Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Histeria! Komikita - Membedah Komikita Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan

Histeria! Komikita - Membedah Komikita Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan
Martabakomikita, Bandung (Hafiz Ahmad, Beny Maulana, Alvanov Zpalanzani)
Penerbit Elexmedia Komputindo, 2006
270 Halaman

Kesan awal yang paling menarik dari buku ini adalah, pertama, gaya bahasa sehari-hari yang segar, mengesankan sebuah pembicaraan santai antar-kawan. Tampaknya pilihan gaya bahasa disesuaikan dengan target pembaca yang disasar oleh buku ini, penggemar komik usia muda. Kedua, ilustrasi untuk mendukung dan memperjelas teks dalam bentuk komik. Ilustrasi seperti ini tentu saja merupakan ‘santapan’ menyenangkan yang tak mungkin dilewatkan oleh para pembaca yang penggemar komik. Pembahasan tentang komikita dalam buku ini cukup luas dan memperkaya wawasan.

Komik atau comic adalah istilah yang biasa digunakan di Amerika dan Inggris, adapun di Perancis komik disebut Bande dessine, Di Jepang disebut Manga, di Korea disebut Manhwa, dan di Hong Kong disebut Manhua. Oleh karena itu penulis buku ini – kelompok Martabakomikita, Bandung - menggunakan istilah “Komikita” sebagai pembeda antara komik karya anak negeri Indonesia dengan komik “luar negeri”. Upaya ini tentu menarik, karena menyiratkan sebuah kebanggaan dan kepercayaan diri terhadap identitas komik Indonesia – terlepas dari kesulitan mencari ciri khas komik Indonesia. Kelompok Martabakomikita, Bandung mendefinisikan komikita sebagai komik yang dibuat oleh orang Indonesia dan diterbitkan di Indonesia – definisi ini relatif cukup sederhana, namun ampuh, mengingat demikian banyak pengaruh gaya komik yang digunakan oleh para pembuat komikita – mulai dari gaya manga, gaya Amerika, maupun gaya Eropa yang bersih. Perdebatan untuk menciptakan rumusan yang tepat tentang komikita dibahas cukup baik dalam buku ini. Salah satu keberatan kelompok Martabakomikita ini adalah ketika banyak orang menganggap bahwa komik bergaya manga bukanlah komikita, sementara bersikap lebih permisif terhadap komik yang menggunakan gaya Amerika.

Pembahasan diawali dengan sebuah pembelaan bagi komikita dalam menghadapi kritik-kritik dari masyarakat umum yang menyatakan bahwa komikita adalah bacaan yang tidak mendidik. Martabakomikita, Bandung, sebagai penulis buku ini menjelaskan bahwa komikita adalah sebuah media, atau sebuah kendaraan, yang bisa diisi oleh pesan jenis apapun. Dengan kata lain, janganlah menyalahkan kemasan, kendaraan, atau media, ketika isi pesannya buruk. Selain itu kawan-kawan Martabak Bandung menjelaskan bahwa komikita adalah bacaan yang ditujukan untuk pembaca dari berbagai tingkatan usia. Ada komikita untuk anak, komikita untuk remaja, dan ada pula komikita khusus untuk orang dewasa. Oleh karena itu janganlah sampai tejadi komikita dewasa dibaca oleh anak.

Salah satu babak dalam buku ini membahas tentang timeline sejarah Komikita. Rincian timeline adalah sebagai berikut:

Periode Prasejarah Komikita (Komikita tradisional).
Mencakup Wayang Beber dan relief candi Borobudur. Kedua media ini dianggap sebagai sebuah media yang menggunakan bahasa visual yang cerdas, dimana dalam satu frame gambar terdapat beberapa dimensi ruang dan waktu sekaligus. Pada candi Borobudur tersebut, dalam satu frame relief misalnya, terdapat beberapa figur Sidharta tampil bersamaan untuk menceritakan secara sekuensial kejadian saat lomba memanah.

1930 – 1954: Komikita Moderen Generasi Pertama.
Generasi ini dimulai dengan pengaruh Belanda atau Eropa. Berbagai media massa Belanda memuat comic strip Flash Gordon, Tarzan, dan sebagainya. Kemudian Komikus Komikita Kho Wang Gie menciptakan tokoh Put On untuk ditampilkan di harian Sin Po sejak tahun 1930an. Tokoh Put On, seorang muda Tionghoa yang ceria dan jujur, namun selalu bernasib sial menjadi populer dan digemari oleh pembaca Sin Po.

1960 – 1970: Komikita Moderen Generasi Kedua.
Komikus generasi ini diawali dari Medan. Banyak karya komikus dari pulau Sumatera ini yang memberi wawasan baru tentang komikita. Menurut Martabakomikita, komikus Sumatera gambarnya bersih, dan diikuti dengan dokumentasi kesejarahan yang tervisualisasikan dengan baik. Beberapa pengamat komik seperti Marcel Boneff menganggap inilah jaman keemasan Komikita. Periode ini juga dicirikan oleh kekayaan genre komik yang berkembang: mulai dari komik wayang dan komik silat, komik hikayat dan legenda, komik anak, komik fantasi dan kepahlawanan, komik nasionalis dan komik remaja.

1995 – sekarang: Komikita Moderen Generasi Ketiga.
Selama kurang lebih 20 tahun (1975 – 1995) Komikita mengalami kemerosotan. Periode kemerosotan dimana dunia komik di Indonesia dikuasai oleh komik asing, khususnya komik Eropa dilanjutkan komik Jepang. Komik Eropa didominasi oleh si wartawan berjambul, Tintin. Kemudian juga Lucky Luke, Arad dan Maya, Asterix, Si Janggut Merah, dan sebagainya. Komik Eropa terbit dengan gambar yang bersih, detail, dan berwarna penuh. Sementara, menurut Martabakomikita Bandung, komik Indonesia sejenis Petruk dan Gareng, berusaha untuk bertahan di para pedagang asongan Arumanis. Akhir tahun 80an dan awal tahun 90an, komik Eropa menurun digantikan oleh komik Jepang dan Hongkong. Tiger Wong, Kung Fu Boy, dan Candy-Candy, adalah contoh sukses komik Asia yang masuk pasar Indonesia pada masa itu. Kelemahan dan kemunduran Komikita pada tahun 1975 hingga 1995 itu disebabkan terutama tidak adanya regenerasi komikus. Nampaknya hal ini terjadi karena komikus masih bekerja dalam sistem kesenimanan, bukan industri komik.

Baru pada tahun 1995 Komikita bangkit kembali, saat Pasar Seni ITB tahun 1995 dijadikan ajang penampilan komik Caroq (Studio QN) dan komik Kapten Bandung (Studio Awatar). Sementara di stand-stand Pasar Seni itu tersebar juga komik-komik indie dengan sistem xerografi, terutama para mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, maupun dari Solo. Setelah Pasar Seni Bandung itu, tahun 1997 diselenggarakan Pekan Komik Nasional oleh mahasiswa Sastra UI. Kebangkitan komikita, masih menurut Hafiz dan kawan-kawan ditandai oleh event-event komik tersebut.

Setelah Bab ini, masih dilanjutkan lagi dengan tulisan-tulisan lain dalam Bab 6 tentang Generation gap antara pembaca dan pencipta komikita. Bab 7 tentang formula identitas komikita, Bab 8 tentang Industri Komikita, Bab berikutnya tentang Industri Komik Dunia, Kemudian dilanjutkan dengan bab yang membahas tentnag karakter pembaca komikita. Dan terakhir tentang “Meracik Komikita”.

Kesimpulan
Bila melihat uraian isi buku Histeria Komikita di atas, maka tampaklah betapa lengkap buku Komikita tersebut. Buku ini memberi gambaran cukup lengkap tentang bagaimana menjadi komikus. Mulai dari teori, konsep, dan sejarah komik, hingga perihal teknis berisi tips untuk menjadi komikus handal dan peka terhadap pasar. Dengan buku yang sangat komunikatif ini tampaklah semangat kuat dari Margtabak Bandung untuk mengajak para komikus muda untuk mau berpikir dan berkarya Komikita sebagai sebuah industri komikita agar dapat menyaingi Jepang, Korea, atau manapun. Buku ini tidak saja berbicara pada tataran konseptual dan teoretik, namun juga pada tataran praksis, bagaimana pembaca dapat berkarya komikita dengan mempelajari keberhasilan komik-komik luar negeri.

Sayangnya penulis buku ini meniadakan periode selama 20 tahun, bahkan 25 tahun - sejak tahun 1970 hingga 1995. Penghilangan 25 tahun perjalanan komik ini memang disebutkan oleh Martabak Bandung karena pertimbangan bahwa periode itu adalah saaat Komikita mengalami kemunduran, dan pasar dikuasai oleh komik asing. Sesungguhnya penyusunan timeline di atas akan menjadi lebih rinci dan jelas ketika timeline yang disusun oleh kawan-kawan Martabak tidak menghilangkan 25 tahun periode komik itu, tetapi dengan menyebutkan periode tersebut sebagai periode suram, ataupun periode penjajahan komik misalnya.

Terlepas dari masalah periodisasi di atas, buku yang diterbitkan tahun 2006 ini adalah buku penting dan wajib dibaca oleh para komikus Komikita. Memang hal positif yang menggembirakan dalam dunia komkita adalah diterjemahkan dan diterbitkannya buku-buku yang membahas tentang komik. Jenis pembahasannya pun beragam, baik yang berangkat dari dimensi historis, seperti karya Marcel Boneff, dimensi teknis seperti karya Toni Masdiono, dimensi konseptual dan teknis seperti karya Scott McCloud, disamping dua buku karangan Martabakomikita Bandung ini. Penerbitan-penerbitan buku pembahasan komik merupakan representasi dari semakin seriusnya studi tentang komik di Indonesia – suatu hal yang memberi rasa optimis akan kemajuan komikita sekarang dan mendatang. Kini Komikita terbit semakin gencar di seluruh kota besar di Indonesia. Demikian pula dengan komik indie, baik dicetak hard copy maupun diterbitkan melalui dunia maya. Beberapa waktu yang lalu terbit komikita berjudul Alia yang tampil dengan edisi cukup mewah dan menarik. Nampaknya proses regenerasi komikita mulai berbuah positif. Tahap lebih lanjut untuk memastikan proses regenerasi komikus dan kemajuan komikita adalah menunggu munculnya perguruan tinggi Seni Rupa dan Desain yang secara eksplisit menyebut “Komik” sebagai salah satu peminatan khusus atau penjurusannya, atau bahkan sebagai program studinya.

Arief Adityawan S

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Bacaan pelengkap: a concise history of indonesian animation.

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. Lucu, terminologi ‘cergam’ malah di’tiada’kan, dan diganti dengan ‘komikita’ yg terasa ‘mengada-ada’. =P

  2. Memang betul mas Karna, sebagian ahli sepakat dengan istilah “Cergam” untuk menggantikan kata “komik”. Menarik juga kalau diantara para komikus bisa sepakat. trims utk comment nya

  3. Dulu sekali ketika saya ngajuin kembali penggunaan istilah ‘cergam’ tp diperkaya lagi sebagaimana Jepang dengan istilah ‘manga’ yg diperkaya hingga saat ini, saya malah menerima banyak tentangan di milis-milis komik lokal. Sekarang malah berebutan orang make istilah ini, sampai-sampai ada buletin di beri nama ‘Cergam’ segala. Saya jadi sering salah baca. Pengobatan ‘Ceragem’ dari korea kalo gak salah, menjadi ‘Cergam’. hahaha…

  4. cergam emang istilah dari pak Karna ya ??? lucu …. kalau ada buletin pake itu sih menurutku bukan karena itu dengar dari anda tapi memang itu itilah lama..jangan merasa kebakaran jenggot dong…

  5. cergam istilah dari zam nuldyen. wah, salah nangkap tuh. maksutnya, dulu dilupakan, entah kenapa tiba2 sekarang rame-rame mengusung hal yg sama. Bahkan Alia pun pake 100% Cergam asli Indonesia.

  6. ehmmm…
    aq bru tau komik neh…ceritaain dunk tentang komik indonesia yg sekarang lagi tertutupi ma komik - komik jepang yg lebih bnyak diminati orang indonesia

  7. Wow artikel yang bagus,

    Cergam, komik stip, perkembangan komik sudah sangat luas sekarang, munculnya novel grafis telah membawa komik pada taraf “fine art”, hingga saduran ke film-film, apa memungkinkan jika komik indo di sadur ke film? Caroq karya Torik, Urbaz karya Beng Rahadian bisa jadi film yang bagus lho, ato komik-komik grafis ala Eko Daging Tumbuh, perkembangan komik menjadi sangat luas sekarang…

    Seperti kata Scott McCloud, dunia yang tiada akhir…

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly