Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Kampanye Politik & Hubungan-hubungan (dalam) Praktik Media

Oleh: FX Widyatmoko

Klik untuk memperbesar image

Tulisan di bawah ini sudah (saya) terbitkan di Facebook. Namun, kali ini content tulisan tersebut diperluas agar persoalan yang dibicarakan dapat meluas juga dalam artian tak sebatas menyangkut kampanye politik pemilihan calon Wali Kota Yogyakarta, dalam artian ini menyangkut kampanye politik pimpinan kepala daerah, DPR/MPR, hingga kampanye calon pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Tujuan tulisan ini tidak ingin memerpanjang (daftar) kekecewaan, namun menunjukkan kalau kita, desainer alias masyarakat, tidak gampang (di)bodoh(i) dalam artian masih memiliki dan mampu menawarkan cara baru dalam memandang persoalan kampanye politik di Indonesia. Selamat membaca.

Pengantar

Warga Kota Yogyakarta sedang menanti pemilihan calon Wali Kota Yogyakarta. Proses pemungutan suara akan dilangsungkan 25 September 2011. Dalam menuju hari-hari pemilihan tersebut berbagai media kampanye hadir dan memeriahkan sudut Yogyakarta, dari jalan raya sampai kampung. Ragam media pun hadir seperti poster, spanduk, baliho, dan lain-lain. Fenomena kemeriahan visual ini bukan pertama kali dijumpai masyarakat kota, kampung, hingga desa, pusat maupun pinggiran. Kevisualan ini telah menjadi ingatan kolektif masyarakat sebagai sistem ingatan adanya momentum politik. Tulisan ini tak bertujuan memperpanjang kekecewaan publik atas praktik bermedia kampanye politik. Tulisan ini sebatas mau menyumbang gagasan dan cara-cara yang dapat dijadikan praktik bermedia yang harapannya akan lebih simpatik dan memesona.

Hubungan-hubungan

Dalam memandang praktik bermedia dapat digunakan tiga cara. Pertama, melihat media sebagai hubungan adminstratif. Kedua, sebagai hubungan koordinatif. Ketiga, sebagai hubungan partisipatif. Cara ini didapat dengan menempatkan si media dan pengirim pesan dalam hubungannya dengan (pemilik) ruang dan publik penerima pesan. Hubungan administratif dapat dijelaskan sebagai hubungan yang berurusan dengan persoalan tata tertib. Di sini faktor identitas (subyek) ditekan. Hubungan koordinatif dapat dijelaskan sebagai hubungan kerjasama namun dalam urusan bersama. Namun, inipun belum menghadirkan ke-subyek-an dalam tingkat yang katakanlah, eksisten. Sedangkan hubungan partisipatif dapat dijelaskan sebagai hubungan yang memberi ruang bagi kehadiran subyek, sifatnya tanpa tekanan. Sebagai contoh, dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dapat dijumpai NIK (Nomor Induk Kependudukan) berupa nomor/angka. Nomor ini merupakan identitas administratif yang ia ada karena hubungan/kode administratif (pencatatan, penomoran, pembedaan antar satu orang dengan yang lain), sedangkan penulisan nama kita dalam KTP tersebut merupakan syarat administratif (keharusan), namun nama itu sendiri bukan yang administratif, ia eksisten, pemberian orang tua yang menjadi identitas kita. Manakala kita mengantri membuat Surat Ijin Mengemudi (SIM) pun kita akan dipanggil bukan berdasarkan NIK KTP, namun nama kita. Di sini berlaku sebaliknya, kala berjumpa dengan polisi yang bertugas akan berbeda seandainya memanggil petugas tersebut dengan kata “pak” atau “bu” dengan memanggil lengkap misalkan “Pak Gunawan” atau “Bu Novi”. Dalam amatan di lapangan, kerap kita tak mengenal nama petugas pemerintah/birokrasi. Meski pada kemeja petugas yang bersangkutan tertera nama beliau, namun kerap kita menyapa dengan pak atau bu saja. Di sini mekanisme administratif terasa dominan. Persis di sini logika birokrasi yang menekan, bahkan meniadakan subyek, terafirmasi oleh kita.

Hubungan koordinatif bisa dicontohkan seperti kala mengadakan upacara pernikahan di kampung. Di sana masih berlangsung kerja sama beberapa pihak seperti yang memiliki acara dengan remaja sekitar dalam hal menjaga kelangsungan upacara agar lancar seperti parkir, keamanan, dll. Hubungan partisipatif dapat dicontohkan seperti kala kerja bakti kampung. Di sana hadir beberapa kuweh dari beberapa rumah tangga. Namun ada pula kuweh yang hadir karena mewakili ketidakhadiran secara administratif misalkan sedang berhalangan. Maka dari itu, hubungan-hubungan administratif, koordinatif, dan partisipatif bisa berdiri sendiri, namun bisa pula saling menggantikan.

Dalam konteks kampanye politik pemilihan calon wali Kota Yogyakarta kali ini, media-media kampanye yang hadir dan betebaran dapat dilihat dalam tiga hubungan tersebut. Pandangan sekilas dapat diduga bahwa yang berlangsung di sana betapa rendahnya kesadaran administratif tiap calon Wali Kota dalam melakukan mediasi di ruang publik seperti poster-poster yang ditempel di dinding yang mana secara visual kian memiuhkan dari pesona Jogja yang nyaman. Di sana pun dapat dipertanyakan hubungan koordinatif dengan pihak terkait misalkan Dinas Tata Kota, meski dalam media massa pun telah diberitakan bahwa petugas yang bewajib “menertibkan’ media media yang tak sesuai aturan main. Bukankah “menertibkan” di sini senantiasa hadir tiap kampanye, dari periode ke periode? Artinya, “menertibkan” di sini bisa sebagai budaya administratif yang menjelaskan senantiasa ada pelanggaran adminstratif/birokratif yang (boleh) berulang-ulang dilakukan. Di sini eksistensi administratif jadi (nyaris) kosong melompong. Mekanisme yang berlangsung bisa saja dominasi/hegemoni terselubung. Barangkali dimensi/matra ekonomi menjadi alat “penertiban” tersebut, perlu diperiksa lebih lanjut. Hal ini pun tak sebatas terjadi kala pemilihan calon wali Kota, namun juga calon pimpinan dalam skala yang lebih luas seperti Presiden/Wakil Presiden, DPR/MPR, dan lain lain. Dengan demikian, skala penertiban tersebut berada di pinggiran/daerah hingga pusat yang senantiasa berulang dari waktu ke waktu.

Di lain pihak hubungan pertisipatiflah justru dinanti dari para calon Wali Kota. Jika ruang publik dan tata ruang media di Yogyakarta senantiasa padat, maka hal ini dapat menjadi ruang partisipatif tiap calon tersebut. Jadi yang perlu dipikirkan yaitu mendisain ruang bermedia bukannya memiuhkan secara visual ruang ruang yang senantiasa ada. Kritik-kritik yang hadir dalam bentuk omongan di berbagai media, atau obrolan di pinggiran jalan, mengindikasikan masih terdapat persoalan dalam tata media ruang kota dan kampung di Yogyakarta. Di lain sisi mediasi yang berlangsung sudah pada taraf redundansi tinggi, tiap calon berlomba semeriah dan semarak mungkin. Praktik ini justru kian menyulitkan dalam meraih ingatan positif secara kolektif karena publik terlanjur mengingatnya secara negatif. Ia terlanjur diingat sebagai citra negatif karena mediasi-mediasi yang dilakukan hampir tak memenuhi hubungan-hubungan di atas dalam lanskap tata ruang yang estetik dan gagal memenuhi maksimalisme ruang publik.

Menanti Partisipan

Yogyakarta sebagai kota berhati nyaman sangat membutuhkan calon-calon Wali Kota yang mampu mengapresiasi tata ruang kota dan kampung secara elegan. Tentu, semua kota, bahkan negara, menginginkan citra daerahnya secara demikian. Keberhasilan memeroleh citra dan ingatan positif mesti dilakukan sejak masa kampanye berlangsung. Meski saat ini praktik media yang berlangsung menyerupai praktik kampanye yang telah ada sebelumnya, namun dengan melihat rendahnya hubungan partisipatif dalam mencipta ruang tata media hampir bisa dipastikan tiap calon tersebut tak memandang penting kevisualan dan citra kota itu sendiri. Apalagi jika secara administratif pun praktik media yang berlangsung senantiasa sama dari tahun ke tahun: “ditertibkan”.

Jika tiap calon tak mengganggap pentingnya kesadaran administratif praktik bermedia, apakah mereka masih layak untuk dipilih? Maka, pilihannya tak lain mematuhi yang administratif, senantiasa berkoordinatif, sambil mulai menciptakan tata media kota secara partisipatif. Saya, mungkin kita, menantikan calon Wali Kota, calon Presiden/wakil Presiden, hingga calon Dewan Perwakilan Rakyat yang demikian. Salam.

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly