Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Investasi Menuju “The Brand Called INDONESIA”

Kembali Malaysia mengklaim budaya Indonesia sebagai miliknya, kali ini tari pendet yang muncul dalam iklan komersial pariwisatanya. Penelusuran yang dilakukan Kompas.com, isu klaim budaya Indonesia oleh Malaysia termasuk tari pendet ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2007. Malaysia sejauh ini dituduh telah mengklaim beberapa kebudayaan asli Indonesia. Misalnya reog Ponorogo yang disebutnya sisingaan, tari barong yang disebut di Malaysia sebagai barongan, keris, angklung, batik, lagu “Rasa Sayange” yang berasal dari Ambon, dan lagu “Es Lilin” asli Sunda.

Mendiola B Wiryawan, penulis buku Kamus Brand menguraikan pendapatnya mengenai bagaimana seyogyanya kita menyikapi isu ini dalam tulisannya Investasi Menuju “The Brand Called INDONESIA” yang juga telah dimuat secara tercetak di majalah Versus edisi #5. –Redaksi

versus-5-1

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Investasi Menuju “The Brand Called INDONESIA”

Oleh: Mendiola B Wiryawan

Dalam musim kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lalu, saya sempat menyaksikan sebuah presentasi program cawapres di salah satu televisi swasta. Dalam sesi tanya jawab yg digelar, salah seorang audience bertanya tentang konsep cawapres mengenai kebijakan kebudayaan nasional. Dia mengawalinya demikian. “Anak-anak sekarang sudah melupakan kebudayaan kita sendiri, contohnya mereka banyak yang tidak tahu cerita Sri Rama, (Shinta),… (dst, dst)”. Setelah mendengar pertanyaan tadi, tiba-tiba saja pertanyaan-pertanyaan kebudayaan menghinggapi kepala saya. Apakah benar Rama adalah kebudayaan Indonesia? Apakah karena sering hadir dalam cerita perwayangan Jawa, Sunda, dan beberapa kebudayaan lokal lainnya selama berabad-abad lantas kita dapat meng ‘claim’ nya sebagai budaya Indonesia? (Seperti kita ketahui, Rama dan Shinta berasal dari mitologi kebudayaan Hindu India). Jika begitu apakah Malaysia boleh meng ‘claim’ reog yang katanya milik sebuah daerah di negeri Jiran itu meskipun aslinya dari Ponorogo? Apakah sesuatu yang sudah turun temurun kita dengar atau gunakan lantas otomatis menjadi milik kita? Apakah seorang anak suku Dani di Papua harus mengetahui cerita Rama Shinta (Ramayana) yg mungkin tidak pernah diperkenalkan oleh orangtuanya? Apakah saya yang suka pakai celana jeans bukan orang Indonesia? Apakah yang menjadi budaya bangsa harus orisinal? Bukan berasal dari luar negeri? Apakah yang orisinal?

Semua pertanyaan tadi akhirnya bermuara pada sebuah pertanyaan besar: apakah budaya Indonesia itu? Pertanyaan ini memang sebuah pertanyaan abadi apalagi untuk seorang insan kreatif.

Kata budaya memang merupakan kata yg sangat kompleks pengertiannya. Menurut seorang pengamat dan kritikus kebudayaan, Raymond Williams, kebudayaan (culture) merupakan salah satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks penggunaannya. Di Indonesia, budaya paling sering diartikan sempit pada bentuk kegiatan intelektual artistik dengan produk-produknya yang telah dialihkan turun temurun (heritage). Manifestasinya paling umum adalah segala bentuk kesenian tradisional. Karenanya kalau kita mendengar kata Pameran Budaya Indonesia kita sudah pasti dapat menebak isinya (kerajinan, tari-tarian tradisional, dsb). Padahal budaya dapat dilihat dari berbagai sisi yang lain, misalnya budaya sebagai totalitas gaya hidup, budaya sebagai pola pemecahan masalah hidup, dsb. (Menurut antropolog Kroeber dan Kluckhohn ada enam pemahaman pokok terhadap kata budaya yang saya tidak bahas satu persatu dalam tulisan ini).

Dalam tulisan ini saya hanya akan menyoroti identitas sebagai salah satu ‘pisau bedah’ sudut pandang budaya. Dari kasus penanya cawapres di atas, menurut saya sebenarnya poin utama si penanya adalah, bagaimana kalau si generasi penerus tidak mempunyai identitas yang ‘sama’ seperti identitas yang saya anut selama ini? Bagaimana kalau generasi penerus tidak punya identitas yang selama ini ‘saya anggap’ khas Indonesia dan menjadi manusia global yang tanpa identitas khas?

Persoalan identitas akan selalu menarik. Identitas adalah sebuah pertanyaan dasar dari setiap manusia. Kita tumbuh dan berkembang dalam mencari identitas. Masa remaja sering dianggap masa pencarian identitas manusia. Pada kenyataannya seumur hidup kita adalah sebuah proses berjalan pembentukan identitas. Orang tua dan lingkungan sekitar kita berperan sangat besar dalam menentukan identitas kita. Uniknya identitas pun kadang-kadang bukan persoalan hitam putih ataupun sesuatu yang utuh. Saya ambil analogi sebagai berikut: Ketika Persib Bandung melawan Persija Jakarta, identitas para suporter terbagi menjadi: “Lu anak Bandung, gue anak Jakarta”. Selanjutnya ketika tim sepakbola Indonesia melawan Korea, identitas suporter berubah menjadi “Kita orang Indonesia dan mereka orang Korea” (padahal mungkin para suporter Indonesia terdiri dari suporter Persib dan Persija yang sebelumnya berseteru sampai ada korban nyawa). Disinilah terlihat identitas bukanlah sesuatu yang solid. Identitas menjadi begitu dinamis ketika dihadapkan pada persoalan berbeda.

Sebagai bangsa yang berdaulat, bangsa Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 oleh “Founding Fathers” kita, memerlukan sebuah identitas untuk dapat maju menjadi bangsa yang berkembang. Pada masa awal-awal kemerdekaan, identitas kebangsaan bergulat seputar antara “Kami bangsa yang pernah dijajah, dan kamu bangsa yang pernah menjajah”. Romantika kebangsaan ini masih sering diangkat dalam berbagai kesempatan saat-saat ini. Jargon-jargon seperti “Merdeka!” masih saja dikumandangkan oleh beberapa politikus. Sayangnya romantika ini mengalami pendangkalan makna dari generasi saat ini yang sudah mengalami keterpisahan jauh dari perjuangan perebutan kemerdekaan dahulu kala. Untuk itu kita memerlukan suatu konteks kebangsaan yang baru, yang membuat kalbu bergetar saat kita mengucapkan: “Aku orang Indonesia!”, atau “Gue anak Indonesia!”

Garuda di Dadaku dan KeIndonesiaan
“Garuda di Dadaku (GDD)” adalah film keluarga yang berkisah tentang bagaimana seorang anak bernama Bayu yang berjuang untuk menjadi pemain bola meskipun dilarang oleh kakeknya. Bayu berusaha berbohong menutupi aktifitasnya berlatih bola untuk dapat masuk ke tim nasional usia 13. Kakeknya melarang Bayu bukan tanpa sebab, tapi karena trauma ayah Bayu yang ingin jadi pemain bola namun berakhir cedera dan miskin hingga akhirnya meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Yang saya ingin angkat disini bukan jalan cerita film ini, tapi fenomena yang terjadi di antara penonton (yang pada saat tulisan ini dibuat telah mencapai angka satu juta penonton bioskop). Lewat media facebook yang trend, film GDD berhasil memanfaatkan jejaring sosial untuk menangkap kesan dan pesan dari penontonnya. Dari 50.000 lebih fans di facebook, banyak dari mereka menuliskan kesan dan pesannya. Kebanyakan dari mereka (yang sebagian besar anak-anak) tersentuh emosinya dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Film ini telah menggelitik rasa nasionalisme penontonnya dan perasaan ‘Gue orang Indonesia’ tiba-tiba merasuk kalbu, seiring dengan rasa simpati perjuangan Bayu masuk tim nasional. Penonton bersorak, bertepuk tangan dalam gedung bioskop layaknya di stadion mendukung tim nasional (rasanya jarang fenomena seperti ini ada di gedung bioskop nasional).

Apa yang dapat kita simak di sini? Film ini berhasil memindahkan fenomena “Gue orang Indonesia” yang ada di stadion bola – yang mungkin banyak keluarga Indonesia tidak pernah ada di sana – dan memindahkannya ke dalam gedung bioskop. Film ini dapat menjadi investasi semangat untuk mewujudkan tim sepakbola yang lebih baik di masa depan, layaknya film kartun kapten Tsubasa, (sebuah film tentang sepabola) yang diyakini sebagai embrio sepakbola Jepang yang bergengsi di tingkat Asia dan dunia satu dekade kemudian. Saya harap demikian. Bukan hanya di dunia olahraga, tapi juga di bidang-bidang lainnya.

Garuda dan Indonesia
Kebetulan film GDD ini materi promosinya didesain oleh penulis dan tim. Ketika diminta mendesain tampilan visual untuk poster dan turunan materi promosinya, kami mulai mencari referensi seputar garuda, film tentang garuda, sepakbola, dsb. Salah satu studi yang dilakukan sebelum membuat tampilan visualnya, kami melakukan ‘desktop research’ untuk kata-kata kunci tadi. Ketika kami mengetikkan kata ‘garuda’ di Google, situs yang keluar pertama di layar komputer adalah Garuda Indonesia. “Wah hebat juga “, pikir saya. Kata Garuda punya brand awareness yang dimiliki bangsa Indonesia. Ketika mencari dengan keyword ‘Garuda movie’ didapati juga film monster Garuda dari Thailand.

Garuda adalah burung mitologi dalam kebudayaan Hindu Budha (sama seperti Sri Rama di atas). Garuda digunakan menjadi simbol di banyak negara seperi India, Mongol, Thailand. Meskipun bukan budaya yang lahir di tanah Indonesia, Garuda telah menjadi simbol visual kebanggaan bangsa Indonesia. Terima kasih kepada Sultan Hamid II dan Presiden Soekarno yang memiliki rasa estetika yang baik, dalam menggambar Garuda berbeda dari garuda lainnya di dunia. Garuda di Indonesia juga sudah mengalami ‘positioning’ baru, bukan lagi garuda biasa tapi ‘Garuda Pancasila’. Inilah garuda khas Indonesia. Untung juga kita juga punya penerbangan dengan nama Garuda Indonesia yang berperan besar mem ‘branding’ kata garuda, menjadi milik bangsa Indonesia. Disini kita melihat, kadang identitas kebudayaan memerlukan komunikasi kebudayaan yang baik untuk menjadi milik suatu bangsa (yang dapat dipersamakan dengan konsep branding untuk suatu produk atau jasa). Jadi seringkali kebudayaan bukanlah soal orisinalitas dan tidak, tapi juga soal siapa yang mengkomunikasikannya secara ‘massive’. Sama seperti produk hamburger yang menjadi khas Amerika (karena ada raksasa penjaja hamburger Mc Donalds) meskipun hamburger konon berasal dari nama sebuah kota pelabuhan di Jerman, Hamburg. Jadi dalam kasus Reog atau Batik atau apapun yang di klaim malaysia milik mereka, mungkin kita sebelumnya kurang berkoar-koar kepada dunia bahwa kesenian tersebut adalah milik kita.

Konsep Brand of Indonesia sebagai Identitas Indonesia
Saya pernah mengikuti diskusi tentang konsep Brand of Indonesia yang diadakan salah satu pembicara terkemuka. Sayangnya pembicaraan diskusi tadi akhirnya hanya sebatas diskusi seputar tagline yang cocok dibuat untuk Brand of Indonesia. Ibarat mau meluncurkan produk, belum tahu produknya apa, sudah mau dibuat iklannya. Konsep saya tentang brand tetap sama: brand adalah pengalaman (experience) yang dibangun lewat berbagai strategi. Tanpa kita membangun experience-nya, Brand of Indonesia hanya sebatas logo dan tagline. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana Brand of Indonesia? Kalau brand diartikan identitas, identitas apa yang sanggup mewakili seluruh tumpah darah Indonesia?

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan berbagai suku bangsa di dalamnya (konon lebih dari 300 suku). Dengan keragaman yang terbentang di dalamnya, sulit sekali menentukan kekhasan budaya yang umum, yang mewakili semua suku bangsa Indonesia. Polemik kebudayaan kerap dipertanyakan dalam berbagai kesempatan – seperti dipertanyakan di awal tulisan ini.

Untuk menjawab pertanyaan di atas tadi – bagaimana membuat generasi penerus mempunyai ‘identitas’ nasional – semestinya kita tidak terburu-buru menjawabnya dengan sikap hanya sekedar mencekoki pemakaian ‘atribut-atribut’ tradisional yang kita cap selama ini sebagai identitas kita. Karena jika demikian, pasti ada jurang kebudayaan antara jiwa kekinian dan masa lalu sehingga mungkin akan segera menjadi tidak relevan. Tapi yang esensial adalah semangat untuk berbeda, menjadi ‘seseorang’ di antara bangsa-bangsa dunia. Jadi ibaratnya adalah, jika saya memakai batik, bukan karena persoalan batik adalah Indonesia, tapi karena saya mau berbeda dengan yang memakai setelan jas, dan saya adalah orang Indonesia. Jadi jika polanya dibalik: ketika semua orang pakai batik, saya akan memakai setelan jas, dan saya tetap orang Indonesia! Itulah pola mentalitas yang perlu kita investasikan di dalam generasi muda! Wawasan yang sempit bahwa kebudayaan harus lahir sebagai suatu peninggalan lama, yang diwariskan turun temurun, dan orisinal dari dahulunya, seringkali membuat kebudayaan kita tidak bisa berkembang. Kebudayaan sering dilihat sebagai benda utuh yang sudah jadi, yang diberikan orang tua kita, yang tidak boleh diapa-apakan. Sebaliknya kita seharusnya melihat budaya yang ada sebagai modal yang dapat dikembangkan, dibangun, dibongkar, disempurnakan. Ibarat permainan lego, kita dapat membentuk bentuk baru, pola baru, dari elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya. Elemen-elemen ini adalah kedalaman nilai, pemikiran mendalam, yang disebut sebagai nilai-nilai luhur. Dengan demikian kita tidak terjebak di permukaan pada yang kelihatan saja, tapi dapat memaknai setiap elemennya dalam keseharian kita.

Peran Agen Kebudayaan dan Legitimator Kebudayaan
Dalam sebuah kebudayaan selalu ada yang disebut sebagai agen kebudayaan. Agen kebudayaan adalah pioner, orang-orang kreatif, inspiratif dan berpengaruh dalam meletakkan suatu paham, pola atau konsep tertentu kepada masyarakat. Dalam konteks kebudayaan yang dibatasi pada karya seni dan desain juga demikian. Dahulu ada empu yang membuat model senjata berlekuk, ditiru komunitasnya, menyebar, dan diwariskan turun temurun disebut keris. Dahulu ada yang membuat batik dengan gambar tertentu, diadaptasi di suatu daerah, jadilah batik itu menjadi khas suatu daerah. Apakah agen kebudayaan dalam karya seni dan desain sudah tidak ada di jaman ini? Saya rasa akan selalu ada. Kita ambil contoh F. Widayanto yang keramiknya begitu khas dan unik. Ditiru banyak pengrajin keramik seantero Indonesia. Untunglah Mas Widayanto berbesar hati tidak mau menuntut HAKI pengrajin-pengrajin plagiat ini. Kalau sudah menyebar seperti ini semestinya tinggal dikomunikasikan secara propaganda strategis, bahwa inilah keramik Indonesia! Jadilah sebuah brand: Ceramic of Indonesia!

Semasa jaman kerajaan dahulu, legitimator kebudayaan berpusat di dalam istana/keraton. Raja atau istana adalah orang atau lembaga yang berdaulat menentukan estetika dan melegitimasi mana yang menjadi seni tinggi (istana) dan seni rendah (rakyat). Setelah jaman kemerdekaan, tiba-tiba legitimator ini hilang seiring meleburnya kekuasaan kerajaan ke dalam pemerintahan berdaulat. Sayangnya pemberi cap ini juga tidak serta merta langsung dapat dijalankan oleh pemerintah secara aktif. Akibatnya tidak ada lagi kesenian yang diciptakan dan di beri brand sebagai kebudayaan nasional. Contohnya dalam seni tari. Tari-tarian baru yang diberi cap tari nasional atau setidaknya tari daerah seolah tidak pernah ada lagi. Penciptaan tari saat ini menjadi lebih kontemporer, sporadis, sebagai bagian budaya pop, yang ada dan kemudian mati. Sedangkan yang lama, yang sudah ada turun temurunlah yang dianggap lebih ‘sah’ mewakili Indonesia. Padahal yang lama pun saat diciptakan adalah sebuah budaya yang baru. Tapi seiring waktu, dipentaskan secara terus menerus, diakui keberadaannya sebagai milik suatu kelompok, mendarah daging dan bukan milik orang lain. Inilah betapa ’sense of belonging’ juga merupakan peranan yang penting dalam mencari identitas kebangsaan. Rasa memiliki merupakan modal sebuah identitas.

Saya kadang berpikir mengapa tidak mencap gaya ‘ngebor’ Inul sebagai salah satu tarian the Brand of Indonesia? Saya pikir cukup orisinal, tidak ditemukan dimana-mana, dapat dibandingkan dengan originalitas gaya ‘moonwalker’ mendiang Michael Jackson. Inul pun menginspirasi banyak gaya-gaya baru sejenis seperti: kayang, goyang patah-patah, dsb. dalam dunia dangdut Indonesia. Tapi kembali lagi, masalahnya apakah gaya ini bisa diterima di berbagai kalangan. Ini hanya sebuah contoh ekstrim dari penulis. Poin yang saya ingin bagikan adalah perlu legitimasi dari pihak yang dominan – dalam hal ini mungkin peran pemerintah yang paling tepat – untuk membuat ‘cap-cap baru’ ‘Brand of Indonesia’ (seperti dahulu pernah diciptakannya ‘cap’ batik sebagai baju nasional untuk pegawai negri di seluruh Indonesia).

Untuk itu isu perlunya Departemen Kebudayaan yang terpisah dari Departemen Pariwisata cukup relevan didiskusikan keberadaannya. Kebudayaan harus menjadi pembentuk identitas bangsa, bukan hanya sebatas kendaraan kepentingan pariwisata seperti yang ada selama ini. Departemen ini juga bisa menjadi pusat propaganda baik secara nasional maupun global untuk hal-hal yang dianggap ‘sah’ mewakili identitas Indonesia. Kalau saja propaganda ini tercipta dengan baik, maka ‘claim’ dari pihak manapun terhadap identitas kita– seperti terjadi dari pihak negeri tetangga kita baru-baru ini – tidak perlu diresahkan. Mari kita tantang beradu propaganda!

‘Sub Brand of Indonesia’ Mengapa Tidak?
Seorang sahabat, Andi S Boediman pernah mengusulkan Brand of Indonesia dimulai dari bentuk yang sifatnya kedaerahan, untuk memudahkan pembentukannya. Kalau dari terminologi brand adalah membentuk sub brand-nya dahulu, baru dari sub-sub yang ada akan terbentuk identitas ‘parent brand-nya’. Untuk legitimatornya dibentuk badan seperti layaknya ISO yang mengawasi kualitas mutu dan standar hasil budaya. Legitimator ini akan memberi cap “Product of Bandung, Product of Bali, Product of Jogja”, dsb. Dengan demikian kualitas yang berkesinambungan dapat dijaga. Ide ini juga mungkin bisa menjawab keadaan kualitas produk industri Indonesia yang kadang masih seadanya. Ide ini dapat juga memupuk rasa kebanggan atas daerahnya tanpa terjebak pada rasa primordial yang sempit. Meskipun konsep ‘sub brand Indonesia’ ini baik untuk dilakukan lewat swadaya masyarakta setempat, namun tetap saja, sebagai negara besar Indonesia memerlukan konteks kepemilikan bersama seperti dibahas di atas tadi. Untuk itu peran pemerintah tetap sangat dibutuhkan.

Akhir kata
Tulisan ini memang tidak menjawab secara pasti apakah Brand of Indonesia, tapi hanya menyoroti mentalitas yang dapat kita tempuh untuk mencapainya. Tampaknya kita harus tetap bersabar, bekerja keras, tetap mempertanyakan, tetap mencari, sampai suatu hari menemukannya. Rasa ingin menjadi sesuatu, berbeda dengan bangsa lain, tapi memiliki kesamaan, kebersamaan, tenggang rasa, dan saling menghormati, dan saling memiliki dengan sesama bangsa harus terus dicari dan diciptakan dalam berbagai kesempatan. Ini adalah modal dasar investasi kita untuk “The Brand Called INDONESIA”.

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. artikel yang sangat menginspirasi. kebetulan saya bersama kakak juga ingin mengeksplorasi pendidikan a la Indonesia.

    dimana ya bisa saya temukan pengkajian tentang Brand Indonesia yang lebih komprehensif?

  2. Nice! Alhasil memang yang sangat diperlukan sekarang adalah kerangka berpikir yang lebih luas mengenai arti atau nilai kebangsaan dalam diri masing-masing. “Gue anak Indonesia!”

  3. Mau atau tidak mau mengakui, kita ini memang beragam. Berbeda, tapi tetap satu. Saya kira Brand Indonesa itu juga harus mampu menunjukkan keberagaman itu. “Aing Urang Endonesia”, cuma mau bilang, bahwa orang Sunda itu adalah orang Indonesia. “Kulo Saking Endonesia”, juga mau bicara yang sama.

  4. penge-klaim-an budaya dr malaysia hrs jd refleksi generasi muda Indonesia saat ini agar lebih ‘punya’ mata terhadap kebudayaannya sendiri….100%INDONESIA…..jgn cuma jd kan brand. Hrsnya personality rakyat Indonesia di-nasionalisme-kan lg…….pandangan sehari2 yg familiar ialah mulailah mencintai kuliner Indonesia sebagai makanan favorit-mu…..wahai generasi ABG saat ini……

  5. Artikel yang sangat menarik. Semestinya masyarakat bangsa kita lebih sadar akan kebudayaan yang kita miliki….

  6. ide yang menarik … dan tulisan yang bagus

  7. artikel yang sangat bagus sekali. banyak sekali kebudayaan indonesia kita ini. mari kita lestarikan bersama.

  8. Yup. Banyak sekali blunder yang kita lakukan salah satunya ya membuat budaya daerah tak boleh diutak-atik, sakral dan terbungkus rapat. Yang tahu dan mengenal?…hanya generasi tua. So, tetap semangat. Jangan pernah takut akan klaim mengklaim. Indonesia tetaplah Indonesia yang kaya akan ragam budaya. Bagaimana…Setuju???

  9. “bagaimana membuat generasi penerus mempunyai ‘identitas’ nasional”

    Saya kurang ingat pidato siapa, dan di ucapkan oleh siapa. Yang pasti itu adalah satu hal yang di perjuangkan oleh para pembuat dasar negara kita dulu yang dikatakan dengan istilah membangun “Karakter Bangsa”. Dan sayangnya pemimpin2 kita yg sekarang kurang menyadarinya. Terlalu sibuk mengurusi krisis kali yah.
    So mari kita anak2 muda yg kreatif menciptakan satu karakter nasional buat kita. Yg terbaik tentunya.

  10. Hatta (salah satu founding fathers) pernah berkata sebuah bangsa terbentuk bukan karena didasari atas persamaan asal, bahasa dan agama. Melainkan karena kesadaran untuk bersekutu, yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Kesadaran bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama. Pendeknya: karena riwayat yang tertanam dalam hati dan otak kita.

    Mendi, tulisan yang menarik untuk membakar semangat!
    Sekedar berbagi. Apakah kesadaran kebangsaan Hatta masih ada di dalam hati dan otak kita serta generasi muda penerus bangsa ini? Jika tidak jangan dulu bicara Brand of Indonesia! Nanti berubah jadi nama korea, “Samjugbong” (sama juga bohong).

  11. mungkin sudah saatnya Indonesia ini memiliki program ‘branding’ yang lebih oke, kalau kita liat saja malaysia, promosinya mereka di media mulai beragam dan kalau boleh memakai istilah ‘jor-joran’, banyak program acara yang khusus mengenai malaysia, seperti di discovery channel, kalau gak salah ada program yang namanya ‘flavours of malaysia’, ‘enigmatic malaysia’, lalu ada channel tv AFC yang banyak orang malaysia, jadi tv yang merupakan salah satu media yang efektif, saya rasa sudah seharusnya dimanfaatkan oleh kita, harus lebih kreatif (walau ada juga iklan visit Jakarta). Lalu seniman-seniman juga harus lebih dihargai, jadi mereka tidak pindah ke negeri seberang, karena disana mereka lebih dihargai :)

  12. Sudah jarang sekali saya ketemu artikel yang ditulis dalam hampir 99% Bahasa Indonesia, tanpa pencampuradukan dengan kata-kata Bahasa Inggris dengan cara sembrono dan sembarangan (biasanya kalo baca majalah anak-anak muda tuh, gaya bahasanya amburadulllll…)

    Terima kasih buat artikelnya. Menarik dan gampang dimengerti :)

  13. Bisakah Malaysia complain penggunaan nama Hang Tuah pada kapal perang atau jalan di Jakarta Selatan? Bisakah cwiemie Malang dicomplain Cina karna mie adalah makanan asli Cina yang kita ketemui hampir disemua pelosok Jakarta! Hampil 50% penduduk Malaysia etnik Melayu berasal dari Indonesia yang dulu kawasan ini disebut Nusantara, mereka pindah dengan juga membawa latar belakang budayanya seperti rumah tradisional di Negeri Sembilan sama seperti di Minangkabau karna nenek moyangnya berasal dari sana. Johor atau Kelantan nenek moyangnya orang Bugis apabila mereka membuat keris dengan hulu Bugis dan dinyatakan buatan Malaysia apa salah? Penelusuran Metro TV mengenai masalah Reog ternyata masyarakat pembuatnya berasal dari Ponorogo yang sudah berimigrasi ke Malaysia! Hal ini bisa terjadi kalau karya transmigran etnis Bali di Lampung atau Sulawesi Tengah karya ke ” Balian ” nya digugat orang Bali? Harus dibedakan yang mana suatu karya merupakan cerminan pribadi seseorang atau mewakili embel2 Indonesia yang notabene adalah organisasi administratif Negara! Banyak pelukis Indonesia melukis karyanya diluar negeri terkadang melampirkan nama kota ( mis: Paris ) kemudian si pelukis yg orang Indonesia dapat dianggap tidak mengungkapan asal muasalnya? Masalah kedua negara haru dilihat secara jernih, banyak orang memanfaatkan issue2 murahan agar kedua negara membuat jarak satu sama lainnya. Malaysia dapat lebih banyak menyediakan lapangan kerja bagi warga negara Indonesia yang UMR nya lebih tinggi, Universitas2 Negeri banyak menampung mahasiswa Malaysia yang belajar disana dengan biaya dollar dan ini membuat perguruan tinggi dapat mensubsidi silang! Masyarakat perminyakan PETRONAS dahulu belajar di Akademi Perminyakan di CEPU, Petronas mempunya SBPU di negara2 Asean bagaimana Pertamina apakah mampu? Jawaban itu ada pada diri Anda. Bersukurlah orang utan di Borneo ( Kalimantan versi kita ) dapat leluasa mundar-mandir ke kedua negara tanpa ada yang komplain, sehingga wajahnya muncul diiklan di Malaysia tanpa ada yang protes ( Amin ). Kalau ingin memelihara dan melestarikan budaya kita harus sering ditampilkan dan dilestarikan. Lagu Rasa Sayange (anonim) baru didengarkan di TV setelah adanya pertentangan mengenai hal tersebut, Budaya adalah masalah kesinambungan bukan instan seperti yang selama ini kita kenal. Kalau istri Anda cantik namun disia-siakan jangan menyesal kalau ada yang meliriknya. Pernah lihat batik Malaysia? apa bedanya dengan batik Indonesia? atau batik peranakan apakah kepunyaan warga Cina di Malaka? Orang2 Indonesia berapa persenkah yang dapat membedakannya? Semua ini kembali kesalahan yang kita buat , seperti contoh dalam kasus batik dulu oleh masyarakat tidak disetujui batik printing jadi hanya tulis atau cap maupun gabungan keduanya. Namun pemerintah Indonesia mem perkenakannya ya siapa juga sekarang bisa klaim batik saya yang buat kok, karna tidak ada lagi ekslusifitasnya. Semua ini kembali ke pemerintah sebagaimana mereka berperan dalam melindungi karya anak bangsa.

  14. STOP BERBANGGA MENJADI MANUSIA INDONESIA tanpa MELAKUKAN APA-APA.

    kebanggan yang “cuma omong doang” justru menghancurkan apa yang kita banggakan.

  15. anda layak dapat BINTANG..!

  16. “Rasa ingin menjadi sesuatu, berbeda dengan bangsa lain, tapi memiliki kesamaan, kebersamaan, tenggang rasa, dan saling menghormati, dan saling memiliki dengan sesama bangsa harus terus dicari dan diciptakan dalam berbagai kesempatan. Ini adalah modal dasar investasi kita untuk “The Brand Called INDONESIA” ”
    Oke banget tuh! Hahah.. lagi smangat buat mpertahankan budaya nih… ^___^ Dukung negara sndiri donk! NKRI!

  17. investasi? modal mungkin lebih pas. investasi ataupun modal, keduanya begitu massif dalam dunia (per)ekonomi(an), salah satunya iklan pariwisata.

    mengenai ““Anak-anak sekarang sudah melupakan kebudayaan kita sendiri, contohnya mereka banyak yang tidak tahu cerita Sri Rama, (Shinta),… (dst, dst)”, dalam pandangan saya kata “kita” bisa menunjuk pada nasionalitas, atau pada ke-timur-an.

    meski di sini dapat dipersoalkan tentang orisinalitas, namun dalam pernyataan tersebut memiliki sebuah tilikan penting yaitu “melupakan” dan “tidak tahu”. menurut saya, anak muda tidak melupakan cerita Sri Rama, karena mereka sebenarnya mungkin tidak tahu (tidak ada yang memberitahu). yang satu berkaitan dengan ingatan, yang lain berkaitan tentang melestarikan/mencari ingatan.

    sependapat dengan anda, namun dalam hal yang berbeda: si cawapres tadi merasa diri sebagai orang timur namun tidak berusaha melestarikan ingatan identitas ke-timur-annya, malah mengritik anak muda dengan kata-kata “me-lupa-kan”. bagaimana si anak muda akan tahu kalau tidak (di)kenal(kan). jadi, pernyataan si cawapres dalam kadar tertentu menunjuk pada dirinya sendiri. itu pun kalau dia tahu (jadi tolong beliau di-ingat-kan). walah

  18. Suatu karya seni budaya merupakan cerminan pribadi seseorang , apabila dia sudah tampil sebagai “karya” nasional seakan-akan merupakan bagian kekayaan nasional/bangsa. Nasional atau bangsa dikemas dalam suatu sistim administratif negaranya. Bagaimana satu negara mengidentifikasikan kekayaan intelektual itu merupakan kepunyaan negara? Dahulu keraton mengundang para empu, pande agar berkarya dikeraton , namun kelak karya2 itu keluar atas nama penguasa tersebut. Kasus Malaysia merupakan kasus dari hasil2 karya yang terkadang telah muncul sebelum Rep.Indonesia muncul; sebagai contoh lagu Rasa Sayange telah ada pada tahun 1930 an, dan kita tahu kawasan Nusantara terikat dalam kesatuan etnik dan sama2 dijajah Belanda dan Inggeris. Jadi kita melihat bahwa sebenarnya karya2 budaya itu mudah terserap suatu kawasan atau diserap oleh masyarakat lain. Sebenarnya kalau kita evaluasi ini lebih merupakan masalah politik, bukan HAKI. Kalau Unesco mencanangkan Keris merupakan warisan budaya Indonesia apakah senjata2 keris dimasyarakat ASEAN dapat kita protes atau berkeberatan untuk itu? Persoalan ini dibutuhkan pemikiran dan pengetahuan oleh orang2 yang merasa dirugikan, bukan diserahkan kepada yang namanya eminent person yang tidak mengerti masalah budaya misalnya, main langsung bicara ditingkat nasional. Hal ini harus didudukan dengan proposional banyak sekali aspek 2 lain yang terkait dan permasalahan ini harus dikaji teliti sebelum mengambil keputusan.

  19. Pendet Malaysia
    TEMPO Interaktif, Sabtu, 29 Agustus 2009

    Putu Setia

    Geger tari Pendet, yang diklaim Malaysia sebagai tari tradisionalnya, sudah menyurut. Penyelesaiannya pun khas Melayu. Pemerintah Malaysia mengaku tak tahu urusan itu, karena promosi pariwisata di kerajaan tersebut dikerjakan swasta. Adapun pihak swasta yang membuat tayangan promosi itu sudah meminta maaf karena mereka mendapatkan gambarnya dari pihak ketiga. Sedangkan pihak ketiga, yang entah siapa, diduga mendapatkan bahan dari sekeping VCD yang dibelinya di Bali-bisa jadi pula VCD bajakan, yang memang mudah sekali diperoleh di kaki lima.

    Ya, urusan selesai, mau diapakan lagi? Tari Pendet adalah klaim yang kesekian kali oleh Malaysia terhadap budaya Indonesia. Sebelumnya ada reog Ponorogo, kain batik, wayang kulit, angklung, keris, beberapa lagu. Urusan non-budaya juga ada, misalnya klaim terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan. Hebatnya, Malaysia selalu menang. Artinya, mereka berhasil mendapatkan publikasi tanpa menerima hukuman apa pun, sedangkan di Indonesia, orang hanya teriak-teriak di jalanan sambil mengacungkan tangan: ganyang Malaysia.

    Ketika sejumlah seniman Bali bersedih atas klaim tari Pendet ini, saya sempat tertawa dalam hati. Sebab, begitu bodohnya Malaysia mengklaim sesuatu. Begitu banyak jenis tari di Bali, baik yang tradisional maupun setengah tradisional, kenapa memilih tari Pendet? Hanya orang idiot yang bisa diyakinkan bahwa tari Pendet milik orang non-Bali. Jika promosi pariwisata itu dilakukan dengan cara-cara orang idiot, memangnya ada yang percaya? Apa turis yang mau disasar Malaysia adalah turis yang bloon? Jadi memprotes kerjaan orang bodoh, ya, sama juga bodoh.

    Tari Pendet awalnya tari sakral, persembahan untuk Hyang Widhi, Tuhan dalam sebutan orang Bali. Meskipun diprofankan oleh seniman tari angkatan Nyoman Reneng, tetap saja bau sakralnya ada. Dan terus terang, irama dan busana tari itu tak cocok-atau bahkan bisa disebutkan bertentangan-dengan akidah Islam, agama mayoritas di Malaysia. Karena itu, saya tak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah “negara kerajaan” yang berbasis ajaran Islam berani mengklaim kesenian dari khazanah budaya Hindu yang wanita penarinya menonjolkan aurat.

    Saya menduga, Malaysia telah kehilangan jati diri, setidaknya kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan bangsanya sendiri, terutama dalam hal budaya. Karena tak percaya akan modal bangsanya, negara itu lantas mengklaim berbagai kekayaan budaya negeri jirannya, Indonesia. Nah, kenapa kita justru ribut? Mestinya kita kasihan dan membantu Malaysia dengan menyodorkan lebih banyak lagi budaya kita untuk mereka klaim. Setelah batik, reog, wayang, angklung, Pendet, ya, jika perlu, nanti kita sodorkan jaipong, tayub, bedoyo, dan banyak lagi. Lalu, kita tawari mereka mengklaim Pancasila sebagai dasar negara, kemudian merah putih sebagai bendera bangsanya, dan siapa tahu nanti terus mengklaim Presiden SBY sebagai kepala negaranya.

    Nah, setelah itu, kita tinggal mengundang para sultan di Semenanjung Malaysia ke Senayan dan Ketua MPR RI membacakan maklumat: “Dengan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa, Semenanjung Malaysia resmi sebagai Daerah Istimewa Khusus Malaysia bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sarawak resmi menjadi Provinsi Kalimantan Utara.”

    Inilah sejatinya yang diniatkan Mahapatih Gajah Mada ketika mengucapkan Sumpah Palapa. Kini kita mewujudkan sumpah itu tanpa bau mesiu, karena dibukakan jalan damai: mulai dari klaim-mengklaim budaya. Selamat datang, Malaysiaku, Indonesia yang sebenarnya.

    •••

  20. Hey semua, hmmm membaca artikel ini saya jadi penasar. Kira2 kalau rekan-rekan desain grafis Indonesia dikumpulkan terus disuruh membuat versi ‘Brand’ material untuk Indonesia jadinya seperti apa ya hasilnya??? Amat sangat penasaran! Karena andaikata orang-orang umum melihat hasil2 karya buatan rekan2 versi “brand’ Indonesia,,,, saya sangat yakin mereka (dan kita semua) pasti bakal tercengang dengan seberapa hebat kemampuan desain kita untuk Indonesia. Kali-kali aja pemerintah melihat dan kemudian diptenkan untuk ‘brand’ resminya Indonesia kan? hehehe… just wondering

  21. Malaysia tidak pernah klaim Tari Pendet tapi menampilkan gambar2 penari Pendet diiklan Visit Malaysia , ada beda bukan? Lagu kebangsaan Malaysia diklaim menjiplak ( Lokananta) sebagai rekaman Indonesia sekitar thn.1956, namun Krisbiantoro punya rekaman lagu Malayan Moon (terang bulan ) karaya Paul Lombard, lagu tsb sudah ada sejak tahun 1936. Apa kita akan ribut dengan saling mengklaim produk2 lintas-kultural?
    Tuntut ilmu , belajar, telaah, analisis itu pedoman kita bukan dengan gosip dikoran atau omongan dijalanan.

  22. Menampilkan tarian pendet secara visual sama juga “silent claim” mas. Pemerintahnya pasti tahu dan diam aja…so? Sudahlah stop pro dan kontra.

  23. mengutip dari:
    ‘Pemerintah Malaysia mengaku tak tahu urusan itu, karena promosi pariwisata di kerajaan tersebut dikerjakan swasta. Adapun pihak swasta yang membuat tayangan promosi itu
    sudah meminta maaf karena mereka mendapatkan gambarnya dari pihak ketiga. Sedangkan pihak ketiga, yang entah siapa, diduga mendapatkan bahan dari sekeping VCD yang dibelinya di Bali–bisa jadi pula VCD bajakan, yang memang mudah sekali diperoleh di kaki lima.’

    Kalau pemerintah malaysia sadar kalau tari pendet tersebut bukan merupakan tari tradisional mereka, mengapa pada saat promosi pariwisata itu dibuat & akan ditayangkan oleh pihak swasta tetap mereka (pemerintah malaysia) approve ya, posisi pemerintah malaysia sebagai ‘klien’ bukan ya??

  24. Alasan kenapa Malaysia maling budaya Indonesia, karena di Indonesia banyak banget hal yang bisa diambil, maklumlah Indonesia kan multi-cultural!
    Tapi apa coba yang mau Indonesia curi dari Malaysia?
    Budaya Maling-nya??
    Hahaha!
    Malingsia!

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly