Oleh Slamet A Sjukur
Pergelaran Opera Tan Malaka di Salihara baru-baru ini mendapat perhatian luar biasa. Musik Tony Prabowo menggaet naskah Goenawan Mohamad. Media-masa pun ramai membicarakannya. Suatu keramaian yang menyimpan sesuatu yang aneh. Yaitu orang lebih banyak mencurahkan perhatian pada pesan ceritanya, mutu sastra dan teaternya. Seolah-olah hanya ketiga hal itu saja yang penting, sementara tata-panggung, pencahayaan, koreografi, tayangan multi-media dan musiknya hanya dipandang dengan mata sebelah. Karena itu orang bisa omong apa saja tentang ‘aksesori’ tersebut
Membicarakan musiknya paling aman, karena abstrak dan banyak yang tidak faham (yang tidak berarti ‘musik tidak bisa dirasakan langsung, harus dimengerti dulu’). Maka ada komentar yang “ngobral” istilah-istilah musik yang kedengarannya ‘wah’: kontrapung bebas, kanon, klangfarben, poliritme, poli metri, logika harmoni disonan, serialisme, atau nama-nama besar yang menjadi tonggak sejarah musik ‘sana’, Schoenberg, Hindemith, Bartok sampai-sampai istilah yang sudah lama basi: avant garde Barat, tradisionalisme Timur.
Apapun yang dipermasalahkan, musik Tony Prabowo dalam opera Tan Malaka terasa mengalir penuh energi dan enak didengar. Lebih dari itu, musik dan seluruh unsur pertunjukan menyatu secara organik, sekalipun di sana-sini ada beberapa kelemahan dalam hal detil. Tidak ada bedanya dengan urusan makanan, yang penting rasanya dulu, perkara garamnya atau ladanya kurang sedikit, itu urusan belakang.
Opera Tan Malaka diramu dengan tiga unsur: visual (tata panggung, cahaya, tayangan multi-media dan koreografi gerak), verbal (tentu saja) dan unsur auditif (musik yang di buat Tony, musik rekaman dan berbagai bunyi). Ketiganya bergerak, kadang bersamaan atau bergantian saling mengisi. Keseluruhan ritmenya bagus, ada tegangan yang berteriak atau justru sebaliknya kesepian yang sangat menekan, ada saat-saat mengalir ke entah berantah. Tidak pernah ada yang selesai. Orang hanyut dalam ritme suasana seperti mimpi yang simpang siur antara yang baru muncul dan yang ‘rasanya’ sudah pernah.
Garapan musiknya tidak bisa lepas dari naskah libretonya. Tony dengan cermat mengelompokkan naskah Goenawan Mohamad menjadi 27 pola musik, termasuk bagian-bagian yang diulangi. Kecermatan di sini sangat penting, tapi kesetiaan yang berlebihan membuat musiknya sering kurang bisa bernafas lega. Sementara libretonya berani menyulap riwayat Tan Malaka menjadi sesuatu yang bermakna demikian padat. Goenawan bahkan tidak segan-segan bercanda dengan ‘to be or not to be’ Shakespeare.
Sumber yang verbal diperlakukan dengan tiga cara: 1. dinyanyikan dengan petunjuk yang lengkap tentang naik turunnya suara, intervalnya, ritme dan kuat lemahnya atau 2. diucapkan bebas seperti orang omong tanpa tuntutan aksentuasi dan dinamik, paling-paling temponya yang cepat dan rata tanpa ritme, serta 3. Sprechgesang yaitu setengah ngomong setengah nyanyi. Yang terakhir ini, Tony hanya mempergunakannya seperlunya saja dan hanya di beberapa tempat. Yang betul-betul Sprechgesang seperti dalam Pierrot Lunaire, tidak terasa. Teknik tersebut pernah membuat seluruh Eropa terpukau ketika Schoenberg menggunakannya sejak tahun 1910, sekalipun Humperdinck sudah lebih dulu melakukannya (1897). Yang lebih dulu lagi teater nôh Jepang yang sudah lama merakyat, seperti halnya wayang orang bagi kita disini.
Yang menarik justru cara mengiringi yang menyanyi atau yang omong. Ada yang setiap suku-kata diberi akor, ada yang akornya lebih longgar, baru berubah setiap pergantian ruas yang memuat beberapa suku-kata atau beberapa kata. Ada saat-saat kwintet gesek dengan beberapa pola artikulasi yang diulang-ulang sehingga terasa seperti kabut tipis yang mengambang tidak bergerak untuk memberi keleluasaan waktu bagi narator.
Tony juga berupaya mewarnai yang verbal dengan berbagai kombinasi instrumen. Orkestrasinya yang paling berhasil tercapai pada pola ke 19 (halaman 149-155 dalam partitur). Di bagian-bagian lain, Tony terlalu asyik dengan penggarapan yang mikro dan mungkin melupakan proporsi keseluruhan, akibatnya keindahan yang diolah dengan cukup teliti tidak menonjol sebagai arus yang hidup, bahkan terkesan sepertinya Tony terus menerus menggerakkan seluruh instrumennya.
Artinya Klangfarbenmelodie yang diinginkan Tony, belum terwujud sepenuhnya. Setiap instrumen punya warnanya sendiri, trompet bunyinya lain dari klarinet, begitu pula cello terdengar beda dari horn dsb. Kalau warna-warna bunyi itu diutamakan sedemikian rupa—bukan ketinggian nada-nadanya—untuk membangun melodi, maka yang demikian itu disebut Klangfarbenmelodie atau melodi-warna. Hal ini pasti tertangkap oleh telinga, lebih-lebih bagi yang tidak terbiasa, tapi juga bagi yang telinganya sudah terasah.
Mengenai adanya birama yang berganti-ganti dari 4/4 menjadi 3/4 berubah lagi 5/4 dsb. Ada yang mengomentarinya sebagai polimeter. Tidak seperti Indonesia-Raya yang biramanya 4/4 dari awal sampai akhir. Tapi sebenarnya, polimetrik terjadi kalau birama yang berbeda-beda itu berjalan serentak, misalnya paduan-suaranya 3/4, seksi tiup-logamnya 2/2, seksi perkusinya 7/4 dsb. Sama dengan istilah polifoni yang terjadi kalau ada sejumlah melodi bergerak bersamaan dengan ritme dan arahnya sendiri-sendiri dan otomatis terjadi poliritme; polifoni bukan kalau ada sejumlah suara yang muncul bergantian, seperti misalnya sopran dulu, lantas bariton, contralto dst.
Komentar lain menyebutkan sejumlah cikal-bakal yang menjadi latar-belakang atau ‘guru’ musik Tony. Betulkah mudah ditemukan jejak serialisme? Musik dengan sistim yang paling anti hirarki, anti adanya nada yang penting dan nada yang tidak penting? Hanya karena musik Tony terdengar disonan seperti Schoenberg? Memang sulit membedakan serialisme Zimmermann dari Webern atau Dalapiccola tanpa pernah mendalaminya dengan analisa yang tajam.
Golden-section atau ‘keseimbangan emas’ yang menjadi salah satu ciri utama dalam musik Bartok, juga tidak ada gelagatnya dalam opera Tony. Bukan karena adanya beberapa ‘cuil’ teknik imitasi maka Tan Malaka mengolah kanon dalam arti yang mulya. Kontrapung bebas, juga tidak memberi informasi apapun bagi kalangan pemusik, karena kontrapung yang ketat hanya ada di jaman Ockeghem, Palestrina, Bach, dari abad 15 sampai 17. Sudah itu kontrapung lebih sensual dan melepaskan diri dari kungkungan agama.
Yang tercium baunya malah Simfoni Turanggalila karya Messiaen. Ada akor-akor yang bergerak paralel (tapi bukan polimodal), ada pola kicau-burung (sedikit), ada ritme non-retrograd yang dibolak-balik sama (sedikit sekali), ada penambahan nilai harga nada (durasi) yang diterapkan dalam birama, misalnya 4/4 ½ yang artinya tidak lain: satu ruas berisi 4 nada 1/4-an ditambah satu nada yang durasinya ½ dari nada 1/4, karena itu sebenarnya bisa ditulis dengan cara lebih sederhana 9/8.
Semua ‘bau itu’ bisa tersebar di mana saja dan tidak ada salahnya kalau Tony tertarik sebisanya pada teknik bahasa musik Messiaen. Seperti halnya Art Tatum atau Bill Evans tidak bisa dituduh nyontek Bach yang 300 tahun sebelumnya juga sudah menggunakan akor yang sama tapi dalam kontek yang berbeda.
Musik Tony adalah musik Tony, termasuk caranya menyusun urutan instrumentasi dalam partiturnya yang di luar kelaziman. Jalan masih panjang dimusik Indonesia, dan terbuka pilihan untuk menjadi seniman visioner atau disanjung MURI.
Slamet Abdul Sjukur
Pengalaman a.l.
2010: Dengan dukungan Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, bersama para pakar THT, Akustik dan sejumlah aktivis, mendirikan MASYARAKAT BEBAS-BISING.
2006-09: Dosen Pascasarjana UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA, Bandung.
2001-06: Dosen Pascasarjana INSTITUT SENI INDONESIA, Surakarta.
2000-~: Anggota AKADEMI JAKARTA.
1981-83: Dekan Fakultas Musik INSTITUT KESENIAN JAKARTA.
1976-87: Dosen IKJ (Harmoni, Kontrapung, Analisa dan Komposisi).
1962-76: Tinggal di Paris; Belajar di Conservatoire National Superieur de Musique de Paris (Chambure dan Messiaen), Ecole Normale de Musique de Paris (Gentil, Dandelot dan Dutilleux) dan Groupe de Recherches Musicales O.R.T.F. (Schaeffer).
1957: Pendiri PERTEMUAN MUSIK SURABAYA (berdiri selama 25 tahun s/d 1982 dengan anggota 1300 orang, bangkit kembali sejak 2006- ….).
Karya-karya Musik
Dilindungi Badan Hak Cipta Perancis SACEM sejak 1968.
Disimpan di SACEM (Société d’Auteurs, Compositeurs et Editeurs de la Musique, Paris), CDMC (Centre de Documentation de la Musique Contemporaine, Paris), RTF (Radio et Télévision Française, Paris), ARION (Paris), WERELD OMROEP (Radio Belanda, Hilversum), AMERICAN GAMELAN INSTITUTE (California)
Penghargaan a.l.
2000: Officier de l’Ordre des Arts et des Letters (Perancis).
1998: Millenium Hall of Fame (American Biographical Institute).
1996: Pioneer of Alternative Music (GATRA magazine, Jakarta).
1983: Médaille Commémoratif Zoltan Kodaly (Hungaria).
1975: Golden Record of Academie Charles Cros (Perancis).
Artikel terkait: Mengenai Opera Tan Malaka
•••