Sebuah pameran yang digagas oleh mahasiswa DKV Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam rangka menyelesaikan mata kuliah Kritik DKV atas saran Sumbo Tinarbuko selaku dosen pengampu Kritik DKV.
Maka dibuatlah pameran online Kritik DKV dengan mengangkat fenomena Keistimewaan Yogyakarta yang sedang hangat diperbincangkan sampai saat ini melalui bentuk perancangan komunikasi visual, sekaligus sejauh mana para mahasiswa menanggapi dan mengkritik bentuk perancangan yang ada melalui tulisan.
Tujuan dari pameran online Kritik DKV ini adalah mengajak para rekan-rekan mahasiswa, dosen-dosen, para kritikus dan para pemerhati Keistimewaan Yogyakarta untuk saling sharing, dan bertukar pikiran mengenai permasalahan yang sedang dihadapi Yogyakarta melalui proses penciptaan karya komunikasi visual.
Deskripsi
1. Bahan
- Obyek DKV: Poster “at least they don’t take my culture” yang bertema mendukung Yogyakarta tetap istimewa.
- Desainer: Bara Umar Birru.
- Ukuran obyek: 21,6 x 29,7cm dan berbentuk persegi panjang.
- Bahan poster: Print di atas kertas.
2. Image
- Tugu kota Yogyakarta yang tercabut ke atas karena di ambil alien yang menaiki pesawat UFO.
- Pesawat UFO yang terkenal suka mengambil atau menculik apapun yang menurutnya menarik dan perlu diteliti.
- Garis marka jalan dan traffic cones.
- Rumah-rumah penduduk yang tetap berdiri tegak ditempatnya.
- Garis-garis horizontal yang dibuat agak miring di atas tugu.
- Layout keseluruhan iklan adalah asimetris dan point of interestnya pada sisi kanan atas dengan headline di kiri atas,
- bodycopy dan logo di kiri bawah.
- Font pada headline dan bodycopy berjenis sans serif Arial.
- Layout paragraf pada bodycopy disusun pada sisi kiri dan rata kiri kanan.
- Warna font pada headline dan bodycopy menggunakan warna putih dan font pada logo berwarna hitam.
- Warna background menggunakan warna hitam ke-biruan.
Analisis
a. Interprestasi
Analisis iklan ini saya lakukan dengan cara SWOT
Strenghts:
- Menggunakan image tugu yang terkenal sebagai ikon penting yang mewakili jogja.
- Pesawat UFO mewakili budaya modern, rahasia dan berkuasa. Disini digambarkan UFO menarik tugu secara paksa ke atas yaitu melambangkan pemaksaan dari kekuatan yang lebih berkuasa di atas pemerintah daerah, yaitu pemerintah pusat dan entah untuk keperluan apa.
- Sinar berwarna putih melambangkan draf RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang disusun pemerintah pusat.
- Rumah-rumah disekitarnya tidak ikut ditarik UFO menggambarkan sistem monarki yang berlaku di masyarakat Yogyakarta, hanya cukup mengambil kekuatan yang paling di hormati, maka otomatis seluruh masyarakat akan kehilangan kekuatan, cirri khas dan budayanya.
- Garis horizon di atas tugu adalah penggambaran usaha masyarakat kecil yang berusaha menghalangi diambilnya tugu dari tempatnya.
- Traffic cones yang ikut terhisap ke atas adalah ikon dari pihak berwajib, yang mengatur tata tertib dan bertugas melindungi rakyat bahkan tidak dapat menyaingi kekuatan dari kekuasaan yang lebih kuat.
- Garis marka di sekeliling tugu dimana seharusnya tugu berdiri kokoh adalah penggambaran dari perlindungan intern yang dimiliki tugu sendiri yang selama ini melindungi agar tugu berdiri kokoh bahkan tidak mampu lagi menahan tarikan kekuatan dari atas.
- Kalimat pada headline memberikan pemaknaan ganda terhadap poster tersebut, menyamarkan kritikan yang ada. “at least they don’t take my culture” mengutarakan apabila memang akan ada UFO yang akan mengambil tugu, maka UFO tersebut hanya mengambil tugu secara harfiah saja, sedang budaya disekitarnya akan tetap ada. Bodycopy di kiri bawah poster menjelaskan muatan lain yang di suguhkan oleh poster tersebut.
Weakness:
- Pemaknaan ganda pada poster tersebut akan kurang dimengerti oleh masyarakat awam yang kurang menikmati dunia pendidikan.
- Typhografi yang kurang seimbang dengan efek-efek visual pada image poster.
- Detail dan warna dari tiap-tiap image kurang jelas dan kurang kontras dengan background.
Opportunities:
- Efek visual dari tugu yang dihisap UFO menarik perhatian dan pertanyaan sehingga timbul ketertarikan untuk menafsirkan maknanya.
Threat:
- Karena efek visual yang menarik dan muatan yang berat didalamnya, tapi memiliki typhografi headline yang kurang menyatu, dikhawatirkan para audience akan lebih tertarik menikmati efek visual pada image dan terbuai pada penafsiran teknis pembuatannya saja tanpa memperdulikan makna yang terkandung di dalamnya. Headline yang berada pada kiri atas memecah titik fokus yang seharusnya difokuskan pada kedua image penting pada poster yang tata letaknya segaris dengan bodycopy.
Penilaian
1. Ide poster tersebut saya nilai original karena pemilihan dan penggabungan bentuk image-nya memiliki efek-efek visual yang memberikan nuansa dan pemaknaan ganda.
2. Secara komunikasi, iklan tersebut kurang komunikatif bagi masyarakat awam yang kurang memiliki pengetahuan luas karena maknanya yang ganda.
3. Jika dilihat pada sisi craftmanshipnya poster tersebut saya nilai sebagai berikut:
- Bentuk font kurang menyatu dengan image dan kurang seimbang dengan efek-efek visual pada image.
- Warna keseluruhan kurang kontras dan jelas sehingga detail lebih jelas terlihat.
- Ilustrasi pada poster menarik dan berbeda dari poster yang bertema sama.
- Leagibility: Secara keseluruhan iklan tersebut agak sulit di mengerti secara sekilas karena memiliki pemaknaan ganda.
- Readybility: Letak dan bentuk font pada headline kurang menyatu dengan image pada poster, sehingga terkesan kurang menyatu dengan image pada poster, sehingga terkesan kurang seimbang dengan efek visual yang ada dan memecah fokus point of interest-nya.
- Simplicity: Iklan ini lumayan simple secara keseluruhan karena tidak terlalu menggunakan banyak image.
- Difference: Memiliki perbedaan yang menonjol dengan iklan-iklan yang bertema senada karena pemilihan image yang sangat ikonik dan menarik serta efek-efek yang mampu menambah dramatisasi visual pada poster.
- Citra: Mampu mewakili citra yang dimaksudkan dengan menampilkan ikon-ikon yang tepat.
- Estetika: Secara sepintas iklan tersebut menarik karena memiliki konsep yang berbeda dengan poster sejenis.
- Final art work: Desain iklan secara keseluruhan lumayan menarik, inovatif dan memiliki ide yang original.
Kesimpulan
a. Ringkasan
Poster tersebut memiliki ide original dan pemaknaan ganda atas ikon-ikon image yang ditampilkan. Hal ini memberi kelebihan pada konsep dan desain visual tapi memiliki kekurangan pada jangkauan audience. Audience yang memiliki pendidikan rendah dan pengetahuan yang kurang luas hanya akan tertarik pada efek visual yang diberikan dan kurang mengerti akan muatan ganda yang dikandungnya. Warna keseluruhan poster juga kurang kontras sehingga detail image kurang jelas terlihat dan terkesan buram. Font pada headline juga kurang mendapat sentuhan desain dan tata letaknya kurang menyatu dengan image utama sehingga memecah fokus dari image yang seharusnya menjadi point of interest.
b. Kesimpulan
1. Font pada headline seharusnya memiliki bentuk dan letak yang menyatu dengan image utama.
2. Warna keseluruhan dibuat lebih kontras sehingga detail terlihat jelas.
Daftar pustaka
Keistimewaan Yogyakarta
Wacana bergulirnya RUU keistimewaan Yogyakarta, belakangan seolah menjadi bahan panenan di hampir semua media massa tanah air. Pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah membuat “merah telinga” sebagian besar masyarakat Yogyakarta, seolah ingin menunjukan bahwa masyarakat Yogyakarta yang terkenal halus, sopan dan ramah ternyata masih mempunyai jiwa sebagai masyarakat yang keras dalam berpendirian kuat membela tanah historis serta system pemerintahan yang mereka amini, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sejarah yang telah diakui masyarakat Yogyakarta, bahwa sistem pemerintahan di Yogyakarta adalah Sri Sultan bertindak sebagai kepala pemerintahan (Gubernur), serta Adipati Pakualam sebagai wakilnya. Di angkat berdasarkan garis hierarki keturunan, bukan berdasar pada pemilihan umum, sebuah sistem pemilihan kepala pemerintahan khas demokrasi.
Issue mengenai perubahan sistem pemerintahan yang akan dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap daerah istimewa ini, seolah menjadikan seluruh warga Yogyakarta bersatu padu untuk satu kata, yaitu “menolak” peresmian RUU tersebut. Sejak masalah ini menjadi Boombastis, berbagai media muncul sebagai bentuk aspirasi kecintaan rakyat Yogyakarta. Berbagai spanduk, poster, baliho banyak terpampang pada sudut-sudut kota Yogyakarta. Berbunyi, ‘Kami Siap referendum!, pro Jogja, pro referendum”, dan banyak slogan slogan lainya menjadi bumbu penyedap huru-hara politik ini. Bahkan pada titik-titik tertentu, terdapat bendera Yogyakarta bergambar logo Keraton dan bertuliskan Yogyakarta Hadiningrat.
Kritik desain kali ini, akan membahas sebuah media poster yang merespon tentang issue referendum Yogya yang kian menghangat ini.
Deskripsi Objek
1. Ukuran Poster, A4 (21x30cm)
2. Teknik cetak, full color
3. Perancang Desain Poster, Agus Adi Saputro, mahasiswa DKV Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Visual Poster
Elemen visual yang membentuk desain poster ini adalah logo keraton Yogyakarta, copywriting bertuliskan, “seyogyanya Yogyakarta tetap istimewa sehingga kita tetap satu, Indonesia!”. Menggunakan jenis huruf Abrafo Script SSi dan berwarna coklat. Dengan posisi seyogyanya berada pada paling atas dengan ukuran huruf kecil didikuti kata Yogyakarta yang terlihat besar dan tetap istimewa berada dibawahnya dengan ukuran huruf yang lebih kecil dari kata Yogyakarta. Dibawah kalimat tersebut, terpisah beberapa spasi terdapat kata sehingga kita, dan tetap satu menyambung dibagian bawahnya. Diakhiri dengan kata Indonesia yang berukuran lebih besar, sama seperti ukuran huruf Yogyakarta diatas. Sehingga kata Yogyakarta dan Indonesia terlihat sama besarnya. Disisi kiri kata, “sehingga kita tetap satu”, ada objek merah putih, yang dibuat seperti coretan khas spidol.
Pada samping sebelah kanan terdapat ilustrasi yang membentuk profil sebuah tokoh raja khas jawa. Yaitu menggunakan mahkota khas jawa berwarna coklat tua dan emas, sumping untuk telinga berwarna kuning emas dan baju beskap yang didominasi warna coklat, dari warna mudanya sampai tua. Background poster berwarna krem tanpa ornamen atau elemen grafis. Poster tersebut posisinya berdiri atau vertikal.
Analisis Iklan
Interpretasi
Komunikasi dalam Propaganda
Bentuk perjuangan sebuah pemerintahan / negara sering di identikan dengan warna merah dan gaya desain yang cenderung keras. Desain-desain seperti itu banyak ditemua pada era Perang Dunia I dan PD II. Juga masa perjuangan merebut kemerdekaan negara Indonesia, era 45. Desain banyak menggunakan jenis huruf yang tebal dan berkarakter tegas, juga dipadu dengan warna yang kuat. Gaya desainpun disesuaikan dengan elemen tersebut. Biasanya bergambar orang yang memegang bendera, senjata ataupun karakter tokoh perjuangan yang melegenda (raja, tentara, dsb).
Pada tempat-tempat di Yogyakarta sendiri, banyak ditemukan spanduk, baliho, ataupun poster dengan gaya desain yang telah disebutkan pada paragraph sebelumnya. Kata “Referendum” banyak dituliskan dengan warna merah dan menggunakan jenis huruf Impact atau arial black. Logo keraton Yogyakarta juga banyak mendominasi secara ukuran, pada tata letak desain tersebut. Kalimat-kaliamat bernada perjuangan keistimewaan Yogya juga seolah membakar semangat nasionalisme setiap warga Yogyakarta yang membacanya. Hal tersebut lazim terjadi, karena ini menjadi semacam komunikasi yang mengarah kepada propaganda. Namun pada poster yang akan dianalisis ini, sedikti berbeda dengan gaya komunikasi pada umunya. Karena jenis huruf, bahasa, serta elemen visual yang digunakan lbanyak yang bertolak belakang dengan media komunikasi perjuangan pada umumnya. Warna yang cenderung tenang dan kalem, lebih mendominasi. Daripada warna merah/hitam atau warna “pergerakan” lainya.
1. Logo Keraton Yogyakarta
Gambar tersebut merupakan lambing resmi kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Lambang tersebut biasanya digunakan sebagai pertanda keberadaan keraton. Diaplikasikan pada bendera, bros/pin, emblem pada seragam prajurit keraton, sampai tertempel pada tembok keraton. Meskipun kecil biasanya lambang ini mempunyai keunikan tersendiri dalam bentuknya. Pada poster ini lambang keraton tersebut mempunyai bentuk yang kecil. Perancang sepertinya akan mengatakan bahwa ada semacam penyepelean terhadap eksistensi keraton, yang diwakilkan oleh lambang ini. Dengan space yang relatif luas, untuk menunjukan keberadaan keraton Yogyakarta sepertinya bentuknya masih terlalu kecil. Perancang mencoba melakukan sindiran terhadap konflik yang sedang terjadi, bahwa keistimewaan dan pemerintahan keraton pada akhirnya bersifat simbolitas saja.
2. Copy Writing
“Seyogyanya Yogyakarta tetap istimewa sehingga kita tetap satu, Indonesia!”. Kata seyogyanya, seolah dipaksakan untuk ada. Ini juga ingin mengatakan kondisi yang sekarang terjadi, bahwa pemerintahan yang bersifat kesultanan untuk Yogyakarta dianggap sesuatu yang dipaksakan. Pemerintah pusat saat ini seolah memaksakan diri untuk mengakui keistimewaan Yogyakarta. Seyogyanya, juga menjadi penanda bahwa zaman sedang berjalan, sehingga apabila digabungkan, “Seyogyanya Yogyakarta tetap istimewa”. Adalah sebuah harapan keistimewaan Yogya. Meski zaman dan pola pemerintahan mengalami perubahan. Jenis huruf yang digunakan adalah Abrafo Script SSi. Jenis huruf ini merupakan huruf latin berkait yang mempunyai karakter dewasa, konsisten dan ekspresif. Tiga sifat inilah yang dijadikan oleh perancang untuk menceritakan bagaimana seharusnya sebuah pemerintahan yang demokratis. Perancang, bercerita melalui untaian kalimat dan karakteristik huruf. Ukuran huruf pada kata Yogyakarta dan Indonesia dibuat sama besarnya dibandingkan yang lain. Ini bukan sebagai pembanding antara pemerintahan Yogyakarta dan Indonesia, namun adanya sebuah pesan mengenai pengakuan terhadap keistimewaan Yogyakarta, sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat.
3. Coretan merah putih
Kiranya semua telah tau apa makna dua warna tersebut. Yaitu bendera Indonesia. Akan tetapi bendera Indonesia yang diwakilkan oleh dua warna tersebut, tidak penuh menjadi suatu bidang kotak. Hal ini menjadi sebuah penanda bahwa pemerintahan negara ini tidak stabil serta cenderung asal-asalan. Pencitraan ketidak beresan pemerintah, sudah banyak diakui oleh masyarakatnya sendiri. Sehingga perancangpun sengaja menunjukan bendera merahputih dengan goresan yang tidak teratur.
4. Gambar Ilustrasi Seorang Raja
Dari gaya visual pada ilustrasi profil raja tersebut, gambarnya dibuat samar-samar. Ini menandakan ketidak jelasan status Yogyakarta bagi pemerintah pusat. Posisi sultan sebagai kepala pemerintahan seolah tidak jelas, sebagai simbol ataukah kepala pemerintahan yang sebenarnya. Perwajahan yang tidak jelas/sempurna merupakan bentuk kekhawatiran masyarakat Yogyakarta terhadap pemerintah pusat yang tidak tegas dalam memutuskan RUU keistimewaan DIY. Selain ketidak jelasan muka dan bentuk badan, dilihat dari tata letak yang tidak penuh satu badan, mengindikasikan bahwa poster ini merupakan sebuah tanda kedukaan, kemuraman dari pemerintahan di Yogyakarta tentang keadaan mereka saat ini. Keadaan dimana ketenangan yang telah mereka jalani, kearifan budaya yang mereka pelihara terusik oleh sebuah rencana Undang-undang penetapan keistimewaan Yogyakarta. Alih-alih menegakan system demokrasi, pemerintah pusat malah terkesan bermain politik untuk semakin memuluskan system kekuasaanya.
Warna yang digunakan pada ilustrasi ini juga cenderung berwarna coklat. Coklat merupakan warna khas budaya keraton di jawa, selain warna hijau. Kain, cenderamata, ataupun pakaian kerajaan di jawa banyak menggunakan warna coklat. Ini berarti bahwa gambar tersebut, secara warna merupakan simbolisasi dari perwakilan budaya kekerajaan dijawa, khususnya Yogyakarta. Warna coklat juga berhubungan dengan kesuburan, atau tanah. Sesuatu yang berada dibawah, sesuatu yang begitu sederhana namun begitu berarti. Oleh karena itu warna tanah juga diidentikan dengan warnanya rakyat kecil. Rakyat kecil sebagai penyokong jalanya pemerintahan di Yogyakarta, rakyat kecil sebagai interpretasi dari kebersahajaan umat manusia.
Pada bagaian mahkota, sumping serta corak kain, menggunakan warna emas. Ini berarti pengakuan terhadap adanya raja/ke-ratuan dari pemerintahan Yogyakarta. Emas yang berarti juga ‘Glorious”, dalam poster ini menyiratkan sebuah doa tentang kejayaan eksistensi seorang kepala pemerintahan yang dipimpin oleh sultan/raja. Background juga menggunakan warna krem dan sama sekali tanpa elemen grafis. Warna krem adalah warna hangat dan ramah. Perancang ingin memadukan kearifan lokal dan semangat penegakan hokum. Sehingga poster terkesan lebih hangat serta tetap terlihat bersahaja.
Gaya visual pada ilustrasi ini juga dibuat se-ekspresif mungkin. Sehingga benar-benar seperti lukisan yang belum jadi. Yogyakarta adalah kota seni, dimana sebuah bentuk ekspresi dari perasaan biasanya dimunculkan dalam estetika yang unik yang juga “nyeni”. Ini juga menjadi identitas sebuah karya estetika yang berasal dari kota yang menjadi embrionya para seniman besar di tanahair. Secara keseluruhan, poster ini menggunakan pendekatan gaya desain New Typography. Sehingga pada akhirnya gaya ilustrasi ini menjadi begitu cocok serta semakin menarik, apabila dikaitkan dengan daerah Yogyakarta.
Penilaian
Melalui poster ini, seorang dapat menjadi trenyuh, emosi ataupun acuh terhadap keadaan yang ada di Yogyakarta. Namun dengan pendekatan desain seperti yang telah di tampilkan dan dijelaskan, sekiranya masyarakat umum akan tau seperti apa karakter dari masyarakat, pola kehidupan serta cara mengekspresikan sebuah permasalahan di Yogyakarta. Poster tidak melulu harus mencerminkan sebuah gerakan yang bersifat fundamental, namun poster juga bisa menjadi penengah, peredam sebuah semangat. Sehingga akan terkesan lebih arif serta tidak berlebihan, khusunya menanggapi issue referendum Yogya.
Poster tersebut juga menyampaikan pesan secara sederhana. Inilah karakter warga/masyarakat Yogyakarta. Perancang ingin menunjukan bahwa masyarakat Yogyakarta memang sehangat dan seramah seperti yang tercipta dalam nuansa poster.
Sebagai sebuah media untuk menyampaikan pesan, poster ini sudah cukup bisa mewakilkan pesan yang ada, namun kurang greget jika nantinya menjadi sebuah poster gerakan propaganda. Karena karakternya lebih halus dan didalamnya bermain dengan pesan visual dan verbal yang tidak terlalu eksplisit.
Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai desain poster tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
- Poster tersebut merupakan bentuk apresiasi terhadap bergulirnya RUU keistimewaan Yogyakarta.
- Buah kekhawatiran warga Yogyakarta atas isu tersebut mempengaruhi segala bidang, termasuk media yang merespon dengan berbagai rupa.
- Ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap system pemerintahan di Yogyakarta.
- Poster menjadi penjembatan aspirasi dan harapan yang lebihbaik untuk Yogyakarta dan Indonesia.
Saran
Sebagai sebuah karya seni, jika visualisasi bentuk raja dapat dibuat lebih ekspresif lagi, baik dari dari cara menggorekan cat, atau gaya arsir/gambar mungkin ilustrasi tersebtu akan terlihat lebih hidup dan artistik.
Background juga perlu diolah lagi, sehingga tidak terlihat sepi dan apa adanya. Karena desain yang elegan dan minimalis juga diciptakan melalui pertimbangan tata letak yang tidak mudah.
Yogyakarta merupakan daerah istimewa yang tidak mungkin dapat disamakan dengan daerah lain. Dimana banyak sekali nilai-nilai sejarah yang dapat dijadikan sebagai ilmu pengetahuan. Namun, akhir-akhir ini keistimewaan Yogyakarta lagi dipermasalahkan. Hal inilah yang menjadi perselisihan antara pemerintah dengan warga Yogyakarta. Sebagai mahasiswa dkv, mencoba berpartisipasi untuk menyuarakan Yogyakarta tetap daerah istimewa melalui media poster.
Deskripsi
Karya ini dibuat oleh Riky Yudha Pratama, mahasiswa ISI Yogyakarta, angkatan 2007 jurusan DKV. Bentuk karya ini berupa poster yang berbentuk landscape atau horisontal, dengan ukuran 29×21 cm.
Poster ini bertema Yogyakarta tetap daerah istimewa, yang merupakan bentuk dari dukungan menolak RUUK dan tetap mendukung Yogyakarta sebagai daerah istimewa.
Dalam poster ini menggunakan gaya desain kontruktivisme, dengan garis warna hijau dan background warna coklat bertekstur. Dengan ilustrasi tangan kanan yang menggenggam tropi atau piala yang ada logo keraton yogya yang berwarna emas. Terdapat warna biru muda yang ada pada ilustrasi pojok kiri bawah.
Desain poster tersebut terdapat teks,berupa “ kami senantiasa akan mempertahankan Jogja.. biarkan kota ini tetap menjadi daerah istimewa!!!”. Dengan jenis font adler dan arial. Dipojok kanan bawah poster ini terdapat identitas pembuat karya.
Interpretasi
Poster ini dibuat sebagai dukungan terhadap keistimewaan Kota Yogyakarta yang akhir-akhir ini dipermasalahkan atau sebagai penolakan pembentukan RUUK Yogyakarta. Yogyakarta memiliki nilai sejarah dan kenangan yang menjadi nilai lebih. Dengan menggunakan gaya desain konstruktivisme yang bermaksud untuk mempropagandakan semangat mempertahankan keistimewaan Yogyakarta.
Dalam poster ini terdapat teks yaitu “kami senantiasa akan mempertahankan Jogja.. biarkan kota ini tetap menjadi daerah istimewa!!!”. Teks ini bermaksud bahwa kami yaitu warga Yogyakarta maupun pendatang yang cinta yogya akan selalu mempertahankan yogya, walaupun akan dibuat RUUK dan berharap pemerintah membiarkan kota yogya tetap daerah istimewa, tidak perlu dibuat RUUK. Font yang digunakan merupakan wujud dari kota Yogya sekarang yang sedang mawut.
Ilustrasi pada poster tersebut berupa tangan kanan yang menggenggam piala yang ada logo keraton yang berwarna emas, yang berarti bahwa untuk mempertahankan keistimewaan Yogyakarta perlu kerja keras dan sesuatu yang baik. Seperti mengangkat tangan kanan, yang menyimbolkan kekuatan, semangat. Warna emas pada piala yang ada logo keraton berarti bahwa kota Yogyakarta sangatlah berharga. Warna biru yang berada dibawah tangan di simbolkan sebagai keringat yang berarti perjuangan yang sangat keras dan menantang. Ilustrasi tersebut digunakan untuk membantu mengkomunikasikan pesan verbal dengan tepat dan cepat serta mempertegas terjemahan dari isi pesan.
Warna yang digunakan adalah warna hijau dan coklat yang sangat identik dengan kota Yogya. Warna putih yang dijadikan sebagai background pada teks. Ini untuk memperjelas pesan yang disampaikan agar bisa terbaca dengan jelas.
Terdapat identitas pembuat desain, design by riky yudha, [email protected]. Ini bermaksud untuk memberitahukan bahwa riky adalah yang membuat karya desain tersebut.
Penilaian
Dalam poster ini tingkat readybility dan legibility cukup jelas, jadi pesan yang disampaikan dapat terbaca dengan jelas. Ilustrasi yang ditampilkan juga cukup menarik, sehingga dari segi komunikasi dapat dipahami bahwa poster ini tentang Yogyakarta.
Untuk teks lebih baik menggunakan kalimat, kami tetap mempertahankan Yogya… biarkan kota ini tetap menjadi daerah istimewa!!!. Jenis font yang digunakan tidak tepat, karena kurang tegas dan terlihat bahwa Yogya sudah hancur, terlihat dari bentuk font yang digunakan.
Layout yang dibuat cukup menarik, dengan menggunakan gaya desain kontruktivisme. Komposisi warna cukup sesuai dengan mengangkat warna-warna yang khas Yogya seperti hijau dan coklat.
Identitas pembuat kurang kecil dan mengganggu pesan yang akan disampaikan.
Kesimpulan
Bahwa desain poster ini berfungsi untuk memberi dukungan untuk mempertahankan keistimewaan Yogyakarta. Yang terdapat ilustrasi mengangkat tangan kanan yang menggenggam piala yang ada logo keraton Yogya. Dan teks berupa,” kami senantiasa akan mempertahankan Jogja.. biarkan kota ini tetap menjadi daerah istimewa!!!
1. Kritik
- Pemilihan jenis font yang kurang tepat.
- Identitas pembuat pada pojok kanan bawah mengganggu pesan yang akan disampaikan.
- Teks pada, “kami senantiasa akan mempertahankan Jogja..” kurang tepat.
2. Saran
- Lebih baik menggunakan jenis font yang tidak pecah-pecah. Sehingga lebih tegas dan penuh semangat.
- Untuk identitas pembuat karya lebih baik menggunakan warna putih dan ukurannya lebih kecil. Jadi tidak mengganggu pesan yang ingin disampaikan.
- Agar teks tersebut mampu melihatkan dukungan terhadapa Yogya, maka perlu diganti menjadi, “kami tetap mempertahankan Yogya…”.
JOGJA BERHENTI NYAMAN?
Yogyakarta adalah mini Indonesia. Di dalamnya, keberagaman hidup berdampingan secara harmonis. Yogyakarta adalah sebuah penjelmaan dari nilai-nilai idealis masyarakat Indonesia nan hidup bergotong-royong secara komunal serta tetap memegang tradisi luhur meski berdampingan dengan globalisasi modern.
Namun di penghujung tahun 2010 ini, nampaknya warga Jogja geram dengan gejolak politik yang mengkeruhkan ketentraman Jogja. Belum sembuh dari luka akibat bencana Merapi, masyarakat harus terkuras energi lagi untuk berkonsentrasi memperjuangkan keistimewaan Jogja yang dipermasalahkan oleh pemerintah pusat. Isu yang muncul tepat setelah mencuatnya kasus mafia peradilan Gayus Tambunan yang piknik dari sel tahanan menimbulkan berbagai macam spekulasi. Ketidaktuntasan kasus–kasus berat dan besar yang mengancam keberlangsungan hidup rakyat banyak terus saja tersamarkan dan teralihkan oleh masalah yang lain. Tak heran bila warga Jogja dan sebagian besar masyarakat Indonesia mengecam tindakan pemerintah yang terkesan “menggaruk yang tidak gatal” di tengah carut marut masalah yang melanda negeri ini.
Sebuah karya desain poster yang dibuat oleh Galuh Sekartaji yang notabene masih tercatat sebagai orang dalam (keraton), nampaknya menyiratkan kegeraman yang santun akan gejolak yang melanda negari Ngayogyakarta Hadiningrat ini.
desainer: Galuh Sekartaji, kritikus: Natalia Dewi
Karya poster ini berukuran A4, orientasi landscape, digarap dengan teknik digital imaging. Background poster berwarna hitam (c:0; m:0; y:0; k:100), menggunakan gaya desain New Tipography. Di sebelah kiri nampak sebuah tangan yang sedang memainkan mainan tradisional Jawa yang namanya klunthungan, berwarna kuning (c:8, m:27, y:84, k:2). Mainan tersebut terbuat dari kertas minyak yang ‘dipantheng’ dalam bambu yang dibentuk silinder sehingga menjadi tabung resonansi. Sebelah kiri dan kanan terdapat bandul sebesar gotri sepeda yang digantungkan pada tali benang. Saat mainan tersebut digeleng–gelengkan, maka akan berbunyi “klunthungklunthung- kluntung”. Pada wajah mainan tersebut, tergambar lambang keraton Yogyakarta, dan sedikit sobek di bagian bawahnya.
Sebelah kanan merupakan ruang kosong yang memuat tagline berbunyi JOGJA BERHENTI NYAMAN? Terdiri dari 3 jenis font yaitu Lilawadee, Orator dan Bottle. Kata JOGJA yang tercetak ukuran besar (128 pt) berasal dari keluarga serif, kata BERHENTI dan NYAMAN yang tercetak ukuran sedang (70pt) serta tanda tanya yang cukup besar berasal dari keluarga sans serif. Di bagian bawah, tertulis body copy yang berbunyi SEMUA ITU TERGANTUNG BAGAIMANA CARA KITA MENGGERAKKANNYA. Kalimat tersebut menggunakan font Orator yang berasal dari keluarga sans serif, dan semua teks pada poster tersebut menggunakan huruf kapital (uppercase).
Sebagai satu kesatuan, poster tersebut dapat dibaca sebagai berikut:
Jogja selama ini kita kenal dengan slogan JOGJA BERHATI NYAMAN. Namun, poster ini memelesetkan slogan tersebut dan mengubahnya menjadi pertanyaan retoris yang ditujukan kepada semua orang yang membacanya. JOGJA BERHENTI NYAMAN? Sedangkan ilustrasi di samping kiri merupakan penjelas dari body copy yang menyatakan bahwa, SEMUA ITU TERGANTUNG CARA KITA MENGGERAKKANNYA.
Dalam poster ini, Jogja secara konotatif dimaknai sebagai mainan “klunthungan” yang bisa dimainkan oleh siapa saja. Siapa saja disini maksudnya adalah siapa saja yang tinggal di Jogja, siapa saja yang merasa memiliki Jogja dan siapa saja yang merasa memiliki kewenangan dalam memberikan kebijakan mengatur suatu daerah. Dalam poster ini, siapa saja diwakili dengan kata “kita”.
Mainan tersebut akan sobek bila dimainkan terlalu keras, namun jika digerakkan terlalu lemah juga tidak akan berbunyi. Dalam hal ini Galuh menyoroti psiko-sosial masyarakat pada umumnya yang barui akan bergerak/berbunyi manakala diguncang atau digerakkan terlebih dahulu. Seperti kasus diklaimnya budaya oleh bangsa lain. Baru membangkitkan nasionalisme bangsa Indonesia. Begitu pula dengan Jogja. Saat Jogja diguncang masalah keitimewaan, seluruh rakyat baru terlihat kompak dan bersatu, serta mengandalkan kebudayaan – kebudayaan local yang selama ini terpinggirkan bahkan dipandang hanya sebelah mata oleh penduduk lokal sendiri.
Meninjau warna–warna yang digunakan dalam poster ini, warna hitam yang digunakan sebagai background mengacu pada simbol duka cita dan keprihatinan. Kegelapan yang sedang melanda Jogja mengingat Gunung Merapi yang baru saja mengamuk dan emakan korban jiwa, dilanjutkan dengan banjir lahar dingin di Kali Code, hingga sekarang kemelut politik yang mencemari tubuh Kasultanan Yogyakarta. Ilustrasi tangan yang menggerakkan mainan klunthungan tersebut merupakan representasi dari para pelaku budaya dan pemangku kekuasaan Jogja yang cenderung rapuh, semakin luntur kewibawaan sebagai pengayom masyarakat Jogja. Sehingga ketika Jogja digerakkan dengan keras/diosak-asik oleh pihak asing, maka Jogja akan berlubang/gampang rusak. Keraton yang selama ini memiliki posisi yang sangat kuat sebagai penjaga adat tradisi budaya Jawa, kini semakin kehilangan identitas dan menimbulkan polemik berbagai pihak. Bagi pihak yang mendukung penetapan Keistimewaan Jogja, mereka memperjuangkan sejarah dan jasa–jasa Sri Sultan HB IX. Sedangkan bagi yang pro pemilihan, mereka berpendapat bahwa sistem monarki sudah tidak relevan lagi di era demokrasi seperti sekarang ini (tentang sebutan monarki ini juga menimbulkan berbagai polemik). Dan sistem penetapan gubernur hanya akan menghalangi praktek demokrasi, mengingat tidak ada peluang bagi pihak lain untuk mencalonkan diri sebagai gubernur. Ada pula yang berpendapat bahwa Sri Sultan yang sekarang tidaklah lagi melakoni peran sebagai Sultan/ Raja Jawa, karena telah turut dalam gelanggang politik di Indonesia (sewaktu mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 2009).
Jogja sebagai kerajaan/keraton dipimpin oleh seorang Sultan yang bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat. Keraton Jogja memiliki tanggung jawab yang selalu sama di setiap generasi, yaitu menjadi pemangku adat tradisi masyarakat Jawa. Dialah yang menjadi lakon dalam menjaga kultur Jawa yang adi luhung hingga saat ini. Di bawahnya, keberagaman dilindungi dan kemerdekaan dijunjung tinggi. Namun, sebagai dampak negatif dari terlalu terbukanya masyarakat Jawa, banyak pendatang yang “nyak – nyak an” dan akhirnya mengobok–obok ketentraman yang selama ini dirasakan oleh masyarakat Jogja. Yang sekarang menjadi pertanyaan adalah, kok bisa Jogja diintervensi pihak asing (lagi)?
Warna kuning emas yang menjadi warna dari mainan klunthungan merupakan salah satu warna identitas Jogja. Kuning emas adalah simbol kejayaan dan kemegahan. Disini menguatkan identitas Jogja sebagai kerajaan yang berjaya.
Simbol yang tergambar di muka mainan merupakan lambang keraton yang disebut Hobo.
Lambang hasil rancangan Hamengku Buwono VIII ini dinamai “Projo Cinho”. Lambang ini awalnya didominasi oleh gambar sayap dengan jumlah bulu pada masing-masing sisi delapan buah, yang menggambarkan Hamengku Buwono VIII sebagai raja ke-8 Dinasti Hamengkubuwono. Selain sayap, yang mendominasi emblem ini adalah inskripsi dua huruf jawa “HO” untuk H(amengku) dan “BO” untuk B(uwono). Oleh karena itu orang awam di Yogyakarta seringkali menyebut emblem sultan ini sebagai “Hobo”. Istilah “Hobo” ini jauh lebih dikenal dibandingkan nama resminya (Projo Cinho). Yang menarik dari lambang ini adalah penggunaan songkok sebagai pengganti mahkota. Songkok sebagai tutup kepala khas prajurit Mataram merupakan simbolisasi keberanian dan kegagahan yang mendominasi kultur Yogyakarta.
Saat ini Hamengku Buwono X masih menggunakan Projo Cinho sebagai lambang keluarga, sebagai mana Undang/Maklumat yang disampaikan pada saat penobatannya (1989) oleh Pangeran Hadikusumo mewakili keluarga. Lambang ini selain digunakan dalam kepentingan sehari-hari administrasi Sri Sultan juga digunakan sebagai penghias cindera mata, perlengkapan-perlengkapan Kraton, bahkan beberapa hasil industri produksi kraton juga menggunakan simbol ini (baik seluruhnya maupun sebagian). Masyarakat Yogyakarta juga menggunakan simbol ini secara luas sebagai identitasnya, meskipun tidak langsung berkaitan dengan kepentingan Kesultanan.
Warna putih pada font yang digunakan merupakan simbol kesucian, atau dalam hal ini menjadi representasi “kontradiktif”, karena warna putih merupakan lawan dari warna hitam. Putih mewakili makna “berhati nyaman” sedangkan hitam mewakili pernyataan “berhenti nyaman”. Pesan yang tersampaikan pun menjadi semakin tegas.
Ditinjau dari sejarah keraton Jogja merunut keistimewaan DIY, Sri Sultan HB IX adalah seorang yang sangat berjasa bagi kemerdekaan RI. Saat itu, adalah saat–saat menakutkan bagi para raja di bumi Nusantara karena akan kehilangan kekuasaannya. Namun tidak demikian bagi Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Pakualam VII. Ketika raja-raja yang lain memilih menutup diri terhadap para pejuang revolusi, Raja dan Adipati di Yogyakarta justru langsung mengapresiasi keinginan para pemuda untuk merdeka. Bukan tahta dan kekuasaan yang menjadi dasar sikap Sultan Yogya dan Adipati Pura Pakualaman, namun kehendak rakyat yang mendambakan menjadi bangsa merdeka, terbebas dari penjajahan bangsa asing.
Alhasil, dari banyak kerajaan, hanya Keraton Ngayogyakarta dan Pura Pakualaman yang masih diakui sebagai wilayah berdaulat yang dengan penuh kesadaran menyatakan bergabung menjadi bagian NKRI. Dua kerajaan di Solo tak lagi diakui lantaran pemerintah
kabupaten baru di Solo memilih ikut RI dan tak mengakui kekuasaan Susuhunan dan Mangkunegara.
Masa-masa awal kemerdekaan akhirnya lebih disibukkan dengan acara pertempuran tentara Indonesia melawan tentara Belanda. Presiden Soekarno, Wapres Moh Hatta, Perdana Menteri Sutan Syharir selalu diuber-uber Londo. Bahkan Sutan Syharir nyaris tewas saat dihujani peluru oleh tentara Belanda saat mengendarai mobilnya.
Melihat situasi keamanan di Jakarta yang tidak kondusif dan menghambat aktivitas pemerintahan, Sri Sultan HB IX mengundang Pemerintah Republik untuk pindah ke Yogyakarta. Semua fasilitas disediakan, mulai dari gedung hingga masalah pendanaan. Maka mulai 4 Januari 1946 sebanyak 50 ribu orang mulai dari para tokoh politik, pegawai pemerintah, militer, kementrian berkantor di Yogyakarta.
Ternyata fasilitas yang disediakan Sri Sultan HB IX dinilai masih belum cukup bagi pejabat pusat. Mereka membutuhkan fasilitas kemudahan lainnya lagi. Wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta pun di acak-acak. Para tamu tersebut membuat wilayah administrasi baru tanpa minta izin, apalagi minta bimbingan Raja Karaton Yogya. Eloknya Sri Sultan tidak keberatan terhadap kebijakan-kebijakan petinggi pemerintah RI yang dibuat tanpa mempelajari kultur Yogyakarta. Baru setelah mengahadapi masalah, akhirnya pengaturan Yogyakarta kembali diserahkan kepada Sinuwun HB IX.
Baru dua tahun Yogyakarta menjadi ibu kota RI, 19 Desember 1948 tentara Belanda tiba-tiba menyerbu Yogya. Presiden-wapres dan para menteri ditangkap dan diasingkan ke Digul. Tentara meninggalkan kota dan melancarkan perang gerilya dibantu para pamong praja dan warga menyerang beteng-beteng pertahanan Belanda. Para pegawai daerah tidak ada yang patuh terhadap pemerintah Belanda dan hanya setia kepada Ngarso Dalem hingga saat diminta untuk mengundurkan diri pun dilaksanakan beramairamai. Belanda benar-benar judeg. Pemerintahan macet dan tidak pernah merasa aman lantaran setiap saat datang serangan dari para gerilyawan. Akhirnya Kerajaan Belanda mengirim delegasi untuk merayu Sultan HB IX agar mau bekerjasama. Raja Keraton Ngayogyakarta tetep teguh pendiriannya, meraih kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Iming-iming Belanda yang akan mengangkat menjadi Raja Mataram Raya yang berkuasa atas wilayah Kerajaan Mataram lama di Jawatengah dikurangi Surakarta dan Mangkunegaran, tak dapat mengubah pendirian HB IX yang mengabdikan tahtanya demi rakyat .
Enam bulan Belanda bercokol di Yogyakarta. Selama kurun waktu itu juga sepak terjang tentara Belanda semakin terlihat dimata penduduk dunia. Maklum yang dihadapi Belanda adalah seorang Raja produk pendidikan Barat namun berkepribadian Jawa Yogya. Ketegangan antara kaum kolonial Belanda dan HB IX selalu menjadi atas nama Pemerintah RI memberi hadiah tanah perdikan (Daerah Istimewa) Yogyakarta. Sebagai raja dan adipati di tanah perdikan tersebut, Sri Sultan dan Adipadi Pakualam dengan sendirinya juga kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Inilah yang membuat Yogyakarta Istimewa. Bukan sekedar sebutan wilayah administrasi, namun lantaran peran dan posisinya yang membuat istimewa. Tanpa Keraton Yogyakarta, tanpa Sri Sultan HB IX, boleh jadi RI belum bisa merdeka.
Seandainya Sri Sultan HB IX lebih mengutamakan kepentingan pribadi, sudah menjadi raja sepanjang masa, Raja Mataram Raya yang dilindungi Kerajaan Belanda sejak tahun 1946. Mungkin sekarang sudah sangat maju jauh meninggalkan negeri tetangga yang kisruh tiada henti akibat keberagaman namun tidak ada kekuatan yang mampu menjadi pemersatu. Namun bukan kepentingan daerah yang diperjuangkan Ngarso Dalem. Kepentingan seluruh bangsa Indonesia lah yang lebih diutamakan (buku Perubahan Sosial di Yogyakarta karya Dr Selo Sumardjan).
Dalam realita narasi politik yang bergulir selama penggodogan RUU Keistimewaan DIY, dapat kita lihat berbagai keanehan. Diantaranya kekeras-kepalaan pemerintah pusat untuk membuat undang–undang keistimewaan DIY yang akan menggulirkan eksistensi Sultan selaku kepala daerah (gubernur) dengan pemilihan kepala daerah, meskipun bisa dipastikan sebagian besar rakyat Jogja menginginkan penetapan Sultan sebagai Gubernur. Persoalan ini seolah membuang–buang waktu dan biaya belaka, serta menguras energi dan memecah konsentrasi akan kasus–kasus lain yang lebih berat dan lebih penting untuk diurusi dan diselesaikan daripada “menggaruk yang tidak gatal”. Dalam sidang terbuka pada tanggal 17 Desember 2010 di gedung DPRD DIY, sudah terbukti nyata bahwa sebagian besar fraksi politik mendukung keistimewaan DIY, serta didukung dengan berbondong – bondongnya rakyat Jogja dari berbagai daerah yang mendukung keistimewaan, hadir dalam sidang tersebut. Keanehan lain yang terlihat adalah Sri Sultan HB X yang cenderung diam dan pasrah akan keputusan DPR pusat.
Fenomena ini dapat dibaca sebagai gaya kultural kapitalisme akhir. Menurut Jameson (1984), yang mengambil gagasan dari Baudrillad, pascamodernisme terlibat dalam kesadaran yang dangkal tentang masa kini dan kehilangan pemahaman historis. Kita hidup dalam suatu hyperspace pasca modern dimana kita tidak mampu menempatkan diri kita, manifest spesifik yang terdiri dari runtuhnya perbedaan yang tegas antara budaya yang rendah dan budaya yang tinggi serta fashion untuk nostalgia sehingga sejarah bukan lagi objek representasi melainkan obyek konotasi skilistik. Deskripsi Jameson tentang dunia pasca modern sebagai sesuatu yang ditandai oleh fragmentasi, instabilitas dan disorientasi banyak memiliki kesamaan dengan Baudrillad.
Desain poster ini menarik dan bermakna dalam, pemilihan ilustrasi simbolis dan font yang digunakan juga sudah tepat. Namun ada hal–hal yang ‘mengganggu’. Diantaranya adalah kata MENGGERAKKANNYA pada body copy yang pengejaannya salah (MENGGERAKANNYA, kurang satu K). Selain itu, pada kata JOGJA, spasi antar huruf kurang diperhatikan sehingga nampak tidak seimbang. Seharusnya jarak diatur kembali sehingga nampak harmonis dan enak dilihat. Sebenarnya dari pemilihan huruf sudah tepat, namun saya lebih setuju jika font pada kata JOGJA dipilih yang menyerupai aksara Jawa sehingga nuansa lokalnya kompak dengan ilustrasi.
Saya lebih setuju jika ilustrasi diperbesar dan ukuran font pada tagline sedikit diperkecil sehingga tidak terkesan “saingan” merebut perhatian. Akan nampak lebih baik jika audiens digiring membaca poster ini dari ilustrasi – tagline lalu body copy. Caranya adalah dengan mengatur besar kecilnya obyek.
Daftar Pustaka
http://home/yogyanews/Betapa-Besar-Jasa-Sinuwun-Sri-Sultan-HB-IX-Terhadap-NKRI/
http://wicakz.wordpress.com/2010/12/04/heroiknya-sultan-hb-ix/
Obyek DKV : Poster YOGYAKARTA TETAP ISTIMEWA BUNG !
Karya: M. Iqbal
Ukuran obyek: A4 (297×210 mm)
Headline poster menggunakan font haettenschweiler yang disusun membentuk tulisan YOGYAKARTA
Poster menggunakan warna hitam, cream, merah, putih, dan merah marun. Sedangkan objeknya berwarna putih, hitam dan abu-abu
Deskripsi
Latar belakang
Pro kontra mengenai daerah keistimewaan Yogyakarta pada saat ini sedang ramai dibicarakan oleh masyarakat khususnya masyarakat yang berada di daerah Yogyakarta. Bagaimana tidak, isu ini berkembang setelah presiden akan meninjau kembali cara pemilihan gubernur di daerah Yogyakarta yang dilakukan dengan cara penetapan akan digantikan dengan cara pemilihan. Keistimewaan Yogyakarta memang melakukan tradisi pemilihan gubernur dengan cara penetapan dan gubernur juga merangkap sebagai sultan. Masyarakat Yogyakarta dibuat geram dengan pernyataan presiden yang akan meninjau kembali keistimewaan daerah Yogyakarta karena isu ini mencuat tidak lama setelah gunung merapi meletus dan suasana duka dari korban letusan gunung merapi pun masih terasa kental.
Berikut ini adalah sejarah mengenai keistimewaan daerah Yogyakarta:
Yogyakarta pertama kali berstatus provinsi pada 5 September 1945, ketika Raja Ngayogyakarto Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan Soekarno Hatta pada 17 Agustus 1945. Amanat Sri Sultan bersama Paku Alaman yang kemudian disebut Amanat 5 September tersebut merupakan bentuk dukungan Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat terhadap NKRI.
Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara merdeka oleh Soekarno Hatta, sebenarnya Kerajaan Yogyakarta dan begitu juga kerajaan-kerajaan lain di wilayah bekas jajahan Belanda bisa saja melepaskan diri dari NKRI, namun ternyata Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memberikan dukungan terhadap NKRI dan dalam amanat yang ditandatangani Sri Sultan bersama Paku Alam menyatakan “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.”
Isi lain dari amanat Sri Sultan tersebut adalah, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya.”
Berikutnya adalah, “Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
” Keistimewaan Yogyakarta ini pun disambut baik oleh para founding father Indonesia dengan dikeluarkannya payung hukum yang dikenal dengan nama piagam penetapan. Payung hukum ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Soekarno yang duduk di BPUPKI dan PPKI pada 19 Agustus 1945. Piagam penetapan ini kemudian diserahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 6 September 1945. Isi piagam penetapan itu adalah,
“Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX, Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:
Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya,
Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.
Sejak itulah status daerah istimewa melekat pada Yogyakarta dan ditetapkan dalam Undang-Undang No 3 tahun 1950 Jo UU No 19 tahun 1950 mengenai Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta. Terlebih status istimewa mendapat payung hukum dari Undang-Undang Dasar 1945, yakni pasal 18A ayat 1 yang penegasannya adalah “bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dalam undang-undang.”
Konsekuensi dari hal tersebut berarti pemimpin (gubernur dan wakil gubernur) Provinsi Yogyakarta adalah raja Ngayogyakarto Hadiningrat dengan wakilnya adalah raja dari Paku Alam, yang selama ini dijabat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dan kemudian dilanjutkan (baca diwariskan) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX. Kondisi ini berlangsung damai sampai kemudian muncul Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU tersebut, diatur bahwa gubernur dan wakil gubernur suatu provinsi di NKRI dipilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan masa jabatan maksimal 10 tahun atau dua kali pilkada. Daerah Istimewa Yogyakarta pun harus mengikuti aturan dalam undang-undang tersebut. Artinya Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX harus mengikuti pilkada jika ingin menjadi gubernu dan wakil gubernur lagi. Hingga kemudian pemerintah (pusat) mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk Yogyakarta yang sampai saat ini belum tuntas. Padahal RUU tersebut diharapkan menjadi solusi bagi keistimewaan Yogyakarta.
Pada saat itulah Sri Sultan Hamengku Buwono X yang masa jabatan gubernurnya sudah diperpanjang dua kali menyatakan perlunya referendum yang dilakukan untuk Provinsi DI Yogyakarta. Referendum bagi rakyat Yogyakarta ini, apakah gubernur dan wakil gubernurnya nanti ditetapkan atau dipilih dalam pilkada. Walau pun banyak kalangan, lontaran Sri Sultan tersebut hanya untuk menyindir pemerintah (pusat) dan DPR agar menyelesaikan segera RUU.
Memang selama ini status istimewa Yogyakarta terkesan digantung oleh pemerintah dan DPR. Pemerintah di satu sisi menuding DPR lambat menyelesaikan pembahasan di sisi lain DPR menuding pemerintah menahan RUU tersebut di Kementerian Dalam Negeri. Apakah benar nantinya referendum yang menjadi solusinya, seperti dilontarkan Sri Sultan Hamengku Buwono X? Dan ini mengkhawatirkan karena di samping bisa menjadi preseden buruk bagi provinsi lain bisa juga menjadi awal disintegrasi bangsa dan bubarnya NKRI.
Data Visual
Analisis
a. Interpretasi
- Gaya desain pada poster ini menggunakan gaya konstruktivisme dan konstruktivisme itu adalah sebuah penemuan seniman baru Rusia yang diikuti oleh seluruh berbagai benua. Senimannya rata-rata terdiri dari anak muda berkebangsaan Rusia yang mencoba untuk menyatukan keseluruhan ide dari seni modern menurut cara mereka sendiri. Mereka menggambarkan seni yang kebanyakan 3 dimensional. Dan mereka juga sering menggambarkan seni yang dapat dihubungkan kepercayaan Proletar mereka. Teori Konstruktivisme diperoleh dari Suprematisme Rusia, De Stijl Belanda dan Bauhaus Jerman. Jerman merupakan tempat kegiatan Konstruktivisme terbanyak di luar Uni soviet setelah Bauhaus Walter Grophius, sebuah seni progresif dan sekolah desain yang simpatik terhadap pergerakan tersebut, sama seperti pusat2 seni lainnya dan akhirnya Amerika serikat. Berikut ini adalah contoh karya konstruktivisme:
Image Utama:
Bentuk bangunan tugu yang berada di Yogyakarta ini adalah salah satu bangunan peninggalan Sultan Hamengku Buwana I. Pembangunan Tugu tersebut dilakukan untuk memperingati rasa kebersamaan raja (pada waktu itu Pangeran Mangkubumui) dengan rakyat yang bersatu padu melawan Belanda sehingga Pangeran Mangkubumi mendapatkan tanah Mataram. Tugu tersebut dibangun setahun setelah Perjanjian Gianti. Ketinggian Tugu pada waktu dibangun pertama kali adalah 25 meter.
Posisi Tugu Yogya sekarang berada di tengah perempatan jalan besar yakni yang membujur ke utara adalah Jalan AM. Sangaji ke timur Jl. Jenderal Sudirman, ke selatan Jl. Pangeran Mangkubumi-Malioboro, ke barat Jl. Pangeran Dipanegara. Puncak tugu tersebut pada awalnya sebagai titik pandangan Sultan sewaktu menghadiri upacara Grebeg di Bangsal Manguntur, di Sitihinggil Lor.
Dalam bahasa Belanda Tugu Yogya ini lebih terkenal dengan sebutan white paal (tugu putih). Sedangkan masyarakat Yogyakarta generasi tua sering menyebutnya Tugu Pal Putih. Di samping itu, masyarakat Yogyakarta juga sering menyebutnya Tugu Golong Gilig. Hal itu tidak terlepas dari ciri-ciri fisik bangunan itu. Warna putih yang melingkupi seluruh tubuh tugu itu menjadikannya lebih terkenal dengan sebutan Tugu Pal Putih.
Sedangkan bentuknya yang memang gilig (bulat panjang) dengan puncak berbentuk bola, menyebabkanya disebut golong gilig. Di samping itu, golong gilig juga dimaksudkan sebagai simbol rasa kebersatuan antara rakyat dan raja dalam melawan Belanda. Golong gilig sering diartikan sebagai menyatu/berbulat niat, kehendak, dan tindakan.
Seluruh font yang berada pada poster ini menggunakan font haettenschweiler.
Garis–garis lurus mengerucut ke atas menunjukan gaya desain konstruktivisme.
Garis-garis dan headline pada poster yang berwarna merah menunjukan bahwa warna merah mempunyai banyak arti, mulai dari cinta yang menggairahkan hingga kekerasan perang. Warna ini tak cuma memengaruhi psikologi tapi juga fisik. Penelitian menunjukkan menatap warna merah bisa meningkatkan detak jantung dan membuat kita bernapas lebih cepat.
Garis lurus yang berjumlah 5 tersebut dapat diartikan bahwa angka 5 adalah angka yang tidak menguntungkan bagi setiap orang. Angka yang paling susah dikombinasikan. Membawa pengaruh jahat. Membawa gangguan penyakit. Kemanapun muncul dalam feng shui terbang angka ini selalu diperangi. Bintang ini kalau muncul bersamaan dalam bagan tahunan dan bulanan betul-betul menciptakan kecelakaan fatal jadi kota Yogyakarta sedang dipengaruhi oleh sesuatu yang buruk yang dapat menyebabkan sesuatu yang kurang baik.
Tiga tanda panah pada poster tersebut dapat diartikan bahwa angka tiga menurut feng shui adalah bintang yang membawa perkelahian, cekcok, kecelakaan. Bintang ini adalah bintang yang membawa ketidak harmonisan dalam feng shui bintang terbang tetapi tanda panah yang berjumlah 3 tersebut mengarah ke kanan yang artinya kebaikan dan menyerong ke atas yang artinya optimis, jadi si desainer menggambarkan bahwa meskipun rakyat Yogyakarta sedang tidak harmonis dengan pemerintah pusat tetapi pada akhirnya mereka optimis semuanya akan diakhiri dengan kebaikan.
Tulisan yang berada dibawah merupakan tulisan sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintah pusat, meskipun pemerintah mau melakukan apapun untuk merampas hak-hak masyarakat Yogyakarta yang dapat dibenarkan secara formal tetapi tetap saja tidak akan dibenarkan dari sisi kemanusiaan dan nurani.
- Ide poster tersebut kami nilai tidak ada sesuatu yang menonjol karena banyak sekali poster-poster yang sejenis.
- Secara komunikasi, poster tersebut cukup baik menampilkan ikonik dari kota Yogyakarta tapi dari segi perlawanan terhadap pemerintahan pusat secara visual kurang menggigit.
- Font menggunakan haettenschweiler sehingga dapat terbaca dengan jelas.
- Warna font cukup kontras dengan background sehingga dapat terbaca dengan jelas.
- Warna keseluruhan sudah mencerminkan bentuk perlawanan terhadap pemerintah pusat yang mengusik keistimewaan daerah Yogyakarta.
- image utama menampilkan ikon kota Yogyakarta sehingga menjadikan poster itu jogja banget.
- Leagibility: Secara keseluruhan poster tersebut kurang bisa dipahami karena kurangnya bentuk ilustrasi yang menggambarkan bahwa Yogyakarta harus tetap menjadi daerah istimewa.
- Readybility: Poster ini secara keseluruhan menggunakan font haettenschweiler yang dapat dibaca dengan jelas oleh audience.
- Simplicity: Poster ini bisa dikatakan simple karena tidak banyak obyek yang ditampilkan serta warna–warna yang ditampilkan cukup harmonis.
- Difference: Kurang memiliki perbedaan yang menonjol dengan poster yang bergaya sejenis.
- Citra: Sudah mampu menampilkan ikonik Yogyakarta tetapi dari segi pencitraan terhadap perlawanannya kurang menonjol.
- Estetika: Secara sepintas poster tersebut mampu menarik perhatian audience.
- Final art work: Desain poster secara keseluruhan sudah menarik untuk dilihat tetapi pesan yang akan disampaikan belum begitu jelas.
Kesimpulan
a. Ringkasan
Secara keseluruhan poster ini bisa dikatakan bagus karena menggunakan aliran konstruktivisme, pemilihan font yang dapat dibaca dengan jelas dan warna-warna yang ditampilkan cukup harmonis sehingga mata pun dibuat nyaman untuk melihat poster tersebut, dari segi ikonik kota Yogyakarta nya pun cukup baik namun image yang menampilkan tentang suatu perlawanan terhadap pemerintahnya kurang ditonjolkan sehingga audience tidak dapat memahami apa pesan yang akan disampaikan oleh poster tersebut.
Daftar pustaka
http://www.tembi.org/keraton_yogja/tugu.htm
http://viruspintar.blogspot.com/2010/10/bukti-sejarah-keistimewaan-yogyakarta.html
http://zoogroup.blogspot.com/2009/03/konstruktivism.html
http://nasional.kompas.com/read/2008/10/09/15551015/psikologi.dan.arti.warna
http://www.indomp3z.us/showthread.php/75410-Makna-Angka-(Feng-Shui)

Keistimewaan demokratis seharusnya bisa berdampingan, desainer: Muhammad Dipo, kritikus: Alit Ayu Dewantari
Polemik Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Namun, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dikaitkan dengan isu monarki membuat geger rakyat Indonesia, terutama yang berada di Yogyakarta.
Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan oleh manuver politik Sultan yang bertahta terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 karena Status Istimewa bagi DIY yang telah melekat sejak tahun 1945 dijadikan bargaining power secara kelembagaan. Sementara itu sultan yang bertahta tidak memiliki bargaining position dalam percaturan politik secara nasional.
Kemudian setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945. Pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas. Ketidak pahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-kultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI.
Perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistim Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistim & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistim demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistim pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila. Proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden).
Deskripsi dan Identifikasi
1. Bentuk
Poster berbentuk persegi panjang dengan posisi vertikal. Poster berukuran A4,
210 mm x 297 mm.
2. Tanda Verbal
Teks “Keistimewaan yang Demokratis SEHARUSNYA BISA BERDAMPINGAN”, merupakan sebuah headline poster dengan penekanan pada anak kalimatnya yakni, “SEHARUSNYA BISA BERDAMPINGAN”. Headline menggunakan 2 jenis font. Headline bagian atas, “Keistimewaan yang Demokratis”, menggunakan font Chopin Script yang merupakan salah satu jenis font dari keluarga script. Teks ini disusun uppercase dan lowercase. Teks uppercase memiliki tinggi 7 mm, sedangkan teks lowercase memiliki tinggi antara 5,6 mm, 4,3 mm, dan 2,8 mm.
Headline bagian bawah, “SEHARUSNYA BISA BERDAMPINGAN”, menggunakan font Broken Ghost, yang merupakan salah satu jenis font dari keluarga serif. Teks disusun uppercase dengan ketinggian 7 mm.
Headline berada di bagian tengah poster dengan susunan align text left (rata kiri). Teks berada di atas ilustrasi yang berjajar.
3. Tanda Visual
- Di bagian kiri bawah, terdapat Lambang Keraton Yogyakarta, atau yang disebut dengan Praja Cihna. Lambang ini diambil dengan teknik fotografi, dan diolah secara digital. Praja Cihna ini terpotong vertikal dan menampakkan separuh bagian yakni separuh lambing bagian kanan. Di bagian sayap paling luar terdapat 9 ruas sayap, dimana 5 ruas sayap paling atas ditambah dengan ornamen berupa sulur. Ornamen ini Nampak berada dibalik lambing.
- Di bagian kanan bawah poster terdapat sebuah Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Burung Garuda Pancasila, yang terpotong vertikal dan menampakkan separuh bagian, yakni separuh bagian kiri. Kepala Garuda menoleh ke kanan. Jika dilihat dari sudut pandang kita, Garuda menghadap ke arah kiri, mengantarkan mata kita untuk melihat lambang Keraton Yogyakarta. Lambang ini dibuat dengan teknik hand drawing. Di bagian ujung sayap Garuda terdapat ornamen-ornamen.
- Terdapat sebuah Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Burung Garuda Pancasila, yang utuh di sebelah kiri headline. Lambang Burung Garuda ini berukuran kecil, dengan tinggi yang disesuaikan dengan tinggi headline. Burung Garuda Pancasila ini dibuat dengan teknik hand drawing berupa outlinenya saja. Di bagian bawah Lambang terdapat unsur ornamen yang dibuat simetris antara sulur bagian kiri dan bagian kanan.
- Headline “Keistimewaan yang Demokratis SEHARUSNYA BISA BERDAMPINGAN”, menggunakan warna hitam dengan komposisi C:0, M:0, Y:0, dan K:100.
- Lambang Keraton Yogyakarta, Praja Cihna, berwarna merah dan kuning keemasan. Pengambilan gambar dengan teknik fotografi dan editing dengan teknik multiply menghasilkan warna merah dengan komposisi C:1, M:100, Y:96, dan K:0, serta warna kuning emas paling terang dengan komposisi C:5, M:10, Y:93, dan K:0, warna kuning emas paling gelap dengan komposisi C:56, M:97, Y:96, dan K:15.
- Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Burung Garuda Pancasila, dibuat dengan teknik hand drawing yang kemudian diolah digital dengan teknik multiply dan menghasilkan Garuda Pancasila dengan warna merah, kuning, kuning kejinggaan, hijau kecoklatan, cokalt muda, dan hitam. Warna merah dengan komposisi C:8, M:100, Y:96, dan K:0, kuning dengan komposisi C: 4, M:20, Y: 96 dan K:0. Warna kuning kejinggan dengan komposisi C: 6, M:66, Y:97 dan K:0. Hijau kecoklatan dengan komposisi C:79, M:60, Y:91, dan K:38. Warna coklat muda dengan komposisi C:5, M:17, Y:39, dan K:0. Dan warna hitam dengan komposisi C:0, M:0, Y:0, dan K:100.
- Unsur ornamen yang ada pada sayap Praja Cihna dan sayap Burung Garuda Pancasila, menggunakan 3 warna, yakni hitam, merah kecoklatan dan kuning. Warna hitam dengan komposisi C:0, M:0, Y:0, dan K:100. Warna merah kecoklatan dengan komposisi C:8, M:87, Y:92, dan K:0, dan warna kuning dengan komposisi C:5, M:27, Y:87, dan K:0.
- Lambang burung Garuda Pancasila yang terdapat pada sisi sebelah kiri headline dibuat dengan teknik hand drawing, berupa outline, menggunakan warna abu-abu kecoklatan dan coklat keabu-abuan. Warna Abu-abu kecoklatan dengan komposisi C:53, M:52, Y:46, dan K:3. Dan warna coklat keabu-abuan dengan komposisi C:25, M:45, Y:61, dan K:0.
- Background Nampak seperti tekstur kertas tua (kuno) dengan beberapa efek bekas lipatan kertas. Berwarna putih kecoklatan dengan gradasi semakin ke atas semakin putih. Putih kecoklatan dengan komposisi C:7, M:25, Y:47, dan K:0, dan warna putih dengan komposisi C:0, M:0, Y:0, dan K:0. Di dalam background terdapat efek noda/cipratan tinta dengan menggunakan warna coklat sampai putih kecoklatan. Warna coklat dengan komposisi C:53, M:82, Y:90, dan K:8. Dan warna putih kecoklatan dengan komposisi C:4, M:7, Y:9, dan K:0.
Analisis (Interpretasi dan Penilaian)
Headline “Keistimewaan yang Demokratis” menggunakan font Chopin Script, yang menyerupai goresan tangan yang dikerjakan dengan pena. Jenis font ini memberi kesan akrab dan tradisional. Kesan goresan yang halus menggambarkan sifat keistimewaan, yang juga dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta yang demokratis yang tersurat dalam headline. Headline menggunakan warna hitam. Warna ini member kesan kuat, kokoh, serta tegas.
Pada font Chopin Script yang tersusun uppercase, terdapat unsur sulur tipis yang memberi kesan sebuah adat budaya Jawa yang sudah lama terjaga dan melekat pada Daerah Istimewa Yogyakarta. Jenis font ini memiliki tingkat keterbacaan yang kurang. Tapi penggunaannya sudah sesuai untuk headline sebuah polemik tentang isu monarki yang sedang dihadapi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Headline yang terletak di bagian bawah, “SEHARUSNYA BISA BERDAMPINGAN”, menggunakan font Broken Ghost, yang memiliki ciri serifnya berbentuk persegi seperti papan dengan ketebalan yang sama. Headline disusun uppercase, yang memberi kesan kokoh dan kuat. Penggunaan jenis font berkait ini membuat teks lebih mudah dibaca. Jika dicermati, terdapat efek sulur di dalam font. Efek sulur pada font yang terkesan kokoh ini memberi sebuah gambaran kekuasaan yang kuat/besar dengan kelembutan yang tergambar dari sbeuah keistimewaan suatu daerah, jika disatukan atau berjalan beriringan maka akan melahirkan suatu kesatuan yang harmonis sesuai dengan cita-cita bangsa.
Namun pada huruf tertentu, terdapat sulur dengan variasi berbeda yang cenderung memberi kesan tidak seimbang. Terdapat corak sulur yang memenuhi bagian luar font. Di sisi lain, terdapat font yang corak sulurnya berada di bagian font yang dirangkai dengan teknik gestalt, sehingga font tersebut seolah terpotong. Bisa jadi, ketidakseimbangan dalam font headline “SEHARUSNYA BISA BERDAMPINGAN”, menggambarkan suatu kepemimpinan pemerintahan yang berada dalam ketidakpastian atau kegamangan. Sebuah pernyataan yang dilontarkan Presiden Republik Indonesia mengenai isu monarki atas Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menggegerkan rakyat, terutama rakyat yang berdiri di tanah Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta dilahirkan karena keharusan politik sebagai syarat mutlak kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Negeri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Praja Kadipaten Pakualaman sebagaimana Negeri Kasultanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Kadipaten Mangkunegaran serta Negeri Aceh (Kerajaan Samodera Pasai) harus masuk ke dalam pemerintahan Indonesia menjadi daerah yang lebih kecil dan bersifat otonom.
Jika Undang-Undang Dasar telah menjamin kepastian hukum dengan menyatakan Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, maka seharusnya tidak perlu gamang lagi dalam menegakkan supremasi hukum demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu rasa keadilan yang dituntut oleh masyarakat Yogyakarta adalah kepastian hukum terhadap masa depan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terzalimi akibat dampak perubahan UU Pemerintah Daerah maupun amandemen UUD 1945.
Secara yuridis, substansi Daerah Istimewa Yogyakarta menyangkut tiga hal. Antara lain
1. Istimewa dalam hal sejarah pembentukan pemerintahan DIY dalam NKRI yang terkait perjuangan kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945.
2. Istimewa dalam hal bentuk pemerintahan sebagai daerah istimewa setingkat provinsi yang bersifat kerajaan, seperti yang tertera dalam UUD 1945, Pasal 18 B; UU Nomor 3/1950, Pasal 2; Amanat 5 September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945.
3. Dan istimewa dalam hal kepala pemerintahan DIY yang dijabat oleh sultan/adipati yang bertakhta, seperti yang tertera dalam Piagam Kedudukan, 19 Agustus 1945, yang menjamin keduanya tetap pada kedudukannya dengan menulis nama, gelar, dan kedudukan secara lengkap.
Setelah dicermati ternyata perubahan UUD 1945 yang mengamanatkan pemilihan umum secara demokratis apabila dikorelasikan dengan fakta-fakta yang ada, masih belum sepenuhnya sesuai dengan cita-cita demokrasi kita, yaitu musyawarah untuk mencapai mufakat sebagai demokrasi yang paling substansial dalam memperkokoh semangat ethno-nationalism yang berbasis multikulturalisme dan pluralisme sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika”.
Secara garis besar headline “Keistimewaan yang Demokratis SEHARUSNYA BISA BERDAMPINGAN”, telah mewakili aspirasi, keinginan, dan suara rakyat. Keistimewaan yang demokratis, tergambar dalam suatu proses yang berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi/musyawarah untuk mufakat, sehingga sampai detik ini pelaksanaan Pilgub dan Pilwagub secara langsung belum dilaksanakan karena posisi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai wakil pemerintah pusat yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Harapan mayoritas masyarakat Indonesia, terutama di Yogyakarta, substansi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat berjalan berdampingan dengan Demokrasi Pancasila Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengingat Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bagian dari Indonesia.
Di bagian kiri bawah poster terdapat lambang Keraton Yogyakarta, atau yang disebut dengan Praja Cihna. Lambang ini diambil dengan teknik fotografi, dan editing dengan teknik multiply. Praja Cihna, berwarna merah dan kuning keemasan. Praja Cihna ini terpotong vertikal dan menampakkan separuh bagian yakni separuh lambang bagian kanan. Penggunaan lambang yang terpotong ini seharusnya tidak dilakukan, mengingat sebuah lambang sudah pasti mengandung makna tertentu pada setiap bagiannya, begitu halnya dengan Praja Cihna. Di bagian atas menggambarkan songkok/mahkota Sultan yang memiliki makna bentuk kepemimpinan Sultan atas suatu daerah. Di bawah songkok kanan dan kiri terdapat sumping atau hiasan telinga, yang menggambarkan sifat waspada dan bijaksana. Di bawahnya atau tepatnya di sisi kiri dan kanan lambang, terdapat sayap sebagai lambang perlindungan atau pemeliharaan menuju tatanan kehidupan yang lebih baik. Sepasang sayap ini mengapit tulisan Ha Ba, singkatan dari Hamengku Buwono, yaitu dinasti yang memerintah (dalam aksara Jawa), atau bisa diartikan sebagai pemangku atau pengayom bumi.
Dalam poster tersebut, tulisan Ha Ba ini terpotong, sehingga pemaknaan secara luasnya tidak terlihat, bahkan cenderung hilang sifat kewibawaannya. Penyajian gambar yang diambil dengan teknik fotografi ini tidak dibarengi dengan kecermatan dalam pengolahan digitalnya. Terdapat 2 buah kepala paku pada bagian bawah mahkota dan di dalam aksara Ha Ba. Tampilan ini mengganggu ke-eleganan lambang, apalagi jika poster ini dicetak dalam ukuran yang lebih besar.
Penyajian lambang Praja Cihna yang disajikan separuh ini bisa diartikan sebagai terpecahnya suatu kekuatan yang sudah kokoh berdiri sekian lama oleh sebuah pemerintah pusat yang melupakan hak-hak asal-usul suatu daerah maupun hak-hak kultural dan hak-hak politik yang dulu sebenarnya sudah disepakati bersama.
Unsur ornamen yang ada pada sayap Praja Cihna menggunakan 3 warna, yakni hitam, merah kecoklatan dan kuning. Warna hitam pada ornamen mengandung makna konotasi kuat dan kokoh, warna merah mengandung makna konotasi kehangatan, energi, dan keinginan untuk maju, sedangkan warna kuning mengandung makna kemewahan dan harapan. Ornamen ini memberi kesan kelembutan dan ketradisionalan nuansa budaya yang sudah kental di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah tradisi Jawa yang masih dilestarikan sebagai warisan leluhur. Hal ini dapat dilihat dari upaya masyarakat Yogyakarta dalam mempertahankan keistimewaan Yogyakarta. Salah satu contohnya adalah aksi warga Bantul beberapa tahun lalu, tepatnya pada 28 April 2008, mereka mengenakan pakaian adat Jawa dan mendatangi gedung DPR, Jakarta, untuk meminta pemerintah mempercepat proses pembahasan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain Praja Cihna, terdapat juga Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Burung Garuda Pancasila, yang terletak di kanan bawah poster. Burung Garuda Pancasila, dibuat dengan teknik hand drawing yang kemudian diolah digital dengan teknik multiply dan menghasilkan Garuda Pancasila dengan warna merah, kuning, kuning kejinggaan, hijau kecoklatan, coklat muda, dan hitam.
Lambang ini terpotong vertikal, sehingga hanya nampak separuh bagian kiri dari lambang. Penyajian seperti ini juga kurang tepat, sama halnya dengan penyajian dari Praja Cihna yang juga terpotong. Di dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1958 tentang penggunaan Lambang Negara dijelaskan bahwa Setelah ditetapkan Lambang Negara Republik Indonesia, maka siapa saja dapat menggunakannya, oleh karena belum ada Peraturan tentang penggunaan Lambang Negara. Acap kali Lambang Negara digunakan dan ditempatkan pada tempat yang tidak selaras dengan kedudukannya. Misalnya pada buku, Lambang Negara seharusnya ditempatkan di kulit muka atau di halaman muka di atas atau di tengah-tengah, tidak di bawah seperti sering terjadi, dan harus tegak dan lengkap, yaitu
tidak miring dan tidak dilukiskan sebagian saja.
Garuda Pancasila sendiri adalah lambang berupa burung Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno yaitu burung yang menyerupai burung rajawali. Garuda digunakan sebagai lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan Negara yang kuat. Namun penyajiannya yang terpotong memberi makna konotasi sebuah keterpurukan dimana sebuah bangsa yang digambarkan begitu kuat melalui sebuah mitologi kuno ini hanya berdiri dengan satu sayap saja, maka ini adalah bentuk sebuah kekuatan yang kian melemah.
Sebuah pernyataan Kepala Negara mengenai isu monarki Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak sejalan dengan apa yang telah disepakati para pendahulu mengenai daerah Istimewa. Konstitusi pun sebenarnya telah menjamin keistimewaan sebuah daerah sehingga penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai kepala Daerah bukanlah bentuk monarki politik, hal ini tertera dalam Pasal 18 UUD 1945.
Garuda Pancasila yang terpotong ini juga tidak nampak jelas makna aslinya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45, sebagai lambang tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan waktu pengumandangan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun di dalam penyajian lambang di poster ini, makna tersbeut tidak terlihat utuh. Perisai Garuda yang memiliki 5 buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila juga terpotong.
Unsur ornamen yang terdapat pada ujung sayap Garuda ini terkesan kokoh, namun cenderung kaku jika dibandingkan dengan ornamen pada sayap Praja Cihna. Ornamen yang terkesan kaku ini memberi gambaran sebuah kekuasaan tertinggi yang tidak peka terhadap kesepakatan dan sejarah bangsa. Unsur ornamen yang ada pada sayap Burung Garuda Pancasila ini menggunakan 3 warna, yakni hitam, merah kecoklatan dan kuning. Warna hitam pada ornamen mengandung makna konotasi kuat dan kokoh, warna merah mengandung makna konotasi kehangatan, energi, dan keinginan untuk maju, sedangkan warna kuning mengandung makna kemewahan dan harapan.
Praja Cihna dan Lambang Negara Burung Garuda Pancasila diletakkan sejajar. Hal ini mengandung makna saling berdampingan, sesuai dengan pesan yang disampaikan dalam headline.
Terdapat Lambang Garuda Pancasila yang utuh di sebelah kiri headline, dengan dihiasi ornamen sulur yang memberi kesan kelembutan pada Garuda. Ini adalah sebuah pencerminan dari isi headline. Pengharapan dimana suatu substansi yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta bisa tetap diakui di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun ukuran yang digunakan terlalu kecil, sehingga ada kemungkinan visual ini akan luput dari pandangan. Selain itu, penggunaan warna yang tipis dan hampir menyerupai background juga menjadi salah satu faktor kurang terlihatnya lambang Negara yang dibuat hanya outlinenya ini.
Penggambaran lambang dengan outline seperti ini memberi kesan klasik dan kuno, gambaran akan sejarah dimana Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang dulu sudah disepakati memiliki status istimewa/otonomi khusus. Status yang merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan.
Background dengan warna dan tekstur yang nampak seperti kertas tua ini mengandung makna konotasi kuno/sejarah, dan saksi terteranya sebuah kesepakatan. Adanya efek noda/cipratan tinta, mengandung makna konotasi sebuah kekacauan, gambaran yang terjadi pada saat ini.
Kesimpulan
Secara garis besar, ide dari poster ini cukup baik dan originil. Idenya segar dengan menampilkan unsur verbal dan visual yang dikemas secara menarik. Poster ini cukup komunikatif dengan headline yang singkat, padat dan jelas. Pesan yang terkandung dalam tanda verbal dengan visual yang sedemikian rupa sudah tersampaikan. Namun penempatan tanda verbal masih terlalu dekat dengan tanda visual yang berada di bawahnya, sehingga menimbulkan kesan lebih berat di bawah. Apalagi dibarengi dengan adanya gradasi warna putih pada bagian atas poster, yang membuat bagian tersebut semakin terlihat luas. Sebaiknya tanda verbal diletakkan sedikit lebih ke atas, agar lebih memberi kelegaan pada bawah bagian poster.
Penerapan gaya desain the new typography dengan menggunakan corak warna-warna klasik memberi kesan yang mendalam mengenai sebuah bangsa yang menghormati nilai-nilai sejarahnya. Hanya saja estetika di dalam penyajian unsur visual dirasa kurang karena adanya pemotongan lambang-lambang yang merupakan sebuah identitas suatu instansi kecil maupun besar. Sebaiknya dan memang seharusnya, penggunaan lambang terlebih lambang yang bersifat kenegaraan ini disajikan secara utuh. Tanda verbal yang disusun rata kiri ini terkesan kaku. Namun jenis font yang digunakan sudah cukup menarik. Visual lambang Praja Cihna dan Burung Garuda Pancasila sebaiknya juga diolah dengan teknik yang sama/disepakati. Dalam artian jika disepakati menggunakan teknik fotografi, sebaiknya kedua lambang tersebut sama-sama menggunakan teknik fotografi. Begitu juga bila menggunakan teknik yang lain. Karena jika disajikan dengan teknik yang berbeda maka hasilnya pun akan terlihat kurang harmonis.
Bentuk: Persegi Panjang
Warna:
- Merah
- Putih
- Coklat
- Kuning
- Hijau
- Orange
- Pink
- Biru
- Hitam
- Putih Tulang
Tanda Verbal:
- SULTAN GUBERNUR KAMI SAMPAI MATI
- REFRENDUM
- TIDAK TAU SEJARAH CARI MASALAH
Tanda Visual:
- Logo Keraton Yogyakarta
- Sekelompok orang
- Bendera yang dipegang
Deskripsi dan Identifikasi
1. Bentuk:
Poster berbentuk persegi panjang, ukuran poster A4 21×29.7cm ,posisi vertikal
Tanda Verbal:
Teks “SULTANGUBERNUR KAMI SAMPAI MATI”, menggunakan font goudy stout, teks disusun uppercase. Teks setinggi 1 cm. Jarak spasi sama, teks disusun sentris, berada pada bagian bawah tengah logo keraton yogyakarta.
Teks “REFERENDUM” menggunakan font costantia. Teks disusun uppercase. Disusun bergelombang. Teks masing-masing ketinggiannya 0,5cm. Jarak spasi sama semua.Teks berada pada dalam bendera.
Teks “Tidak tau sejarah cari masalah” menggunakan font calisto MT. Teks disusun uppercase. Teks memiliki ketinggian 0.5cm. Jarak spasi pada teks sama.Teks berada pada bagian dalam balon kata.
2. Tanda Visual:
Terdapat ilustrasi 7 orang yang berjajar dan berada di bawah poster, diantaranya 2 perempuan dan 5 laki-laki,1 orang tua,1 bapak-bapak,5 anak muda, 1 orang ada yang memegang bendera,1 orang memakai tongkat,1 orang memakai belangkon, 2 orang memakai capil,4 orang berambut pendek,1 orang berambut panjang bergelombang, 1 orang rambutnya diikat keatas,1 orang berkumis,1 orang di konde,1 orang berambut keriting. 6 orang menghadap ke depan, 1 orang menghadap ke samping,4 orang mengenakan pakaian pakaian tradisional yang menunjukan ia seorang rakyat biasa,sedangkan 3 orang memakai pakaian yang terkesan orang modern,4 orang berbaju yang berlungan pendek, 3 orang bajunya berlengan panjang,4 orang memakai baju yang berkerah,3 orang memakai baju yang tidak berkrah,1 orang memakai dasi,2 orang bajunya bermotif garis-garis vertikal,3 bajunya tidak bermotif, 1 orang bajunya bergambar pohon,1 orang berkacamata,1 orang memakai baju berwarna hijau,1 orang memakai baju berwarna kuning,1 orang memakai baju berwarna orange kuning,1 orang memakai baju berwarna merah,1 orang memakai baju berwarna pink putih,1 orang memakai baju berwarna biru putih,dan 1 orang memakai baju berwarna coklat. 2 orang memakai celana pendek,3 bercelana panjang, 1 memakai rok berwarn putih, 1 orang memakai jarik berwarna hitam, 3 orang memakai sandal,1 orang memakai boot,2 orang memakai sepatu yang pendek, 1 orang memakai selop.Masing-masing orang memilki ekspresi yang sama yaitu mereka berwajah muram,kesal,dan marah.1 orang kelihatan giginya saat marah, 1 orang manyun, 4 orang saling memegang tangan, 1 orang merangkul pundak, 1 orang bertolak pinggang,1 orang memegang pinggang orang tua.
Terdapat 1 logo keraton yogyakarta yang berada di tengah atas dengan ukurannya 5×5, logo terdapat out line.
Background bermotif muncratan berwarana merah dan pada bagian bawah berwarna putih.
3. Warna:
Teks “SULTANGUBERNUR KAMI SAMPAI MATI” menggunakan warna putih, dengan komposisi C:0, M:0, Y:0, K:0
Teks “REFERENDUM” menggunakan warna merah, dengan komposisi C:0, M:100, Y:100, K:0
Teks “Tidak tau sejarah cari masalah” menggunakan warna hitam, dengan komposisi C:0, M:0, Y:0, K:100
Pada logo keraton pada bagian dalam terdapat warna merah dengan komposisi C:10, M:98, Y:94, K:100. Dengan outline putihnya berkomposisi C:9, M:7, Y:8, K:100. Warna hitam pada sayap berkomposisi C:0, M:0, Y:0, K:100.
Ilustrasi orang laki-laki yang membawa bendera, yang memakai belangkon berwarna coklat dengan komposisi C:49, M:74, Y:99, K:8,yang mengenakan pakaian berwarna hijau dengan komposisi C:79, M:1, Y:99, K:0,dan celana berwarna hitam kehijauan dengan komposisi C:87, M:68, Y:79, K:68.mengenakan alas khaki sandal jepit berwarna hitam dengan komposisi C:49, M:74, Y:99, K:100.
Ilustrasi orang laki-laki mengenakan pakaian yang berwarna kuning dengan komposisi C:4, M:7, Y:94, K:0,bercelana hitam dengan komposisi C:93, M:60, Y:89, K:45,berkacamata hitam dengan komposisinya C:0, M:0, Y:0, K:100,dan sepatunya berwarna hitam putih dengan komposisi putih tulang C:2, M:3, Y:4, K:0,hitamnya dengn komposisi C:0, M:0, Y:0, K:100.
Ilistrasi wanita yang mengenakan baju berwarna orange kuning dengan komposisi C:1, M:47, Y:94, K:0,dan memakai rok berwarna putih dengan komposisi C:0, M:0, Y:0, K:0.
Ilustrasi orang laki-laki memakai capil coklat di kepalanya dengan komposisiC:93, M:60, Y:89, K:45
Ilustrasi orang tua yang memakai baju pink dengan komposisi C:93, M:60, Y:89, K:45. Dengan jarik berwarna hitam dengan komposisi C:79, M:80, Y:80, K:66.
Ilustrasi orang laki-laki yang memakai baju biru putih dengan komposisi C:93, M:60, Y:89, K:45. Celana hitam dengan komposisi C:0, M:0, Y:0, K:100.
Ilustrasi orang laki-laki yang mengenakan baju berwarna coklat dengan komposisi C:93, M:60, Y:89, K:45p
Outline pada ilustrasi orang berwarna hitam dengan komposisi C:0, M:0, Y:0, K:100.
Background bermotif atau bercorak seperti cipratan darah. dengan warna merah yang berkomposisi C:0, M:98, Y:94, K:0.
Background berwarna putih dengan komposisi C:1, M:1, Y:2, K:0.
Analisis
1. Tanda Verbal:
Teks “SULTAN GUBERNUR KAMI SAMPAI MATI” menggunakan font goudy stout, font ini memberikan kesan sederhana, tegas dan juga tradisional. Teks disusun uppercase yang membuat kesan tegas dan keterbacaan menjadi jelas. Jarak spasi antar huruf sama dan tersusun rapi memberi kesan enak dipandang mata.Ukuran teks besar juga memberikan kesan tegas,Teks berada pada bawah logo keraton yogyakarta.
Teks “Refrendum” menggunakan font costantia, font tersebut terkesan tradisional namun tidak memberikan kesan tegas,font disusun uppercase untuk mempermudah keterbacaan. Teks tersebut berada dalam bendera, namun pada lengkungan teks tidak sesuai dengan arah lengkung bendera, sehingga terlihat agk aneh.Selain itu terlihat kurang seimbang.Ukuran teks terlalu kecil membuat keterbacaan kurang, Lengkungan bendera mengesankan kalo bendertersebut tertiup angin.
Teks“Tidak tau sejarah cari masalah” menggunakan font calistomt, font ini memberikan kesan biasa, font disusun lowercase,teks ini berada dalam tengah-tengah balon kata,dan rata tengah.Ukuran teks terlihat lebih kecil dibanding dengan balon kata sehingga memberi kesan kurang seimbang. Jarak spasi teks sama semua.
2. Tanda Visual:
Terdapat ilustrasi orang yang sedang demo, diantaranya 5 laki-laki dan 2 wanita, menandakan bahwa baik laki-laki atau perempuan mereka membela sultan, 1 orang tua yang memakai tongkat, 1 orang bapak-bapak yang berkumis, dan 5 anak muda menandakan pada pembelaan sultan ini tidak membedakan usia mereka baik dari yang muda hingga tua.2 orang memakai topi capil yang melambangkan seorang petani, 1 berdasi lambangkan seorang pegawai, 1 orang berbelangkon dan 4 orang memakai baju rakyat bias menandakan ketradisionalan.
Ketujuh orang pada ilustrasi berekspresi muram menandakan bahwa mereka semua merasa jengkel dan marah.
Logo kekeratonan Yogyakarta terletah pada atas bagian tengah, logo ini membentuk mahkota, pada sampingnya terdapat sayap, juga terdapat sulur dan huruf jawa. Logo terlalu keatas dan terlalu besar.
Terdapat satu balon katayang terlalu besar.
Background poster yang berwarna merah dibuat bercorak semburan darah, terletak pada bagian atas dan bagian bawahnya background berwana putih.
3. Warna:
Teks “SULTAN GUBERNUR KAMI SAMPAI MATI” menggunakan warna putih. Penggunaan warna putih sudah tepat, karena kontras dengan background, sehingga keterbacaan menjadi semakin jelas. Warna putih ini memiliki kesan tegas dan cerah. Warna putih menjadi simbol kekeluargaan.
Teks“Refrendum” menggunakan warna merah memiliki makna kuat,perkabungan,perang,sosialisme,dan penghormatan.
Teks“Tidak tau sejarah cari masalah” menggunakan warna hitam sudah tepat,sehingga keterbacaan cukup jelas, warna hitam memiliki makna kemarahan, kekuatan, klasik, formal, elegan, dan dukacita.
Ilustrasi balon kata berwarna putih sudah tepat karena teks yang ada pada dalam balon berwarna hitam, warna putih mengandung makna bersih, netral, penghormatan, dan harapan
Ilustrasi bendera berwarna putih mengandung makna bersih, netral, penghormatan,dan harapan
Ilustrasi orang memakai baju kuning mempunyai makna gembira, idealisme,gembira,bahaya, dan berani
Ilustrasi orang memakai baju hijau mempunyai makna kesuburan, giat, masa muda, kreatif, dan pembaruan
Ilustrasi orang memakai baju merah mempunyai makna kuat, perkabungan, perang, sosialisme, dan penghormatan.
Ilustrasi orang memakai baju coklat mempunyai makna tenang, berani, miskin, alam, dan kesuburan.
Ilustrasi orang memakai baju merah mempunyai makna kuat, perkabungan, perang, sosialisme,dan penghormatan.
Ilustrasi orang memakai baju oranye atau jingga mempunyai makna keseimbangan, bahagia, panas, api, peringatan, dan agresi.
Ilustrasi orang memakai baju pink mempunyai makna rasa syukur, kagum, simpati , dan penghargaan.
Ilustrasi orang memakai baju biru mempunyai makna laut, manusia, kesatuan, damai, dan kerajaan.
Ilustrasi orang memakai capil berwarna coklat memberikan makna tenang, berani, miskin, alam, dan kesuburan.
Pada background berwarna merah dan putih melambangkan bendera Indonesia yang berwarna merah dan putih, warna merah pada background mengandung makna kuat, perkabungan, perang, sosialisme, dan penghormatan. Sedangkan pada warna putih memilki makna suci, rendah hati, cahaya, dan harapan.
Logo keraton Yogyakarta pada bagian dalam berwarna merah melambangkan makna pemimpin, radikal, sosialisme, komunisme, penghormatan, dan ambisi.
Terdapat out line hitam pada ilustrasi orangnya, memiliki makna kemarahan, kekuatan, klasik, formal, elegan, dan dukacita.
Kesimpulan
Dari keseluruhan poster ini sudah cukup menarik dan komunikatif, ide juga original, tampilan verbal dan visual sudah sesuai, ketradisionalan rakyat jogja tampak pada poster,dan ekspresi yang mereka rasakan juga nampak.Namun pada ilustrasinya sangat disayangkan terpotong oleh pinggirannya sehingga mengesankan tidak utuh, selain itu pada pewarnaan ilustrasi kurang rapi dan warnanya banyak yang tidak sama contohnya pada kulit kaki,kaki kanan dan kaki kirinya tidak sama,begitu juga dengan yang lainnya.Efek cipratan antara satu dengan yang lainya terkesan kurang menyatu. Lengkugan huruf yang berada didalam bendera tidak sesuai dengan meliuknya kain sehingga mengkesankan aneh. Balon kata yang terdapat pada poster kurang seimbang dengan banyaknya kata-kata yang ada di dalam balon.
Ada beberapa hal yang bisa dipertimbangkan untuk sebuah perbaikan, antara lain:
- Ukuran logo untuk keraton Yogyakarta sebaiknya agak diperkecil
- Pewarnaan pada ilustrasi sebaiknya lebih dirapikan tidak belepotan
- Pemotongan pada poster perlu dipertimbangkan ,apakah potongan tersebut membuat bagus atau tidak, jika pemotongan tersebut membuat kesan tidak bagus sebaiknya dihindari saja.
- Bentuk lengkung pada huruf yang berada dalam sebuah bendera sebaiknya diperhitungkan arah lengkungannya seperti apa sehingga memberi kesan tidak mengada-ada atau kesan tidak aneh.
Deskripsi
Objek yang dideskripsikan adalah poster karya: I Putu Gede Pageh Usianto
Poster ini berukuran 30 cm x 48 cm, dengan orientasi portrait. Untuk memudahkan pendeskripsian, saya melakukan pemilahan terhadap elemen-elemen penyusun poster tersebut ke dalam beberapa kriteria.
1. Background dan Element Dekoratif
Background pada poster ini terbagi dalam 3 bidang utama. Dari atas adalah :
Bidang 1:
berukuran 29 cm x 38 cm. Bidang 1 di fill dengan warna hijau.
Pada bidang ini terdapat elemen dekoratif berupa 6 bidang persegi panjang berukuran 29 cm x 1,7 cm + 1 bidang dengan ukuran berbeda, 29 cm x 0,8 cm. Bidang-bidang tersebut terpasang paralel pada sumbu horizontal, dimulai 5,5 cm dari batas atas Bidang 1, dengan jarak antara masing-masing sejauh 1,6 cm.
Objek dekoratif lainnya berupa 5 kurva kongruen. Kurva-kurva tersebut tersusun berselang-seling, dengan posisi berjajar menyamping. Makin ke kanan, terdapat pertambahan tinggi posisi 1,5 cm. Kurva 1 (paling kiri) dan 5 (paling kanan) tidak termuat seluruhnya, sebagian terpotong oleh batas bidang poster. Fill pada masing-masing kurva berbeda variasinya; Kurva 1 di fill coklat tanah, Kurva 2 coklat emas dan hitam, Kurva 3 merah dan coklat emas, Kurva 4 hitamdan coklat tanah, dan Kurva 5 serupa Kurva 4.
Bidang 2:
berukuran 29 cm x 7 cm. Namun terdapat tambahan ornamen setinggi 2 cm yang menumpang di atas Bidang 1. Ornamen tersebut adalah bentuk dekoratif yang direpetisi. Terdapat 6 bentuk kongruen, 3 di sisi kiri dan 3 lainnya di sisi kanan. Sisi kiri dan kanan masing-masing saling berhadapan, simetris terhadap sumbu vertikal poster. Bidang 2 di fill dengan warna coklat emas.
Bidang 3:
berupa area hitam berukuran 29 cm x 2 cm. Bidang ini menjadi baseline Poster.
2. Teks
Informasi verbal pada poster ini disampaikan melalui :
Headline:
Yogyakarta kembali istimewa.Yogyakarta kembali dituliskan menggunakan font Myriad Pro Condensed berukuran 38 point yang dengan fill putih. Sementara istimewa dituliskan pada baris yang berbeda, yaitu di bawah 2 kata pertama. Dituliskan menggunakan font Niagara Engraved berukuran 130 point dengan fill coklat emas. Pada baris kedua ini, spasi antar hurufnya dimodifikasi. Jarak tersebut didapat melalui stretch untuk menyamakan lebar kata tersebut dengan lebar kata-kata pada baris pertama.
Sub Headline:
yang terbagai dalam 2 baris yang berbeda; baris pertama Indonesia dan Jogja dan baris kedua Tetap Bersatu. Dituliskan dengan font Niagara Engraved berukuran 70 point dengan fill hitam. Pada bagian atas dan bawahnya diberi pembatas berupa garis hitam, masing-masing sepanjang 11,3 cm. Jarak antara garis dengan teks masing-masing 0,2 cm. Garis tersebut berupa sepasang garis tebal dan tipis. Pada batas atas, garis tebal ada di atas garis tipis, sementara pada batas bawah posisinya terbalik.
Bodycopy:
Bareng-bareng kita wujudkan Yogyakarta yang tentram dan damai. Dituliskan menggunakan font Myriad Pro Condensed, dengan penerapan style Bold, berukuran 28 point dengan fill putih.
Semua teks dituliskan secara center aligned terhadap sumbu vertikal poster.
3. Ilustrasi Utama
Sebagai ‘pusat’ dari poster ini adalah ilustrasi utama berupa rekaan bentuk gunungan dengan tinggi 29 cm dan lebar 25 cm. Dibentuk oleh garis outline dengan ketebalan 1,3 cm. Gunungan tersebut terbagi dua sama rata menurut sumbu vertikalnya. Didalam gunungan tersebut terdapat 14 garis paralel dengan ketebalan 0,8 cm dengan jarak antara 0,8 cm. Pada bidang kiri, garisnya memiliki kemiringan 325 terhadap sumbu vertikal, sementara pada sisi kanan, kemiringannya 35. Sisi kiri di fill warna coklat emas, sementara sisi kanan dengan merah. Sisanya, bagian belakang keseluruhan bentuk gunungan, di fill putih.
Chart Warna
Hitam: R:0 G:0 B:0 atau C:0 M:0 Y:0 K:100
Putih: R:255 G:255 B:255 atau C:0 M:0 Y:0 K:0
Merah: R:215 G:25 B:32 atau C:10 M:100 Y:100 K:2
Hijau: R:0 G:107 B:61 atau C:100 M:40 Y:100 K:15
Coklat Tanah: R:114 G:74 B:47 atau C:40 M:66 Y:82 K:37
Coklat Emas: R:214 G:170 B:89 atau C:24 M:42 Y:84 K:3
Interpretasi
Topik yang diusung poster ini adalah polemik seputar keistimewaan Yogyakarta. Keistimewaan yang dimaksud adalah tentang penetapan pemimpin daerah, yaitu Gubernur yang otomatis dijabat oleh Sultan Yogyakarta.
Selama polemik tersebut berlangsung, sempat terhembus wacana mengenai referendum. Karena pemerintah yang terkesan lambat menuntaskan urusan RUU Keistimewaan Yogyakarta dan pernyataan Presiden tentang monarki, bertebaranlah spanduk-spanduk yang menyatakan kesiapan masyarakat untuk menjalankan referendum apabila penetapan digantikan oleh pemilihan. Hal tersebut merupakan tanggapan yang mencerminkan kegelisahan yang terjadi pada masyarakat Yogyakarta.
Omong-omong soal referendum, sebenarnya referendum yang dimaksud terbatas pada konteks pengisian jabatan Gubernur, berbeda dengan referendum Timor Timur, yang berakhir dengan lepasnya (mantan) provinsi Indonesia itu menjadi negara yang berdiri sendiri.
Ilustrasi utama pada poster ini berlaku sebagai ‘pusat’ sekaligus stopping power, karena komposisi warnanya yang lebih menonjol dibanding keseluruhan poster. Wujudnya adalah bentuk dekoratif dari wayang Gunungan. Pada pertunjukkan wayang, gunungan digunakan saat memulai maupun mengakhiri cerita. Selain itu gunungan juga bisa digunakan untuk menandai pergantian cerita. Mungkin makna filosofis itulah yang ingin disematkan, analogi dari ‘babak baru’ keistimewaan Yogyakarta.
Gunungan yang digunakan pada ilustrasi adalah gunungan yang dipakai pada wayang Jawa. Pada bagian tengah gunungan biasanya terdapat sebuah gerbang. Bentuk paralel diagonal yang repetitif di dalam gunungan dapat dilihat sebagai pintu berteralis. Terali sendiri dapat diartikan sebagai pagar yang mengurung atau membatasi suatu kebebasan. Namun sebuah ornamen kurva yang terletak tepat didepannya memberikan kesan lentur, seolah membuka teralis yang tertutup tersebut.
Komposisi warnanya adalah merah dan putih yang merupakan warna kebangsaan Indonesia, sementara warna coklat memiliki kesan budaya dan tradisional, salah satu trademark dari Yogyakarta. Perpaduan warna dan bentuk dekoratif yang disatukan tersebut melambangkan menyatunya Indonesia dengan Yogyakarta.
Elemen dekoratif pada poster ditampilkan melalui bidang-bidang sejajar yang paralel, repetisi yang menggambarkan keteraturan dan ketegasan karena memunculkan kontras yang berulang. Terdapat juga kurva lengkung yang tersusun menyerupai pola batik motif parang. Batik sendiri merupakan pusaka budaya kebangaan Indonesia, dan Yogyakarta adalah salah satu daerah yang menjadi ‘sarang’ batik.
Background yang terbagi dalam 3 bidang dapat dimaknai sebagai trinitas, yang dapat dimaknai sebagai penyatuan unsur-unsur untuk mencapai kesempurnaan. Warna-warna yang diterapkan pada Bidang 1 dan 2 adalah warna yang memiliki kesan budaya dan tradisional, sementara hitam pada Bidang 3 menjadi pengunci di bagian bawah keseluruhan layout.
Bidang 2 memiliki ornamen khusus berbentuk menyerupai ombak. Apabila dilihat berdampingan dengan ilustrasi gunungan, keduanya dapat dianalogikan dengan Yogyakarta. Gunung merapi ada di utara sedangkan di selatan terdapat ombak-ombak laut selatan. Yogyakarta ada di pusat, tepat diantara keduanya.
Pesan verbal disampaikan oleh Headline, subHeadline, dan Bodycopy. Headline berupa sepenggal frasa yang dituliskan dalam 2 baris. Pemenggalan dilakukan selain untuk mencapai nilai estetis, juga melakukan emphasis pada kata istimewa. Istimewa yang dimaksud berada dalam konteks keistimewaan Yogyakarta. Sementara kembali pada Headline dimaksudkan bahwa polemik tentang keistimewaan telah diselesaikan dengan kembali diterapkannya penetapan. Dengan adanya pemenggalan dan penekanan tersebut, Headline menyampaikan pesan secara lugas dan langsung pada inti persoalan.
Beralih pada SubHeadline, yang juga dituliskan dalam 2 baris. Pemenggalannya juga memperhitungkan penekanan pada aspek tertentu. Baris Indonesia dan Jogja menggambarkan dengan jelas 2 subyek yang menjadi pokok perbincangan, dan ditimpali dengan pernyataan Tetap Bersatu yang menggambarkan situasi pasca polemik yang berakhir tanpa perpecahan. Muatan pada Sub Headline berusaha menjawab keresahan bahwa Yogyakarta tidak akan terlepas dari naungan NKRI. Hal ini disebabkan oleh kenangan referendum Timor Timur yang berujung pada pelepasan wilayah, walau sesungguhnya kedua referendum ada pada konteks yang berbeda.
Penggunaan sepasang garis batas berusaha menguatkan kesan bersatu. Secara visual, garis yang mengapit SubHeadline menciptakan ruang-ruang tertentu. Frasa SubHeadline yang terbagi dalam 2 line, terlihat berada pada satu ruangan yang sama; bersatu.
Bodycopy ditempatkan pada bagian yang tidak biasa, yaitu baseline. Pilihan kata yang digunakan dalam susunan kalimat, menimbulkan kesan akrab. Inti pesan yang disampaikan Bodycopy adalah ajakan untuk menjaga situasi pasca polemik, dimana ketegangan politik sudah harus diakhiri dan dialihkan pada upaya membangun kembali iklim kondusif di Yogyakarta.
Penilaian
1. Ide
Ide desain cukup baik, karena dapat menampilkan Yogyakarta sedikit berbeda dari ‘metode’ umum. Yogyakarta biasa diidentikkan dengan Malioboro, gudeg, Parangtritis, keraton, dan sudah sangat sering disimbolkan dengan Tugu Yogyakarta. Pilihan ilustrasi jatuh pada obyek gunungan, yang memiliki relevansi filosofis terhadap topik yang dibahas. Gunungan adalah properti dari pertunjukkan wayang, salah satu kekayaan budaya Indonesia. Dan dalam konteks ini, nilainya lekat dengan Yogyakarta yang notabene merupakan ‘kawasan reservasi budaya’.
2. Komunikasi
Verbal
Komunikasi yang dilakukan cukup efektif. Pesan yang disajikan mudah dan cepat ditangkap maknanya, jelas dan gamblang. Hal tersebut didapat dari kesederhanaan kata dan pengolahan emphasis, juga pemilihan font yang relatif baik.
Visual
Secara kontekstual, unsur-unsur visual yang digunakan dapat mewakili pesan yang ingin disampaikan pada poster. Beberapa elemen visual dapat dipahami secara analogis terhadap fenomena faktual yang terjadi di Yogyakarta.
Desain
ilustrasi cukup baik, tetapi berkesan tidak tergarap maksimal karena terjadi beberapa pemotongan objek yang kurang estetis. Menggunakan pendekatan dekoratif dalam membentuk obyek sehingga hasilnya sederhana tetapi sarat makna.
Pemilihan font cukup sesuai, dan tidak ribet karena hanya menggunakan 2 font. Selain itu pemilihan warna juga baik karena dapat menimbulkan kesan-kesan yang sesuai dengan topik yang diangkat pada poster.
Secara komposisi, poster berkesan statis, tapi pesan-pesannya dapat tersampaikan secara teratur. ‘Berat’ poster ada di tengah karena ilustrasi yang mengokupasi area cukup luas.
Kesimpulan
Keistimewaan Yogyakarta adalah sesuatu yang berakar sangat dalam di sejarah Bangsa Indonesia, bahkan jauh sebelum NKRI terbentuk. Polemik seputar keistimewaan Yogyakarta tentunya menimbulkan berbagai tanggapan pada masyarakat.
Poster Jogja Istimewa Kembali merupakan poster yang kritis menanggapi situasi tersebut. Dalam keadaan pasca polemik, himbauan yang terkandung dalam pesan-pesannya berusaha menjawab keresahan masyarakat, sekaligus memproklamirkan selesainya masalah tersebut secara damai.
Secara umum poster tersebut menjalankan tugasnya dengan baik. Namun bukannya tanpa cela, misalnya penggarapan desain yang menuntut ketelitian dan kepekaan estetis yang lebih. Sangat janggal melihat kurva yang melengkung dinamis menjadi terpotong pada posisi yang aneh.
Ilustrasi utama sudah cukup baik dan mampu mewakili pesan secara visual, tetapi penambahan unsur dekoratif memberikan kesan penuh yang mengurangi fokus dan kenyamanan visual. Penerapan obyek dekoratif tambahan seolah hanya asal pasang, memenuhi ruangan kosong pada poster. Kesan yang ditimbulkan adalah desain yang crowd dan terlalu riuh. Sebaiknya area disekitar ilustrasi utama dikosongkan saja, untuk menambah kekuatan visualnya. Apabila terpaksa tetap harus dimasukkan, dapat dilakukan dengan melakukan transparansi sehingga obyek dekoratifnya ‘mengalah’ dari ilustrasi utama, dan bisa lebur dengan latar belakang.
Kesan budaya dapat ditampilkan melalui gaya dekoratif yang sederhana, dan secara bersamaan memberikan sentuhan modern. Secara umum dapat juga mengesankan citra Yogyakarta yang walaupun berpegang pada tradisi dan seni, tetap tidak tertinggal oleh laju perputaran jaman ke arah modern.

Selama bendera ini masih berkibar, Jogja tetap istimewa, desainer: Wiko Williams, kritikus: Aditya Septian Pamungkas
Pendahuluan
Kisruh di seputar keistimewaan Yogyakarta mengenai mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus berlangsung. Kini memasuki ranah yang lebih serius mengenai keinginan masyarakat Yogyakarta untuk referendum terhadap permasalahan tersebut. Jika dibiarkan berlarut-larut ke depannya akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perdebatan ini berawal dari pernyataan Presiden Yudhoyono di depan sidang kabinet. Soal monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi pada 26 November lalu.
Dalam perkembangan kasus ini Pemerintah tetap bersikeras. Agar kepala daerah dipilih melalui pemilihan yang demokratis. Dengan alasan menghargai dan menghormati UUD 1945, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, sehingga draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan, tetap dipertahankan.
Mekanisme pemilihan merupakan sikap resmi yang disampaikan pemerintah, yang kini dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Sikap ini juga ditunjukkan oleh Fraksi Partai Demokrat di DPR. Sedangkan, fraksi-fraksi lain, seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan PDI Perjuangan, setuju dengan penetapan.
Perdebatan ini masih akan terus bergulir. Karena pemerintah mengulur waktu menyampaikan draf rancangan undang-undang ini sehingga tugas parlemen untuk mulai memperdebatkannya, menyempurnakan draf itu, termasuk juga menolaknya dan membuat versi lain, terhambat oleh sikap pemerintah yang menunda tersebut.
Terhadap sikap pemerintah ini yang merujuk kepada Pasal 18 ayat (4) tersebut, masih dapat diperdebatkan. Memang tak bisa dipungkiri pemilihan kepala daerah telah diselenggarakan atas adanya klausul pasal 18 ayat (4) tersebut melalui amandemen UUD 1945 pada tahun 2000 lalu.
Namun, untuk Pemilihan Gubernur di Yogyakarta, semestinya pemerintah membaca kembali rujukan UU No 32 Tahun 2004 yang telah mengatur secara limitatif dalam Pasal 226 ayat (2) yang berbunyi, “Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU No 22 Tahun 1999, adalah, tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini”. Jadi penyelenggaraan pemerintahan tetap merujuk UU ini.
Rujukan UU No 32 Tahun 2004 itu tepat dengan semangat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18B ayat (1) yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dengan undang-undang”.
Jika pemerintah tetap memaksakan untuk menggunakan Pasal 18 ayat (4) tersebut, dengan argumentasi bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, sepertinya pemerintah melupakan. Bahwa, rujukan tersebut sekarang ini masih tetap diperdebatkan oleh banyak kalangan. Terutama yang menolak untuk Pemilihan Gubernur di seluruh Indonesia dipilih langsung.
Bagi mereka rujukan Pasal 18 ayat (4) itu hanya mencantumkan kata-kata dipilih secara demokratis, yang menimbulkan asumsi bahwa DPRD tempo lalu dalam memilih Gubernur juga demokratis. Misal, bagi Mantan Anggota KPU Mulyana W Kusumah, bahwa “Tidak ada perintah konstitusi bahwa pilkada harus dipilih oleh rakyat secara langsung. Aturan itu beda dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat”.
Bahkan, Mulyana menegaskan, Pasal 18 ayat (4) juga menyatakan, kepala daerah dan wakilnya tidak dipilih dalam satu paket (pasangan). “Dengan kata lain konstitusi memang tidak mengamanatkan dilakukannya pilkada langsung”.
Asumsi mereka memang dapat dibenarkan karena rujukan Pemilu dalam konstitusi kita tidak seragam. Misal, Dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 dirumuskan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Kemudian Pasal 18 ayat (4) dikatakan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Selanjutnya dalam Pasal 19 ayat (1) disebutkan: “Anggota DPR dipilih melalui pemilu”. Lalu Pasal 22C ayat (1) disebutkan bahwa “Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu”. Dengan demikian tampak jelas tidak adanya keseragaman dalam merujuk kepada hal yang sama, yaitu pemilu. Seharusnya kata-kata tersebut diseragamkan dengan menggunakan istilah yang baku: “dipilih melalui pemilu”.
Dari perdebatan ini mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta semestinya tetap dipertahankan. Selain untuk penghormatan pemerintah terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga pelestarian kebudayaan kita.
Semestinya dilakukan oleh pemerintah dan DPR bukan memperdebatkan sesuatu yang telah disepakati tetapi membuat aturan yang terperinci tentang UU Keistimewaan Yogyakarta. Misal tentang prosedur mangkat, atau mekanisme jika terjadi perebutan kekuasaan antara Kesultanan dan Paku Alam dikemudian hari. Banyak lagi persoalan ini yang semestinya harus dijawab dan dimasukkan dalam UU Keistimewaan Yogyakarta ke depan.
Hasil Pengamatan
Dari hasil pengamatan desain poster ini, dapat disimpulkan bahwa target audience dari desain poster ini adalah masyarakat umum, khususnya masyarakat Yogyakarta, karena terlihat dari pesan verbal yang disampaikan pada desain poster ini sendiri, karena dilihat dari pesan verbal sendiri menyampaikan bahwasanya jogja merupakan kota yang tetap istimewa, dan diperkuat dengan pesan visual dalam bentuk ilustrasi prajurit kraton yang sudah usia senja/usia tua yang memegang bendera dengan gambar dalam bendera tersebut adalah logo kraton, sementara pada bagian pojok kanan bawah terdapat logo kraton itu sendiri.
Deskripsi
Desain Poster
Desainer: Wiko Williams
Ukuran iklan: 21 x 29 cm
Tahun Pembuatan: 2010
Teks/tipografi: Selama Bendera ini masih berkibar Jogja tetap Istimewa
Keistimewaan Yogyakarta tak kan bisa dihapus… sampai kapan pun…
Jenis Font: Courier New Bold
Ukuran font: Headline : 24 & 36 pt Body Copy : 18pt
Media: Print on paper
Gaya Desain: New Typography
Ilustrasi:
ilustrasi prajurit kraton yang sudah usia senja/usia tua menggunakan pakaian prajurit kratonh dengan komposisi warna merah dan kuning yang memegang bendera dengan gambar dalam bendera tersebut adalah logo kraton.
sementara pada bagian pojok kanan bawah terdapat logo kraton itu sendiri.
Background: Menggunakan teknik manipulasi, pada background menggunakan manipulasi kertas yang lecek
Interpretasi dan Penilaian
Ide Awal:
Desain awal yang ditampilkan oleh desainer menggunakan gaya desain New Typography dengan maksud mencitrakan simple, agar ilustrasi pada desain ini langsung tertangkap dengan mata adudience, selain pada bagian background dan ilustrasi serta pada headline ada kata “Jogja Tetap Istimewa” dengan warna selaras dengan warna ilustrasi, ketiga unsur ini menggunakan warna yang kontras dengan maksud desainer ingin lebih menonjolkan ilustrasi dan kata pada headline tersebut agar desain poster ini tepat dengan nuansa kota Yogyakarta saat ini.
Di eksekusi menggunakan teknik cat air agar terlihat menarik perhatian dan agar lebih mudah dimengerti oleh target audience dari desain poster tersebut. Ditata dengan sederhana dan dengan memadukan background kertas lecek dengan warna lecekan kertas tersebut putih-cream.
Kemudian disetiap pesan verbal ada bagian lecekan kertas yang cukup kontras dengan lecekan kertas pada background, hal ini juga agar dapat menonjolkan dari pesan verbal itu sendiri. Komposisi warna pada lecekan kertas ini adalah putih-coklat muda, dengan maksud agar pesan verbal lebih kontras untuk dilihat audience.
Target Audience: masyarakat luas, khususnya masyarakat Yogyakarta
Komunikasi: Pesan Visual
Bentuk dan Warna
Ilustrasi menggunakan teknik cat air dengan bentuk prajurit kraton Yogyakarta yang tengah berusia senja / tua, dengan komposisi warna pakaiannya warna merah dan kuning, sambil memegang bendera berlogo kraton Yogyakarta dengan warna tiang warna merah.
Menggunakan ilustrasi prajurit tua kraton ini mengisyaratkan sebuah perjuangan memperjuangkan keistimewaan tanah Yogyakarta yang tak henti-henti hingga usia lanjut sekalipun, selain itu pun orang-orang usia lanjut seperti ilustrasi ini memang menjadi citra dari masyarakat kota Yogyakarta ini sendiri, karena masyarakat Yogyakarta identik dengan mbah-mbah (kakek-kakek / nenek-nenek). Bila dilihat dari segi ekspresinya seperti mengisyaratkan sebuah perjuangan yang tiada henti mempertahankan keistimewaan tanah kelahirannya.
Sedangkan bila dilihat dari segi seragam prajurit ini memiliki komposisi merah dan kuning yang memiliki arti, merah : kekuatan, kemauan, aktif, agresif, penuh semangat, sedangkan kuning : semangat untuk maju, arti-arti dari makna warna ini memang sesuai dengan jiwa yang dimiliki oleh setiap prajurit manapun untuk mempertahankan tanah kelahirannya.
Dan bendera dengan logo kraton Yogyakarta agar audience mengerti bahwa prajurit kraton ini ingin mempertahankan kotanya sendiri yakni Yogyakarta, sedangkan warna pada tiang bendera ini sendiri menggunakan warna merah karena tompak prajurit kraton identik dengan warna merah dan agar selaras dengan warna dari pakaian prajurit kraton ini sendiri dari segi komposisi maupun segi makna.
Adapun logo kraton pada pojok kanan bawah pada poster ini, bisa dikatakan sebagai sponsor bahwa pemerintahan kota Yogyakarta mendukung aksi monarki yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta terhadap pemerintahan Negara.
Tipografi yang diletakkan secara dinamis agar kesan New Typography itu sendiri lebih terlihat dengan adanya ruang-ruang kosong pada desain ini, Headline Jenis huruf yang digunakan adalah Courier Bold untuk memberi kesan tegas, pada kata Jogja Tetap Istimewa menggunakan warna merah sebagai penegasan tersendiri dan, filosofi dari warna merah sendiri ialah kekuatan, berkemauan keras dan penuh semangat yang berarti dalam kata-kata tersebut desainer ingin menginformasikan kepada audience bahwa mayarakat Yogyakarta akan mempertahankan keistimewaan kota Yogyakarta dengan kekuatan, berkemauan keras dan penuh semangat. Kemudian disetiap pesan verbal ada bagian lecekan kertas yang cukup kontras dengan lecekan kertas pada background, hal ini juga agar dapat menonjolkan dari pesan verbal itu sendiri.
Pada bagian background menggunakan bentuk kertas lecek agar memiliki keselarasan antara ilustrasi dan background, karena bila diamati lebih cermat ilustrasi prajurit kraton Yogyakarta yang tengah berusia senja / tua dengan kertas lecek memiliki kesamaan arti, yakni sudah tidak muda lagi antara prajurit dan kertas, selain itu kertas lecek ini agar memberi kesan pendukung bahwa berjuang hingga usia senja / tua sekalipun dapat dengan jelas dimengerti oleh audience. Dan dari lecekan kertas tersebut pun menghasilkan warna-warna gradasi putik-cream yang memberi kesan klasik sesuai dengan karakteristik kota Yogyakarta ini sendiri yang memiliki citra klasik.
Pesan Verbal:
Headline: Selama Bendera ini masih berkibar Jogja tetap Istimewa
Body Copy: Keistimewaan Yogyakarta tak akan bisa dihapus… sampai kapan pun…
Pesan verbal dalam headline sangat jelas bahwa desainer ingin menginformasikan kepada masyarakat luas khususnya masyarakat Yogyakarta bahwasanya masyarakat Yogyakarta sangat mengecam dan sangat tidak setuju dari pemerintah Negara dengan keputusannya ingin menyamaratakan kota-kota di Indonesia dengan ingin menghilangkan keistimewaan kota Yogyakarta.
Kemudian pada body copy merupakan penjelasan secara rinci tentang keistimewaan kota Yogyakarta menurut masyarakat Yogyakarta ini sendiri, bahwa mayarakat kota Yogyakarta ini sendiri menjelaskan bahwa Keistimewaan Yogyakarta tak akan bisa dihapus, sampai kapan pun.
Pesan verbal yang disampaikan cukup menarik perhatian dengan perpaduan unsur didalam desain poster ini, selain itu teknik Bold pada inti pesan headline pun cukup menarik perhatian audience untuk membacanya, menggunakan warna merah warna yang kontras dengan background poster ini sehingga dapat menjadi point of interest.
Desain:
Seperti yang telah dibahas pada bagian awal desain dibuat dengan gaya New Typography teknik cat air, eksekusinya penggarapannya cukup maksimal karena pesan-pesan yang ingin disampaikan mudah dimengerti oleh audience, dan bila dilihat secara seksama pendekatan menggunakan background dan ilustrasi seperti ini memiliki keselarasan yakni sudah tidak muda lagi antara prajurit dan kertas, selain itu kertas lecek ini agar memberi kesan pendukung bahwa berjuang hingga usia senja / tua. kepekaan desainer dalam memilih kompisisi desain ilustrasi dan background cukup baik karena komposisi tersebut cukup mewakili latar belakang penyampaian desainer terhadap gejala yang terjadi pada kota Yogyakarta itu sendiri. Bagian penataan pesan visual dan pesan verbal yang seimbang serta pemilihan gaya desain yang tepat menjadikan desain iklan ini cukup tertata dengan baik dan tidak mengganggu pandangan / krodit.
Tipografi yang digunakan dalam headline terlihat jelas untuk ukuran sebuah desain poster Disini headline telah menggunakan warna yang terlihat kontras dengan warna background dan keseimbangan antara headline dengan ilustrasi membuat keterbacaannya menjadi cukup baik, warna yang digunakan dalam headline “Jogja Tetap Istimewa” sangat kontras dengan background sehingga menarik perhatian audience yang melihatnya dalam poster.
Kemudian disetiap pesan verbal ada bagian lecekan kertas yang cukup kontras dengan lecekan kertas pada background, hal ini juga agar dapat menonjolkan dari pesan verbal itu sendiri. Komposisi warna pada lecekan kertas ini adalah putih-coklat muda.
Kesimpulan
Setelah melalui beberapa tahapan, maka dapat disimpulkan bahwa desain poster yang dibuat ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya menginformasikan kepada audience luas khususnya masyarakat Yogyakarta bahwasanya masyarakat Yogyakarta akan mempertahankan keistimewaannya kotanya sendiri. Desain iklan ini juga berusaha menyampaikan semangat masyarakat kota Yogyakarta untuk senantias mempertahankan keistimewaan kota Yogyakarta ini sendiri.
Dalam desain poster ini, saya dapat simpulkan bahwa komposisi yang terdapat pada desain iklan ini sudah cukup baik, headline menjelaskan cukup tegas ilustrasi menggunakan teknik ilustrasi cat air ini pun cukup baik, sangat mengundang mata untuk melihatnya. Antara ilustrasi dan headline memiliki cukup keseimbangan 60% dan 40%, dari segi headline tingkat keterbacaannya sudah cukup baik, namun dalam ilustrasi disini masih terkesan belum meyatu dengan headline, sehingga desain poster ini belum terlihat hidup dan sedikit terkesan mati. Dan bila dilihat dari segi tata letak desain yang digunakan seperti ini sudah banyak sekali dijumpai, dan terkesan pasaran.
Dari segi keterbacaan, Headline yang dibuat mudah dibaca dan dapat dijangkau keterbacaannya dari jarak kira-kira 1 m karena ukurannya yang masih relative kecil, kalo pun terbaca dari jarak yang lebih jauh hanya headline “Jogja Tetap Istimewa” dengan warna yang kontras. Namun berbeda dengan body copy yang menggunakan ukuran font yang cukup kecil, hanya dapat dijangkau keterbacaannya melalui jarak dekat saja, namun hal ini tidak membuat penyampaian komunikasi yang disampaikan kurang maksimal, karena telah adanya headline yang cukup jelas dalam menjelaskan pesan yang disampaikan oleh desain poster ini.
Dari segi kesederhanaan, poster ini cukup sederhana, karena banyaknya ruang-ruang kosong yang menjadikan desain iklan ini menjadi sederhana, menjadikan poster ini terkesan elegan dan modern dan pemilihan gaya desain New Typography ini memang cocok untuk poster ini. Sehingga dari segi kesederhanaaan, poster ini sangat sederhana namun tetap mengesankan klasik. Dan dari lecekan kertas tersebut pun menghasilkan warna-warna gradasi putik-cream yang memberi kesan klasik sesuai dengan karakteristik kota Yogyakarta ini sendiri yang memiliki citra klasik
Dari segi artisitik, desain iklan ini kurang terlihat artistik, karena kurang adanya materi-materi yang memberi kesan artistic dalam desain poster ini, karena memang dari awal desain ini dibuat tidak mengutamakan keartistikannya, namun lebih kepada keterbacaan maksud iklan ini dan kemenarikan iklan ini, namun dalan desain iklan ini tetap memiliki nilai keindahannya. Serta dari lecekan kertas tersebut pun menghasilkan warna-warna gradasi putik-cream yang memberi kesan klasik sesuai dengan karakteristik kota Yogyakarta ini sendiri yang memiliki citra klasik
Kritik dan Saran
1. Kritik
Desain iklan ini sudah cukup maksimal, dari keseluruhan unsur desainnya memiliki keseimbangan dan kesatuan sehingga membentuk desain yang bagus dan baik, namun meskipun demikian bila ditinjau dari sisi tata letak desain ini terkesan pasaran/monoton, sudah banyak sekali desain poster yang menggunakan tata letak seperti ini, seharusnya dibuat lebih menarik lagi agar memiliki kesan orisinil. Penggarapan ilustrasinya pun masih terlihat kurang maksimal.
2. Saran
Sebaiknya dalam perancangan desain poster ini ilustrasi digarap lebih serius lagi, dibuat lebih detail dan menarik, ataupun dapat menggunakan teknik fotografi dengan gambar aksi demo masyarakat Yogyakarta perihal masalah ini atau dapat menggunakan ilustrasi digital art, ilustrasi painting ataupun ilustrasi vector, dan mungkin hasilnya pun bisa lebih maksimal dan dapat lebih menarik perhatian.
Dalam penggunaan tata letaknya pun dibuat lebih dekoratif lagi namun tetap memberi kesan simple dan jangan terlalu ramai apalagi sampai terkesan norak, karena akan merusak gaya desain New Typografi itu sendiri, hal yang demikian pun untuk menunjang dari desain poster ini sendiri agar lebih melekat dihati audiencenya, agar tidak terkesan monoton dan pasaran karena sudah banyak sekali desain-desain poster yang menggunakan tata letak seperti ini, agar desain poster ini memberi kesan orisinil.
•••
Untuk idea ‘YOGYAKARTA TETAP ISTIMEWA BUNG!’, saya pernah melihat penggayaan yg serupa untuk poster tersebut. Namanya ‘MONASIONALISM.’ Kalo ndak salah campaignnya itu mengkomunikasikan untuk mengajak warga Jakarta untuk turut melestarikan Monas.
Ini linknya:
http://www.monasionalism.posterous.com
http://www.twitter.com/monasionalism
Beberapa posternya pernah saya lihat ditempel di jalanan Jakarta.
sedikit saran utk poster teratas:
‘ at least they don’t take [over] my culture ‘
dan dalam penilaiannya, ada sedikit koreksi mungkin salah ketik dari seorang teman yg kebetulan membacanya:
Leagibility, mungkin legibility
Readybility, mungkin readability
hm..ijin share yo mas DGI
*boleh kan..heheee
vote for
KEISTIMEWAAN DEMOKRATIS SEHARUSNYA BISA BERDAMPINGAN
sekali ISTIMEWA yo TETAP ISTIMEWA JOGJAKARTA { Ra sah sok ngowah owah nek ora ngerti SEJARAH !!!!!!!! }
belum tau BUDAYA jangan sok GAYA…ISTIMEWAWAWAWA !
jogja istimewa selamanya, kita tetep istimewa hidup jogja, istimewa sampai mati mas brooo..