Oleh: Samiaji Bintang
ALI Sadikin berdiri memegang mikropon. Di hadapannya, selusin anggota pasukan Kopassus berseragam hijau loreng, beberapa staf sebuah perusahaan produsen ban, puluhan relawan, pejabat rumah sakit pemerintah, dan Dinas Kesehatan Yogyakarta duduk bersila, membentuk lingkaran. Meski terlihat lelah, Sadikin mengumbar senyum dan tawa saat menyampaikan sambutan dan ucapan terimakasih kepada para undangan.
Selama dua pekan sebelumnya, ratusan relawan di bawah koordinasi Sadikin bekerja keras mengirim bantuan ke pos-pos pengungsi dan korban Merapi.
Siang itu adalah hari terakhir masa tanggap darurat bencana Merapi yang digelar Yayasan Dompet Kemanusiaan Media Group di bawah kendali Sadikin. Sebelum masuk ke tahapan rehabilitasi, yayasan menggelar ‘syukuran’ sederhana dalam posko bantuan Media Group di Jalan Kaliurang, Yogyakarta.
Yayasan Dompet Kemanusiaan Media Group berdiri setelah bencana gempa di Padang 2009. Lembaga ini menerima dana bantuan dari ratusan pemirsa dan pembaca media di bawah bendera Media Group milik Surya Paloh. Dana dikirim melalui rekening yayasan. Hingga saat itu, dana yang terkumpul tak kurang dari Rp 16 miliar. Angka itu terus bertambah. Hingga 29 November 2010, dana yang terhimpun sebesar Rp 21 miliar.
“Kami (Media Group) tidak boleh menerima bantuan langsung dari pemirsa, karena itu kami buat yayasan. Dana ini nantinya juga kami pertanggungjawabkan,” ujar Sadikin kepada saya.
“Jumlah ini masih kalah dibanding TV One,” tambahnya.
TV One, stasiun TV berita yang menjadi rival Metro TV sejak awal 2008, juga menggalang dana bantuan dari pemirsa untuk korban bencana. Hingga 20 November 2011, jumlah dana masyarakat yang dihimpun melalui “Satu Untuk Negeri” jauh lebih besar dari Media Group, mencapai 50 Rp miliar hanya dalam tempo kurang dari tiga pekan. Dana itu mengalir melalui rekening perusahaan.
“Satu Untuk Negeri masih program, bukan yayasan,” kata Raldy, juru bicara Satu Untuk Negeri.
Kedua stasiun juga berlomba menjaring sumbangan pemirsa ketika gempa mengguncang wilayah Sumatera Barat tahun 2009. Hingga 9 Oktober 2009, total dana bantuan yang dihimpun melalui TV One hampir mencapai Rp 28 miliar. Pada saat yang sama Metro TV menghimpun dana pemirsa sekitar Rp 24 miliar.
Partisipasi dan besarnya sumbangan pemirsa tak lepas dari pemberitaan bencana yang nonstop selama berminggu-minggu. Metro TV menyiarkan perkembangan berita terkait erupsi Merapi hampir dalam setiap program berita, seperti Headline News, Metro Hari Ini, Breaking News, Metro Siang, Metro Sore, hingga Metro Malam. Headline News bahkan ditayangkan hampir setiap jam. Bentuk siaran pada umumnya adalah siaran langsung dari lapangan.
Selama hampir tiga pekan, stasiun TV One juga menyiarkan berita-berita aktual seputar erupsi Merapi, korban dan para pengungsi hampir tiap jam. Selain lewat program-program berita seperti Kabar Pagi, Kabar Siang, Kabar Petang, dan Kabar Malam, berita-berita bencana disiarkan dalam program news and talk yang menghadirkan beragam narasumber. Contohnya program Apa Kabar Indonesia Pagi dan Apa Kabar Indonesia Malam dengan durasi lebih dari satu jam.
Kedua media bersaing melaporkan berita terkini. Gambar-gambar pemukiman yang hangus terbakar dan diselimuti abu vulkanik. Arus pengungsi di posko-posko. Korban jiwa yang berdatangan ke rumah sakit. Tayangan itu menyedot rasa simpati dan air mata pemirsa di luar wilayah yang dilanda bencana.
Bencana Kemanusiaan dan Efek Media
Media berperan besar ketika meliput bencana alam maupun kemanusiaan. Kecepatan, kedalaman dan luasnya liputan media mendorong perhatian dan intervensi internasional. Termasuk derasnya arus dana sumbangan dari luar dan dalam negeri.
Teori CNN Effects membantu menjelaskan dampak media ketika meliput krisis politik, bencana kemanusiaan dan bencana alam. Istilah CNN effects hanya menunjukkan dampak liputan stasiun jaringan CNN (Cable News Network) terhadap kebijakan luar negeri AS menjelang akhir Perang Dingin (Gilboa, 2005). Stasiun ini dianggap sebagai perintis model pemberitaan yang berdampak pada campur tangan pemerintah Amerika Serikat, baik melalui meja perundingan maupun militer.
Dukungan teknologi satelit memungkinkan stasiun jaringan ini melaporkan secara intensif, terus-menerus dalam jangka waktu lama aksi demonstrasi mahasiswa di Tiananmen, China, dan jatuhnya komunisme di Eropa Timur menjelang akhir 1980an.
Awal 1990an, pamor CNN kian menjulang dengan siaran-siaran langsung pertempuran antara tentara Amerika dan sekutunya melawan pasukan Irak di bawah Saddam Husein. Pemberitaan nonstop ( saturated coverage) tersebut memengaruhi kesadaran politik masyarakat dan kebijakan luar negeri Amerika.
Pasca Perang Dingin, stasiun BBC, Al Jazeera, dan Sky News melanjutkan model pemberitaan CNN. Konflik bersenjata di kawasan Balkan, runtuhnya menara kembar World Trade Center 11 September 2001, Bom Bali Oktober 2002, dan lain-lain memiliki dampak terhadap kebijakan politik dan intervensi banyak pihak terhadap negara yang dilanda konflik bersenjata. Alih-alih menjadi solusi, intervensi asing kerap memperkeruh persoalan, bahkan konflik baru.
“CNN effects” juga bisa diterapkan untuk melihat pemberitaan media dalam bencana alam. Kecepatan, kedalaman dan luasnya liputan media juga mendorong intervensi internasional, solidaritas nasional dan aliran dana bantuan. Ini terbukti saat tsunami melanda beberapa negara di Asia pada 26 Desember 2004, dan gempa bumi mengguncang Haiti pada Januari 2010. Relawan dan bantuan berdatangan ke lokasi bencana.
Pemberitaan intensif di wilayah bencana punya dampak positif. Di AS misalnya, berita-berita bencana tsunami yang melanda Aceh, Nias, dan negara-negara Asia yang disiarkan jaringan televisi dan koran berkorelasi terhadap angka sumbangan publik.
Dalam laporan riset berjudul “Media Coverage and Charitable Giving After the 2004 Tsunami”, Philip H. Brown dan Jessica H. Minty dari Colby College, AS, mengungkapkan tiap satu menit tambahan berita yang disiarkan stasiun-stasiun televisi berita jaringan NBC dan ABC pada malam hari memperbesar jumlah sumbangan publik, rata-rata kenaikan sebesar 13.2 persen.
Sementara, tiap tambahan 100 kata berita bencana tsunami yang dimuat harian New York Times dan Wall Street Journal, menambah donasi yang disalurkan melalui organisasi-organisasi kemanusiaan pada hari itu, rata-rata 18.2 persen.
Metro TV Effects
Di tingkat nasional, stasiun televisi berita Metro TV bisa dianggap sebagai pelopor pemberitaan a la CNN. Terutama ketika melaporkan bencana gempa dan tsunami di Aceh, Desember 2004. Laporan-laporan yang menggambarkan kedahsyatan tsunami, kerusakan, dan cerita-cerita sedih akibat bencana disiarkan secara terus-menerus setiap hari selama satu bulan pertama setelah bencana.
Laporan-laporan wartawan Metro TV dari kawasan bencana di Aceh membangkitkan kesadaran dan solidaritas nasional serta partisipasi masyarakat luas. Berbeda dengan CNN, Metro TV memanfaatkan simpati dan kedermawanan masyarakat dengan membuat program “Indonesia Menangis” yang menampung dan mengelola sumbangan publik.
Lewat “Indonesia Menangis” di samping menerima bantuan barang, stasiun televisi berita ini membuka rekening di Bank Central Asia dan Bank Mandiri. Dalam tempo kurang dari sepekan, dana yang terkumpul Rp 40 miliar!
Pemberitaan Metro TV ini belakangan diikuti stasiun berita TV One dalam beberapa peristiwa bencana di tanah air. Yang terakhir adalah meletusnya Merapi pada Oktober dan November 2010. Selain pemberitaan bencana Merapi yang terus-menerus, TV One juga memanfaatkan momentum bencana untuk pengumpulan dana bantuan.
Seperti juga Metro TV, alih-alih mengarahkan pemirsa memberi bantuan lewat lembaga-lembaga bantuan yang berpengalaman dan profesional, seperti Palang Merah Indonesia, TV One mengajak pemirsa untuk mengirim dana bantuan ke rekening perusahaan. Dana itu kemudian disalurkan kepada korban bencana melalui program “Satu Untuk Negeri”.
Meski tampak baik dan menampilkan wajah media yang dermawan, keterlibatan media dalam menarik dan menyalurkan bantuan kemanusiaan, seperti Indonesia Menangis maupun Satu Untuk Negeri berisiko menjinakkan prinsip independensi media.
Di mana Independensi Media?
Jika masing-masing media berita yang semestinya bertugas sebagai “anjing penjaga” sibuk mengumpulkan dan menyalurkan dana bantuan kemanusiaan, siapa yang akan melaporkan dan memastikan miliaran dana bantuan itu benar-benar sampai ke tangan korban?
Seperti juga relawan dan organisasi bantuan profesional, di wilayah bencana, media sebagai pelapor dan “anjing penjaga” yang punya tugas penting: mengawasi proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
“We have an obligation to protect this watchdog freedom by not demeaning it in frivolous use or exploiting it for commercial gain (media dan wartawan wajib untuk melindungi kebebasannya sebagai pengawas dengan tidak menyalahgunakan atau mengeksploitasi prinsip kebebasan demi kepentingan komersial),” tulis Kovach and Rosenstiels dalam buku Elements of Journalism; What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (2002).
Namun prinsip kebebasan dan kehati-hatian ini justru diterabas Metro TV, yang kemudian diikuti TV One dalam pemberitaan bencana. Meski menyajikan informasi aktual, pada akhirnya, pemberitaan bencana yang intensif hanya trik mendongkrak popularitas dan prestise stasiun TV berita.
Sumber: Remotivi
Samiaji Bintang
Samiaji Bintang adalah jurnalis independen berbasis di Jakarta, pernah mendapat Mochtar Lubis Fellowship tahun 2009. Tahun 2009-2011, belajar jurnalistik di Ateneo de Manila University atas beasiswa dari Konrad-Adenauer Asian Center for Journalism.
Remotivi adalah lembaga pemantau televisi yang memiliki kerja edukasi dan advokasi. Dalam kerjanya, Remotivi bertujuan untuk (1) mengembangkan tingkat kemelekmediaan masyarakat, (2) menumbuhkan, mengelola, dan merawat sikap kritis masyarakat terhadap siaran televisi, dan (3) mendorong profesionalisme pekerja televisi untuk menghasilkan tayangan yang bermutu, sehat, dan mendidik. Remotivi adalah kelanjutan dari Masyarakat Anti Program Televisi Buruk (MAPTB).
•••