Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Mengkomunikasikan Desain Komunikasi Visual - Introspeksi Seorang Pengajar: Bagian 1

Oleh: Surianto Rustan

Bagian 1: JARAK

Suatu kali seorang teman pernah mengatakan kepada saya bahwa tidak semua orang bisa mengajar. Ketika itu saya menanyakan kepadanya apakah ia tertarik untuk menjadi dosen. Dia bilang bukan masalah ilmu yang kurang dikuasainya, namun untuk mengajar perlu kemampuan komunikasi tertentu. Dia bilang dia bisa saja mengajarkan ilmunya kepada orang lain, tetapi bagaimana menjadikan orang itu paham akan apa yang dimaksudkannya itu sangat sulit. Di sini saya berkesimpulan: berarti ada dua kemampuan yang harus dimiliki untuk menjadi seorang pengajar, yaitu penguasaan yang mendalam terhadap ilmunya dan kemampuan menjadikan orang paham terhadap ilmu itu.

Betul cuma perlu dua? Untuk memberi pengajaran tentang Desain Komunikasi Visual?

Pengalaman mengajar saya memang belum terhitung lama, walaupun begitu banyak sekali saya temukan kemampuan ekstra yang diperlukan dalam mengajar. Contohnya sekali waktu pada saat mengajar, saya pernah lupa ‘jarak’ saya dengan para mahasiswa yang saya ajar. ‘Jarak’ yang saya maksudkan adalah: jarak usia, kuantitas pengalaman, perbedaan trend, budaya, bahasa, pola pikir, dan lain-lain. Jadi bila saya mengajar mahasiswa angkatan 2006 misalnya, maka berarti ada jarak usia lebih dari 15 tahun antara saya dengan mereka, dan ada begitu jauh perbedaan pengalaman, trend, budaya, bahasa, pola pikir dengan mereka.

Melupakan ‘jarak’ fisik dan mental ini sangat krusial mengingat posisi saya sebagai pengajar yang senantiasa mengkomunikasikan DKV - sebuah pengetahuan yang jauh dari sederhana kepada mahasiswa. Contohnya bila saya bilang: “dulu majalah BOBO sangat terkenal”. Atau saya suruh: “kamu buat GSM ya, cari sendiri sample-nya di internet”, tanpa memberi tahu apa itu GSM sebelumnya atau me-review sesudahnya. Saya lupa bahwa saya betul-betul mengalami majalah BOBO dan mereka betul-betul tidak mengerti apa itu majalah BOBO, saya lupa bahwa saya mengerti betul apa itu GSM - fungsinya dan bagaimana cara membuatnya sampai sedetil-detilnya, sedangkan mereka betul-betul nol besar.

Pengajar desain yang mengajar di semester-semester awal pastinya akrab dengan hal-hal seperti: kelas yang pasif, tidak ada pertanyaan, ada pertanyaan tapi pertanyaannya polos sekali (maaf, bodoh maksudnya). Seringkali saya terlalu mengharapkan inisiatif datang pertama kali dari mahasiswa, bukan dari saya duluan, dalihnya: “mereka kan bukan anak SMA lagi yang mau bergerak kalau disuruh dulu”. Kalau saya ingat dan paham dengan ‘jarak’ saya dengan mereka, saya akan maklum bahwa tahun lalu mereka masih pakai seragam putih abu-abu. Masih sangat muda.

Kalau saya ingat dan paham dengan ‘jarak’, saya juga akan ingat kondisi pendidikan mereka di tingkat menengah atas pada umumnya. Ada berapa banyak pelajaran mengekspresikan diri dibandingkan dengan pelajaran ilmu murni yang pasif? Berapa banyak pelajaran membangun inisiatif dan mengkritisi suatu masalah? Nah persoalannya jadi merembet ke area pendidikan menengah atas, nanti kalau diteruskan lagi akan merembet ke pendidikan menengah pertama dan dasar. (Hal ini juga sangat perlu mendapat perhatian dari kita semua).

Pemahaman akan jarak ini membuat saya mencari strategi lain yang lebih pas dalam mengajar, membungkusnya dengan gaya bahasa, pendekatan berpikir, trend dan budaya yang disesuaikan dengan yang diajar. Nah yang berbahaya bila saya tidak lupa tapi memang senang pamer ‘jarak’, menciptakan dinding mental yang tinggi hingga komunikasi menjadi satu arah. Mahasiswa menjadi takut dan kehilangan niat untuk bertanya apalagi mendebat. Tidak dipungkiri, bisikan untuk menjadi seorang dosen killer pernah mampir di benak saya ketika berhadapan dengan mahasiswa yang bermasalah.

Lha?! Memang apa tujuan awal saya mengajar? Membagi pengetahuan dengan cara saya? Atau membagi pengetahuan sampai mereka benar-benar paham? Keduanya sangat jelas berbeda. Yang pertama bersifat subjektif - berfokus pada diri sang pengajar sendiri, yang kedua bersifat objektif - berfokus pada yang diajar. Sepatutnya saya menanyakan lagi hal ini kedalam diri saya sendiri. Hal ini tidak mudah karena berarti saya harus keluar dari comfort zone 1) (zona nyaman) saya sebagai pengajar. Dari istilah psikologi, comfort zone berarti kondisi mental yang menyebabkan seseorang menciptakan sebuah mental boundaries, semacam jarak/ batas mental dengan sekitarnya. Jarak mental ini membuat rasa nyaman.

Seseorang pendidik senior pernah mengatakan kepada saya, bahwa pada akhirnya kita tidak hanya mengkomunikasikan ilmu, tapi juga behavior. Mengajari grid jauh lebih mudah dibandingkan mengajari tentang inisiatif. Yang ingin saya katakan disini adalah butuh waktu yang tidak sebentar dan kesabaran penuh untuk pengajaran membangun behavior ini, namun jauh lebih penting adalah mau atau tidak saya memahami jarak saya dan keluar dari zona nyaman saya.

Tahun 2009 saya mengajar para mahasiswa cupu, tidak mustahil tahun 2019 dari para mahasiswa cupu itu lahir seorang Sagmeister Indonesia.

1) Bardwick, Judith. Danger in the Comfort Zone. New York: American Management Association, 1995. ISBN 0-8144-7886-7.

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. sekedar berbagi pengalaman juga. dulu lima tahun yg lalu ketika belajar mengajar, yg saya alami adalah berkenalan dengan dua kelas sosial yg berbeda. Kesulitan utamanya adalah bagaimana memberikan contoh2 kontekstual ttg dunia desain kepada dua kelas sosial yang berbeda ini.

    Pada kenyataannya, dunia pendidikan kita sering salah kaprah dalam memilih pengajar. Kebanyakan berpikir bahwa kalau sudah memasukkan pengajar yg punya pengalaman kerja bertahun2 di dunia kerja alias praktisi, pasti berkualitas. kesalahkaprahan yang kedua justru sebaliknya, menjadikan pengajar yang sama sekali miskin pengalaman dunia kerja, misalnya diambil dari alumni2 yang bersedia mengajar almamaternya.
    Jarang sekali pihak yang lebih atas mempertimbangkan hal-hal sifatnya di luar masalah ilmu dkv dan atau kepakaran dalam dkv.
    Menjadi seorang dosen memerlukan satu masa untuk merenungkan, mengendapkan dahulu pengalaman empirisnya maupun keilmuan yang didapatnya. Pengendapan ini yang membentuk suatu visi dalam dirinya. Kebanyakan dosen tidak punya visi dalam mengajar. Tidak ada inovasi, kreatifitas dalam mengajar, kadang2 kreatifitas dituangkan hanya dalam bentuk memberi tugas yang aneh2 dan unik, dan itu dianggap kreatif padahal kreatifitas dalam mengajar dkv adalah bagaimana agar pelajar/mahasiswa mau menggeleti ilmu itu sendiri. Bukan sebatas belajar tips dan trik, atau teknik mendesain yang bagus saja.
    Mengambil perumpamaan dari pemain musik rebab pesisir di Padang; ada tiga jenis tahap pemain musik dalam membawakan kaba atau kisah. Yg pertama perebab yang hanya menceritakan agar audiens paham jalinan dari cerita. Kedua, perebab yang dalam meantunkan syairnya ia berinteraksi pula dengan audiens, dan yang ketiga, perebab yang membawakan kaba dengan seluruh jiwa dan raganya sehingga audiens menyatu dalam kisahnya.
    Kebanyakan dosen kita adalah perebab jenis pertama yang hanya mengkomunikasikan ilmunya supaya dimengerti mahasiswa. Jenis kedua dan ketiga, sangat minim. hal ini salah satunya adalah karena selain ilmu psikologis yg jarang dimiliki pengajar2, juga adalah dosen2 kita juga kekurangan dalam ilmu pendidikan. Kita belum masuk secara spesifik lagi ke dalam ilmu pendidikan seni dan desain.Pendidik bukan hanya mengkomunikasikan ilmunya tetapi sepatutnya dengan ilmunya mentransformasikan anak didiknya.

  2. Introspeksi Seorang Pengajar??
    Seorang Surianto Rustan yang pernah mengajar di kelas saya untuk pertama kalinya merupakan seorang yang tegas namun kurang dapat berkomunikasi kepada mahasiswa/i. Image yang ada di benak pertama kali adalah seorang guru yang kaku dan tidak bersahabat. Namun dugaan tersebut salah ketika kelas pertemuan terakhir, dimana ia MAU untuk masih dapat berkomunikasi dengan para muridnya,walaupun lewat friendster.(“,) dan ternyata di kelas berikutnya (viscom3), baru terlihat seorang pak RUSTAN yang sangat sangat bersahabat, baik, mau mendengar cerita muridnya, dan selalu berbagi ilmu dan pengalaman yang ia punya yang sangat dibutuhkan para mahasiswa/i-nya yang pasti mau share segala apapun deh and tidak pelit ilmu, berbeda dengan dosen lain yang pelit ilmu. Padahal pengalaman para dosen (selain ilmu) itulah yang sangat membantu dan tentunya dibutuhkan para mahasiswa/i dalam melanjutkan segala sesuatunya setelah kuliah (entah itu kerja atau membuka usaha sendiri).
    Yah walaupun ada banyak anak / beberapa yang malas atau “cupu” yang ngeselin para dosen, seenganya itu buat pengalaman bapak ya.hehe.(jgn2 termasuk saya kali ya pak.hehe). Tapi dari diri saya pribadi, saat sekarang saya teah menyelesaikan semua pelajaran kuliah (saat pengerjaan skripsi ini), pengalaman dan ajaran bapak baru saya rasakan berguna. yah,nama lainnya itu “nyesel juga dulu kadang ga serius waktu blajar” hihihi.
    Ya secara ga langsung ARTINYA bapak ga perlu introspeksi..alias uda bagus deh pas ngajar, yang salah itu murid bapak yang bapak bilank “cupu” itu yang suka ga masuk, yang ga serius.. ok..
    Gud luck for all ya pak.. apalagi bukunya..
    tetep..GBU always..amin^^

  3. sagmeister lagi hip banget ya?… :P
    gak ada yang mau jadi john maeda-nya indonesia nih? :D

  4. ya nih. Sagmeister lg hip yah di Indo?

    Kembali ke “introspeksi” ataupun masukan tentang apa yg diperlukan dari seorang pengajar, saya tertarik untuk melihat lebih banyak lagi feedback dari sisi mahasiswa, seperti comment “fst.”

    Topik yang menarik. Silakan lanjut kembali…

    Ngomong2 ttg Sagmeister dan Maeda, silakan simak mereka di TED.com. Free viewing of their talks about designs. Termasuk David Carson dan Paula Scher. Enjoy..!

  5. seru sekali memang mengajar di dunia desain. tak terasa saya sendiri insya allah memasuki tahun ke 9 … introspeksi memang menjadi agenda rutin supaya saya juga bisa terus memperbaiki diri. apalagi saat mengajar di binus dan diminta mengampuh sejarah seni. sejarah? wah, awalnya saya blank, mencoba mengurut cerita dan menyusunnya dari para dosen yang saya bantu di dua kelas, lama kelamaan baru bisa menyenangi setelah sejarah terbantu dengan power point dimana tampilan gambar membantu mahasiswa mengerti tiap materi “style” yang disampaikan dan akhirnya di semester lalu saya beserta tim dosen lain mengumpulkan cuplikan-cuplikan film bertema sejarah dari youtube, yang akhirnya “jarak” yang tadi timbul semakin sedikit, karena mahasiswa jadi lebih memiliki gambaran tentang sejarah seni dan latar belakang karyanya lebih rinci. Gaya penyampaian saya juga beda, mungkin bisa dikatakan a la VJ MTV aja deh, kadang a la pemandu kuis, kalau lagi kasih kuis “live” di depan mahasiswa. hehehe, kadang cekikikan sendiri juga, namun dengan hal ini saya jadi lebih terbantu untuk bercerita lebih santai dan menyenangkan mengenai sejarah, dan mahasiswa tidak berasa berat mempelajarinya. Memang dibutuhkan kerja keras menghadapi mahasiswa semester satu yang baru saja lulus melepaskan putih abu2nya… dan mahasiswa tidak terbiasa dengan membaca apalagi analisa, tapi kalau kita enjoy, profesi mengajar, sejarah khususnya menjadi sangat menyenangkan dan selalu ada hal baru yang disampaikan tiap tahunnya… ah, senangnya :)

  6. Memang problem “jarak” belakangan ini juga cukup “menguasai” pikiran saya ketika akan mengajar. Saya berulang kali (mungkin yg dengar mulai bosan)menyatakan hal ini. Baik ke Surya (penulis, yg adalah kakak kelas di trisakti dan teman diskusi baru di FDGI & VERSUS) ke teman2 di dosen di FDGI dan asisten2. Saya mulai merasa susah “nyambung” dengan mahasiswa angkatan 2007. Tidak terasa memang seperti Sita, saya juga sudah masuk tahun ke-9 dlm mengajar.

    Kalau dulu grogi karena merasa dosen “cupu” dan kurang “pede” dan jarak umur dengan mahasiswa tidak jauh. Sekarang mulai “pede” tapi juga mulai “panic” :) karena mulai khawatir kalau istilah dan contoh cerita saya “jadul”.

    Makin tahun makin jauh jarak umur saya dan mahasiswa. Mulai terasa sulit mencari cara menyampaikan materi. Termasuk men-‘transfer” passion kita untuk menularkan kecintaan dan antusiasme.
    Memadukan nuansa persahabatan yang akrab supaya bisa dekat layaknya kakak adik sambil tetap menjaga wibawa agar “respect’ dalam kelas tetap ada ternyata tidak mudah.
    Mengatur agar tercipta proses belajar mengajar, transfer ilmu, transfer etika & sikap secara ideal sangat sulit, membuat saya harus terus belajar juga.

    Baru kemarin saya mengalami apa yang menurut saya “konyol” sekaligus membuat saya mengevaluasi. Ketika saya merasa sebagian siswa asyik ngobrol sementara saya “ngoceh” di depan kelas, dan saya sampaikan bahwa kalau memang tidak berminat silahkan keluar saya ngga marah dan ngga akan kurangi nilai, saya ngga apa cuma ngobrol sama 2 - 5 orang saja. kalau cuma kejar absen silahkan sekarang absen. Ketika asisten saya mulai memanggil untuk absen yang terjadi adalah siswa2 yang mungkin merasa saya tegur mulai bergerak ke depan mengamati contoh2 desain yang saya bawa dan bertanya-tanya “ngga penting”. Bisa ditangkap mereka hanya bereaksi untuk “baik-baikin” saya karena tau saya sebetulnya marah :) Saat itu yang bergolak adalah campuran antara masih kesal dan mulai merasa lucu. Saya masih malas menjawab pertanyaan “basa-basi” itu tapi juga mulai berpikir, mengapa reaksi mereka seperti ini? Apa tindakan saya selanjutnya? Karena ini pengalaman saya pertama sejak mengajar mendapat respon “unik” seperti ini.
    Kebetulan suami mengajar di SMU yang bilingual, saya mencoba “update” mengenai “kelakuan” siswa2 SMP & SMU seperti apa. Sampai saat ini buat saya menjadi tantangan dan proses belajar.

    Selain itu, seperti yang disampaikan Bung Karna, bahkan mengajarkan kreativitas tidak berarti hanya dengan cara memberi tugas yang “unik” atau “aneh” saja. Saya sependapat dengan “sentilan” Bung Karna disini, termasuk pendapat mengenai kesalahkaprahan dalam memilih pengajar.
    Kadang pula ada praktisi yang mengajar kurang punya kearifan dalam menyikapi bidang di luar keahliannya, sehingga menganggap topik dalam tugas akhir atau mata kuliah tertentu tidak sepenting yang di-ampu-nya. Menyampaikan hal-hal subyektif yang kadang membingungkan bahkan “menjatuhkan” mental mahasiswanya yang sudah menyukai dan memilih topik tertentu.

    Wah bisa seru ya topik ini :) silahkan dilanjutkan teman-teman. Thanks untuk Surya yang mengangkat topik ini juga Sita & Karna yang sudah berbagi.

    Buat Mas Chacha dan Ardie…hehehe kebetulan Stefan lagi di Indo aja kali ya…tapi setelah bertemu dan wawancara memang kita bisa banyak belajar kok dari dia :) tapi saya setuju Maeda dan masih banyak yang lain juga bisa dipopulerkan diantara para mahasiswa.
    Pak Hanny juga fans Maeda kan? :)

  7. kalo dari senirupa dan desain grafis serta sains medis, saya pengen ngajuin sebuah nama yang mungkin cukup bisa menarik perhatian: artis Damien Hirst yang mengeksposisi kematian dan kekerasan (violence) dalam karya2 seni instalasi dan grafis-nya.
    Kenapa nama ini? Alasannya sederhana saja, selain seigmeister yg rajin berkolaborasi dgn musisi-musisi, adalah Jonathan Barnbook yang belakangan menerbitkan ‘Typography Bibel’ sering berkolaborasi dgn seniman2 dalam menghasilkan buku2 semibiografi atau katalog pameran seni yg menampilkan desain grafis dan seni konseptual.
    Susahnya jadi dosen adalah karena seringkali gaji tidak memadai dengan pengeluaran untuk menambah pengetahuan yg diperlukan. akibatnya banyak yang menutupi kekurangan itu dgn berupaya menampilkan apa yg disitilahkan sbg ‘knowledge of wisdom’ dan berusaha tampil ‘bijaksana’ di depan panggung kuliah dgn materi ala kadar dan contoh2 dari jaman baheula yg dia-nya sendiri tidak mampu membuat interkoneksi dgn jaman sekarang apalagi masa depan. =)

  8. Ini jadi persoalan metode pembelajaran. Sekedar berbagi, CMIIW… Sesuai ranah belajar yang dipatok Benjamin Bloom, tiga ranah yang perlu diintervensi adalah Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan. Dari sinilah metode pembelajaran dikembangkan. Persoalan jarak biasanya bisa diatasi dengan menempatkan mereka sebagai manusia dewasa. Memang kendalanya kadang-kadang mahasis yang ‘shock’, karena selama bertahun-tahun diperlakukan sebagai anak kecil. Begitu…

  9. […] Mengkomunikasikan Desain Komunikasi Visual. Published by Desain Grafis Indonesia […]

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly