Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Matinya Iklan Politik

Oleh: Sumbo Tinarbuko

Ketika kita menyaksikan iklan politik yang bertebaran di berbagai jagad media luar ruang, media massa cetak, dan elektronik, sebenarnya kita sedang melihat upaya keras para caleg dan kandidat presiden merelasikan iklan politiknya sebagai sebuah realitas kedua. Bangunan realitas kedua tersebut ditopang dengan aspek-aspek komunikasi visual, relasi-relasi sosial dan kultural yang berperan membangun pencitraan dirinya.

Para caleg dan kandidat presiden mengemas pencitraan dirinya, lewat citraan visual dengan menekankan pesan verbal yang bertemakan: ’peduli wong cilik’, ‘peduli orang miskin’, ‘peduli kesehatan bagi rakyat miskin’, ‘peduli produksi dalam negeri’, ‘peduli dengan nasib petani’, ‘peduli pendidikan murah dan gratis’ atau ‘peduli dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia’. Semuanya itu merupakaan janji politik yang terlihat indah dan menentramkan hati calon pemilih. Tetapi realitasnya sulit untuk direalisasikan di kehidupan nyata.

Secara teoretis, proses pencitraan para caleg dan kandidat presiden yang dilukiskan lewat iklan politik, sejatinya mengajak kita untuk mengembangkan imajinasi prospektif tentang iklan politik ideal. Sayangnya, hal tersebut jauh pasak dari pada tiangnya. Yang terjadi kemudian kita sedang menonton iring-iringan jenazah kematian iklan politik.

Fenomena matinya iklan politik di tengah calon pemilih yang semakin kritis dan apatis telah terlihat realitasnya di lapangan. Kematian iklan politik ditandai dengan perlombaan visual yang dilakukan para caleg dan kandidat presiden lewat upaya tebar pesona demi menarik simpati massa. Untuk itu, mereka memanfaatkan kedahsyatan media iklan guna mengakomodasikan pencitraan dirinya. Karena meyakini kedahsyatan mitos media iklan, maka mereka pun secara jor-joran memroduksi pesan verbal dan pesan visual iklan politik. Untuk itu, iklan koran, televisi, dan radio disebarkan secara bersamaan ke ruang privat calon pemilih. Media iklan luar ruang pun tidak ketinggalan dipasang di sepanjang jalan yang dianggap strategis.

Kematian iklan politik semakin mendekati liang lahatnya manakala tim sukses para caleg dan kandidat presiden, secara membabi-buta melakukan aktivitas kampanye yang cenderung memroduksi sampah visual. Bahkan di dalam segala sepak terjangnya, anggota tim sukses peserta kampanye Pemilu 2009 dinilai mengarah pada perilaku teror visual dengan modus operandinya menempelkan dan memasang sebanyak mungkin billboard, baliho, spanduk, umbul-umbul, poster, dan flyer tanpa mengindahkan dogma sebuah dekorasi dan grafis kota yang mengedepankan estetika kota ramah lingkungan. Anggota tim sukses cenderung mengabaikan ergonomi pemasangan media luar ruang yang artistik, komunikatif dan persuasif.

Pola pemasangan, cara menempatkan, dan menempelkan atribut kampanye, benar-benar bertolak belakang dari esensi desain media luar ruang yang dirancang sedemikian rupa agar tampil menarik, artistik, informatif, dan komunikatif. Tetapi di tangan orang-orang yang bertugas memasang dan menempatkan reklame luar ruang, salah satu karya desain komunikasi visual yang bagus itu berubah fungsi menjadi seonggok sampah visual. Di tangan orang-orang perkasa seperti itulah, iklan politik menemui ajalnya dengan sangat menyedihkan.

Modus operandi pemasangan media iklan luar ruang yang dilakukan secara serampangan dan ngawur seperti itu, cenderung menurunkan citra, kewibawaan, reputasi, dan nama baik para caleg dan kandidat presiden, yang mempunyai cita-cita mulia untuk membangun Indonesia agar rakyatnya bermartabat, berkehidupan makmur, aman dan sejahtera. Perilaku hantam kromo semacam itu menyebabkan iklan politik yang diposisikan untuk memberikan informasi perihal keberadaan caleg, kandidat presiden dan partai politik peserta Pemilu 2009, segera diluncurkan menuju ajal kematiannya dengan tidak terhormat.

Membicarakan masalah iklan politik terutama dalam konteks iklan luar ruang, rasanya tidak pernah tuntas. Ketidaktuntasan seperti inilah yang menyebabkan nafas iklan politik kehilangan denyutnya. Dimanakah simpul sengkarutnya? Sejatinya, inti permasalahan dari carut marut jagat reklame luar ruang ini (termasuk iklan politik) bersumber pada penentuan titik penempatan dan pola pemasangan yang semrawut dan ‘’penuh kebijakan’’ dengan menerapkan standar ganda.

Pada titik ini, seyogianya pemerintah pusat, provinsi, daerah, dan kota secara tegas menertibkan keliaran iklan politik liar. Langkah pertama yang perlu dilakukan, yakni pemerintah bersama instansi terkait berani menurunkan, membongkar, dan melepaskan iklan politik luar ruang yang menyalahi peruntukannya berdasar masterplan iklan luar ruang dan Undang-undang yang dimiliki pemerintah pusat, provinsi, daerah, dan kota.

Kedua, menerapkan sanksi dan hukuman yang sepadan bagi parapihak yang bertugas memasang reklame luar ruang iklan politik apabila diketahui melanggar aturan pemasangan. Ketiga, memberikan sanksi dan hukuman yang adil bagi biro iklan, event organizer, pengusaha media luar ruang, tim sukses caleg, dan kandidat presiden yang kedapatan melanggar pola pemasangan dan penempatan media luar ruang iklan politik. Keempat, ada keseragaman perangkat hukum dan kesamaan persepsi terkait dengan penempatan dan pemasangan reklame media luar ruang iklan politik.

Jika hal itu bisa disinergikan dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, maka peserta kampanye Pemilu 2009 telah melaksanakan tanggung jawab moral dan sosial secara sempurna. Mereka secara terhormat telah memberikan pendidikan politik dengan elegan. Mereka secara terhormat pula telah berhasil mengajak masyarakat luas, sebagai calon pemilih, untuk mengembangkan imajinasi prospektif tentang iklan politik yang ideal. Dan iklan politik pun tidak akan layu kemudian mati, melainkan justru akan tumbuh berkembang bagaikan bunga flamboyan yang bermekaran dan menjadi penanda zaman yang mencatat kemasyurannya penyelenggaraan Pemilu 2009.

*) Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) adalah Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta dan Penulis Buku ‘’Iklan Politik dalam Realitas Media’’ (Penerbit Jalasutra 2009).

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. benar sekali kata bpk. sumbo, iklan media luar ruang semakin membuat sampah visual pada kota dimana kita berada. mungkin sudah sepantasnya pemerintah memulai memberikan aturan-aturan yang lebih jelas tentang ukuran iklan media luar ruang, sehingga nantinya iklan tersebut bisa lebih nyaman dan memberikan pendidikan cara beriklan yang elegan.

  2. Kematangan berpolitik dibutuhkan bukan dari sisi kapabiltas intelektual dan berpolitik saja, namun kematangan dalam ‘bernegosiasi’ untuk berkomunikasi dengan publik diperlukan strategi tersendiri. Publik Relation sebagai ibu dari ‘personality performance’ yang dibawa dari lahir tiba-tiba saja ‘terselimuti’ oleh misi-misi kepartaian. Calon legislatif yang ‘rendah hati dan tidak sombong’ tidak akan pernah mau menancapkan satu tiangpun ‘foto dirinya’ di ruang publik, namun dia akan ‘menancapkan’ personality nya secara pribadi dengan ‘rendah hati dan tidak sombong pula’ pada ‘ruang hati’ publik.

  3. Sampah Visual?hmmm..istilah yg tepat pak Sumbo. Bikin cape mata plus mualmm n pusing..

  4. :-) Maklumlah Pak, lagi euforia pemilu/pilkada.

    Jor-joran iklan politik diperparah juga oleh pihak-pihak yang bersikap “business as usual”, Seni (dekoratif) dan etika belakangan.

    Belum lagi melihat content iklan politik yang juga ngawur.
    (bila diperlukan, contohnya saya bisa email).

    Satu hal yang perlu saya tambahkan dari solusi Pak Sumbo: Penegakan Peraturan, oleh semua kalangan. Apapun peraturannya, kalau tidak ditegakkan, tentu akan percuma saja.

    Ke depan, mungkin perlu dipikirkan sebuah TPA untuk sampah-sampah visual? :-)

    Wassalam

  5. Sampah Visual? samadengan sampah + visual (jadi sampah sebenernya cuman ‘addition’ saja, visualnya mah tetep aja).. so ilangi ‘sampah’nya aja..

  6. Menarik bgt tulisannya…menurut saya…iklan politik itu gak cuma menjadi “sampah visual” saja…tapi juga sudah menjelma menjadi “polusi visual”

  7. mmm… saya pikir dari judulnya, isinya tentang analisa kritis iklan2 politk, tp kok jadi seperti menceritakan apa yg sebenarnya sudah tau sama tau, soal polusi akibat sampah iklan dari iklan2 sampah itu, dan juga berujung pada anjuran membuat kebijakan ‘politis’kah itu?
    so whats the point?

  8. Mungkin intinya boleh-boleh aja mau kampanye ngomong janji surga ini-itu keq terserah-lah namanya juga jual diri-jual janji. Tapi ya setidaknya tau aturanlah setidaknya masalah kebersihan, sehingga jangan hanya gara-gara kampanye jadi panen sampah 5 tahun-an. Cuma mikirin kampanye-nya doang tanpa mikirin lingkungan, mau kotor,polusi bodo amat.
    Itu balik lagi kepada manusianya dan budaya kampanye kita yang udah dari dulu selalu brutal, nyampah,ugal-ugalan bahkan sebernarnya mereka pun egk tau apa yang mereka pilih itu terbaik. Lebih Euphoria-nya, kampanye dianggap ajang “ugal-ugalan” dijalan dengan predikat partai padahal mereka bisa aja dibayar. Mental lagi deh balik-baliknya.

  9. Para politikus kynya tdk mau kluar budget utk desain grafis.
    Beberapa poster kampanye disini keliatan bgt agak ‘asal-asalan’ visualnya (gak beda jauh sama janji2 dan slogan nya yg asal jg).
    Sbg contoh, ad poster kampanye yg gambarnya superman & naruto. Beda bgt klo dibandingin negara laen yg visualnya clean dan kelihatan serius.

  10. Saya pikir karena mas Sumbo pakar semiotika-nya, mungkin ada kajian klasifikasi atau pembacaan kritis (tp bukan mengkritik soal poster politik dsbnya) terhadap berbagai cara pendekatan komunikasi dalam poster2 tersebut. Saya baru2 ini mendapatkan kiriman dari teman yg menunjukkan klasifikasi guyon berbagai pendekatan para caleg dalam poster2 tsb. Terlepas dari soal artistik dan estetik visual, komunikasi visual bukan semata soal penataan komposisi desain grafis semata.
    Lucu dan geli ketika memperhatikan betapa banyak adu kreatifitas di kalangan caleg dalam membuat poster2nya itu. Soal pemasangannya itu mungkin lebih tepat ditujukan pada dinas tata ruang kota, dan mungkin itu lebih tepat utk kajian studi administrasi negara dgn fokus pelayanan publik atau ruang publik ketimbang semiotika visual atau dkv.

  11. tetep salut untuk mas sumbo.. diluar apa itu wilayah kajiannya. melainkan dalam wacana kali ini saya rasa mas sumbo baru memulainya. seribu satu desainer yang ingin mengkaji tentang kampanye politik secara serius.. mungkin ada yang kecewa belum diporsikan sebagai bagian dari aktifitasnya. atau justru muak dengan aktifitas politik. salam untuk mas sumbo, tetap kritis dan update!

  12. hmm kalau diri saya pribadi sih lebih suka menyebut matinya nurani “desainer komunikasi visual” dalam iklan politik, sehingga masyarakat harus menerima limbah iklan politik itu. Seorang desainer dalam sistem perencanaan dan perancangan visual tentu memiliki kekuasaan untuk membawa kemana pesan akan disampaikan yang didalamnya tentu berisi tentang kumpulan data dan fakta kemana si calon akan di”jual” dan bagaimana cara menjualnya. dari sisi ini seorang desainer tidak saja dituntut mahir untuk membawa “imajinasi” namun dia dituntut pula untuk mahir menterjemahkan data dan fakta. Sayangnya, tidak semua desainer komunikasi visual sadar tentang itu, Akibatnya, kedalaman materi dari kampanye visual yang disampaikannya hanya muncul dipermukaan, pemilih adalah orang yang sibuk dan tidak perlu dipusingkan dengan tetek bengek, dan keluarlah eksekusi yang hanya menampilkan wajah dan senyum. Sudah saatnya desainer komunikasi visual di Indonesia belajar dan mau mempelajari sisi lain kehidupan sebagai bagian mempertajam imajinasi kalau tidak mau tergilas dalam sistem ekonomi pasar yang kian tidak mencerdaskan bangsa.

  13. barangkali lebih tepat ‘matinya kreatifitas iklan politik’.

  14. hati nurani para caleg sebetulnya juga kurang sreg dengan pemandangan “menjemukan” kota kita, apadaya.. untuk menang membolehkan segala cara. apalagi bagi para caleg yang belum dikenal:) dalam kajian desain, akan sangat terlihat, mana iklan yang dibuat dengan ilmu dan asal2an. rusaknya kota juga karena pemda yang kurang perhatian dalam mengatur penempelan poster dan baliho2…..

  15. Mas Sumbo mau tanya, saya mesti ke mana lagi untuk terbebas dari sampah visual tsb saat ini? Mohon petunjuk dan arahannya, barangkalai ada suatu tempat yang “bersih” di Indonesia saat ini. Terima kasih.

  16. mungkinkah karena “modal” yang benar2 kurang pak … (intelegensia, nurani, uang, dll)

  17. Menurut saya banyaknya mitos soal media, terutama dalam konteks komunikasi politik, yang menjadi penyebab utama ‘kematian’ ini. Coba tanya para politisi kita, apa yang ada di kepalanya soal komunikasi politik? Medianya? Salurannya?
    Dimana para konstituen itu mesti dijangkau? Lewat apa? Bagaimana caranya? saya menduga, jawabannya tidak banyak. Silakan terka sendiri saja… :D

  18. bagus sekali

  19. “Sudah saatnya desainer komunikasi visual di Indonesia belajar dan mau mempelajari sisi lain kehidupan sebagai bagian mempertajam imajinasi kalau tidak mau tergilas dalam sistem ekonomi pasar yang kian tidak mencerdaskan bangsa.”

    dkv itu tukang setting bukan pak!

  20. walah, kie mah klise….kirain ada analisis mendalam….apa maksudnya suruh beli bukunya dulu yah…hehehe, piss pak :D

  21. hahaha.. ya begitulah pak Sumbo… para caleg itu kan duite akeh temen, dadine ya asalkan potonya di pajang dia akan bayar berapapun.. dari kita (komuniktas Disain) mungkin sebelum pesta politik harus kita pasang Billboard yang isinya ” JANGAN KAU CEMARI KEINDAHAN KOTA DENGAN POSTER,BALIHO, SPANDUK, UMBUL-UMBUL ATAU SEJENISNYA DENGAN GAMBAR CALEG YANG TIDAK MENGINDAHKAN KOTA…haaah dasar orang yang berkuasa, bikin sampah visual saja..

  22. Apakah sampah tidak bisa kita manfaatkan.
    saya bingung di antara dipengaruhi dan mempengaruhi

  23. pak sumbo gaya militer mu ternyata yahui bikin orang lebih menghargai sesuatu…he.he
    maaf pak saya gak full ngumpul tugas, walau aku di lulusin dari mata kuliah mu itu, tapi jadi beban lo pak
    tapi kamu metal pak wakakakakakak

  24. Rasanya titik tolak kebencian orang thd iklan parpol bukan karena iklan dan cara beriklan mereka…. Tapi saya sangat sepakat, penggunaan media luar ruang mestinya lebih ber-ETIKA…… Saya justru tertarik dengan komunikasi politik yang ‘straightforward,’ tanpa topeng cantik yang kata orang iklan disebut model komunikasi persuasif…. Bahkan saya oke2 saja dengan gaya grafis iklan politik yang kata orang sangat jelek… PREK! ESTETIK…..Saya gak bosen dengar janji-janji spt sembako murah, sekolah gratis, membrantas pengangguran, membersihkan negeri dari korupsi dan sumpah2 lainnya…. Kualitas citra diri seorang politikus tidak semata dibentuk melalui corong iklan. Attitude dan prestasi para politikus selayaknya menjadi pertimbangan masyarakat untuk mendukung mereka atw tidak……Menurut saya kebencian dan sinisme masyarakat justru dipicu oleh performa kerja para politikus yang ternyata sangat mengecewakan…… Lha…saiki tugase rakyat mempercerdas diri… Jangan jatuh cinta apalagi benci mati2an dgn iklan2 politik…. Biasa sajalah…. Yang lebih penting pahami secara rasional sepak terjang para politikus ybs…. Klo top markotop silakan dipilih, klo busuk dibuang saja…..

  25. Sebelum bertebaran visual campaign aja mata saya udah cape ngeliat billboard…

  26. deal pak !!!! tapi, segitu parahkah visual campaign kita??

  27. setelah kampanye ini, nanti kita lihat yang banyak tersisa adalah visual debris. Giliran bersihin aja, semua pada ngilang.

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly