Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Indonesia: Negeri Tanpa Merk

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) dan KOMPAS
9 Juli 2008

Indonesia adalah negeri tanpa merk. Padahal, merk atau brand sangat menentukan citra negeri ini.

Di era persaingan global sekarang ini, merk sangat penting dalam strategi pencitraan dan pemasaran supaya orang bisa tahu keunikan negeri ini: apakah sebagai tujuan wisata, pusat produksi barang tertentu, atau tempat yang menguntungkan untuk investasi.

Ahli branding Randal Frost mengatakan, “Bayangkan Prancis tanpa mode, Jerman tanpa produk mobil mewah, dan Jepang tanpa produk elektronik yang menjadi keunggulannya dari bangsa lain”.

Prancis, Jerman dan Jepang adalah contoh negeri yang bisa mencitrakan dirinya berbeda dengan bangsa lain. Prancis identik dengan dunia fashion. Jerman dengan Mercedes Bentz. Jepang dengan Sony, Toshiba, atau LG.

Negara-negara tetangga juga sudah lebih baik mencitrakan dirinya. Malaysia dan Singapura telah berhasil membangun identitas nasionalnya dan menjualnya dengan gegap gempita. Dengan slogan “Malaysia is truly Asia”, negeri jiran itu sukses mencitrakan diri sebagai negara yang memiliki resort yang indah dan negara dengan multikultural yang rukun.

Hampir tiap bulan wartawan-wartawan Indonesia diundang ke Kuala Lumpur, Johor atau Genting oleh Badan Pelancongan Malaysia. Mereka pun menuliskan laporannya di media masing-masing bagaimana indahnya Kuala Lumpur dilihat dari puncak Menara Petronas, enaknya “mie rebus Haji Wahid di Johor” atau bagaimana maraknya suasana Genting, pusat perjudian di negara berpenduduk mayoritas Muslim itu. Semuanya diagendakan untuk menarik perhatian turis agar berkunjung ke Malaysia.

Sementara Singapura dengan slogan “Uniquely Singapore” juga berhasil membangun merk-nya sebagai surga untuk belanja di Asia.

Orang-orang Indonesia, apalagi pada saat liburan sekolah sekarang ini, tumplek blek ke Negeri Singa itu karena terpincut iklan “Singapore`s Great Sale”. Tiket pesawat dibuat murah, dengan harapan sesampainya di negara kota itu, para turis bisa menghabiskan uang mereka untuk belanja dan membayar biaya akomodasi yang mahal.

“Ini ironi yang merisaukan. Saat kita mengkampanyekan `Visit Indonesia year 2008`, pers nasional mengajak liburan ke negeri tetangga,” kata Sekjen PR Society of Indonesia, Ahmed Kurnia Suriawidjaja.

CUKUP BAGUS

Ahmed Kurnia menyebut kegagalan bangsa ini dalam pencitraan dirinya. Padahal, dulunya, merk Indonesia cukup bagus sebagai “Keajaiban Asia” (Asia Miracle) yang dipuja-puji lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia atau Badan Pangan PBB. Akibat krisis ekonomi tahun 1998, semuanya terpuruk. Citra dan merk Indonesia hancur.

Jadilah, Indonesia negeri tanpa merk. Tidak ada satu pihak pun yang memikirkan branding, karena semua energi bangsa terkuras menghadapi krisis. Keperluan untuk pencitraan terkalahkan oleh tekanan untuk segera keluar dari krisis dan memulihkan perekonomian nasional.

Oleh karena Indonesia tidak sempat memikirkan citra, maka pihak lainlah yang memberikan merk kepada negeri ini. Ketika dunia sedang memerangi terorisme, maka Indonesia dicap sebagai negara pelindung teroris (harboring terrorism). Transparancy International memberi label Indonesia sebagai salah satu negara terkorup.

Travel warning yang dikeluarkan Amerika Serikat dan Australia memberi stigma Indonesia sebagai negara tidak aman dan berbahaya. Sementara pegiat HAM internasional “menggoreng” kasus terbunuhnya Munir dengan menuding Indonesia sebagai negara pelanggar hak asasi manusia dan membiarkan terjadinya pembunuhan politik.

Memang, belakangan ada upaya untuk kembali memikirkan perbaikan citra.

“Indonesia pernah membuat pencitraan, namun selalu berubah-ubah,” kata Ketua Indonesia Brand Entourage Handito Hadi Joewono.

Handito menyebut slogan-slogan yang pernah ada dikembangkan pasca lengsernya Soeharto, seperti “Indonesia, just a smile away”, “Indonesia, The color of life”, “Indonesia endless beauty of diversity” dan “Celebrating 100 Years of National Awakening”.

“Tapi upaya itu sepertinya `gak nendang`,” katanya.

“Gak nendang” adalah istilah gaul untuk menyebut sesuatu yang tidak mengena sasaran atau sesuatu yang tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

CITRA BARU

Handito menekankan pentingnya dikembangkan citra baru atau “re-branding of Indonesia”. Citra negeri yang merosot merupakan pendorong paksa perubahan merk Indonesia.

Ia mengatakan saat ini terjadi krisis pencitraan atau “brand crisis”. Untuk itu diperlukan sebuah “re-branding” untuk menciptakan citra Indonesia baru.

Dalam istilah hukum dikenal adanya “rehabilitasi nama baik” berupa dipulihkannya nama baik seseorang yang terbukti tidak bersalah atas kasus hukum tertentu.

“Rehabilitasi nama baik merupakan contoh kongkrit dari re-branding,” katanya.

Masalahnya, mau diberi merk apa Indonesia ke depan?

Apapun merknya, yang penting brand Indonesia itu merupakan keunggulan bangsa Indonesia yang unik dan tidak dimiliki bangsa lain. Begitu juga apakah Indonesia itu akan dicitrakan sebagai tujuan wisata, penghasil produk unggul tertentu, atau tempat investasi yang baik, adalah subyek untuk diputuskan oleh semua stakeholders bangsa ini.

Intinya Indonesia perlu re-branding. Sampai kapan negeri ini tanpa merk?(*)

COPYRIGHT © 2008

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. sebenarnya sudah ada.. namun kurang gaungnya..
    Namanya “Branding Indonesia” pendukungnya cukup banyak dari kalangan pemerintah dan swasta.

    Sedangkan “Visit Indonesia” lebih mengarah ke destination brand. Dan ini merupakan prakarsa untuk meningkatkan industri pariwisata.

    Pelan tapi pasti Indonesia akan menjadi emerging world-creative source.

  2. bukankah visit indonesia merupakan salah satu upaya untuk membranding indonesia?

  3. visit indonesia merupakan salah satu kesempatan yang bagus u/ me-re-branding indonesia, menunjukkan identity Indonesia. yang agak disayangkan -menurut saya- , hal ini agak meleset, dengan tagline celebrating 100th national awakening. karena saya rasa diferensiasi Indonesia bukan di national awakening ataupun sejarah kebangsaan (mungkin tagline ini lebih cocok u/ internal bangsa Indonesia). bagi turis asing, saya rasa akan lebih tertarik dengan tagline “Indonesia endless beauty of diversity” dan negara kepulauan. mungkin bangsa kita masih banyak yang belum branding-minded. jadi, saya rasa, kali ini agak salah strategi.

  4. branding memang sangat dibutuhkan bangsa ini, namun tampaknya berbagai upaya — seperti program VIY — belum terlalu menggigit. Sebagaimana layaknya professional branding, dibutuhkan konsistensi dan kontinuitas serta dukungan seluruh lapisan masyarakat. Selain itu dibutuhkan program lebih spesifik yg lebih menjual. VIY rasanya terlalu luas, dan anda benar, nuansanya lebih ke pariwisata. Padahal sangat banyak potensi negara ini yang perlu dikedepankan misalnya kemampuan sdm pada berbagai bidang. (Bukankah menjual potensi alam hanya membuat kita seperti gadis yang sedang molek menjajakan diri) :-D
    Namun yg paling penting adalah membangun kepercayaan diri bangsa dalam percaturan internasional. Menurut saya, saat ini kita butuh lebih banyak bertarung ke luar lebih dulu sambil menunggu bangsa ini menghargai dirinya sendiri.

  5. aku bangga jadi orang Indonesia

  6. putra ingin menjadi pahlawan indonesia

  7. Bagaimanapun keadaan Indonesia, aku tidak akan menghilangkan rasa nasionalisku seperti menghina-hina bangsa sendiri. Sejelek apapun image negara ini, tapi aku tak akan mengungkitnya dalam session apapun.
    Hanya orang tolol dan bodoh yang mampu menghina bangsanya sendiri

  8. Saya harap perkembangan pariwisata Indonesia semakin membaik, agar semakin banyak tourist yang datang ke negara tercinta kita ini.

  9. Jadilah negara yang mandiri !

  10. Indonesia maju tarus pantang mundur
    kalo mundur nabarak tembok
    Senggol ………bacok

    kobarkan api semangat pemuda !
    MERDEKA………!!!!!!!!!

  11. Indonesia adalah negara kita, bahkan untuk urusan siapa yang akan memimpin negara ini pun adalah tanggung jawab kita.
    Saya ingin tahu, mungkinkah presiden kita sekarang akan kembali lagi menjadi orang nomor satu di negeri ini?
    Bagaimana pendapat Anda?

  12. walaupun negeri ini ga punya merk, saya selalu dukung negeri ini dalam hal yang positif..

    kalaupun mau membuat merk, harus beda dengan yang lain. mungkin visit indonesia lebih di utamakan yang iklannya tidak hanya bali saja, kan indonesia punya banyak tempat wisata???

  13. Hmm..!! Kalo saja pemerintah memperhatikan kekayaan yang terkandung di Bumi Periwi ini..!!

  14. Merah Putih adalah Indonesia, Merk adalah untuk di jual
    jadi jangan jual Indonesia ini!

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly