Oleh: Sumbo Tinarbuko
Kemasan, packaging, wadah, alias, bungkus sejatinya difungsikan untuk melindungi barang. Kemasan sengaja dirancang mengutamakan aspek kepraktisan ergonomis agar mudah ditenteng sesuka hati. Nyaman dan aman bagi si pembawa barang. Terlindungi dari perubahan cuaca atau proses-proses lainnya yang mengakibatkan barang tersebut rusak.
Sisi lain dari pengertian kemasan ternyata dapat pula dikontekstualisasikan dalam gegap gempitanya parade partai politik peserta Pemilu 2009.
Dengan memanfaatkan ideologi kemasan, semua partai politik cancut taliwanda mempromosikan parpolnya agar mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat calon pemilih. Kemasan yang paling cespleng berbentuk iklan politik.
Periklanan politik tabiatnya hampir sama dengan periklanan komersial. Sepak terjangnya bagian dari fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan (baca: parpol) yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis (baca: Pemilu) tanpa mengandalkan iklan (politik).
Demikian pentingnya peran iklan politik dalam ‘’bisnis parpol’’ sehingga salah satu parameter bonafiditas parpol terletak pada seberapa banyak dana yang digelontorkan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan politik merupakan jendela kamar dari sebuah parpol. Ia sanggup menghubungkan parpol dengan masyarakat. Khususnya calon pemilih.
Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa iklan politik tersebut sebaiknya disampaikan.
Berdasarkan terminologi iklan politik, maka pucuk pimpinan parpol, elit politik, pejabat maupun mantan pejabat publik, LSM, agamawan, saudagar, eksekutif, intelektual, dan kaum cerdik pandai berlomba-lomba mengemas dirinya sebagai representasi parpol lewat iklan politik.
Dengan modal milyaran rupiah dari kocek pribadi atau sponsor, mereka minta bantuan biro iklan dan konsultan komunikasi untuk tampil ‘’memesona’’ dalam kemasan iklan politik. Mereka pun menyewa kapling iklan media massa cetak dan elektronik guna menayangkan program pencitraan politik yang elegan. Mereka membungkus dirinya lewat bahasa yang santun, menawarkan gagasan mengatasi persoalan bangsa yang carut marut. Mereka secara egaliter mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu agar Indonesia menjadi lebih baik. Mereka mengajak masyarakat untuk tidak melupakan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka mengajak masyarakat agar mencintai, membeli, dan mengonsumsi produk-produk anak negeri.
Bersifat Paritas
Sayangnya, iklan parpol yang gentayangan di media massa cetak dan elektronik lebih mengedepankan konsep hard sell. Mereka sangat menyukai konsep semacam ini. Karena dianggapnya mujarab mendongkrak popularitas seluruh elemen parpol. Kemudian muncullah kemasan iklan politik yang menawarkan janji surga. Iklan tersebut lebih mengedepankan eksekusi visual bersifat paritas. Alias sama sebangun. Setiap kali melihat kemasan iklan politik di berbagai media massa cetak dan elektronik, sang tokoh selalu dicitrakan berpendidikan tinggi, religius, santun, murah senyum, dan ramah. Sang tokoh laksana malaikat pembawa warta gembira penuh kedamaian dan kebijaksanaan. Sang tokoh bagaikan sinterklas yang membagi-bagikan hadiah. Sang tokoh seperti Superman yang senantiasa menolong si lemah dan si miskin. Sang tokoh menjelma pahlawan pembela kebenaran.
Dalam kemasan tayangan iklan politik, sang tokoh selalu terlihat merakyat. Blusukan ke pasar tradisional dan pemukiman kumuh di pinggiran kota. Menyapa wong cilik penuh kehangatan. Berbaur dengan masyarakat pedesaan dan warga miskin. Di sana digambarkan, sang tokoh bersama pengiringnya ikut merasakan denyut kehidupan yang sangat minimalis. Pada sekuen lain, sang tokoh berdiri di depan klas sebuah SD. Ia terlihat menjelaskan perihal arti pentingnya sebuah pendidikan. Katanya, ‘’hanya lewat pendidikan, bangsa ini akan maju dan berwibawa dipergaulan tingkat dunia’’. Tetapi, benarkah demikian adanya?
Pemunculan tokoh politik nasional lewat iklan parpol di media massa cetak dan elektronik, dinilai oleh parapihak banyak menyampaikan janji kosong. Sebuah janji surga yang sejujurnya sulit untuk diejawantahkan.
Dalam konteks ini, upaya tebar pesona parpol berikut elit politik lebih mengonsentrasikan kemasan luar dari pada isinya. Artinya, kemasan tebar pesona dalam bentuk iklan politik, justru semakin memperlebar tingkat kesenjangan antara kemasan dengan isinya. Antara tokoh politik, parpol, dengan masyarakat calon pemilih.
Semangat Narsisme
Selain lebih mengedepankan eksekusi visual bersifat paritas, ternyata iklan politik Pemilu 2009 juga mengandalkan semangat narsisme. Sebuah semangat yang mensyaratkan kecintaan pada diri sendiri. Untuk itu, agar kecintaan pada diri sendiri mendapatkan permaklumannya, banyak di antara mereka menebarkan jaring pesona kepada siapapun. Mereka itu adalah para politikus dan calon legislatif yang mengampanyekan dirinya lewat rumusan konsep narsisme.
Semangat narsisme yang didedahkan lewat senyuman para caleg, realitas visualnya telah menohok mata kita. Mereka sejatinya sedang ‘’mengadu nasib’’ menjadi sekelompok manusia terhormat. Mereka sedang mengupayakan dirinya menjadi anggota dewan yang dihormati. Jika ikhtiarnya terkabul, mereka akan mengemban tugas mewakili rakyat. Sebuah amanah yang harus dijalankan dengan baik dan benar, agar rakyat yang diwakilinya mendapatkan kemakmuran lahir batin. Terjamin harkat dan martabat kemanusiaanya di bumi Indonesia tercinta ini.
Untuk itu, beragam media iklan diberdayakan guna memuluskan strategi pencitraan diri. Tampilan visual foto diri yang masif dan kaku kemudian direproduksi ke dalam citraan iklan televisi, radio, internet, koran dan majalah. Bentangan kain spanduk, umbul-umbul, rontek, baliho dan billboard pun tak ketinggalkan ditancapkan di sepanjang ruas jalan raya demi memperluas polarisasi semangat narsisme agar dikenal khalayak luas.
Pada titik ini, para politikus yang nyaleg sedang menjalankan aktivitas ‘’tepe-tepe’’ alias tebar pesona. Mereka ditengarai menebarkan sampah visual politik dan mengarah pada perilaku kekerasan visual. Mereka cenderung merampas ruang publik. Sebuah area terbuka bagi warga masyarakat untuk reriungan bersama-sama. Modusnya, tim sukses para caleg menancapkan dan memasang sebanyak mungkin media luar ruang. Mengabaikan ergonomi pemasangan media luar ruang yang artistik, komunikatif dan persuasif. Akibatnya, mereka dinilai tidak mengindahkan dogma dekorasi grafis kota yang hakikatnya mengedepankan estetika kota ramah lingkungan.
Semangat narsisme yang sedang dikumandangkan para caleg ini, secara visual gampang ditengarai. Penandanya, jika setiap kali berkendaraan di sepanjang kota, mata kita dipaksa melihat tebaran senyuman caleg yang mengaku dirinya berpendidikan tinggi, berwibawa, santun, dan agamis. Mereka mendandani dirinya sedemikian rupa dan senantiasa menyapa pengguna jalan dengan slogan yang persuasif: ‘’berjuang untuk rakyat’’, ‘’hidup adalah perbuatan’’, ‘’iklas berjuang dan iklas beramal’’, ‘’nasionalis kerakyatan’’, ‘’rakyat berkuasa’’, ‘’satukan umat, makmurkan bangsa’’, ‘’bangkit negeriku, harapan itu masih ada’’, ‘’bersemangatlah mengisi hari-harimu dengan tetap berkarya nyata’’, ‘’membangun masyarakat aman, damai, adil, demokratis’’, ‘’bangkit bersama membangun negeri’’, dan lainnya.
Penanda narsisme lainnya yang sangat narsis, dapat terlihat di depan dan belakang nama orang yang mendadak nyaleg. Di sana, dituliskan dua atau tiga huruf singkatan gelar akademis. Mereka haqqulyakin, gelar akademis S1, magister ataupun doktor menjadi aksesoris diri yang diharapkan mampu mendongkak daya tarik aura fisiknya, di hadapan publik calon pemilih. Mereka menempuh jalan semacam itu, sebab gelar akademis sampai detik ini masih dipercayai mampu merepresentasikan kesuksesan pendidikan formal. Bahkan lewat gelar akademis, sebagian orang menganggap dirinya sebagai bangsawan modern.
Pertanyaannya, dengan menyantumkan deretan gelar akademik di depan ataupun belakang nama caleg, apakah itu menjadi indikator tingginya kadar intelektualitas yang bersangkutan? Adalah relevansi capaian gelar akademis dengan peluang dipilih sebagai anggota dewan?
Atas pertanyaan itu, banyak pihak meragukannya. Mereka beranggapan, caleg yang menerapkan strategi narsisme dengan memasang gerbong gelar akademis, dipandang belum memiliki jam terbang yang memadai dalam ranah politik. Pendeknya, caleg sim salabim ini, nilai rapot politiknya masih bertinta merah. Belum memiliki prestasi politik yang membanggakan masyarakat. Sebab menjadi seorang politikus atau kader partai harus sudah teruji ruang dan waktu. Selain itu, mereka yang akan nyaleg mesti berani nggetih. Artinya memiliki kemampuan yang brilian dalam memahami berbagai isu yang muncul di tataran akar rumput. Tangkas menyusun pemecahan masalah atas isu yang berkembang di daerah yang diwakilinya.
Jika semangat narsisme masih menyelimuti sanubari caleg, maka jagat percalegan ditengarai mengalami masa paceklik. Mengapa? Karena ladang Pemilu 2009 tidak mampu membuahkan panen raya anggota legislatif yang mumpuni. Dengan demikian, pelan namun pasti, kekhawatiran lembaga legislatif tidak serius memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyat bukanlah sebuah fatamorgana.
Pada akhirnya, rakyat pun hanya mampu bergumam, ‘’Kami membutuhkan wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang senantiasa mengedepankan komitmen dan loyalitas pada kepentingan rakyat. Bukan wakil rakyat atau pemimpin bangsa yang instan dan suka bersolek!’’
Moralitas dan Kejujuran
Atas dasar pengalaman komprehensif semacam itu, rakyat cenderung hati-hati. Rakyat semakin permana dalam menentukan siapa yang layak memimpin negeri dengan sebutan jamrud katulistiwa ini. Kehati-hatian semacam itu lebih didasari pada fakta sejarah. Selama ini, para pemimpin bangsa yang diberi kepercayaan rakyat untuk mengelola Republik tercinta ini, lebih dikenal lewat tampilan kemasannya saja. Karena senantiasa mendewakan kemasan visualnya saja, akibatnya, para pemimpin bangsa dan pejabat publik lebih banyak bekerja dengan mengatur siasat dan beradu strategi demi merebut kekuasaan. Dengan label penguasa, mereka dipastikan memiliki hak mengelola bangsa dan negara ini. Lewat predikat penguasa, mereka mempunyai hak dan merasa paling mampu serta paling benar untuk mengatur bangsa dan negara ini. Dengan sebutan penguasa, mereka dapat memproyeksikan dirinya beserta pengikutnya untuk senantiasa menikmati kesejahteraan lahir batin.
Dalam alam reformasi seperti sekarang ini, masyarakat secara terbuka tidak akan terpengaruh oleh janji tokoh politik yang manis di mulut, namun pahit dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mau bagian dari kehidupannya diganggu oleh janji gombal yang disuarakan partai politik yang senang berburu kekuasaan.
Untuk itulah, dengan mengedepankan moralitas, menjunjung tinggi kejujuran, dan berpolatindak pada kearifan lokal. Kita percaya, masih banyak partai politik, dan tokoh politik yang layak mendapatkan amanat rakyat menjadi pemimpin bangsa. Dengan menempuh jalan yang baik dan benar serta bermartabat, masih banyak negarawan pengayom masyarakat, yang rela mengabdikan diri, guna mewujudkan nurani keadilan dan rasa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lewat kerjasama dan komunikasi dialogis secara egaliter antar parapihak, diyakini mampu memunculkan dan memelihara kehidupan ini dengan nyaman, aman, tenteram, adil, dan sejahtera. Dengan demikian keadaan Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, bukan hanya sekadar impian di siang bolong. Tetapi kasunyatan hakiki!
*) Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/)
Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa, dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.
•••
memang sekarang ini jaman narsis manusia2 ngga tau diri, dan gawatnya lagi sebagian besar masyarakat mudah menelan mentah2 apa yang ditayangkan. menurut saya, lewat jalur media TV juga harus dibuat penangkalnya. bisa melalui iklan layanan masyrakat ber genre parodi yang ditujukan agar pemirsa lebih kritis dan berhati2 dalam memilih pemimpinnya. rumusnya adalah: semakin narsis, semakin gede bo’ongnya! hati2….
Topik yang menarik, sekarang ini memang lagi gencarnya iklan parpol yang menjanjikan ini itu dan janji-janji surga. Publik saat ini bahkan tidak tahu siapa pemimpin yang jujur atau yang hanya memanfaatkan momentum untuk sebuah kekuasaan.
Jujur saya sendiri juga egk peduli siapa yang mau jadi pemimpin yang baik, mungkin karena udah egk bisa lagi dibedain mana yang tulus mana yang pura-pura, berbedaannya egk bisa dilihat kasat mata di TV.
Yang terjadi sekarang mungkin adalah dilema pada publik, berapa banyak rakyat yang tidak mengetahui apa-apa latar belakang terhadap calon yang akan dipilihnya. Bak membeli kucing dalam karung. Kemenangan suara cendrung karena mayoritas semata. Entah karena ikut-ikutan, males mikir, egk pede dan lain-lain.
Masalah tebar pesona atau apalah namanya itu mungkin wajar-wajar saja, namanya juga kampanye pastilah yang bagus-bagusnya dikeluarin. Tapi masalahnya kan publik tidak tahu apakah benar pemimpin ini baik?? tidak ada jaminan untuk itu. Kalo ditanya siapa pemimpin yang saya pilih? saya tidak tahu karena saya tidak bisa melihat apakah ini bagus-tidak. Kalo mau dibilang pasrah ya memang, mungkin agak konyol tapi mungkin ini juga yang dirasakan banyak orang diluar sana. Dan masih banyak orang yang golput diluar sana. Yang udah egk yakin dengan stabilitas negara ini, mungkin kalo boleh memilih mereka lebih baik pindah warga negara atau Permanent Resident?
Tapi saya masih percaya bahwa masih ada pemimpin yang akan membawa negara ini kekehidupan yang lebih baik ( entah siapa atau kehidupan yang seperti apa).
Mungkin kuncinya kembali pada hati nurani sendiri, apakah yang mau kita sumbangkan untuk bangsa ini?
Mungkin hal kecil tetapi berarti bagi orang lain yang mungkin bisa membantu kehidupan mereka. Yang jelas hal itu nyata dan bisa dirasakan.
Rakyat sekarang ini membutuhkan bukti bukan janji. Publik tidak mengerti politik, mereka hanyalah komunitas masal yang ikut imbas politik. Mungkin pemimpin yang diinginkan adalah pemimpin yang bisa memberikan bukti nyata bukan janji surga.
memang peran iklan menjadi penting dalam segala hal, termasuk alam persaingan politik. Ini adalah langkah branding figur yang keliru. mana bisa sebuah kepercayaan dapat di beli dengan senyuman foto sang calon pemimpin. Seperti yang dikatakan Mario teguh dalam The Golden Way, bahwa pemimpin sekarang mengalihkan peran sang Maha Kuasa depada dirinya. Maka tak heran banyak (calon) pemimpim menjadikan dirinya sebagai peran sentral (narsis) dalam mengemban amanat yang seharusnya pemimpin mengedepankan Tuhan sebagai pribadi pemberi amanat, maka yang seharusnya pemimpin menggunakan dirinya sebagai wakil Tuhan untuk menjalankan perannya. Jadi merek itu lebih penting dari promosinya, karena merek yang kuat tidak memerlukan promosi yang berlebihan. Karena merek pribadi di tentukan oleh apa yang dapat orang itu lakukan kepada orang lain. Dengan kata lain kita adalah apa yang kita pikirkan dan lakukan demikian kata pak Mario. Semoga masyarakat kita makin tahu bagaimana memilah mana yang pemimpin narsis dan mana pemimpin sejati melalui iklan kampanye parpol.
Semuanya itu sangan penting dari kita….
sekarang yang harus kita lakukan adalah jangan menunggu pemimpin sejati muncul atau orang jawa bilang satrio piningit itu datang. tapi kita sendirilah satrio piningit itu, jadilah pemimpin sejati itu sendiri. jangan menunggu, negara kita bukan stasiun kereta atau halte bus dan memang nggak butuh orang yang cuma duduk menunggu nasib berubah. upayakan itu semua dalam diri kita masing2, perubahan itu dari hal terkecil yaitu diri kita sendiri dan dari lingkup kita sendiri, meski itu cuma seorang penyapu jalan tapi bila sanggup menjalankan perannya dengan baik dan sadar akan tindakannya akan membawa kota tercintanya bersih dia adalah pemimpin. mari kita iklankan diri kita sebagai pemimpin untuk diri kita sendiri.
Zaman sekarang mana ada yang mencalonkan diri jadi pemimpin atau wakil rakyat yang benar-benar ingin memperjuangklan rakyatnya, jarang sekali orang yang benar benar ingin berniat baik ….yang jelas saya lihat yang mencalonkan diri menjadi wakil/pejabat karena melihat gajinya besar ajaaa……..kalo benar benar ingin membela rakyat…orang kaya ga usah mencalonkan diri begitu saja tetapi langsung saja untuk aksi mengeluarkan hartanya untuk orang orang/rakyat yang benar benar membutuhkan…..harta kok ga akan di bawa mati ke kuburan…………
yang berniat baik, jujur, akan terpinggirkan dengan sendirinya. Untuk mencapai kesunyataan lupakanlah desain ini dan itu, semua itu duniawi belaka. =)
buat saya ini cukup “interesting.” coba lihat, ada kata “iklan” dan kata “politik”. jaman sekarang, kelihatannya seperti “double diplomacy”, atau.. dua kata itu terkesan “redundant”
(…just a personal thoughts…)
Sejarah iklan politik bisa ditinjau mulai sejak Jaman Perang Dunia, kalau gaya artnouveau menjadi gaya komersil terawal maka gaya art deco bisa dikatakan paling banyak digunakan sebagai iklan politik.
kesimpulan gw: jangan milih tokoh politik yang beriklan, apalagi yang emang model iklan..:D
…trus, apa yang mesti kita lakukan kalau kita diajak terlibat dalam proses pembuatan iklan politik? Artikel ini belum memberikan solusi bagi ‘desainer’ kan?
solusinya adalah jadilah desainer yang berhati nurani, punya peran tanggungjawab atas publik, dan bukan sekedar pengumpul rupiah.
Betul Mas Sumbo, sama dengan yang saya pikirkan selama ini. Saat ini lagi tren bangga foto diri. Hampir di semua tempat, bahkan di desa pelosokpun calon penguasa unjuk foto diri, dan pasti pake peci, jas, posisi frontal dengan background kalo gak merah ya biru. Pasfoto banget gitu lo. Sampe bosen saya. Perjalanan mudik saya ke Jatim kemaren hampir sepanjang jalan saya selalu lihat fenomena ini. Kok gak ada ya yg fotonya “fancy’, nyeleneh atau apa gitu hehe. BTW ini mungkin salah satu ekses keterbukaan sehingga iklan politik tak lagi tabu di ranah publik. Tinggal pinter2 kita milih. Topik yang bagus sekaligus unik.
@ k4rna: yg gw tahu,..dibalik iklan2 itu adalah creative2 director dari agency ternama, yg aktif di komunitas kreatif, nulis buku soal kreatif, pengajar, dll. Tapi kok mereka mau ya, bikin pencitraan politik yang sangit dengan nilai rupiah dan cenderung menipu publik..?
ideologi kemasan? sip!
@yudika: Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang. Hati nurani tidak tergantung pada itu semua. Kreatifitas yang destruktif bisa kita lihat dari bagaimana manipulasi2 diperbuat. undang2 yang dibuat dengan tujuan baik pun dimanipulasi untuk memeras orang lain demi keuntungan pribadi. Zaman susah, yang halal sudah habis, yang haram tinggal dikit.
Sepakat!!!!
Memang pada kenyataannya iklan Caleg, CaGUb, CaPres, CaBup hampir semuanya CAPER alias Cari Perhatian dan CarMuk= Cari Muka.Perhatikan senyum tipis dan sorotan mata yang sahdu namun penuh tipu2, juga atribut kopiah atau jilbab mereka, seolah merekalah mahluk yang paling mulia dan AGAMIS = Agak-Agak bau Amis.
Iya ih.. promosi untuk mimpin negara kok ya.. mirip promosi indonesian idol..
oh negeri ku
hallo pak sumbo…ternyata kita memiliki pemikiran yang sama tentang iklan politik terutama iklan yang memperjuangkan “narsis” semata. saya pernah posting pemikiran ini dalam blog saya…
menurut pak sumbo, studi kebudayaan dan kajian budaya itu sama atau beda? kalo saya, dua hal itu berbeda…