Oleh: D. Rio Adiwijaya
Tanpa ada inovasi di tataran abstrak seperti konsep fisika Newton (yang menggantikan dominasi fisika Artistoteles pada jaman Pencerahan abad 17), maka mesin uap, mobil, motor, pesawat dan lain-lain tidak akan pernah ada. Tanpa konsep fisika partikel awal abad 20 yang digarap oleh salah satunya: Einstein, maka teknologi seperti televisi dan microwave oven tidak akan pernah ada. Tanpa ada konsep hak asasi manusia abad 19 yang akhirnya ‘meletus’ dalam peristiwa Revolusi Perancis, maka kita tak akan pernah mengenal demokrasi dan mungkin masih hidup di jaman yang feodalistik (feodalisme sendiri adalah sebuah konsep dari Abad Pertengahan). Semuanya berakar pada konsep. Bahkan negara Indonesia sendiri berawal dari sebuah konsep yang ‘dibangun’ oleh para founding fathers. Maka ketika paradigma industri dalam arti produksi dan marketing (barang atau jasa) begitu merajalela di ‘alam pikir’ pendidikan tinggi kita, sebetulnya ada yang tidak beres. Tidak beres karena cita-cita mendidik desainer yang inovatif tak mungkin dibayangkan jika kita melulu mengacu pada wacana industri itu (karena industri justru adalah realisasi akhir dari suatu konsep). Inovasi selalu mengandaikan kebaruan di taraf konseptual-abstrak. Tanpa ‘kebaruan’ itu, yang terjadi adalah pengulangan-pengulangan konsep atau pola lama, disadari atau tidak disadari.
Di bidang desain atau ‘industri kreatif’, tanpa pernah ada seniman revolusioner yang mempelopori konsep ‘abstraksi geometris’ seperti Picasso dan Braque (Kubisme), maka gaya Art Deco yang populer dan ‘meng-industri’ itu tidak akan pernah ada. Dan tanpa konsep-konsep seni abstrak Avant Garde lainnya seperti Konstruktivisme, Dada, dan De Stijl, maka Bauhaus juga tidak akan lahir. Padahal konsep Bauhaus sangat vital dalam dunia pendidikan maupun praktek industri desain modern. Dalam pendidikan, Bauhaus merevolusi konsep belajar melulu ‘mengikuti langkah sang guru’ (apprenticeship) dengan menggantinya dengan pembelajaran ‘prinsip-prinsip dasar dan universal bahasa rupa’. Beberapa aplikasinya yang kita kenal adalah ‘reduksi ke bentuk dasar 2D & 3D’ dalam kuliah menggambar dan komposisi untuk membantu siswa mencapai hasil yang lebih ‘orisinal’ dan lebih bebas dari pengaruh gaya sang guru. Dalam industri, Bauhaus memformulasikan konsep-konsep awal yang berkaitan dengan fungsionalitas desain: fungsi lebih utama dari sekedar tampilan dekoratif (kritik terhadap desain ‘tradisional’). Konsep-konsep inilah yang lalu memuncak dalam International Typographic Style yang digagas Kunstgewerbeschule (sekolah seni terapan) Basel dan Zurich di Swiss. Dan kita tahu bahwa fungsionalitas ini lalu menjadi konsepsi dasar desain corporate identity dan sign system di mancanegara. Jadi, konsep-konsep dari era pra-Bauhaus sampai Swiss ini mendahului berbagai realisasinya dalam industri era Modern.
Bagaimana dengan situasi desain kontemporer yang sering disebut-sebut Post-Modern atau pasca modern itu? Kabarnya ia adalah era ‘ekspresi personal’ sehingga konsep-konsep ‘universal’ dari desain Modern itu sendiri sudah ditinggalkan habis. Sesimpel itukah? Apakah Weingart, Brody dan Carson sendiri mendesain tanpa konsep? Break the rules biar bagaimanapun mengandaikan sebuah rules sebagai titik tolak (atau break the rules itu malahan menjadi rules baru namun bedanya tidak diklaim sebagai universal). Kritik terhadap Modernisme mengandaikan adanya konsep-konsep Modern itu sendiri untuk di-dekonstruksi atau direinterpretasi. Jadi, tanpa International Typographic Style, maka kaum Posmodernis seperti Weingart, Brody dan Carson juga tidak punya sesuatu untuk dikritik (karya-karya Posmodern mau tidak mau bertolak dari konsep Modern, namun bukan sebagai afirmasi, melainkan sebagai beragam reaksi, respon dan kritik). Intinya di sini, lagi-lagi konsepsi abstrak berada di balik segala fenomena industri kreatif.
Kembali ke isu pendidikan. Apakah sekolah-sekolah desain di negara kita jika memang bermaksud mencetak lulusan-lulusan inovatif sudah cukup konseptual? Apakah cukup menerjemahkan arti inovatif dengan ‘menyajikan kandungan lokal’? Bukankah ketika kandungan lokal itu dibawa ke dalam proses layout misalnya, si pe-layout-nya sendiri juga bisa tanpa sadar sedang mengikuti pakem grid Swiss? Atau mengadopsi begitu saja layout dekonstruktif Postmodern ala Carson supaya berkesan kontemporer? Bayangkan jika para design hero ‘bule’ yang begitu menguasai konsep visual ‘barat’ itu datang ke sini, melakukan riset lalu menyajikan kandungan lokal Indonesia. Apa yang tersisa untuk desainer lokal supaya tetap menjadi inovatif dan orisinal? Maka itu semata-mata bicara local content tanpa upaya mengkonseptualisasikan bahasa rupa global dan lokal secara mendalam tidaklah memadai. Justru kita sendiri pertama-tama harus menyelidiki bahasa rupa global dan lokal di taraf konseptual (bukan hanya di taraf visual) untuk kemudian mendekonstruksi-nya menjadi ‘something new and original’. Jadi bukan hanya sekedar ‘mencangkok’ local content (what to say) ke global form (how to say yang sudah umum dan mendunia itu). Karena jika hanya begitu, apanya yang mau disebut inovatif? Namun sekali lagi untuk memulai ‘proyek dekonstruksi’ ini, pendidikan kita harus betul-betul mau masuk ke taraf abstrak-konseptual, MELAMPAUI wacana dan hasil-hasil industri yang ada di sekeliling kita.
Sebagai penutup, ada baiknya kita berkaca pada bidang lain seperti musik yang juga menjadi bagian dari industri kreatif. Dalam pendidikan musik, dikenal teori dasar berupa notasi, harmoni dan dinamika. Penguasaannya menjadi syarat mutlak bagi seluruh civitas akademika jurusan musik (bahkan di kursus untuk anak-anak sekalipun). Mengapa? Bukan karena teori demi teori namun teori demi praktek dan kreativitas. Notasi, harmoni dan dinamika memungkinkan seluruh civitas pendidikan musik untuk menganalisis, memerikan, menginterpretasi sampai ke mendekonstruksi ‘form’ dari musik dengan ‘alat’ yang sama. Jadi, teori itu adalah ‘alat abstrak’ yang bisa sangat berguna dalam proses belajar (analisis) dan kreasi (generatif). Tanpa alat abstrak seperti itu, pembahasan tentang form hanya akan jatuh ke masalah selera atau urusan bagus-jelek (padahal jika mau dirunut, bagusjeleknya sesuatu itu juga tergantung konsep-konsep yang kita anut namun luput untuk disadari). Atau form menjadi ‘tidak penting’ lagi karena yang bisa dibicarakan hanyalah tinggal content (subject matter, isi pesan) atau context (penerapan dalam industri: campaign, promotion dan sebagainya). Maka konsep-konsep form atau bahasa rupa memang tidak mungkin diabaikan oleh pendidikan desain. Dalam hal ini pula menurut hemat saya pendidikan itu melampaui industri, yakni memikirkan apa-apa yang memang tidak akan dipikirkan oleh para pemakai desain selain oleh ilmu dan profesi desain itu sendiri. Tanpa ikhtiar seperti ini, eksistensi desain grafis sebagai ‘disiplin ilmu’ bisa dibilang berada dalam bahaya.
D. Rio Adiwijaya, Jakarta, Okt. 2008
D. Rio Adiwijaya, pendidik di DKV Bina Nusantara Jakarta
Sumber: FDGI
•••
entah mengapa… para dosen + mahasiswa dkv di Indonesia akhirnya memang lebih paham “ilmu marketing” dibandingkan “ilmu desain grafis” itu sendiri.
banyak perguruan tinggi dkv saat tugas akhir lebih memfokuskan pada hal yang berbau marketing….. POSITIONING, USP, dll…..
Bukan tidak boleh…. tapi kenyataanya disiplin ilmu “desain grafis”nya sendiri akhirnya seringkali diabaikan
ironisnya …. walaupun begitu hebatnya para pengajar dkv bila bicara marketing…. tapi tidak ada satu universitas pun di Indonesia yang benar-benar mempunyai positioning yang jelas dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Semuanya rame2 memposisikan diri sebagai “Universitas yang menghasilkan mahasiswa siap pakai”…. ini positioning atau me too product semua ya……
Lagi-lagi, ketika institusi pendidikan hanya sekedar diposisikan sebagai supplier industri, maka me too product lah yang terjadi.
Kita tahu industri tidak akan kemana-mana. Ini memicu kekhawatiran apakah lulusan bisa kerja atau tidak. Karena muaranya cuma satu: Industri. 5-10 tahun ke depan, masihkah industri itu menyediakan tempat yang cukup untuk lulusan kita? Entahlah.
Bagaimana lulusan itu bisa survive di dunia yang isinya tidak cuma industri? Apakah pandangan ini terlalu idealis?
bisa ga desainer di analogikan dengan seorang guitarist? kalo mau touch blues yang kental dengan sentusan kulit putih ada eric clapton, kalo mau ekspresif ada stevie ray, kalau mau classical ada Yngwie dll….rasa-rasanya di ‘luar,’ seperti di US (mohon koreksi hehe) kyanya seperti itu ya… jadi industri kadangkala yg milih desainer mana yang cocok dengan konsep dan tujuan projectnya mereka, seperti sagmeister misalnya, atau ada LeBoYe di indonesia … kira-kira gimana?
Kalau saya sih nggak usah jauh-jauh perbandingannya. Ingat padepokan silat jaman dulu, yang sering diangkat jadi kisah sandiwara radio? Atau film-film silat mandarin lah… Ibarat padepokan silat, setiap institusi pendidikan DKV seharusnya punya jurus sendiri, atau kalau mau nekad kita sebut sebagai mahzab. ITB punya mahzab anu, ISI punya mahzab anu, dsb. Meski beda-beda mahzab/jurus, tetap saja ilmu bela diri, khan?
Nah, institusi pendidikan kita miskin eksplorasi, sehingga terjebak dalam lingkaran kebutuhan industri. Jadi jangankan bicara mahzab, bicara peningkatan kualitas mahasiswa saja masih gagap.
Kalau “perguruan silat” ITB misalnya, serius dengan satu mahzab, siapa yang butuh akan datang sendiri. GItu khan? Asal siap-siap saja masanya penerimaan mahasiswa baru, kuota bisa seret… Siapkah kita?
tema ini sudah sangat sering di “gugat”, masalah originalitas, jati diri, dsb, sebenarnya dunia ini tidak hanya selebar daun lembaga pendidikan, jadi permasalahan ini adalah masalah koloni suatu bangsa yaitu budaya yang tidak bisa berkembangnya bentuk2 kreasi anak bangsa yang tidak mendapat tempat di setiap pribadi dari koloni ini, bahkan kita masih banyak yang menganut budaya feodal peninggalan belanda. jadi permasalahannya kita menganut budaya yang tidak memungkinkan berkembangnya riset, penelitian, pengembangan, inovasi dsb. lihat saja lembaga pendidikan dalam pikiran masyarakat digunakan sebagai pencari status sosial, tidak lebih…..
lembaga pendidikan secara umumnya lebih diharapkan sebagai tempat belajar sesuatu supaya setelah tamat bisa mendapat kerja.
Dengan realita mahalnya pendidikan di negara ini, tidak ada salahnya jika suatu perguruan tinggi menyiapkan lulusannya agar siap terjun ke masyarakat, demi kebaikan mahasiswanya sendiri juga, tapi ada hal yang ga bisa dilupakan oleh pihak universitas itu juga. bahwa DKV (yang dikenal sebagai seni terapan) itu juga berangkat dari akar seni murni. Kiranya mahasiswanya tetap dididik dengan dasar pengetahuan dan referensi tentang seni murni dan segala gaya seninya dengan mendalam. selebihnya si mahasiswa akan berangkat menjadi desainer dengan aliran grafis seperti apa, itu sudah tanggung jawab mereka sendiri. toh kampus hanya fasilitator.
Harusnya kampus-kampus yang belakangan ikut mendirikan jurusan DKV bisa memperhatikan hal ini, bukan sekedar mengikuti selera pasar.
-just a simple thought-
[…] berasal dari negeri kita. Metode pendidikan desain grafis Indonesia itu Bauhausian (mengutip dari D. Rio Adiwijaya di acara yang diadakan FDGI belum lama ini). Bauhaus itu di Jerman, Eropa. Jadi maklum saja […]
[…] Pemikiran dan analisis Rio dapat dibaca di sini > […]