Dikirimkan oleh Sumbo Tinarbuko
Sejak zaman Kerajaan Mataram Islam hingga sekarang, Kampung Pekaten, Kotagede, Yogyakarta, masih bertahan dengan kultur tradisional Jawa. Rumah-rumah kayu bercorak tradisional Jawa terlihat berjajar sepanjang gang-gang sempitnya. Ibu-ibu tua berkebaya masih banyak ditemui berlalu lalang di gang-gang itu. Identitas ketradisionalan semakin kuat oleh tanda-tanda yang terpasang di sepanjang kampung itu. Memasuki gang utama kampung di barat Pasar Kotagede itu, sebuah plakat langsung menyambut. “Alon-alon, waton kelakon”, demikian tertulis di plakat hijau dan kuning itu. Kalimat yang diambil dari peribahasa Jawa itu lebih kurang artinya pelan-pelan asal sampai tujuan. Lebih dalam memasuki Kampung Pekaten, penanda-penanda nyleneh itu makin banyak ditemui. Misalnya, “19.00-21.00, Sinau coooy…”, yang menggantikan “Jam belajar masyarakat 19.00-21.00″.
Penanda-penanda tersebut merupakan hasil kerja sama sekitar 30 mahasiswa Program Studi Desain, Komunikasi, dan Visual (DKV) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dalam program “Kampus to Kampung”. Meskipun nyleneh, penanda-penanda ini terasa lebih akrab bagi warga setempat.
“Kalimat-kalimat yang digunakan di penanda-penanda baru ini dipilih oleh masyarakat sendiri. Hasilnya kelihatan sekali mereka lebih senang menggunakan bahasa yang mereka gunakan sehari-hari,” kata Sumbo Tinarbuko, konsultan desain dan dosen DKV ISI Yogyakarta yang menjadi motor penggerak kegiatan tersebut, seusai pembukaan Kampus to Kampung, Minggu (17/10/2010).
Sumbo menyebut pemasangan penanda yang sarat budaya dan kultur setempat itu sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan penanda. Penanda-penanda lama yang menggunakan bahasa formal dinilai kaku, bernada keras, dan dingin. Pemasangan penanda lama dilakukan tanpa meminta pendapat masyarakat setempat. “Masyarakat ibarat tidak mempunyai kesempatan untuk menentukan tanda-tanda yang ingin dipasang di kampungnya sendiri,” kata Sumbo.
Lebih luas lagi, hal ini merupakan upaya untuk mengatakan bahwa masyarakat seharusnya diberi kesempatan mengelola kampungnya sesuai keinginan mereka. Hal ini sering terlihat pada sejumlah program pemerintah yang langsung dilakukan tanpa minta pendapat masyarakat terlebih dahulu.
Masyarakat Pekaten antusias dengan kegiatan membuat dan merancang penanda tersebut. Sekitar 90 persen pembuatan dilakukan masyarakat. Kegiatan ini terangkum dalam festival seni dua tahunan DKV ISI “Diskomfest#4″. Untuk pertama kalinya, Diskomfest dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat. di samping di Taman Budaya Yogyakarta, 24 November.
Proses kerja yang berlangsung sejak Agustus ini menjadi proses belajar tersendiri bagi masyarakat dan mahasiswa. Mahasiswa belajar cara bermasyarakat dan memasyarakatkan desain komunikasi visual. (IRE)
Sumber: Kompas, Selasa, 19 Oktober 2010
Sumber foto: Sumbo Tinarbuko
Artikel terkait:
Budaya Kotagede dalam Komik
Kampus to Kampung: Melongok Sistem Pertandaan Kampung Heritage Pekaten Kotagede
Diskomfest 4 Calling for Entry: “Kota Gedhe dalam Komik”
•••
keren ni penggunaan nalar visual untuk menyampaikan sebuah “strong massage” yang mana dapat di tampil kan secara halus, sekaligus menggelitik, tanpa harus merasa “sing butuh sopo tho”?