Oleh Christine Franciska
Coba pandang Jakarta dengan cara berbeda hari ini. Bukan sebagai kota yang semrawut, melainkan sebagai taman bermain yang luas.
DUA orang ini mungkin bisa disebut sebagai raja dan ratu iseng Ibu Kota. Selepas jam kerja, di pagi hari atau malam, mereka berkeliling kota mencari lokasi yang sekiranya asyik untuk bermain.
Di pasar, mereka bisa mengajak sepuluh pedagang memutar payung terpal besar hingga 4 menit lamanya. Di jalan, puluhan orang diajak berbaris panjang seperti monorel dan berjoging ria. Di toko kayu, tumpukan balok kayu disusun jadi sepasang tempat duduk dan meja layaknya sebuah kafe.
Bahkan, mereka mengerahkan kerabat mereka untuk menyembunyikan pesan rahasia dalam kapsul di seluruh penjuru Jakarta. Selain mendapatkan kesenangan, semua proyek mereka terasa tak punya guna.
Hanya jadi kumpulan foto dan dokumentasi kreatif yang merespons kehidupan metropolitan.
Tapi, bagi duo Irwan Ahmett dan Tita Salina, hal itu tak jadi masalah. Mereka percaya bahwa manusia lahir untuk bermain. Dari hal yang main-main itu, mereka bisa terbawa ke dalam dimensi kreativitas yang menyenangkan.
Mereka terbebas dari kungkungan mekanisme keseharian yang membuat pola berpikir jadi satu arah saja. “Bermain adalah cara yang paling ampuh untuk mendapatkan kesenangan,” ujar Irwan Ahmett yang kerap dipanggil Iwang.
Proyek terbaru ini diberinya judul Hidup Jangan Terlalu Serius karena tak Seorang pun Bisa Melewatinya Hidup-Hidup. Awalnya hanya dimasukkan ke blog dgi-indonesia.com sebagai portofolio perusahaan desain mereka bernama Ahmett Salina, pada Mei 2010 lalu. Karena respons yang baik, akhirnya Selasa (3/8), proyek ini dipamerkan di Jakarta Punya! Galery, Jl Hang Tuah No 9, Kebayoran Baru, Jakarta.
“Kita mau mengajak orang untuk melihat dari sisi yang berbeda. Masalah Ibu Kota bisa ditanggapi dengan lebih ceria,” ujar Tita.
Permainan nomor lima dengan tajuk Jakarate misalnya. Dalam merespons kurangnya kesadaran warga akan fasilitas umum, Tita dan Iwang berfoto di fasilitas umum yang rusak. Sebuah foto menggambarkan Iwang sedang berpose mematahkan besi pembatas jalan yang tentunya memang sudah bengkok sejak lama. Lainnya ada tendangan karate yang membuat seolah-olah tiang petunjuk lalu lintas miring.
Tidak mau kaya
Tak cuma kali ini saja Iwang dan Tita bekerja sama. Pasangan suami istri ini sudah berkolaborasi selama lebih dari sepuluh tahun lamanya. Pada 2000 mereka membangun bisnis desain bernama Perum Design Indonesia. Bisnis yang menurut Iwang punya potensi besar untuk membuatnya kaya. “Bisnisnya bagus, grafi knya meningkat. Tapi menjadi kaya bukanlah yang saya inginkan,” ujarnya.
Maka pada 2005, mereka mencetuskan ide kampanye Change Yourself. Kampenye perubahan bersama ini banyak menuai respons positif. Uang pun habis memodali kampanye idealis tersebut. Iwang dan Tita kembali ke titik nol. Titik yang tak disesali, tetapi disyukuri karena mewakili sebuah awal dari perubahan itu sendiri.
Setahun kemudian, bisnis desain mereka berganti nama menjadi Ahmett Salina. Konsepnya juga berganti menjadi sebuah bisnis kecil dengan karyawan minim, tetapi lebih solid dan intim.
Bagi Iwang, interaksi dengan Tita diibaratkan sebagai kutub positif dan negatif yang melengkapi. Iwang lebih hiperaktif, banci tampil, dan ambisius, tetapi lemah dalam detail dan angka. Tita melengkapinya dengan perilaku yang lebih pasif, tapi sekaligus teliti, detail, dan cermat dalam perhitungan angka. Itulah yang membuat Iwang merasa banyak mengapresiasi banyak hal dalam hidup.
“Sama kayak makan es krim sendirian. Suapan pertama itu nikmat. Tapi selebihnya hanya jadi sebuah keharusan untuk menghabiskannya. Lain kalau makannya dengan Tita, semua jadi terasa nikmat kalau dihabiskan berdua,” kata pria kelahiran 1975 itu.
Sebaliknya bagi Tita, Iwang merupakan manusia yang punya segudang ide yang tak terduga. “Dia juga gila referensi. Kadang suka capek karena dia gak pernah berhenti mikir.”
Dalam menjalankan bisnis dan proyek seninya, Iwang punya prinsip yang kuat. Salah satunya adalah kejujuran. Terutama tentang latar belakangnya dan rahasiarahasia personalnya.
Untuk hal ini, ia punya cara unik menyampaikan kejujuran. Di balik kartu namanya, Iwang membuat enam kalimat rahasia yang hanya bisa dibaca jika di gosok dengan koin. Singkatnya mirip seperti menggosok undian berhadiah.
Isinya bermacam-macam. Mulai pernyataannya bahwa ia tak selesai kuliah, pernah belajar ilmu hitam di usia 15, hingga kebingungannya membedakan kiri dan kanan.
“Kalau baru kenalan, pasti minta kartu nama. Biasanya mereka nanya lulusan mana dan dari kampus mana? Dengan statement di kartu nama itu, saya sudah bisa menjelaskan
siapa diri saya,” ujar pria yang mengaku mengidap fobia wc umum dan bawang goreng itu.
Dengan kejujuran, Iwang tak peduli akan pendapat orang yang meragukan skill-nya karena tak lulus kuliah. “Kejujuran menjadi tantangan. Saya cenderung memilih jalan yang tidak aman,” begitu katanya.
Proyek bermain-main di dalam kota ini merupakan rangkaian dari proyek besar bernama Happiness Project. Sebelumnya, Iwang pernah mengadakan pameran bertajuk Happiness yang membagi hal-hal apa saja yang bisa membuatnya bahagia. “Dari pameran itu, saya membuat daftar hal apa saja yang bisa bikin saya bahagia. Yang ada di urutan atas adalah bermain!”
Agaknya, kebahagiaan menjadi sebuah obsesi bagi Iwang. Ia pun berencana membuat proyek lain dalam payung kebahagiaan itu. “Karena saya tidak bahagia. Saya orangnya hiper, narsisis, dan ambisius,” lanjutnya.
Percayakah kita kalau Iwang tidak bahagia? Jangan buru-buru percaya dulu. Siapa tahu Iwang hanya sedang bermain-main dengan jawabannya. (M-1)
Christine Franciska
[email protected]
Download artikel ini dari harian Media Indonesia, 5 Agustus 2010 > Irwan Ahmett dan Tita Salina: Bermain-main dengan Ibu Kota
•••