Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Merubah Citra Melalui Perubahan Logo – Studi Kasus: Logo dari PT Pos dan PT Keretapi

Oleh Didit Widiatmoko Suwardikun

1. Latar belakang Masalah
Berawal dari keinginan manusia untuk membuat hidupnya lebih nyaman, maka manusia mulai menciptakan alat-alat untuk membantu menyelesaikan pekerjaannya sehari-hari, yaitu dimulai dari budaya berburu di zaman batu, dimana sekelompok orang yang membuat kapak batu dan kelompok lain sebagai pengguna kapak, untuk berburu gajah purba. Dari budaya pembuat alat ini maka timbul spesialisasi, dimana ada sekelompok orang yang membuat alat, dan kelompok lain yang menggunakan alat tersebut, maka dari sini mulai timbul sistem organisasi. (Dr. Ir S.B. Lubis, kuliah Manajemen, Program Pasca Sarjana ITB, semester I th. 1999)

Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya penemuan-penemuan, maka kelompok pembuat ini semakin banyak jumlahnya dan barang atau produk yang dibuat semakin beragam, maka diantara mereka mulai timbul persaingan untuk mendapatkan komnsumen sehingga mereka perlu mendesain, yaitu selain mencipta produk yang baru, juga perlu merancang produk yang sudah ada agar lebih bagus, lebih berguna, lebih bernilai, juga dalam menghadapi persaingan diantara kelompok pembuat yang satu dengan yang lain mereka memerlukan identitas, yaitu Identitas organisasi atau institusi, dan titik fokus dari identitas kelompok ini adalah logo.

Penggunaan logo bagi suatu perusahaan atau organisasi adalah pencerminan dari hal-hal yang ideal, yaitu ruang lingkup kerja, visi dan misi, serta budaya perusahaan. Logo merupakan penterjemahan dari ide-ide yang abstrak disingkat menjadi sesuatu yang nyata, dan berperan sebagai wajah dari perusahaan tersebut. Biasanya sebuah logo mengandung nilai-nilai simbol yang baik. Bila dilihat dari bentuk, warna, proporsi, layout, baik gambar maupun tulisan dapat mengesankan bagaimana kemapanan suatu perusahaan, juga bidang usahanya, apakah itu bidang usaha berteknologi tinggi, atau bidang usaha kria/ kerajinan tradisional, pabrik makanan/ minuman, atau pabrik senjata, perusahaan pemerintah atau swasta.

Sebagai logo, idealnya harus mempunyai kaidah estetika yang baik, untuk dapat digunakan mewakili wajah dari perusahaan atau organisasi. Jika mengacu pada pendapat bahwa suatu gejala yang terjadi pada masyarakat dapat diamati melalui tanda-tanda, yang dalam bahasan ini adalah logo perusahaan, dimana logo perusahaan selain mewakili bidang usaha, juga dapat dititipi pesan ideologi yang berlaku sebagai hegemoni.

1.1. Perumusan Masalah
Bagaimana konsep lambang atau logo bagi suatu perusahaan. Bagaimana logo dapat mewakili suatu ideologi yang berlaku pada suatu periode waktu tertentu, yang berkembang menjadi hegemoni, dan apabila struktur kekuasaan tidak kuat lagi menyokong hegemoni ini, maka tanda-tanda yang mewakili hegemoni ini pun dihilangkan.

1.2. Ruang lingkup kajian
Kajian difokuskan pada logo Perusahaan-perusahaan milik negara, dimana perusahaan tersebut berubah status dari milik negara penuh, bergradasi menjadi perusahaan swasta. Perusahaan milik negara penuh, berbentuk Perjan (Perusahaan Jawatan, anggaran pembiayaannya dari APBN), Perum (Perusahaan Umum, anggaran pembiayaannya dari dana khusus Negara), menjadi Persero atau PT. (Perusahaan Swasta dengan pembiayaan sendiri, Pemerintah sebagai penyerta modal). Dalam hal ini sebagai studi kasus adalah logo dari PT Pos dan PT. Keretapi.

1.3. Teori Pendekatan
Logo sebagai suatu produk dari budaya dan logo adalah tanda-tanda simbolik, maka untuk menelaah masalah ini menggunakan pendekatan teori tanda-tanda, yang sesuai dengan mata kuliah desain dan kebudayaan, yaitu memahami atau studi tentang kebudayaan dengan membaca tanda-tanda.

2. Permasalahan

2.1. Ideologi
Dari berbagai logo perusahaan ada beberapa logo dari perusahaan milik pemerintah, yang mempunyai ruang lingkup pekerjaan pelayanan masyarakat menggunakan unsur-unsur yang sama, yaitu unsur segilima.

Unsur segilima dalam perlogoan di Indonesia pada suatu periode pemerintahan menjadi hal yang wajib, seolah bila tidak menggunakan segilima, bukan logo yang resmi. Segi-lima merupakan pencerminan dari suatu ideologi, dimana pencerminan tersebut diterapkan menjadi tanda-tanda, yaitu logo resmi, sehingga segilima merupakan suatu pencerminan ideologi.

Ideologi adalah lebih dari sekedar sistem dari idea atau nilai. Ia memerlukan hubungan antara arti tekstual dan bermacam-macam kelompok yang terlibat dalam membuat dan menerima teks. Ideologi sangat dipengaruhi oleh politik dari kehidupan sehari-hari : hubungan kekuasaan, yang didefinisikan dengan kepentingan kelompok dan kelas tertentu, dimana untuk setiap pribadi menjadi suatu kebiasaan dalam berhubungan satu dengan yang lain. (Thwaites, Anthony G., Tools for Cultural Studies, Macmillan Education Australia Pty. Ltd 1994, hal. 155)

Dalam pengertian ini ideologi dapat juga diartikan sebagai relasi antara makna suatu tanda dengan kelompok yang membuat dan membaca tanda tersebut, dimana ideologi yang diciptakan dan di sisipkan pada tanda-tanda secara tidak sadar menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pada suatu periode pemerintahan, dimana pemerintah memasyarakatkan ideologi segi-lima melalui berbagai hal, diantaranya Penataran, kampanye disemua lini pendidikan nasional, sehingga pada waktu itu terbentuk suatu badan kampanye, yang khusus dibentuk untuk membina pemasyarakatan ideologi segi-lima dan didanai secara khusus. Selain melalui penataran dan kampanye menyeluruh yang terprogram dan berkesinambungan, ada salahsatu diantaranya yaitu penetapan ideologi segi-lima ini pada unsur lambang.

Sehingga timbul suatu anggapan bahwa yang bernama lambang, harus mengandung unsur segi-lima, dan yang tidak mengandung unsur segi-lima tidak mencerminkan lambang yang resmi, bahkan tidak hanya institusi negara, institusi swasta pun bila ingin tampil seolah-olah resmi akan menggunakan unsur segi-lima pada lambangnya.

Unsur Pancasila, sebagai dasar falsafah atau ideologi negara Republik Indonesia, dipakai ungkapan yang mendasari konsepsi perwujudan unsur lambang. (Rizman Zihary, Lambang Pemerintah daerah di Indonesia, Skripsi, Jurusan Desain Grafis FSRD-ITB, Bandung 1987, hal 106)

Selain ungkapan unsur unsur sila, Pancasila secara bulat dan utuh diungkapkan ke dalam bentuk rupa bentuk dasar (perisai) seperti bentuk dasar segi-lima beraturan , bentuk dasar bersudut lima dan beberapa bentuk dasar yang hanya mempunyai pengertian simbolisme. (Ibid, Hal. 109)

Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang keramat, dan ada kecenderungan untuk mengkultuskan angka 5, yang apabila kaitannya di cari-cari atau dikaitkan dengan kepercayaan atau agama, memang banyak hal-hal yang berkaitan dengan angka 5, yang paling dekat adalah jumlah jari pada tangan manusia normal adalah 5.

Pancasila pada pada suatu periode pemerintahan pernah dianggap sebagai suatu kebenaran yang mutlak, suatu azas tunggal dan bahkan dapat mengalahkan azas agama, karena agama hanya merupakan salah satu unsur yang diwakili dengan lambang bintang dalam Pancasila, maka dengan kemutlakan ini Pancasila telah berkembang dari ideologi menjadi Hegemoni.

2.2. Hegemoni
Hegemoni adalah suatu proses sosial dari konsensus dimana hubungan kekuatan mengikuti budaya kepemimpinan dari kelompok yang dominan. Suatu ideologi menjadi bersifat hegemoni ketika penerimaan terhadapnya meluas, dan menjadi stuktur makna untuk banyak kelompok dan institusi. (Thwaites, Anthony G., Tools for Cultural Studies, Macmillan Education Australia Pty. Ltd 1994, hal. 158)

Dalam bidang logo, angka 5 sebagai reperesentasi dari Pancasila divisualkan menjadi suatu bidang yang bersudut 5 beraturan atau segi-lima yang berupa tameng. Selain angka 5, juga unsur visual padi dan kapas banyak digunakan pada lambang-lambang departemen-departemen pemerintah yang merupakan penanda dari sila keadilan sosial.

Sila ke lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dilambangkan dengan padi dan kapas, menunjukkan suatu sikap tolong menolong dalam suasana gotong royong dan kekeluargaan, untuk mencapai tujuan kemajuan, kesejahteraan bersama dan merata, bersudut lima dan beberapa bentuk dasar yang hanya mempunyai pengertian simbolisme. (Ibid, Hal. 109)

Selain unsur segilima, pada logo-logo departemen pemerintah juga dipakai unsur-unsur lain yang terkandung pada Pancasila yaitu komponen-komponen sila yang mengandung arti perlambangan, dimana tanda-tanda tersebut tidak mewakili referen, melainkan hanya kesepakatan tentang pengertian suatu tanda yang dibuat dan disepakati maknanya pada suatu komunitas tertentu, dan ini dinamakan simbol.

Sebagai contoh adalah lambang –lambang dari departemen-departemen pemerintah mempunyai bentuk dasar segi lima, dan beberapa departemen menggunakan unsur padi-kapas, yang disepakati sebagai suatu tanda yang melambangkan keadilan sosial, dan ada juga yang menggunakan bintang, yang telah disepakati sebagai lambang Ketuhanan Y.M.E., pada lambang depertemen Agama.

Unsur visual berupa bidang segi-lima dan padi-kapas ini selain digunakan pada lembang-lambang departemen, juga digunakan pada lambang BUMN (Badan Usaha Milik Negara), sehingga terbentuk citra bahwa lambang lembaga milik pemerintah adalah lambang yang mengandung unsur bidang segilima atau unsur-unsur lambang dalam Pancasila.

logo dep. keuangan

logo dep. agama

logo dep. transmigrasi

logo dep. pertahanan

Berturut-turut dari atas ke bawah adalah logo Departemen Keuangan, Departemen Agama, Departemen Transmigrasi dan Departemen Pertahanan.

2.2. Fenomena Krisis
Dari fenomena krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 80 an, akibat berkurangnya pendapatan negara dari sektor minyak bumi, maka keputusan pemerintah pada waktu itu adalah swastanisasi BUMN. Hal ini tentu akan mempengaruhi kepemilikan dan pengambilan keputusan dari perusahaan-perusahaan tersebut, dimana dilakukan perubahan manajemen dan juga perubahan identitas atau wajah perusahaan yaitu logo perusahaan.

Memasuki tahun 1987, isu sentral di bidang ekonomi adalah bagaimana bangsa Indonesia mendaya-gunakan potensinya, terutama dari sektor masyarakat/swasta, setelah peranan negara agak merosot tajam sehubungan dengan berkurangnya pendapatan negara dari sumber daya migas. Sebagai isu pararelnya ialah swastanisai BUMN. (Wibisono, Christianto, Menelusuri Akar Krisis Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, Hal. 15)

Pancasila itu sendiri pada dasarnya adalah sesuatu yang secara konseptual baik, merupakan suatu ideologi yang dianggap paling ideal bagi masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama dan golongan, memuat falsafah dan nilai-nilai yang sesuai dengan ideal bangsa Indonesia.

Setelah puluhan tahun kampanye dan memasyarakatan bentuk tameng segilima, yang dilakukan pemerintah pada waktu itu, berdampak positif sebagai dasar negara, falsafah, alat pemersatu bangsa, namun dampak negatif dari ideologi dan hegemoni ini pun mulai muncul, karena Pancasila tidak hanya di “amal”kan sebagai sesuatu yang baik, melainkan juga ada kelompok tertentu dalam bangsa ini yang menggunakannya sebagai tameng, yaitu untuk menutupi kesalahan dengan berlindung dibalik Pancasila sehingga segala macam kekeliruan, kejahatan, keburukan akan menjadi baik bila bertamengkan Pancasila, dan sebutan ini dipakai oleh sekelompok pemuda yang mempunyai reputasi dapat berlaku sewenang-wenang karena digunakan dilindungi oleh kelompok penguasa, sehingga suatu struktur kekuasaan pada perioda tersebut nyaris menjadi absolut, karena kekuatan memasyarakatkan ideologinya melalui tanda-tanda yang mempengaruhi perilaku dan interaksi yang terjadi di masyarakat.

Hal tersebut ada juga yang menyebutnya sebagai “ideologi” seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx, yang di Indonesia pemikirannya pernah dianggap membahayakan :
Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa sehingga orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi. (Suseno, Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx, Gramedia, Jakarta 1999, hal 122)

Dengan memperhatikan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Ideologi dapat menjadi suatu “kenyataan semu”, karena dimasyarakatkan melalui kekuatan dan tanda-tanda. Untuk memelihara legitimasi kelompok yang berkuasa dapat diciptakan suatu kepercayaan atau azas tentang suatu kebenaran tunggal.

Ideologi dan Hegemoni ini juga berpengaruh pada sikap dan budaya perusahaan-perusahaan milik negara, apabila ada citra buruk dari pemegang kekuasaan juga akan ditularkan karena penerapan dan contoh dilakukan dari atas ke bawah, sehingga timbul suatu citra bagi perusahaan-perusahaan negara, yaitu :
Selama ini memang masyarakat mempunyai citra buruk tentang BUMN sebagai sumber segala macam inefisiensi, segala macam keboborokan. Korupsi, dan manipulasi. Sebagai lawan citra itu tumbuh malaikat swasta yang serba efisien, produktif, dan selalu kreatif serta pasti mengalahkan BUMN karena karena pihak swasta adalah wiraswasta gesit, terampil, sedang BUMN adalah birokrat atau paling banter teknokrat yang hanya mengandalkan gaji, sehingga pasti tidak kreatif. (Wibisono, Christianto, Menelusuri Akar Krisis Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998,.hal 7.)

Karena terjadi fenomena krisis yang timbul akibat menurunnya penerimaan negara dari sektor migas, maka pembiayaan untuk perusahaan-perusahaan milik negara ini terasa memberatkan sehingga ada upaya pemerintah untuk melepaskan atau go public untuk perusahaan yang sebelumnya berbentuk Perjan (Perusahaan Jawatan, anggaran pembiayaannya dari APBN), Perum (Perusahaan Umum, anggaran pembiayaannya dari dana khusus Negara), menjadi Persero atau PT. (Perusahaan Swasta dengan pembiayaan sendiri, Pemerintah sebagai penyerta modal).

Dengan berubahnya bentuk perusahaan dari milik pemerintah menjadi swasta, maka berubah pula sistem organisasi, manajemen dan visi & misi perusahaan,
Dan yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah perubahan identitas visual perusahaan dimana logo perusahaan pada waktu perusahaan berstatus Perjan, menggunakan logo dengan memakai unsur segi-lima, maka setelah menjadi Persero tidak lagi menggunakannya.

3. Landasan teori

3.1. Tanda
Beberapa konsep tanda yang dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya Ferdinand Saussure, seorang ahli semiotika linguistik, menekankan tentang hubungan tanda dengan tanda-tanda lainnya. Sebuah tanda diartikan sebagai obyek fisik, sedangkan pengertian tentang tanda tersebut diberi istilah penanda (signifier) dan petanda (signified). Keduanya merupakan aspek tanda yang tidak terpisahkan dan simultan.

Penanda adalah citra dari tanda yang diterima lewat sensori indera, sedangkan petanda adalah konsep abstrak yang diperlukan oleh tanda, dipancarkan oleh penanda dan menghasilkan makna atau pengertian yang muncul dari hubungan antara tanda dengan tanda-tanda lainnya.

3.2. Simbol
Simbol adalah tanda yang dimengerti atas dasar konvensi oleh sekelompok komunitas, mengandung nilai-nilai yang dilatar-belakangi oleh latar belakang pengalaman dari komunitas tersebut, dengan kata lain, hubungan antara tanda dengan obyeknya disusun berdasarkan kesepakatan, peraturan dan norma-norma komunitasnya. Dalam membahas masalah logo, yang pada dasarnya adalah simbol atau perlambangan-perlambangan, dimana sering terjadi bahwa tanda yang ditampilkan mempunyai makna yang dapat berbeda antara suatu kelompok dan kelompok lainnya.

3.3. Logo, Reposisi dan Citra
Bahwa identitas suatu perusahaan merupakan cerminan dari visi, misi dan ideal suatu perusahaan yang di visualisasikan dalam logo perusahaan. Logo merupakan suatu hal yang nyata sebagai pencerminan hal-hal yang non visual dari suatu perusahaan, misalnya budaya, perilaku, sikap, kepribadian, yang dituangkan dalam suatu bentuk visual.

Setiap produk atau organisasi yang sukses, memiliki sendiri kepribadiannya dan kepribadian manusia yang kompleks, demikian juga kepribadian produk dan organisasi. Trademark dan logo dari produk dan organisasi adalah penampilan dari penyingkatan kenyataan yang kompleks kedalam suatu pernyataan yang sederhana, sesuatu yang bisa di kontrol, di modifikasi, dikembangkan dan dimatangkan setiap saat. (Murphy, John; Michael Rowe, How to Design Trade Marks and Logos, North Light Books, Cincinnati Ohio, 1993, hal.6.)

Penggunaan logo bagi suatu perusahaan atau organisasi adalah pencerminan dari hal-hal yang ideal, yaitu ruang lingkup kerja, visi dan misi, serta budaya perusahaan. Logo merupakan penterjemahan dari ide-ide yang abstrak disingkat menjadi sesuatu yang nyata, dan berperan sebagai wajah dari perusahaan tersebut. Biasanya sebuah logo mengandung nilai-nilai simbol yang baik.

Reposisi adalah usaha memposisikan ulang citra yang terbentuk pada suatu perusahaan setelah sekian waktu berjalan, berinteraksi dengan masyarakat. Positioning dan repositioning merupakan upaya yang dilakukan dari dalam perusahaan, untuk membentuk citra tertentu dari perusahaan yang berkaitan dengan kemampuan serta tujuan perusahaan dengan iklim yang ada di luar perusahaan. (Brannan, Tom, A Practical Guide to Integrated Marketing Communications, Kogan Page Limited, London, 1995, hal. 14)

Dalam kaitannya dengan merubah citra perusahaan, maka reposisi adalah usaha untuk memperbaiki citra perusahaan diantaranya adalah merubah tampilan wajah atau logo perusahaan yaitu usaha perubahan yang dilakukan dari dalam perusahaan untuk medapatkan citra baru di mata konsumen.

Selain dibentuk oleh upaya dari dalam perusahaan, maka citra suatu perusahaan juga dibentuk oleh respons dari masyarakat yang menggunakan atau berkaitan dengan produk atau layanan yang dihasilkan oleh perusahaan, berada diluar perusahaan. Secara jelas citra perusahaan hanya akan muncul ketika penampilannya, kantornya, produknya, lingkungannya, sistim informasi dan kelakuannya dipersepsi oleh sasarannya, yang akan menilai suatu perusahaan melalui salah satu dari komponen tersebut. Pelanggan sebagai sasaran yang berada diluar perusahaan akan menilai perusahaan melalui produk barang atau jasa atau suasana yang ditawarkan. Keadaan saling bergantung antara perusahaan dan masyarakat menjadi penting sekali dalam dunia bisnis. Citra perusahaan menjadi berarti untuk kemajuan perusahaan. (Wardono, Prabu, Corporate Interiors as the expression of corporate image, Thesis, Faculty of Design, Architecture and Building, University of Technology, Sidney, 1995.)

Dari sini dapat diartikan bahwa citra bukan hanya usaha yang dibentuk dari dalam perusahaan tetapi utamanya adalah yang terbentuk diluar perusahaan ketika perusahaan tersebut berinteraksi dengan masyarakat. Faktor masyarakat dalam kaitan visual adalah sebagai pembaca teks dari kumpulan tanda-tanda yang diciptakan dari dalam perusahaan, dan dalam kaitan persepsi yang lain adalah yang sebagai penerima dan yang merasakan jasa yang diberikan oleh perusahaan.

4. Analisis
Dari penggambaran lambang yang di kurung oleh sesuatu tanda yaitu bentuk segi-lima, menjadi lepas tanpa kurungan.

Jika fenomena tersebut diatas ditinjau dari sistem tanda, maka dari konsep dari Saussure tentang makna arbitrary, dimana makna sesuatu yang dibuat secara artifisial tetapi disepakati oleh masyarakat, dan merupakan konvensi. (Kuliah Desain & Kebudayaan Semester 2 th. 99-00)

Dimana dalam hal ini penanda adalah segilima, untuk menciptakan makna baru dan citra baru maka penanda dirubah. Dengan upaya merubah penanda, maka diharapkan dapat memperbaiki citra yang telah terlanjur terbentuk di masyarakat. Upaya ini diantranya ada yang ditunjang dengan slogan yang memberikan citra pelayanan, sebagaimana seharusnya citra perusahaan perusahaan ini, untuk melayani masyarakat.

4.1. PT. Pos
Perum Pos dan Giro, logo lama perusahaan ini terdiri dari unsur padi-kapas yang bersambung dengan banner diatas dengan tulisan R I, banner dibawah dengan tulisan POS & GIRO, mengelilingi unsur segi-lima yang mengurung bola dunia dan burung. Diantara segi-lima dan padi –kapas terdapat arsiran horisontal.

Ide utama pada logo ini adalah burung, sebagai simbol atau tanda yang mewakili merpati pos, konsep pengantaran surat jaman dahulu.

Bola dunia, sebagai simbol dari perputaran dunia dan kekekalan (Cooper J.C. Traditional Symbols, Thames & Hudson, London 1998, hal. 74) merepresentasikan hal hubungan antar negara, internasional, global.

Unsur padi kapas, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, adalah mewakili simbol keadilan sosial dari Pancasila, untuk kelompok tertentu padi melambangkan pangan dan kapas melambangkan sandang

Banner yang bertuliskan R I di atas segilima dan merupakan ujung dari unsur padi-kapas yang melingkari segi-lima, merupakan singkatan dari Republik Indonesia.

Makna yang tertangkap secara semantik dari membaca tanda-tanda ini adalah pekerjaan profesionalitas pos yang dilambangkan dengan burung dan bola dunia terkurung oleh segi-lima dan masih dikelilingi oleh padi kapas yang ujung atasnya ada banner bertuliskan R I, yang memberikan kesan bersifat Nasional.

Bisnis Pos adalah bisnis yang berlingkup Internasional, menghubungkan antar negara di dunia, sehingga kesan yang timbul dari logo lama PT. Pos ini adalah profesionalitas Pos yang bersifat internasional dilambangkan dengan burung merpati dan bola dunia, masih terkurung oleh hal-hal yang bersifat Nasional, burung tidak dapat lepas dan bebas.

Pada logo PT. Pos, burung Merpati Pos yang siap terbang mengelilingi dunia telah bebas tak terkurung oleh segi-lima dan padi kapas, berjalan semakin cepat, divisualisasikan dengan sayap yang bergaris – garis horisontal dan proporsi burung yang lebih memanjang dan mengecil di ujung, usaha untuk memvisualisasikan kecepatan. Ukuran burung lebih besar dibandingkan dengan bola dunia, dapat terbaca bahwa burung dapat menguasai dunia. Warna jingga digunakan untuk menandakan, sesuatu yang penting, warna ini juga digunakan untuk tiang-tiang pemisah pada perbaikan di jalan tol, seragam tukang parkir, pakaian penerbang, pakaian pendaki gunung, warna yang kontras dengan warna-warna alam yang kebanyakan berwarna hijau, coklat, biru.

Tulisan dengan tipografi bold : POS INDONESIA, adalah nama perusahaan dengan identitas negara, berada di bawah gambar burung dan bola dunia, disini terbaca bahwa yang utama adalah profesionalitas dibidang usaha, dengan slogan “Untuk anda kami ada”. untuk menambah kesan mengutamakan pelayanan.

logo-pt-pos

4.2. PT. Keretapi
Logo Perumka, terdiri dari segi-lima yang mengurung sebuah tanda, yang apabila diperhatikan salah satunya menyerupai komponen kereta-api, yaitu roda yang ditambah sebuah unsur berupa tekukan yang apabila digabungkan seolah-olah terlihat akan menjadi huruf K dan huruf A, Inisial dari Kereta Api. Identitas Keretaapi terwakili pada roda dan logo huruf, namun kesan inipun tertangkap setelah beberapa saat mengamatinya, atau diterangkan oleh orang yang sudah mengetahui.

Ide utamanya adalah penampang roda kereta api, walaupun roda merupakan komponen penting namun bila hanya sebuah roda belum dapat mewakili kereta-api secara keseluruhan, karena esensi kereta api bukan hanya roda.

Warna biru tua pada logo ini cukup kontras dengan warna putih dari bentuk roda dan kesan huruf, namun warna ini memberikan kesan latar belakang yang berat.

Pada logo PT Keretapi, tidak lagi menggunakan unsur segi-lima. Logo baru ini menampilkan sifat kereta-api yang cepat dan mengarah pergi-pulang, namun pada unsur bentuk ini ada kesan seolah menyerupai huruf Z atau angka 2.

Kesan horisontal, miring/ cursive melambangkan kecepatan dan ujung tajam juga mencerminkan arah dan kecepatan. Tulisan KERETAPI juga menggunakan tipe huruf miring yang juga mengesankan cepat, serta warna jingga seperti pada logo PT Pos, memberi kesan ringan, dan sesuatu yang penting.

Hal ini adalah upaya untuk mereposisi citra melalui perubahan logo perusahaan, merubah citra melalui perubahan tanda-tanda. Masih berupa upaya, karena citra terbentuk setelah interaksi dengan masyarakat, yaitu pada persepsi visual dan persepsi layanan yang diterima oleh konsumen.

logo-pt-keretapi

5. Kesimpulan
Dalam mempelajari budaya dengan pengamatan terhadap tanda-tanda, maka ideologi adalah ide-ide atau gagasan yang merupakan manifestasi dari tanda-tanda, disususn ke dalam suatu sistem yang signifying.

Dengan melihat proses terjadinya suatu ideologi menjadi hegemoni, dan hegemoni melemah karena terjadinya krisis, maka dapat terbaca bahwa untuk mempertahankan suatu hegemoni, diperlukan kekuatan dimana kekuatan ini bisa terbentuk apabila ditunjang dengan ideologi dan sistem nilai yang mapan. Apabila terjadi krisis dimana sistem nilai dan kepercayaan sudah mulai rapuh, maka untuk mempertahankan hegemoni diperlukan kekuatan yang juga memerlukan enerji yang besar. Jika sumber enerji ini sudah mulai menipis, maka ideologi dan hegemoni menjadi melemah, hilang atau digantikan oleh ideologi lain yang lebih dominan atau lebih sesuai dengan jaman.

Suatu ideologi akan bertahan lama berlaku dalam masyarakat apabila nilai-nilai yang diterapkan tidak menimbulkan kontradiksi, dan sebaliknya tidak akan ada kelompok yang dapat mempertahankan hegemoni dalam waktu lama apabila tidak menyesuaikannya dengan kecenderungan ideologi yang terjadi pada masyarakat.

Penyeragaman unsur pada logo akan menjadikan pemukul-rataan citra yang terbentuk. Dari tanda-tanda yang berupa logo perusahaan apabila dikaitkan dengan teori bahwa pada prinsipnya logo adalah differance, yaitu logo PT Pos menjadi logo PT Pos karena berbeda dengan logo PT Keretapi, dan berbeda dengan logo departemen-departemen. Jika logo merupakan penterjemahan dari ide-ide yang abstrak disingkat menjadi sesuatu yang nyata, dan ide-ide abstrak dari setiap kelompok atau institusi berbeda, maka akan timbul berbagai logo yang berbeda yang muncul sebagai wajah atau ciri dari kelompok atau institusi tersebut. Dan apabila ada dua buah logo yang mirip, maka kemungkinan kedua institusi ini memiliki bidang kerja yang sama, dan bukan dipaksakan memakai suatu unsur tanda yang sama.

Daftar pustaka
Brannan, Tom, A Practical Guide to Integrated Marketing Communications, Kogan Page Limited, London, 1995.
Murphy, John; Michael Rowe, How to Design Trade Marks and Logos, North Light Books, Cincinnati Ohio, 1993
Rizman Zihary, Lambang Pemerintah daerah di Indonesia, Skripsi, Jurusan Desain Grafis FSRD-ITB, Bandung 1987
Suseno, Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx, Gramedia, Jakarta 1999
Thwaites, Anthony G., Tools for Cultural Studies, Macmillan Education Australia Pty. Ltd. 1994
Wardono, Prabu, Corporate Interiors as the expression of corporate image, Thesis, Faculty of Design, Architecture and Building, University of Technology, Sidney, 1995
Wibisono, Christianto, Menelusuri Akar Krisis Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998

Catatan :
Makalah ini ditulis pada tanggal 15 Juni tahun 2000 Sebagai Tugas Matakuliah Desain dan Kebudayaan Program Magister Desain, Pasca Sarjana – Institut Teknologi Bandung

Selanjutnya makalah ini dikembangkan menjadi Karya Tesis berjudul : PERUBAHAN LOGO PERUSAHAAN, SEBUAH ANALISIS VISUAL (Studi kasus : PT Astra Internasional, Garuda Indonesia, Unocal 76), Program Magister Desain Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung, di tahun 2002. Dapat dilihat di web site :

http://digilib.si.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbpp-gdl-s2-2002-diditwidia-1746

Download materi > Merubah Citra Melalui Perubahan Logo

Didit Widiatmoko Suwardikun
Lahir di Malang, Jawa Timur, lulus S1 Desain Grafis dari ITB pada tahun 1983, Magister Desain dari ITB tahun 2002. Pernah bekerja sebagai staf marketing communication di Industri Pesawat Terbang Nusantara tahun 1984 – 2003, sekarang bekerja sebagai dosen tidak tetap di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Tarumanagara.

Program Magister Desain ITB 2000
NIM : 27199008

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. tolong kata “merubah” diganti dengan “MENGUBAH”, karena asal katanya “ubah” bukan “rubah” yang artinya serigala….. begitu juga dengan dirubah => diubah, apalagi kalau ada kata dirobah, wah…agak berat tuh….

  2. (perubahan ato pengubahan) logo tanpa disertai komitmen memperbaiki mental dan kinerja birokrasi lembaga2 departemen pemerintah tsb hanya akan membuat sia-sia kerja desain.

  3. Betul sekali!

  4. perubahan harus melangkah ke arah yang lebih baik di semua komponen.

  5. Komitmen adalah dasar perubahan

  6. salah satu ciri logo yg sukses harus diantaranya “identitas banget”. untuk pt keretapi itu salah satunya.

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly