Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Louis Althusser, Sekilas

Oleh: FX Widyatmoko

Louis Althusser merupakan sosok yang rajin membaca Marx. Membaca Marx dalam hal ini melihat apa yang dinilai tepat dan kurang tepat yang terdapat dalam pemikiran Marx. Maka dari itu, memelajari pemikiran Louis Althusser sebaiknya dimulai dengan membaca Marx.

Marx
Jika kita menyebut Marx (Karl Marx) umumnya akan terhubungkan dengan kata-kata sebagai berikut: komunisme, sosialisme, ekonomi, filsuf, kelas, modal, kapitalisme, kesadaran palsu, dan mungkin beberapa kata lain yang identik dengan pemikiran Marx. Tugas kita yaitu mencari situasi/kondisi apa yang dapat menghubungkan kata-kata tersebut. Dari situasi/kondisi - yang katakanlah menjadi konteks (saya lebih memilih istilah situasi objektif) – paling tidak menjadi cukup jelas, atau setidaknya ada gambaran kongkrit latar belakang munculnya tesis dari Marx yang berkaitan dengan perubahan sosial. Lantas, apa tesis Marx?

Marx melihat perubahan sosial (kelas pemilik modal dengan kelas pekerja) akan berubah dengan perubahan status kepemilikan modal. Jika modal (pabrik, industri) dimiliki bersama maka yang ada ialah pemerataan. Salah satu pihak yang mengelola ialah negara. Marx, karena menekankan pada sektor ekonomi (basis) sebagai ‘pemain utama’ yang mengubah tatanan (suprastruktur), pemikirannya kerap dinilai sebagai esensialis. Esensialis di sini dalam artian sangat memercayai satu faktor (yaitu ekonomi) sebagai ‘pemain utama’ perubahan sosial (meski demikian kita tidak dapat memungkiri kalau sektor ekonomi memberi pengaruh besar terhadap sektor lain). Dengan demikian, perubahan politik, misalkan, terjadi karena meniscayakan adanya perubahan ekonomi. Relasi-relasi politik mencerminkan relasi dalam ekonomi.

Ideologi
Setelah mendapat sekilas gambaran pemikiran Marx, barulah kita menyimak pemikiran Louis Althusser, terutama yang berkaitan dengan ideologi. Tugas berikut yaitu memergunakan pemikiran Althusser untuk memahami media (masyarakat, komunikasi, teknologi). Apa saja pemikiran Althusser, yaitu antara lain: aparatus (RSA/Repressive State Apparatus, ISA/Ideological State Apparatus), interpelasi, Tesis 1: ideologi merepresentasikan relasi individu yang imajiner pada kondisi-kondisi nyata dari eksistensinya, Tesis 2: ideologi memiliki eksistensi material, dll.

Althusser melihat ideologi tidak hanya mendiami sektor ekonomi saja, namun menyebar ke seluruh tatanan. Segala tatanan yang menjadi alat ideologi bias disebut sebagai aparatus. Dengan demikian, media melalui pemikiran Althusser didudukkan sebagai media ideologis, artinya media senantiasa memiliki dan menjalankan ideologi tertentu. Media bisa dilihat sebagai aparatus ideologi (ISA). Media sebagai aparatus sekaligus menggambarkan bahwa ideologi memiliki eksistensi material.

Pertanyaan berikut yaitu berkaitan dengan posisi media dalam masyarakat. Maka dengan demikian dapat dicari latar belakang praktik komunikasi yang terjadi dalam/melalui media. Jika dikaitkan dengan RSA/ISA, media dapat didudukkan sebagai bagian dari aparatus negara, misalnya. Meski demikian, saat ini yang menjadi tuan dari media bukan saja negara, namun pemilik modal. Maka tidak aneh jika pada masa Orde Baru beberapa anak pejabat negara, atau pejabat negara itu sendiri, memiliki modal di beberapa stasiun televisi. “Lewat segala konspirasinya media dengan cerdik membentuk persepsi umum untuk membenci idola mereka itu untuk kemudian melahirkan idola baru.” (Perang, Sebuah Novel Subkultur, Rama Wirawan, Jalasutra, 2005:20). Mengapa bisa demikian? “Interpelasi akan menempatkan diri kita dalam suatu kategori ideologis, yang mungkin sekali berbeda dengan kategori sosial aktual kita sendiri.” (Pengantar buku Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, Louis Althusser, Jalasutra, 2008:xii). Hal yang dapat kita petik dari pemikiran Althusser dan Marx ialah posisi subjek dalam/sebagai yang mendominasi dan yang terdominasi. “Tidak ada praktik (apa pun) kecuali melalui dan di dalam ideologi, dan tidak ada ideologi apa pun kecuali demi subjek dan melalui subjek”, tulis Althusser berkaitan gagasannya tentang subjek.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Pemahaman lanjut
Saya tertarik dengan pemikiran Althusser tentang individu – subjek. Dikatakan di sama bahwa individu berubah menjadi subjek salah satunya karena berlangsungnya momen interpelasi. Interpelasi dapat diartikan mekanisme menarik perhatian. Sebagai contoh, iklan. Peran interpelasi dalam iklan menempati tempat penting. Iklan tidak sebatas menawarkan produk, namun menghadirkan sekaligus memberi imaji (yang nantinya termaterialisasi, bahkan secara imajiner!) kepada individu (pelihatnya). Misalkan iklan handphone seri paling baru. Iklan tersebut menawarkan produk yaitu handphone paling baru. Pelihat iklan pertama-tama didudukkan sebagai individu yang menatap iklan tersebut, di mana pada momen berikut individu tersebut ter-interpelasi, terbujuk secara imajiner untuk menempati posisi subjek tertentu yaitu ‘modern’, atau ‘canggih’. Saya, si pelihat iklan, pertama-tama adalah individu yang melihat iklan/produk handphone paling baru tersebut. Saya, pada momen berikut, secara imajiner terinterpelasi/terbujuk untuk menjadi/menempati subjek tertentu, yaitu sebagai orang yang ‘modern’, ‘canggih’. Perubahan dari individu ke posisi subjek yang demikian inilah yang disebabkan oleh berlangsungnya interpelasi, di mana di belakangnya terdapat ideologi tertentu. DKV memainkan peran sebagai pihak (pengetahuan) yang mahir menciptakan bahasa-bahasa persuasif.

Contoh lain, dalam sebuah kampus terdapat peraturan bahwa dosen dan mahasiswa diharuskan memakai dasi. Dasi dalam kasus ini dikaitkan dengan dunia yang lebih luas yaitu simbol pebisnis ataupun eksekutif. Kampus, dengan segala peraturannya, tak lain sebagai aparatus ideologi bisnis, sedangkan dosen dan mahasiswa sebagai individu yang beralih menjadi subjek, yaitu pebisnis atau kaum eksekutif. Hal ini menjadi penting mengingat eksekutif menempati kelas tertentu masyarakat, termasuk salah satunya pebisnis (bukan pedagang!). Contoh ini sekaligus menjelaskan tidak ada praktik (apa pun) kecuali melalui dan di dalam ideologi, dan tidak ada ideologi apa pun kecuali demi subjek dan melalui subjek. Bahkan seandainya terdapat dosen atau mahasiswa yang tidak berdasi/menolak memakai dasi, dosen atau mahasiswa tersebut bukan sebagai individu namun subjek yang menolak menjadi subjek yang dikehendaki oleh aparatus (kampus), dan yang terjadi di belakangnya ialah ideologi tertentu melawan ideologi tertentu.

Kritik terhadap Althusser yaitu tidak selama seseorang yang melihat iklan, misalnya, dengan sendirinya terbujuk dan menjadi subjek yang dihadirkan oleh iklan tersebut. Pembaca bukan seseorang/individu yang bodoh atau mudah dibujuk. Hal ini hendak mengritik pemikiran Althusser bahwa kita, sebagai pelaku (agency), tidak selamanya tunduk pada struktur. Namun tak bisa dipungkiri kalau ideologi (dalam arti seluas-luasnya) senantiasa hadir dalam keseharian manusia. Sekali lagi, tidak ada praktik (apa pun) kecuali melalui dan di dalam ideologi, dan tidak ada ideologi apa pun kecuali demi subjek dan melalui subjek.

Ah, saya ingin menunda istilah ideologi dalam hidup saya sehari-hari. Bahkan, menguburnya. (Koskow, Tinjauan Desain II, 2009)

semiotika-fashion-punk

Sumber foto: Dokumentasi tesis Semiotika Fashion Punk, John Martono, 2003

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. fufufu.. yang mendominasi dan yang terdeteminasi…

  2. “Pembaca bukan seseorang/individu yang bodoh atau mudah dibujuk”

    dunia bisnis (a.k.a pemilik modal) sekarang telah memaknai para konsumen sebagai sahabat mereka bukan lagi sasaran mereka, ini mengaburkan siapa subjek siapa objek karena pada dasarnya terjadi kolaborasi yang intens dan disadari kedua belah pihak…

    kalau sudah begini, ideologi menjadi tidak berbatas lagi, bahkan mungkin sudah melebur dan tak tedeteksi…

  3. “dunia bisnis (a.k.a pemilik modal) sekarang telah memaknai para konsumen sebagai sahabat mereka bukan lagi sasaran mereka, ini mengaburkan siapa subjek siapa objek karena pada dasarnya terjadi kolaborasi yang intens dan disadari kedua belah pihak…”

    justeru di sinilah persoalannya, dengan adanya kritik ideologi membuat kapitalisme, neo-liberalisme, lekas mengganti baju! saya kira, sahabat sebagai terminologi baru subjek iklan, pada dasarnya tetap cara lain dalam memandang siapa yang dimaksud dengan konsumen. konsep sahabat tidak lain metode interpelasi tercanggih saat ini. salam

  4. Althusser hendak menunjukkan kepada kita cara kerja ideologi, struktur kekuasaan (sosial yang membentuk identitas subjek), dan identitas subjek itu sendiri.
    Althusser hendak menunjukkan bahwa subjek/individu itu terbentuk oleh struktur kuasa diluar dirinya (lihat:lacan).
    subjek/individu (dalam konteks iklan) merupakan subjek yang di dalamnya adalah bentukan struktur mass komunikasi dan pasar konsumerisme.

  5. “subjek/individu (dalam konteks iklan) merupakan subjek yang di dalamnya adalah bentukan struktur mass komunikasi dan pasar konsumerisme.”

    pertanyaan saya: mekanisme yang bagaimana agar iklan senantiasa dipercaya oleh massa. dan, terimakasih atas pemikirannya. salam dari jogja
    - koskow -

  6. […] FX Widyatmoko, 2009, Louis Althusser, Sekilas, (online) dalam http://dgi-indonesia.com/louis-althusser-sekilas/, diakses 17 Juni […]

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly