwa mereka adalah kalangan gay, namun pria dalam kategori ini tidak harus serta-merta kalangan gay atau homoseksual meskipun mereka tidak berpretensi macho; ini bukan sekedar urusan preferensi seksual. Pria tersebut bisa saja straight-heteroseksual, namun menempatkan dirinya sendiri sebagai obyek cintanya sendiri.
Pria yang memperhatikan dirinya sendiri, atau bisa dikatakan mencintai dirinya sendiri, bukan merupakan wacana yang baru. Sejak dulu pria juga selalu memperhatikan penampilan diri. Namun saat ini telah terjadi perubahan signifikan pertanda makin kuatnya unsur venus dalam diri laki-laki. Chamim, et al menjelaskan gejala tersebut dengan memberi contoh bahwa dulu di era 70-an para lelaki dilingkupi suasana serba maskulin dengan Charles Bronson sebagai men-idol-nya. Pada dasawarsa 80-an kumis lebat mulai dicukur; meskipun idola masih bertahan pada sosok yang macho. Satu dasawarsa berikutnya minat pria mulai bergeser pada perawatan wajah dan parfum dan terakhir mereka mulai melirik perawatan kuku kaki-tangan (manicure-padicure) ditambah spa dan pijat refleksi.4 Dan idola pun bergeser pada sosok yang kasual seperti Beckham, Ian Thorpe, Brad Pitt, dan sebagainya. Ciri lain dari pria metroseksual adalah mereka sosok yang berani bereksperimen dengan fashion. Gaya rambut Russel Crow dalam ‘Master and Commander’ seharga US$ 150 ribu.5 Demikian juga dengan David Beckham dalam penampilannya selalu memakai pemoles kuku dan mengundang penata rambut terbaik Inggris Aida Phelan untuk memastikan model rambut Mohican-nya agar tetap prima.6 Pembeli stoking terbesar lewat internet 85% adalah pria dimana kadangkala mereka membeli dua model, satu yang berukuran besar untuk dirinya sendiri dan yang berukuran kecil untuk pasangannya.7
GAYA HIDUP POSMODERN
Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lainnya.8 Pola-pola kehidupan ini kadang diartikan orang sebagai budaya; yang artinya keseluruhan gaya hidup suatu masyarakat-kebiasaan/adat istiadat, sikap dan nilai-nilai mereka serta pemahaman yang sama yang menyatukan mereka sebagai suatu kelompok masyarakat. Gaya hidup lebih pada seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu9 atau cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik; Tegasnya, gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas.10 Contohnya adalah merokok. Apabila dilihat berdasarkan hal-hal yang melekat dalam organisasi sosial dari realitas-realitas lokal dan bukan dari sudut pandang patologis yang melihat ‘rokok’ sebagai hal yang menyimpang, merusak kesehatan dan mengganggu kepentingan umum maka merokok dipandang sebagai unsur integral gaya hidup dalam organisasi peristiwa sosial dan bisa pula ritual identitas sosial.
Adakah perbedaan signifikan antara cara hidup (way of life) dengan gaya hidup (lifestyle)?
Chaney menjelaskannya definisi gaya hidup dengan menggunakan tema pendekatan sosial: situs (site) dan strategi. Dalam hal ini itus (site) bukan merupakan tempat-tempat yang dapat dikenali dalam suatu lingkungan fisik, melainkan metaphor fisik bagi ruang-ruang yang dapat disediakan dan dikontrol oleh aktor (individu atau kelompok). Dari sudut pandang strategi, gaya hidup dipahami sebagai cara-cara khas perjanjian sosial (social engagement) atau narasi-narasi dari identitas dimana aktor (individu atau kelompok) dapat menyimpan metafor-metafor yang ada. Dari dua pendekatan ini bisa diartikan pula bahwa gaya hidup adalah projek kreatif dan hal tersebut adalah bentuk pendeklarasian yang memuat penilaian aktor-aktor dalammenggambarkan lingkungan. Sementara itu, cara hidup (way of life) ditampilkan dengan ciri-ciri seperti norma, ritual, pola-pola tatanan sosial, dialek atau cara berbicara yang khas.11 Chaney menambahkan bahwa cara hidup pada bentuk-bentuk sosio-stuktural seperti pekerjaan, gender, lokalitas, etnisitas dan umur pun bisa masuk dalam kategori ini dimana faktor-faktor tadi membentuk identifikasi baru gaya hidup atau cara-cara berperilaku yang berkaitan dengan ekspektasi-ekspektasi konvensional yang kemudian membentuk pola-pola baru pilihan melalui cara-cara pola cita rasa yang membentuk dan menyokong hierarki hak-hak istimewa dan status.12
Savage, et al. dalam Chaney membuat klasifikasi gaya hidup bagi kelas menengah menjadi tiga: asketis, posmodern dan awam (undistinctive). Ciri nyata yang pokok dari gaya hidup posmodern adalah kecenderungannya melakukan perayaan-perayaan gaya hidup tertentu dan terjadi pengaburan pembedaan gaya konvensional dimana ekstravagansa tingkat tinggi berlangsung terus bersama budaya tubuh; apresiasi terhadap opera dan musik klasik bergandengan erat dengan kegandrungan akan disko dan balap mobil. Sehingga, menurut Savage, jika para intelektual sektor publik pada saat modernitas dulu bertindak sebagai garda depan penghapusan posisi sosial dengan pendekatan stilistiknya yang istimewa sekarang hal itu telah ditumbangkan oleh generasi berikutnya dengan cara melampaui tatanan budaya modernitas13.
Budaya tubuh atau budaya cita rasa yang merupakan ciri gaya hidup posmodern itu dapat diamati dari sudut pandang penampakan luar (surfaces). Warna dan gaya rambut, cara berpakaian, kendaraan yang dipakai atau makanan yang dikonsumsi dapat mengidentifikasikan seseorang dengan suatu ikon budaya cita rasa tertentu. Chaney melihat bahwa penampakan benda-benda, penampakan luar kehidupan metropolitan yang gemerlapan, petunjuk visual seperti citraan iklan (advertising imagery), berdirinya bangunan komersial dan publik, carut marut aksesori jalan, sampah, dan ikonografi publik lainnya merupakan suatu tontonan visual (visual spectacle) yang menghasilkan suatu citraan visual (visual imagery) yang menjadi prasyarat menentukan kehidupan sehari-hari bagi budaya modernitas. Demikian pula citraan-citraan luar telah menjadi sumber daya dalam mengkomunikasikan dan mengangkat makna, menata dan memanipulasi identitas sosial sehingga gaya hidup terartikulasi melalui perubahan secara konstan tontonan dari penampilan-penampilan tampakan luar. Baudrillard (dalamFeatherstone) melihat bahwa taraf produksi image tersebut telah membawa perubahan masyarakat secara kualitatif yang di dalamnya perbedaan antara realitas dan image menjadi kabur, kehidupan sehari-hari mengalami estetisikasi. Ruang dan waktu merupakan dunia simulasional atau dia sebut dengan budaya posmodern.15 Dalam wacana ini fungsi periklanan telah bergeser dari penekanan rasionalitas terhadap kepuasan fungsional menjadi penekanan atas keikutsertaan kemampuan audiens dalam menciptakan tampakan-tampakan luar dari makna melalui manipulasi ikatan dan pemunculan yang pada akhirnya menjadi ciri yang konstan dari modernitas akhir. Leiss et al. dalam Chaney mengajukan suatu rangkaian perkembangan periklanan selama abad 20. Tahap awal iklan masih bersifat idolatry (produk-produk disajikan dalam nilai guna murni), kemudian iconology (produk-produk diberi atribut-atribut simbolik), narsisisme (produk-produk diper- sonalisasi dan dinilai secara interpersonal) dan perkembangan terakhir adalah totemisme (produk-produk ditampilkan sebagai suatu tanda/indikator bagi suatu kolektivitas yang didefinisikan melalui penampilan dan aktivitasnya). Sejalan dengan itu, pengkomunikasian pesan iklan dengan menggunakan penampakan luar menjadi dominan; konsumsi menjadi suatu fenomena tontonan. Produk dikaitkan dengan citra yang menjadi perlambang dari kolektivitas sosial yang mengasosiasikannya dengan gaya hidup.16 Dengan demikian Periklanan pun menjadi salah satu agen yang ikut memformulasikan kerangka-kerangka kultural gaya hidup citraan yang terus menerpa kehidupan masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Ibrahim dalam Chaney bahwa dalam era globalisasi yang berperan besar dalam membentuk budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang memesona dan memabukkan. Ujarnya pula, iklan merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya citra diri untuk tampil di depan publik. Secara perlahan pula iklan mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.17 Bahkan, tambahnya pula, Marshall Mcluhan, kritikus media terkemuka, menyebut iklan sebagai karya seni terbesar abad-20 karena iklan dapat bertindak sebagai penentu kecenderungan, tren, mode, dan pembentuk kesadaran manusia modern. Meskipun, tidak semua orang akan begitu mudah terpengaruh oleh bujuk rayu iklan namun sedikit banyak iklan dapat menjadi saluran wacana (channel of discourse) mengenai konsumsi dan gaya hidup mutakhir.
METROSEKSUALITAS DALAM IKLAN SEBAGAI WACANA GAYA HIDUP POSMODERN
Tumbuhnya kecenderungan metroseksual di kehidupan masyarakat dilihat dari wacana budaya populer merupakan suatu cerminan dari perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi dan informasi yang melenyapkan batas-batas teritorial misalnya negara, bangsa, kesukuan, kepercayaan, politik, dan budaya. Luruhnya batasan-batasan ini juga berimbas secara signifikan pula pada pola berpikir dan stereotip yang dibentuk oleh pola pemikiran modern tentang maskulinitas. Seperti halnya Pria telah melampaui batas-batas gender dengan melakukan suatu ritual, dalam hal ini perawatan tubuh, yang selama ini menjadi stereotip kaum hawa dalam konstruksi sosial pada umumnya. Pria menurut pandangan umum yang berlaku adalah sosok jantan, kekar, untuk menggambarkan dominasinya akan kekuasaan dan kelebihannya dibandingkan perempuan. Sosok yang semula dipandang yang kuat untuk melindungi telah bergeser menjadi lebih sensitif akan penampilannya. Kertajaya menyebut ini sebagai WOMENvolution18 dimana urusan pria sekarang ini tidak hanya bekerja dan mencari uang tetapi juga memperhatikan penampilannya dan bersikap emosional. Salah satu contohnya adalah David Beckham. Meskipun profesinya adalah pemain sepak bola dia tidak lupa menjaga penampilannya dengan memoleskan pewarna kuku pada jari-jari kakinya.
Akankah metroseksualitas hanya akan bertahan sebagai trend atau merupakan suatu bentuk evolusi sosial yang akan berkembang? Kalau melihat perkembangan metroseksual bisa jadi bukanlah hanya trend sesaat saja. Media dan iklan yang terus mengekspos gaya dan kehidupan selebritis seperti Beckham di atas serta produk-produk berbau metroseksual menjadi umpan yang begitu menarik perhatian publik dan terutama orang-orang berduit. Gaya hidup posmodern semakin menunjang hal itu dimana dalam masyarakat yang semakin konsumtif tampilan permukaan dan gaya menjadi lebih penting. Seperti yang diungkapkan oleh Harvey dalam Strinati bahwa “citraan mendominasi narasi” dimana masyarakat sering mengkonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan bukannya substansi, isi dan maknanya/kegunaannya.19
Masyarakat dipenuhi oleh citraan-citraan yang ditampilkan dalam iklan-iklan dimana produk- produk ditampilkan sebagai suatu tanda/indikator bagi suatu kolektivitas yang didefinisikan melalui penampilan dan citraan. Narsisisme sebagai titik tolak gaya hidup metroseksual seperti yang diutarakan Simpson, mengadopsi nilai “cintraan mendomonasi narasi” tersebut. Seperti diutarakan Lasch (dalam Piliang) dimana narsisisme ini sebagai satu dimensi dan kondisi psikologis seseorang dimana dia mengalami ketergantungan pada citraan diri dan ilusi yang menyertainnya serta pengakuan akan hal tersebut dari masyarakat.20
Kekuatan citra yang hadir dalam masyarakat konsumtif adalah hasilan dari - yang disebut Kundera - produsen ‘ideologi’ dan sekaligus pendefinisi kenyataan.21 Siapa saja itu? Kundera menyebutkan diantaranya biro iklan, manajer kampanye, perancang mode, perekayasa peralatan gimnastik, penata rambut, bintang showbiz. Mereka inilah agen-agen penjual citra yang mendiktekan idealitas kecantikan/ketampanan dan nilai-nilai keindahan tubuh lewat televisi, film, iklan dan juga dalam dunia olahraga.22 Gaya hidup metroseksualitas yang hadir di tengah-tengah masyarakat dengan ideologi sosok narcissistic dengan penampilan dandy23, konsumtif, memanfaatkan leisure time-nya di klub, spa, salon, butik, penata rambut, restoran, dan toko ternama merupakan hasil dari keahlian para produsen ‘ideologi ‘ tersebut dalam membangkitkan kebutuhan akan estetisikasi penampilan dalam kehidupan sehari-hari melalui bentuk-bentuk penawaran seperti iklan produk-produk kecantikan yang melakukan penawaran keahliannya dalam perawatan rambut, wajah, laser, blue peel, teta peel dan sebagainya yang tidak hanya ditawarkan kepada kaum wanita namun juga pria sehingga kalau diperhatikan mulai banyak pria terkena imbas dari ‘wacana gaya hidup metroseksual’ yang dengan setia mengunjungi tempat- tempat spa dan beauty clinic yang terus merebak bak jamur di waktu hujan.
Gambar 2. Model Metroseksual dalam iklan jasa beauty & slimming clinic di Surabaya
Dengan demikian ideologi citraan dan tubuh menjadi begitu penting bagi kaum metroseksual dan hal itu nampaknya sekarang telah merasuki kehidupan masyarakat dengan semakin menjamurnya produk-produk kebutuhan bagi pria metroseksual dalam menjaga keindahan tubuh dan keselarasan diri sebagai perwujudan citraan diri dalam kehidupannya; persis dengan idealitas kecantikan/ketampanan yang dipropagandakan iklan. Inilah metroseksual yang berdasarkan istilah Ibrahim sebagai cerminan ‘antagonisme kultural’ yang paling naïf24. Dalam nuansa masyarakat konsumtif dimana kaum metroseksual berada di dalamnya, merasa ‘mati’ kalau tidak tampil dandy karena ideologi citraan mereka adalah survival of the fittest dimana tampil gaya dan berbeda adalah karakter keharusan bagi seorang metroseksual. Diferensiasi sebagai suatu proses membangun identitas melalui perbedaan produk, gaya dan gaya hidup nampak jelas dalam iklan yang menampilkan pria-pria dandy (cantik-pesolek namun tetap gagah dan anggun). Hal ini dalam bahasa estetik posmodern disebut dengan camp, suatu model estetisisme (bukan dalam pengertian keindahan melainkan dalam pengertian keartifisialan dan stylization) yang lebih menekankan pada dekorasi, permukaan sensual, dan gaya dengan mengorbankan isi, anti identitas seksual, berlebihan, spesial, dan glamour.25 Iklan tersebut telah membuka saluran wacana (channel of discourse) baru khususnya bagi kaum pria berduit untuk memanfaatkan leisure time-nya melalui uang dan kekayaannya dengan memanjakan diri dan melepaskan diri dari ‘ketersiksaan’ dan ‘kepenatan’ rutinitas sehari-hari plus tersematkannya identitas baru pada diri mereka dari masyarakat. Hingga hal ini mungkin dapat menjadi contoh penjelas asumsi Zablocki dan Kanter (dalam Chaney) yang mengatakan bahwa eksperimentasi gaya hidup berlangsung pada orang-orang yang peran ekonomi dan pekerjaannya tidak lagi menghadirkan seperangkat nilai yang koheren dan bagi mereka identitas dapat dimunculkan melalui realisme konsumsi daripada produksi.26 Akibatnya adalah saat ini, saluran wacana itu terus bergeser dari saluran wacana (channel of discourse) menjadi semacam saluran hasrat (channel of desire) bagi kaum muda berduit untuk mendapatkan citraan diri dan pemaknaan hidup sebagai kaum metroseksual.
SIMPULAN
Mengutip pernyataan Adarno (dalam Ibrahim) bahwa iklan mengundang manusia untuk melihat satu karakter dengan cara yang sama ia melihat dirinya, tanpa sadar bahwa sebenarnya telah terindoktrinasi.27 Demikian juga trend gaya hidup metroseksual yang merambah kota-kota besar semakin menunjukkan pengaruhnya. Awalnya yang adalah sekedar wacana kini telah merasuki dan menjadi trend kehidupan kelas menengah ke atas. Iklan dengan bentuk penawarannya yang glamour telah menawarkan nilai-nilai simbolik tertentu, didukung dengan globalisasi informasi dalam kehidupan manusia yang semakin konsumtif, menyebabkan gaya hidup metroseksual menjadi tidak sekedar fenomena lagi namun telah menjadi suatu identitas sosial yang membedakan si pemilik identitas tersebut dengan individu lainnya dalam kehidupan sosialnya. Dalam hal ini, gaya hidup konsumtif telah melahirkan lagi satu bentukannya melalui produk-produk gaya berpenampilan yang serba glamour dan eksperimental pada pria. Sebagaimana terbentuknya kelas sosial di masyarakat, gaya hidup metroseksual pun ada kemungkinan akan menempatkan dirinya pada struktur sosial masyarakat senyampang budaya konsumsi, tubuh, dan citra masih melekat dalam benak dan relung hati manusia.
1
Benny Santoso, “Pria Metroseksual,” Get Life 06 (2004), hal. 39.
2
Mardiyah Chamim, et al., “Bertemu Pria-Pria Venus,” Tempo 01/XXXIII (30-7 Maret 2004), hal. 56.
3
Simpson mengambil analogi dari mitologi Yunani tentang pemuda yang terpesona menatap pantulan
wajahnya sendiri di permukaan air kolam.
4
Op. cit., hal. 56-57.
5
Hermawan Kertajaya, et al., Marketing in Venus, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 21.
6
Ibid.
7
Ibid, 17.
8
David Chaney, Life Styles: Sebuah Pengantar Komprehensif , terj. Nuraeni, (Yogyakarta, 2004), hal. 40.
9
Ibid., hal. 41.
10
Ibid., hal. 92.
11
Ibid, hal. 156-157.
12
Ibid, hal.158.
13
Ibid., hal. 85.
14
Ibid., hal. 167-170. (Chaney dalam catatan akhirnya menuliskan bahwa suatu titik berat terhadap tampakan
luar ada kaitannya dengan teorisasi budaya posmodern).
15
Mike Featherstone, Posmodernisme dan Budaya Konsumen, terj. Misbah Zulfa Elizabeth, (Yogyakarta,
2001), hal.162.
16
Ibid., hal. 177.
17
Ibid., hal.19.
18
Kertajaya, et.al., op.cit., hal. 20.
19
Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju teori Budaya Populer, terj. Abdul Mukhid,
(Yogyakarta, 1995), hal. 257.
20
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung, 1998), hal.57.
21
Idi Subandy Ibrahim, Ekstasi Gaya Hidup: Kebudayaan Pop Dalam Masyaralkat Komoditas Indonesia
(Bandung, 1997), hal. 25
22
Ibid, hal. 26.
23
Chaney beranggapan bahwa dandyisme merupakan inovasi budaya posmodern dimana para individu
menggunakan desain gaya personalnya sebagai suatu bentuk praktik seni bergerak dalam suatu estetisasi
kehidupan sehari-hari.
24
Agen-agen industri kebudayaan membangun kekuasaan bukan dengan intimidasi dan teror yang kasar dan
telanjang tapi bagaimana membuat orang merasa ‘mati’ kalau tidak tampil trendy, kaya, cantik, awet muda
dan serba wah.
25
Piliang, op.cit., hal. 307.
26
Ibid., hal. 158.
27
Ibrahim, op.cit., hal 200.
KEPUSTAKAAN
Chamim, Mardiyah, D.A. Candraningrum, Nurhayati, Telni Rusmitantri. “Bertemu Pria- Pria Venus”, Tempo 01/XXXIII (30-7 Maret 2004), hal. 56.
Chaney, David. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Ibrahim, Idi Subandy. Ekstasi Gaya Hidup: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung: Mizan, 1997.
Kertajaya, Hermawan, Yuswohadi, Dewi madyani, Bembi Dwi Indrio. Marketing in Venus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan, 1998.
Santoso, Benny. “Pria Metroseksual”, Get Life, Juni, 2004, hal. 39.
Strinati, Dominic. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995.
Download > Metroseksualitas dalam Iklan sebagai Wacana Gaya Hidup Posmodern
Sumber: Desa Informasi > Pusat Penelitian (Research Centre) Petra Christian University
“Desa Informasi” or “Information Village” is the name adopted for the Local eContent (digital information resources with local flavor) development project being carried out in Petra Christian University Library.
“Desa Informasi” can also play an important role in preserving (at least) digitally local historical and cultural heritage, thus preserving the collective memory of a local society.
All Local eContent collections are available for everyone through the Internet for free. Some Local eContent collections are currently available in “Desa Informasi,” such as Surabaya Memory, Digital Theses, eDIMENSI, Petra@rt Gallery, Petra iPoster, and Petra Chronicle.
Cons. Tri Handoko
Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual
Fakultas Seni dan Desain - Universitas Kristen Petra
•••
mantap. ulasan yg mendalam