Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Kampus to Kampung: Melongok Sistem Pertandaan Kampung Heritage Pekaten Kotagede

Oleh Sumbo Tinarbuko

Kotagede terletak sekitar 5 km dari sisi timur kota Yogyakarta. Tempat ini terbuka untuk kunjungan para wisatawan domestik maupun turis mancanegara. Selain kendaraan pribadi, angkutan umum seperti bis kota, taksi, becak atau pun andong menyediakan jasa mengantarkan anda bertandang ke obyek wisata peninggalan Panembahan Senopati.

Apa sih menariknya Kotagede? Tentu saja situs kota tua peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Agar lebih terfokus di dalam merunut kekayaan sosial budaya Kotagede, maka Yayasan Pusdok Kotagede memilahnya menjadi lima potensi kultural. Pertama, potensi sejarah, meliputi: konsep catur gatra tunggal dari sebuah kerajaan yang terdiri dari kraton (sekarang menjadi Kampung nDalem), Alun-Alun (berubah Kampung Alun-Alun), pasar tradisional, dan masjid besar.

Potensi sejarah ini juga masih ditambah dengan keberadaan Sendang Selirang. Sebuah kolam tempat mandi keluarga kerajaan. Makam kerabat Pangeran Senopati dengan gapura makan yang unik dan artistik. Dinding dan fondasi salah satu pendapa ruang depan kerajaan. Peninggalan fisik Watu Gatheng. Bangunan arsitektur bergaya Hindu Jawa, Joglo, Limasan, Panggang Emping, Ornamen kaligrafi Arab, dan motif Barok Eropa.

Kedua, potensi kesenian tradisional di antaranya: salawatan, srandul, ketoprak dan kerawitan. Ketiga, potensi kerajinan tradisional. Berdasar potensi ini, Kotagede dibaptis menjadi sebuah kawasan dengan ikon kerajinan perak. Hal ini bisa dibuktikan manakala kita melihat para perajin dengan sabar dan hati-hati membuat kerajinan perak yang indah. Bentuk potensi kerajinan tradisional: perak, perunggu, emas, seng, tanduk, penyu dan alat-alat navigasi kereta api.

Keempat, potensi sosial kemasyarakatan. Dalam konteks ini, Kotagede terkenal dengan tokoh-tokoh Muhamadiyah yang menyumbangkan pemikirannya demi kemaslahatan seluruh umat. Sebutlah misalnya: Abdul Kahar Mudzakir salah seorang tokoh penandatangan Piagam Jakarta. Beliau juga sebagai anggota Panitia Sembilan dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tokoh bersejarah lainnya: Dr. Sukiman Wirosanjojo, Prof. Rasjidi Atmosudigdo, dan Prof. Kasmat Bahoewmangoen.

Terakhir, potensi makanan tradisional. Menurut catatan Mustofa W. Hasyim, untuk makanan kecil tradisional, biasanya mempergunakan bahan baku ketan atau tepung ketan, beras atau tepung beras, ketela, jagung, tepung pohon aren dan umbi-umbian. Maka di Kotagede kemudian dikenal makanan kecil tradisional bernama legomoro, yangko, kipo, ledre intip, wajik klethik, gandhos, jenang nangka, bikan, welha, model, telo bajingan, jenang jagung tempe, lima macam gethuk, empat macam thiwul, ongol-ongol, osak-asik, banjar, ukel, kembang waru, peyek bayem dan semacamnya. Sebagai pelengkap, masih ada minuman khas Kotagede yaitu, wedan secang, setup jambu yang biasa keluar pada malam bulan puasa untuk jaburan, rujak ceplus, semelak, wedang bajigur, kunir asem dan wedang jahe gula Jawa.

***

Masalahnya sekarang, beberapa situs peninggalan sejarah Kerajaan Mataram Islam dengan lima potensi kulturalnya ini tidak terpetakan secara signifikan dalam ranah grafis lingkungan dan infografis pariwisata Kotagede.

Para pelancong membutuhkan media informasi yang menggunakan simbol-simbol grafis dalam menggambarkan posisi suatu tempat, arah menuju ke obyek wisata, petunjuk/instruksi tentang suatu acara. Para wisatawan itu memerlukan misalnya: peta lokasi keberadaan lima potensi cultural Kotagede lengkap dengan sign system yang mampu menuntun mereka menuju lokasi yang diinginkan.

Melihat fenomena semacam itu, mahasiswa Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta sengaja mengintegrasikan diri dengan masyarakat yang bermukim di kampung Pekaten Kotagede Yogyakarta dengan membuat desain grafis lingkungan dalam bentuk sistem pertandaan (sign system). Kegiatan belajar bersama dengan masyarakat kampung Pekaten Kotagede Yogyakarta dalam pembuatan sign system alias penanda wilayah ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang keberadaan kampung Pekaten khususnya, dan Kotagede pada umumnya. Aktivitas kreatif yang berlangsung selama satu minggu sejak 11-17 Oktober 2010 ini dikemas dalam tajuk ‘’Kampus to Kampung’’ yang menjadi salah satu bagian dari even kreatif dua tahunan: Diskomfest #4.

Dalam kegiatan belajar bersama antara masyarakat kampung Pekaten Kotagede Yogyakarta dengan mahasiswa Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta diawali dengan membuat desain sign system yang selanjutnya dikomunikasikan dan dikerjakan bersama dengan masyarakat yang bermukim di kampung Pekaten. Kerja bakti membuat sign system semacam ini menjadi menarik karena terjadi proses pembelajaran secara interaktif dan berdaya guna antara mahasiswa dengan masyarakat. Bentuk pembelajaran tanpa jarak semacam ini jarang dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi desain.

Pembuatan sistem pertandaan yang terintegrasi antarlokasi seperti yang dilakukan mahasiswa Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta yang dikomandani Hendry Cipoetra bersama masyarakat kampung Pekaten Kotagede Yogyakarta yang dipimpin Mohammad Natsir diyakini akan meningkatkan citra Kotagede sebagai kawasan heritage yang layak dikunjungi, dilestarikan, dan dipelajari lebih lanjut sebagai sebuah fenomena sosial budaya yang sangat kaya dan memiliki keunikan multidimensi.

Desain sistem pertandaan (sign system) yang dibutuhkan oleh kawasan heritage Kotagede Yogyakarta adalah grafis lingkungan dan infografis berwujud tanda-tanda komunikasi visual yang komunikatif.

Tahapan komunikasi seperti ini didahului dengan memvisualkan kalimat verbal ke dalam bentuk gambar (simbol). Keberadaannya senantiasa melibatkan unsur gambar sebagai sarana untuk menemukan suatu keunikan atau ciri khas dari kampung Pekaten. Kemudian menerjemahkan informasi yang diterima oleh indra lain (telinga dan perasaan) ke dalam kesan penglihatan atau image, yang divisualkan dalam bentuk sketsa mulai dari berbagai alternatif layout sampai ke final desain.

Karena berupaya menginformasikan pesan agar orang bisa mengartikan pesan tersebut, maka ketika mendesain sistem pertandaan itu perlu dilakukan proses abstraksi yang terdiri dari upaya memahami tujuan komunikasi, melakukan identifikasi objek sehingga mampu menggambarkan ciri kampung Pekaten Kotagede secara jitu, kemudian dalam visualisasinya harus dibuat seringkas dan sesederhana mungkin agar mudah dipahami dan komunikatif.

Ketika kita menyaksikan grafis lingkungan berbentuk sistem pertandaan di kampung Pekaten Kotagede Yogyakarta, hasilnya terlihat nyata, kampung tersebut menjadi penuh warna dengan hadirnya beragam ungkapan visual berupa taburan berbagai tanda dan simbol sistem pertandaan pariwisata di tengah masyarakat kampung Pekaten Kotagede Yogyakarta.

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com), Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta.

Foto-foto: Sumbo Tinarbuko

Artikel terkait: Diskomfest 4 Calling for Entry: “Kota Gedhe dalam Komik”

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENT

  1. ikut titip link blog yang udah aku tulis satu tahun yang lalu ya…

    http://bimalizer.wordpress.com/2009/10/20/logo-kotagede-in-my-mind/

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly