Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Mempertimbangkan Opini dalam Buku “Hidup Itu Indah”

Oleh FX Widyatmoko

Hidup Itu Indah, Karya Aji Prasetyo, diterbitkan oleh Cendana Art Media, 2010, isi 215 halaman, ukuran 14 x 20 cm

Opini, kerap juga disebut pendapat, merupakan suatu cara bicara suatu pihak ke pihak lain (khalayak). Opini publik pun bisa dibangun lewat opini personal yang artinya publik menilai opini personal tersebut mewakili kepentingan/persoalan bersama. Dari sudut pandang ini “yang publik” dibicarakan lewat “yang personal”. Dengan demikian kedudukan subyek dalam opini menjadi penting untuk diperhatikan karena ia menyangkut(kan) kepentingan bersama (kepublikan). Dalam konteks komunikasi publik, hadirnya opini juga mencirikan seberapa jauh kehidupan demokrasi di suatu tempat (negara) diberlangsungkan.

Lewat opini, rakyat bisa mengetahui tentang warga negara yang lain. Pemerintah bisa tahu pendapat-pendapat rakyat. Rakyat pun bisa tahu bagaimana penyelenggaraan suatu pemerintahan dijalankan, dan tentu saja mengetahu bagaimana sikap birokrat lewat pendapat-pendapatnya di media (massa). Pun demikian, media massa pun punya ruang beropini seperti tajuk rencana, kartun editorial. Artinya, pendapat redaksi merupakan opini pers tiap-tiap surat kabar.

Jika direntang hingga penerbitan buku, hadirnya suatu buku pun mewakili pandangan penerbit dan penulis bersangkutan (beserta semua testimoni dalam buku tersebut). Namun, yang perlu juga dijadikan perhatian yaitu bagaimana sebuah buku memunculkan opini/pendapat pembaca. Artinya, opini yang diterbitkan pun memunculkan opini-opini pembacaan. Opini personal pada akhirnya menjadi opini publik yang mana status kebenarannya dalam posisi “tawar-menawar” (saya mau menyebut dialog opini). Jadi, jauh lebih penting merawat dialog dibanding mencari kebenaran final sebuah opini atau menyalahkan mutlak opini tersebut. Lewat dialog opini tersebut keberadaan subyek penulis dan pembaca saling diberi tempat.

Opini Sebagai Komunikasi Wacana
Komunikasi (sebagai) wacana menandaskan hadirnya faktor-faktor di luar kebahasaan. Faktor-faktor tersebut bisa muncul karena kepentingan hingga sentimen. Opini sebagai wacana mesti dilihat dari berbagai faktor seperti framing (pembingkaian), priming (kapan dihadirkan, di mana, lewat media apa), strategi signing (pemilihan tanda untuk pembentukan makna), hingga pemilihan fakta (apa saja yang dipilih dan apa saja yang ditak dihadirkan). Dalam proses tersebut opini juga terkait faktor-faktor seperti innoncently (kesalahan, kekurangmampuan), internality (kepentingan dari dalam), dan eksternality (kepentingan dari luar). Opini dalam media, dalam pandangan kontruksi sosial, merupakan suatu strategi bagaimana realitas dibaca dan dihadirkan. Opini media merupakan suatu kontruksi atas realitas yang membangun realitas media itu sendiri.

Semula, buku “Hidup Itu Indah” dapat didudukkan sebagai opini personal dalam artian diciptakan oleh seseorang (Aji Prasetyo). Manakala ia diterbitkan, dan beberapa pihak yang bersepakat dengan opini pencipta, berkemungkinan mengantar opini personal tadi menjadi opini bersama (opini publik). Hanya saja, tidak semua pihak sepakat dengan realitas opini dalam buku tersebut, dan beberapa pihak tidak serta merta setuju dengan cara beropini, atau cara berwacana dalam buku “Hidup Itu Indah”. 

Keterangan:
Beberapa halaman isi buku “Hidup Itu Indah”. Isi buku ini mesti dibaca dengan sikap terbuka dalam artian kebenaran-kebenaran teks tersebut bukan untuk kebutuhan melegitimasikan sesuatu namun dalam usaha menuju situasi hidup yang indah. Jika teks buku ini digunakan untuk melegitimasikan kepentingan kita maka pembaca mudah terjebak ke dalam kelompok fanatis (pembaca fanatis) yang justeru fanatis(me) inilah yang mesti dikritik, termasuk oleh sang penulis buku tersebut.

Saya termasuk yang senang dengan hadirnya buku ini, namun juga berusaha menawar kebenaran-kebenaran yang hadir dalam isi buku tersebut mengingat dalam ruang demokrasi jauh lebih penting merawat dialog dibanding memutuskan setuju atau tidak setuju. Kadang, opini kerap menggoda hanya karena pandangan-pandangan oposisi biner, dualisme, hitam-putih. Barangkali ini bisa menjelaskan bahwa buku “Hidup Itu Indah” dalam beberapa bagian merupakan praktek stereotipe yang justeru dikehendaki pembaca yang malah menjelaskan dirinya pembaca yang fanatis. Dan, jangan-jangan, teks-teks yang demikian yang menjadi landasan opini personal (si pencipta) yang dijadikan opini bersama (publik). Konon, saat ini, pandangan stereotipe ataupun pandangan dualisme/biner kian dihindari, bahwa ada “yang lain”, yang “belum tentu”, yang “tidak selalu”, yang statusnya berada di antara hitam dan putih, berada di antara stereotipe dan menolak untuk di-stereotipe-kan/diabsolutkan.

Penutup
Buku “Hidup Itu Indah” sangat layak diapresiasi karena keberaniannya dalam membongkar fanatisme. Buku ini, dalam pandangan saya, mesti dibaca dengan melupakan cara membaca yang fanatis. Buku ini mesti dibaca dalam status kebenaran yang dialogis. Opini-opini dalam buku “Hidup Itu Indah” mesti ditempatkan dalam ruang yang bukan esensialis. Singkatnya, alih-alih menamai buku ini sebagai komik opini, atau kartun opini, kita boleh menamai buku ini dalam suatu kerja pembacaan yaitu mempertimbangkan (ke)publik(an). Maka dari itu, kita bisa menakar kebergunaan opini-opini dalam buku ini secara luas dalam hal memandangnya sebagai sebuah teks sosial. Salam (Koskow, April 2011)

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. Komentar dari Hendro Tri Rachmadi (3.5.11):

    Saya tidak setuju ada pembahasan buku ini di milis ini atau pun di situs desain grafis indonesia. Sebagai seorang desainer kita memang bebas, namun setiap kebebasan ada batasannya. Dan itulah realita hidup. Itulah yang membuat kehidupan justru masih ada. Bagaimana mungkin ada ketertiban, jika semua orang bebas melanggar lampu merah dan tidak mau di atur oleh lampu merah. Dalam hal ini, kebebasannya adalah kebebasan berpendapat. Namun kebebasan berpendapat juga “dibatasi” oleh perasaan orang lain. Kalau mau bebas sebebas-bebasnya, pergi saja ke samudra indonesia dan berbuatlah sesukanya sendiri disana. Tetapi selama masih ada masyarakat manusia, maka disitu ada norma, ada aturan. Tidak bisak seenak udele dewe.

    Buku ini jelas menghina umat Islam, tidak dewasa dan justru menghakimi. Itu pun hanya menghakimi berdasarkan kejadian pada beberapa kasus dan melakukan generalisasi. Kalau sang penulis artikel ini menolak pendapat saya, berarti anda pun fanatik! fanatik dengan pendapat anda sendiri. Saya sangat tidak setuju dengan pendapat anda, karena menurut saya anda membuat kesimpulan berdasarkan kulit. Anda tidak pernah membaca dan melihat statistik, lalu membuat konklusi berdasarkan pengelihatan orang lain yang sangat terbatas. Dan menurut saya itu naif.

    Sebenarnya kalau kita menghayati, apalagi seorang desainer (bukan seniman), kita akan memahami bahwa setiap kebebasan itu ada batasannya. Kita bebas buat desain, tapi toh, ada batasannya yaitu “selera konsumen kita”. Kalau pun kita tidak terbatasi selera konsumen kita, maka kita terbatasi oleh selera konsumennya dari konsumennya kita. Maka dari itu hidup ini terbatas, tidak pernah ada kebebasan 100%. Bahkan di negara yang menggaungkan kebebasan sekali pun. Kalau tidak suka, mending anda jadi seniman, jangan jadi desainer. Sebab desainer beda dengan seniman.

    Sebaiknya jangan bawa isu agama di komunitas ini. Sebab belum tentu semua orang sepaham. sekali lagi, saya berharap tulisan ini dicabut dari situs DGI. Sebab ini situs desainer, bukan seniman. Tulisan ini baru cocok masuk di situnya para seniman. Tapi tidak disini.

    Hendro Tri Rachmadi
    Art Director
    http://www.simplestudioindonesia.com

  2. Tanggapan penulis artikel, FX Widyatmoko (5.5.11):

    salam hangat, buku “Hidup Itu Indah” bisa dilihat sebagai buku dalam sudut pandang apapun. kita dapat melihatnya sebagai bagian dari karya visual juga mengingat bahasa yang digunakan juga visual. benar, saya tidak sependapat dengan memandangnya secara generalisir, maka dari itu buku ini sebaiknya tak dibaca secara fanatis.

    mengenai ini seni atau desain, masing-masing dari kita memiliki argumentasinya. namun dengan memasukkan buku ini dalam ruang desain dalam pandangan saya masuk akal karena ia berkomunikasi dengan khalayak, ia menggunakan medium pelintasan (komik, graphic novel, atau ada yang menyebutnya kartun). jika ada yang memandangnya sebagai seni, itu pun tak mengapa, tentu dengan alasan tertentu. kita mesti membiasakan diri bahwa sebuah karya kadang ia berada di pelintasan-pelintasa, di batas-batas, dan untuknya perlu sudut pandang tertentu dalam mengidentifikasinya.

    ulasan yang saya tulis, jika dirasa kurang atau tidak layak untuk hadir di ruang desain, itu juga tak mengapa. dalam beberapa hal, pendapat Hendro Tri Rachmadii pun argumentatif. jadi, dicabut atau tidak, tentu bisa kita kembalikan kepada DGI.

    terima kasih atas responnya. sebagai informasi, buku “Hidup Itu Indah” telah kami diskusikan di DKV ISI Yogyakarta (2010), dan Aji Prasetyo pun hadir. saya sebagai moderator acara tersebut. artinya, saya sudah membaca buku tersebut, bahkan oleh mahasiswa buku ini dianalisis dalam mata kuliah Kajian Media dengan hasil persis yang Hendro Tri Rachmadi sampaikan. kebetulan, saya yang mengampu mata kuliah tersebut.

    baik buruknya sebuah buku, pembacalah yang menentukan. jika ulasan saya dicabut dari DGI, itu pun tak jadi masalah, tidak dicabut pun tak apa. mungkin, saya memang masih dalam taraf membaca kulit, meski senantiasa khusuk membacanya. yah, hidup memang menyelesaikan-kebodohan-kebodohan, setidaknya untuk saya, si pembaca tingkatan kulit. terima kasih kritikannya. Mari membuka ruang dialog, ruang tafsir. salam hangat, salam kenal.

  3. netral dulu, belum punya bukunya….

  4. Untunglah, sy sudah membacanya dan senyum..

    sudah sedari awal penulis (Aji Prasetyo) meingatkan buku ini subyektif dan krn itu dia mengikonkan dirinya untuk mewakili kesubyektifannya. buku ini bergambar bukan, rasanya sah-sah saja memasukkan buku ini ke ruang desain. mungkin jika tidak tertarik membahas isinya bisa menyentuh visualnya..

    kalau dikatakan buku ini streotip sepertinya memang.., sbg implikasinya sy yang membaca pun kerap membenarkan (mungkin sy termasuk ke tingkat fanatisme). di luar itu, sy lebih menyenangi buku ini karena ke”pede”anya ngkritik sosial. entah kepekaan sy yg sudah tumpul atau bgmn, sebagai muslim sy tidak melihat buku ini melecehkan sesamanya (spt kata penulis, tema ini terlalu rumit -_-”).. tidak naif, konstruksi itu pasti ada, tetapi setidaknya realitas pun demikian. buku yang humanis.

    sekali lagi sy tertarik dgn gagasan pak koskow (sempat ingin meresensi buku ini, tapi pas tadi baca tulisan pak koskow, spt biasa menukik ke dalam-dalam. *tercengang). hoho, derridean skali. mayor tidak mesti benar!

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly