Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Makin Mahal = Makin Kreatif?

Oleh Candra Agustinus

Pertama-tama, saya sampaikan terima kasih kepada Redaksi DGI Indonesia yang bersedia memuat tulisan ini, yang saya buat berdasarkan fakta di sekitar saya dan obrolan ringan dengan beberapa rekan desainer grafis.

Here we go.

It is true bahwa sebagai seorang graphic designer, kita harus menghargai hasil kerja kita sendiri, sekaligus mengajak pihak lain (dalam konteks tulisan ini : klien) berada dalam perasaan dan sikap yang sama. Berbagai cara sering kita lakukan only to convince our existing and potential clients that what they pay is more than what they get (ini bahkan lebih dahsyat dari propaganda yang sering kita terima selama ini yaitu : what u see is what u get). Beberapa diantaranya misalnya (bukan bermaksud menyindir) : mengeluarkan secara perlahan laptop dengan logo buah ditengahnya sehingga calon klien kita dengan cerahnya bisa komentar “Whaww, pake ‘buah’ ya, asli designer dong?”, kemudian dilanjutkan dengan presentasi menggunakan aplikasi Keynote yang lebih indah dibandingkan software buatan om Gates yang sekali lagi membuat calon klien kita termehek-mehek melihat animasi-animasinya yang mencengangkan.

Belum selesai sampai disitu, kita bahkan mungkin harus semakin meningkatkan kharisma kita sebagai graphic designer dengan membuat beberapa komparasi case study dari brand-brand kelas dunia bahwa what we are doing here is on the right track. Dengan demikian, ekspresi yang segar akan menjadi hasil panen dari segala persiapan kita tepat pada pada saat kita menutup presentasi dan mengatakan “thanks for your time and we do hope our presentation could meet your inquiries in a proper way“.

Setelah menarik napas dalam dan panjang, kita pun akan duduk bersama dengan calon klien untuk bicara details dan (inilah inti tulisan saya) the amount they have to pay for such a good and convincing materials.

Saya tidak akan membahas bagaimana sebuah negosiasi berjalan agar kita selalu berada di pihak yang menang. Namun, yang menjadi esensi tulisan ini adalah bagaimana sikap kita sebagai seorang graphic designer dalam menghadapi suatu fakta bahwa yang kita peroleh tidak terlalu sesuai dengan harapan kita? Bahwa kita mungkin akan dibayar lebih rendah dari ekspektasi kita?

Di lain pihak, dalam berbagai casual talk dengan teman-teman di bidang branding consultancy dan juga graphic design house, saya sering kali mendengar bahwa beberapa branding consultancy mengenakan rate ratusan ribu dolar untuk sebuah proyek design (bahkan lebih) dan juga beberapa design house yang mengenakan rate sekian juta untuk sebuah proyek design. Dan saya seringkali bertanya kepada diri saya sendiri, apakah mereka yang dibayar ratusan ribu dolar itu jauuuhhhh lebih kreatif dibandingkan mereka yang dibayar sekian juta rupiah ini?

Belum lagi, seringkali juga saya mendengar dari teman-teman yang bilang “ya jelas aja mereka bisa luar biasa gitu konsepnya, dibayarnya juga miliaran, booo!” sehingga saya bisa ikut tertawa juga di dalam perasaan seperti itu.

Sampai akhirnya, saya berani berkata (at least to myself), “Tidak, mereka yang dibayar lebih mahal tidaklah lebih kreatif, dan mereka yang dibayar lebih murah tidaklah lebih uncreative“.

Why?

1. I believe that creativity is not measured by price. Bahwa mental “Kalo gw dibayar mahal, gw akan lebih kreatif” itu sama sekali salah. Dalam perjalanan saya pribadi, saya seringkali dihadapkan pada beberapa pekerjaan pro-bono (untuk keperluan ministry / keluarga dsbnya) yang datang dengan harapan dan kepercayaan bahwa saya dapat memberikan solusi kreatif buat mereka. Jadi, apakah dengan kondisi tidak dibayar, kita menjadi sangat tidak kreatif? Tentu tidak.

2. I believe that creativity is nurtured by time and research. Jujur, saya pribadi lebih sering menghadapi creativity block pada saat dihadapkan dengan pekerjaan yang menuntut waktu yang tidak reasonable dengan bayaran yang menggiurkan, dibandingkan dengan working period yang lebih nyaman dengan nilai yang kadang lebih rendah. Walaupun bersifat subjektif, tapi saya rasa kita tetap perlu waktu untuk menghayalkan sebuah konsep.

3. I believe in doing things by heart. Ringkasnya, saya lebih sering merasa puas dengan klien yang secara jujur mengatakan bahwa mereka sangat menghargai kerja keras saya, namun belum ada dalam kapasitas yang kuat untuk membayar lebih, dibandingkan dengan klien-klien lain yang tidak terlalu peduli dengan kerja keras kita dan berperilaku seenaknya dalam suatu negosiasi.

Last but not least, seperti kata om Jobs “Stay foolish“, marilah kita tetap antusias menimba ilmu dan pengalaman, dan selalu ingat perkataan om Rand “Don’t try to be original, just try to be good“.

“Bravo!” Desain Grafis Indonesia.

. . .

Candra Agustinus, yang berlatar belakang ilmu ekonomi dan pemasaran ini sangat menyukai misteri dari kombinasi antara desain grafis dengan strategi pemasaran untuk menjangkau masyarakat luas. Setelah cukup lama bekerja dalam bidang promotion di berbagai perusahaan, akhirnya pada tahun 2004, Candra mendirikan sebuah design house bernama BravoDesign yang memberikan solusi bagi berbagai perusahaan di berbagai skala dalam hal visual design dan web design.

Komentar-komentar pada page DGI di facebook:


« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. 1, 2, 3. keren! hehehehe…

  2. ngena banget, mas….
    “creativity is not measured by price”………thx 4 sharing!

  3. 1. Price is not a measurement for a satisfied heart, but price do symbolize an appreciation especially if it was came from our own relations, no matter how much it is.

    2. Terkadang seringkali kreatifitas muncul di saat-saat ‘terjepit’, baik terjepit oleh waktu, keadaan dan kondisi. Bukan khayal bukan imajinasi, tapi ketangkasan menghadapi situasi.

    3. Bargaining position kita akan bagus kalau klien sudah merasa suka dan percaya. Tinggal pinter-pinteran kita ‘ngolah’ gimana ‘nyedot’ duitnya klien. Makin kaya sebuah perusahaan, makin pelitlah dia.

  4. betul… desain sangat tergantung selera masing2 orang. masalahnya untuk nentuin harga bagaimana gan? soalnya masih pemula nih.

  5. thanks for all comments above, and i am more than pleased to have u guys in the list.

    pada intinya, saya sangat percaya bahwa kreatifitaslah yang menentukan harga, bukan sebaliknya. rasa2nya akan sangat seru kalo kita hidup dan berperilaku kreatif dalam setiap kesempatan.

    @ budicokro. itu juga adalah suatu situasi pelik yang pernah dialami semua orang. dilemanya, kalo kita over-priced, maka klien bisa mundur, tapi kalo kita under-priced, kitanya yang kewalahan nantinya. kalo untuk tahap2 awal, akan lebih bijak bila kita bisa minta pendapat klien mengenai budget mreka. mungkin ini berkesan “mengemis”, tapi percayalah bahwa one successful story will lead you to another. simply stay confident and remember that you are a part of your client’s solution, not their problem.

    mudah2an berguna.

    “Bravo!” DGI Indonesia

  6. Good thought… Menurut pengalaman saya, saya lebih senang mengatakan kalau menyebut harga desain yang “mahal” sebagai harga yang tinggi. Artinya bahwa sebuah desain yang memang menuntut proses tambahan akan menimbulkan biaya tambahan pula (terutama dalam program branding) . Misalnya bila kita melibatkan lembaga riset. Kalo mahal, artinya antara harga yang diajukan dengan ekspektasi yang diharapkan tidak sesuai (proporsiomal). Ga tau juga sih, kalau dari kamus gimana? Dari pengalaman, dari pihak klien akan lebih paham apabila dijelaskan demikian.

  7. […] This post was mentioned on Twitter by ammar farhan. ammar farhan said: "buah" bukan jaminan seorang designer itu kreatif http://bit.ly/ceygLh […]

  8. “simply stay confident and remember that you are a part of your client’s solution, not their problem.”

    kerenn! :D

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly