Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Exhibition | Art Infinitum

Pameran ini merupakan hasil kerja sama dengan 6 seniman: Jan Tyniec, Joel Singer, Linda Connor, Lonnie Graham, Made Wianta and Vladik Monroe.

Jumat, 13 Januari 2012
pukul 18.30 wita
Tonyraka Art Gallery, Jl. Raya Mas 86, Mas, Ubud, Bali.

Pameran akan berlanjut setiap hari mulai pukul 10.00 hingga 17.oo wita hingga 3 Februari 2012

Berikut pengantar pameran tulisan Arif Bagus Prasetya.

PHOTOGRAPHY: ART INFINITUM

Sesungguhnya, keunggulan fotografi yang paling tahan lama adalah bakatnya menemukan keindahan dalam yang bersahaja, yang tak ada apa-apanya, yang renta. Sekurang-kurangnya, yang real memiliki patos. Dan patos itu adalah keindahan. – Susan Sontag, On Photography

Ketika fotografi pertama, daguerreotype, ditemukan pada tahun 1800-an, ragam seni rupa yang paling utama adalah seni lukis. Pada era yang sering disebut piktorialisme, fotografer mulai berusaha menghasilkan karya foto yang menyerupai lukisan. Dalam upaya mendekatkan fotografi dan seni lukis, fotografer menggabungkan inovasi teknologis dan kreativitas melalui berbagai eksperimen pelik untuk membangkitkan efek mirip-lukisan, misalnya citra fotografis yang tampak seperti berkabut (soft focus).

Pada tahun 1888, George Eastman memperkenalkan kamera Kodak pertama yang menggunakan rol film, dengan slogannya yang terkenal, “Anda tekan tombol, selanjutnya urusan kami”. Sejak itu, fotografi memasyarakat. Dengan kamera yang mudah dioperasikan, semua orang dapat memotret dengan gampang. Kemajuan teknologi membuat urusan potret-memotret menjadi makin sederhana dan bisa dilakukan oleh orang awam sekali pun. Fotografi menjadi industri populer. Namun bersamaan dengan “industrialisasi” fotografi, muncul keprihatinan terhadap menurunnya mutu fotografi. Popularitas fotografi dirasakan merongrong standar artistik fotografi, karena fotografi semakin dipandang sebagai kesibukan mekanis yang tidak membutuhkan keterampilan. Sebagaimana diamati oleh editor American Amateur Photographer edisi Juli 1889, “Fotografi telah merosot ke level hiburan.”

Banyak fotografer merasa khawatir bahwa fotografi akan menjadi terlalu mekanis dan terseret makin jauh dari ranah seni, terutama menjauhi seni lukis. Kekhawatiran ini ikut mendorong berkembangnya fotografi sebagai ragam seni rupa otonom yang diakui dan sejajar dengan ragam-ragam seni rupa lainnya, seperti seni lukis dan seni patung.

Dalam rangka menyadarkan masyarakat bahwa fotografi adalah ragam seni, dan fotografer adalah seniman dan bukan sekadar tukang potret, fotografer kondang Amerika, Alfred Stieglitz, pada awal dekade 1900-an, mendirikan kelompok Photo-Secession dan menerbitkan majalah Camera Work untuk mempromosikan piktorialisme. Stieglitz meyakini bahwa “peralatan fotografis: kamera, pelat dan sebagainya merupakan instrumen yang fleksibel dan bukan sekadar tiran mekanis” (W. Kemp 1980). Para fotografer Photo-Secessionis kerap memanipulasi proses fotografis, terutama dengan berbagai trik cetak foto, untuk mencapai efek mirip-lukisan dalam karya mereka.

Paul Strand kemudian mencuatkan ragam “fotografi lugas” (straight photography), sebagaimana dicontohkan dalam karya-karyanya yang dibuat pada sekitar tahun 1916 tanpa menggunakan trik-trik manipulasi fotografis. Melawan piktorialisme atau fotografi artistik, Strand percaya bahwa fotografi mesti mencapai “obyektivitas absolut tanpa syarat” dengan menyelidiki karakteristik inherennya sendiri. Ia berhasil memadukan konsep abstraksi lukisan dan gagasan fotografi lugas non-manipulatif yang mengedepankan ketajaman gambar (sharp focus). Dalam ragam fotografi ini, kualitas artistik dicapai dengan menekankan metode penciptaan citra dalam kamera pada saat pemotretan dilakukan.

Sejak 1960-an, berkat upaya Museum of Modern Art (MoMA) New York, khususnya oleh Direktur Fotografi, John Szarkowski, fotografi beroleh status seni tinggi (high art) atau seni rupa murni (fine art). Fotografi menjadi diakui sebagai seni yang otonom dan otentik, sejajar dengan seni lukis, seni patung dan sebagainya. Status terhormat ini berbasis pada klaim tentang karya seni fotografi sebagai citra auratik Benjaminian. Menurut filsuf Walter Benjamin, “aura” karya seni terbentuk dari kekhasan dan keunikan yang menghasilkan kehadiran otoritatif karya seni. Dalam arti ini, karya seni fotografi adalah foto dengan keunggulan teknis dan orisinalitas artistik yang dipahami sebagai ekspresi unik pencipta individual.

Pada 1970-an, fotografi ikut meredefinisi “seni” ketika mulai menjadi salah satu “senjata” penting bagi seniman posmodernis di Barat untuk melawan paham seni modernis. Sebagaimana yang diamati oleh Abigail Solomon-Godeau (B. Wallis 1984), “Hampir setiap isu kritis dan teoretis yang dapat dikatakan terlibat dengan seni posmodernis, dalam arti tertentu, bisa ditemukan dalam fotografi.” Seniman posmodernis seperti Sherrie Levine, Cindy Sherman dan Victor Burgin, menggunakan medium fotografi untuk membeberkan ambivalensi fotografi: bahwa fotografi sama sekali tidak transparan, tidak bersih dari bentukan kultural, tapi serentak dengan itu terikat secara teknis dengan yang real. Fotografi posmodern mendefinisikan fotografer sebagai manipulator tanda dan bukan produsen benda seni, dan pemirsa sebagai pembaca aktif tanda dan bukan konsumen pasif keindahan artistik.

Pada 1980-an, fotografi mendapat tempat dalam instalasi video, media baru yang mengubah wajah “seni”. Kedatangan fotografi digital mentransformasi “seni” lebih jauh lagi. Bersama media baru dan Internet, penggunaan manipulasi citra dengan piranti digital menciptakan-kembali fotografi dan meredefinisi seni fotografi. Dengan kemajuan teknologi, kini fotografi dan videografi mulai menyatu, dan peleburan dua medium berbeda ini akan menentukan masa depan fotografi.

Linda Hutcheon (1989) melihat paradoks di jantung medium fotografi: fotografi dikendalikan oleh subyektivitas mata fotografer di satu sisi, dan obyektivitas teknologi kamera, realisme perekamannya yang seolah-olah transparan, di sisi lain. Meski dua kutub ini menurut Hutcheon sulit didamaikan, ia melihat adanya kecenderungan untuk mencurigai netralitas ilmiah teknologi perekaman fotografis. Sebagaimana yang diamati D. Davis (1977), “Foto bukan lagi jendela dunia, yang melaluinya kita melihat hal-ihwal seperti apa adanya. Alih-alih, foto adalah filter yang sangat selektif, yang dipasang di sana oleh tangan dan pikiran tertentu.”

Menampilkan karya enam seniman yang bekerja dengan medium fotografi, Pameran Art Infinitum mengambil posisi bahwa justru karena paradoksnya, lantaran adanya jurang maha-dalam antara subyektivitas mata fotografer dan obyektivitas teknologi kamera, fotografi memiliki ketakterbatasan sebagai seni yang terus-menerus meredefinisi dirinya sendiri, dan sekaligus cara kita dilihat maupun cara kita melihat dunia dan diri kita sendiri. Kecuali satu seniman Indonesia (Made Wianta), pameran ini melibatkan seniman Barat (Jan Tyniec, Linda Connor, Lonnie Graham, Joel Singer, Vladik Monroe) yang tentunya lebih akrab dengan wacana dan sejarah fotografi, medium yang lahir dan mencapai kedewasaannya di Barat. Sekelumit sejarah dan wacana fotografi dipandang perlu dikemukakan sebagai latar-belakang, mengingat pameran ini berlangsung di Indonesia, di mana sejarah dan wacana fotografi kurang dikenal oleh publik seni rupa, bahkan oleh kalangan perupa dan fotografer sendiri.

Pameran Art Infinitum menyajikan fragmen kecil dari fotografi sebagai bentuk seni yang terbatas, tetapi mengandung ketidakterbatasan dalam dirinya. Sebentuk seni yang berevolusi sepanjang waktu. Fotografi sebagai art infinitum.


PHOTOGRAPHY: ART INFINITUM*

At the time the daguerreotype was invented in the 1800s, painting was the primary art form. In an era that is often referred to as pictorialism, photographers began to make their photographs look like paintings. In their efforts to bring photography closer to painting, photographers combined technological innovation with creativity through various messy experiments in order to achieve soft focus and painterly effects, such as hazy light.
In 1888, George Eastman introduced the first Kodak camera that contained film-roll with the famous slogan, “You press the button, we do the rest”. Since then, photography has never lost its popularity. It seemed that the first easy-to-use camera had allowed everyone to take pictures easily. Technical advances had made taking photographs ever simpler and enabled general public to participate in the business. Photography became popular industry. But along with the “industrialization” of photography, there was growing concern about qualitative decline of photography. It was perceived that the popularity of photography had undermined the aesthetic standards of photography, because photography was increasingly seen as a mechanical activity that required no skill. As the editors of American Amateur Photographer(July 1889) observe, “Photography has been degraded to the level of an amusement.”
Many photographers feared that photography was too mechanical and drifted further and further away from the realm of art, especially from painting. This fear had contributed to the development of photography as a recognized art form on a par with other art forms, such as painting and sculpture. In an effort to make people realize that photography was an art form in its own right, and that photographers were artists and not simply people shooting snapshots, the famous American photographer, Alfred Stieglitz, in the early 1900s founded the Photo-Secession as well as the magazine, Camera Work, to promote pictorialism. Stieglitz believed that “photographic equipment: the lens, the plates and so on constitute a flexible instrument and not a mere mechanical tyrant” (W. Kemp 1980). The Photo-Secessionist photographers often manipulated photographic process, especially by employing a wide variety of printmaking tricks, to achieve painterly effects in their photographs.
Then Paul Strand promoted “straight photography”, as exemplified in the photographs he made around 1916 without using any tricks of photographic manipulation. Against pictorialism or artistic photography, Strand believed that photography should find its “absolute unqualified objectivity” by investigating photography’s own inherent characteristics. He had successfully combined the concept of painterly abstraction with the idea of straight, sharp focus, photography. In this type of photography, artistic quality was achieved by emphasizing methods of creating the image in the camera at the moment of exposure.
Since the 1960s, thanks to the efforts the Museum of Modern Art (MoMA) in New York, especially its Director of Photography, John Szarkowski, photography has obtained the status of high art or fine art. Photography has become recognized as singular, authentic, work of art on a par with painting, sculpture and other art forms. This prestigious fine art status was based on photography’s claims to Benjaminian “aura”: photography as auratic image. According to Walter Benjamin, “aura” comprised those qualities of singularity and uniqueness which produced the authoritative presence of the original work of art. In this sense, “art photography” refers to photographs endowed with technical virtuosity and artistic originality, understood as the unique expression of individual author-photographer.
In the 1970s, photography contributed to the redefinition of “art” when it began to become one of significant “weapons” for postmodernist artists in the West in their struggle against the notions of modernist art. As Abigail Solomon-Godeau observes, “Virtually every critical and theoretical issue with which postmodernist art may be said to engage in one sense or another can be located within photography” (B. Wallis 1984). Postmodernist artists like Sherrie Levine, Cindy Sherman and Victor Burgin used the photographic medium to expose photography’s ambivalence: Photography is in no way transparent, not at all clear of cultural formation, yet it is technically tied with the real. Postmodern photography defines the photographer as more the manipulator of signs than the producer of an art object, and the viewers as more the active reader of signs than the passive consumer of aesthetic beauty.
In the 1980s, photography found a place in video installations, a new media that transformed “art”. The arrival of digital photography transformed “art” even further. Along with other new media and the Internet, the use of image manipulation with digital devices has reinvented photography and redefined the art of photography. As technology advances, photography and videography are becoming one, and the melding of the two different media will determine the future of photography.
Linda Hutcheon (1989) see paradox at the heart of the photographic medium: photography is controlled by the subjectivity of the photographer’s eye on the one hand, and by the objectivity of the camera’s technology, its seemingly transparent realism of recording, on the other hand. According to Hutcheon, these two poles are difficult to reconcile. Nevertheless, she sees the trend toward a suspicion of the scientific neutrality of photographic recording technology. As D. Davis (1977) observes, “Photograph has ceased to be a window on the world, through which we see things as they are. It is rather a highly selective filter, placed there by a specific hand and mind.”
Featuring the works of six artists working with photography, the current exhibition, Art Infinitum, take the position that it is precisely because of its paradox, because of the abyss between the subjectivity of the photographer’s eye and the objectivity of the camera’s technology, photography has something of infinity as an art that continually redefine itself as well as the ways in which we are seen and see ourselves and the world. With the exception of one Indonesian artist (Made Wianta), this exhibition involves Western artists (Jan Tyniec, Linda Connor, Lonnie Graham, Joel Singer, Vladik Monroe) who are certainly more familiar with the history and the discourse of photography, a medium that was invented and has reached its maturity in the West. Given the fact that the exhibition takes place in Indonesia, where the history and the discourse of photography is less known by the art lovers, even by artists and photographers, it is important to put a brief account of the history and the discourse of photography in the background of the exhibition. Art Infinitum presents photography as an infinite included into a finite: an art form that continually evolving through the time. Photography as an art infinitum.

* writing by Arif Bagus Prasetya (curator, alumnus of the IWP University of Iowa, USA.)

Jan Tyniec: Antara Fotografi Lugas dan Fotografi Artistik

Jan Tyniec mendekripsikan fotografinya sebagai berikut:

Dalam karya-karya saya, saya menghindari penceritaan dan acuan skala dan waktu demi mengungkapkan makna. Saya tetap paling tertarik menjelajahi hubungan antara kebudayaan dan alam, atau dokumen (persepsi tentang yang real) dan kecerdikan (tipuan realitas). Fotografi memungkinkan saya untuk menciptakan citra yang paling lugas, namun sangat personal, tentang air, langit, tanah dan bunga teratai atau orang dalam konteks lanskap, kepercayaan, dan yang terpenting, mitos. Proses kerja saya sangat emosional dan sering menantang, karena saya ingin mencapai hubungan paling intim dan pemahaman tentang subyek.

Konsep “menghindari penceritaan” dan “menciptakan citra yang paling lugas” mengaitkan karya-karya Tyniec dengan “fotografi lugas”. Seperti “fotografi lugas” Paul Strand atau fotografi “Penglihatan Baru” (New Seeing) Laszlo Moholy-Nagy, foto-foto Tyniec adalah produk fotografi langsung par excellence yang mengeksploitasi kontras maupun gradasi gelap-terang. Sebagaimana karya-karya Strand, karya-karya Tyniec bertumpu pada kepekaan fotografer untuk menjaga keseimbangan antara kedekatan realistik-dokumenter dan kehalusan formal-estetis.

Tetapi berbeda dari “fotografi lugas”, fotografi Tyniec tampak tidak terlalu mengandalkan komposisi abstrak maupun ketajaman citra (sharp focus). Subyek fotografisnya bukan saja cukup mudah dikenali, tetapi juga ditampilkan dengan menonjolkan detil-detil kabur, seperti berkabut, yang merupakan ciri penting “fotografi artistik” seperti karya Alfred Stieglitz dan Edward Steichen. Dengan karya-karya foto yang “mirip-lukisan”, Tyniec adalah penerus Stieglitz yang menyatakan bahwa “Fotografi terutama merupakan proses monokrom, yang keindahan artistiknya sering bergantung pada gradasi halus dalam perubahan taraf terang-gelap warna.”

Made Wianta: Menampik Seni Fotografi

Dalam karya Made Wianta, penggunaan fotografi dilepaskan dari kaitan dengan seni fotografi. Wianta memperlakukan medium fotografi dengan sikap anti-seni fotografi seperti Ed Ruscha, yang menyatakan bahwa karya buku-fotonya pada 1960-an adalah “data teknis seperti fotografi industri… tidak lebih dari foto instan (snapshot)” (Ruscha 1965). Mengingatkan kepada strategi seni “konseptual” di Barat era 1960-an, Wianta mengadopsi fotografi sebagai sarana untuk melampaui objek dan menggarap sistem-sistem tanda budaya secara langsung. Seperti Douglas Huebler dan Victor Burgin, ia merangkul karakter fungsional dan anti-estetik fotografi yang disembunyikan oleh estetisisme fotografi.

Dengan fotografi amatiran, karya Wianta mengadopsi dokumentasi fotografis sebagai sarana yang terkesan “netral” untuk menampilkan informasi. Seolah-olah foto karya Wianta dapat dihasilkan oleh siapa pun dengan kamera, mesin yang disebut oleh Huebler sebagai “alat pengganda bodoh”, terlebih pada era kemajuan teknologi digital seperti sekarang. Tetapi, “kenetralan” ini sesungguhnya semu atau ironis, karena sengaja digunakan oleh Wianta untuk mempersoalkan politik representasi dan menampilkan representasi politik. Dokumentasi tikus dalam karya foto amatiran Wianta tidak netral, melainkan simbolis: suatu mitos bermuatan politis tertentu.

Dalam karya Wianta, foto diambil dari citra bergerak yang diproduksi oleh kamera video. Menampilkan citra diam, serta video klip yang menjadi sumbernya, karya Wianta melebur fotografi dan videografi. Sebuah peleburan yang menyarankan arah perkembangan fotografi di masa depan, ketika kamera semakin sempurna mengitegrasikan fungsi perekaman gambar diam dan gambar bergerak.

Linda Connor: Fotografi dan Kematian

Dalam On Photography (1973), Susan Sontag menyatakan bahwa “Semua foto adalah memento mori. Memotret berarti berpartisipasi dalam kematian, kerentanan dan kefanaan orang lain (atau benda).”

Pandangan Sontag ini seperti ditegaskan oleh karya fotografi Linda Connor yang menampilkan subjek artefak-artefak budaya kuno. Karya-karyanya menggugah rasa penyesalan dan gelisah karena subjeknya sudah tua, lapuk, atau mungkin bahkan tidak ada lagi – mengingatkan pada ancaman kematian yang tak terelakkan. Kamera Connor merekam bayang-bayang reruntuhan, tanda-tanda kehidupan biologis dan sosial dalam proses kehancuran, apa yang akan hilang tergilas oleh roda waktu linier yang bergulir tak tertahankan menuju akhir: suatu kesaksian tentang kefanaan kita. Foto-foto karya Connor seakan membisikkan kalimat yang terus mengingang di telinga Jacques Derrida ketika menghadapi serangkaian foto karya Jean-Francois Bonhomme yang dibuat di Athena: “Kita berhutang kepada kematian” (Derrida 2010).

Tetapi, bersamaan dengan itu, karya foto Connor menyiratkan pandangan yang melawan teori waktu linier dalam wacana Modernitas Barat maupun teologi Kristen. Subjek fotografi Connor adalah artefak-artefak sakral dari tradisi religius Timur yang menganut teori waktu siklis. Dalam tradisi religius Timur, seperti Hinduisme, waktu tidak bergerak lurus dari awal menuju akhir, melainkan melingkar. Kematian bukan akhir, melainkan kelahiran-kembali. Karya fotografi Connor mengakui hutang kita kepada kematian, seraya menyarankan bahwa kematian bukanlah akhir cerita.

Lonnie Graham: Paradoks Fotografi Potret

Karya potret Lonnie Graham berupaya menangkap kelebat suasana hati dan ekspresi subjek individu. Lebih dari sekadar dokumentasi, potret-potret tersebut menunjukkan upaya fotografer dalam mengungkapkan sesuatu tentang kepribadian subyek. Upaya ini tidak pernah netral, karena mempersyaratkan dominasi fotografer atas orang yang dipotretnya. Fotografer harus “membaca” atau menafsirkan kepribadian subyek. Sebab, sebagaimana yang dikatakan Henri Cartier-Bresson (1951), “orang yang dipotret mencurigai obyektivitas kamera, sementara yang dikejar oleh fotografer adalah studi psikologis akut tentang orang yang dipotret.”

Potret fotografis karya Graham memaklumkan jejak dari pribadi atau kepribadian orang yang dipotret: potret sebagai analog subyek individu. Tetapi, analog ini terus-menerus diinterupsi oleh anonimitas subyek. Pemirsa, terlebih pemirsa di Indonesia, negeri tempat potret Presiden dan Wakil Presiden serta tokoh-tokoh politik begitu mudah ditemukan di ruang publik, akan dihadang sederet pertanyaan: Siapakah individu-individu asing dalam potret-potret itu? Apa yang telah dan sedang mereka lakukan? Mengapa mereka dipotret? Dan seterusnya. Secara paradoksal, potret-potret itu menyingkapkan dan sekaligus menyembunyikan identitas. Paradoks ini diperkuat oleh absennya latar, konteks atau kerangka yang dapat membantu dan memandu pemahaman tentang subyek potret-potret tersebut.

Dalam karya potret Graham, fakta tentang pribadi-pribadi beserta kepribadian mereka ditampilkan sebagai “fiksi”, yang menuntut pemirsa untuk merangkai jalan cerita sendiri agar potret-potret itu menjadi bermakna. Inilah “fiksi” yang menyandarkan kekuatan sugestifnya pada kuatnya keterlibatan fotografer. Ketimbang menyingkapkan diri subyek, karya potret Graham lebih mengungkapkan keintiman fotografer dengan subyeknya.

Vladik Monroe: Seni Swareferensial Ganda

Karya-karya Vladik Monroe adalah seni swareferensial (mengacu pada diri sendiri) dalam dua arti. Pertama, karya-karya tersebut swareferensial karena mengacu pada karya lain yang sudah ada, terutama karya yang mendapatkan status “ikonik” dalam sejarah seni rupa. Monroe “meminjam” atau menggarap-ulang, antara lain, citra terkenal Marylin Monroe. Dalam arti ini, karya-karyanya adalah “seni aproriasi”.

Diilhami oleh paham konseptual yang dilontarkan oleh Marchel Duchamp pada dekade 1910-an, banyak seniman posmodernis sejak 1970-an menggunakan strategi “apropriasi” untuk mempersoalkan hakikat “seni”, kepenciptaan (authorship) dan orisinalitas. Dalam pengamatan Douglas Crimp, seniman posmodernis seperti Sherrie Levine, Cindy Sherman dan Richard Prince menciptakan karya apropriasionis untuk menunjukkan bahwa paham orisinalitas dalam seni fotografi adalah mitos belaka. Mereka “membidik klaim fotografi terhadap orisinalitas, menunjukkan bahwa klaim tersebut adalah fiksi, memperlihatkan bahwa fotografi selalu representasi, selalu-sudah-dilihat. Citra dalam karya mereka rampasan, sitaan, pungutan, curian. Dalam karya mereka, apa yang orisinal tidak dapat ditemukan, selalu tertunda. Bahkan diri yang mungkin menciptakan sesuatu yang orisinal pun ditunjukkan sebagai tiruan” (Crimp 1980).

Karya-karya Monroe juga swareferensial dalam arti mengacu pada diri sang seniman sendiri: potret-diri. Seperti Cindy Sherman pada 1980-an, Monroe memerankan berbagai karakter dalam karya seni acuan yang diapropriasinya. Hasilnya adalah potret-diri ironis: potret yang menyembunyikan, menyamarkan atau menyelewengkan identitas diri, atau justru sebaliknya, menyingkapkan “sisi gelap” diri yang disembunyikan dari pandangan masyarakat. Dalam potret-diri Monroe, sang diri orisinal tidak dapat ditemukan, selalu tertunda. Mengguncang paham tentang “esensi diri” atau “jati diri”, termasuk asumsi-asumsi esensialis tentang maskulinitas dan feminitas, karya-karya Monroe memeragakan hakikat diri sebagai “tiruan”, atau paling banter, “alien”.

Joel Singer: Fotomontase pada Abad Digital

Joel Singer mulai menciptakan karya fotomontase pada 1980-an. Fotomontase melibatkan teknik potong, tempel dan padu-padan berbagai citra fotografis untuk menciptakan karya seni baru. Ragam seni ini telah mengakar sejak lahirnya fotografi pada abad ke-19. Alexander Rodchenko, dalam karya-karyanya pada masa Revolusi Rusia, adalah salah satu fotografer berpengaruh yang berkarya dengan metode fotomontase.

Singer menyebut karyanya sebagai “Photage” (photo collages), kolase foto. Penyebutan ini kiranya berasal dari pembedaan antara “kolase” dan “montase”. Kolase dan montase sama-sama melibatkan proses mengombinasikan potongan-potongan sejumlah foto. Bedanya, dalam montase, hasil rakitan fotografis itu difoto lagi sehingga dapat digandakan (Hirsch dan Valentino, 2001). Setelah Singer menerapkan teknik potong dan tempel dengan sarana komputer pada 1990-an, yang produk akhirnya tentu saja dapat digandakan secara digital, karya-karyanya dapat disebut “montase” atau “fotomontase”.

Berada di persimpangan antara fotografi dan seni digital, karya-karya Singer memperlihatkan tingkat rakitan fotografis yang hampir mustahil dicapai oleh kolase dan/atau fotomontase tradisional. Berbagai citraan dalam karyanya saling tembus. Singer juga memanfaatkan multiplisitas dan repetisi citra digital untuk menggambarkan, misalnya, sekuens gerak. Tetapi, ia tampak mempertahankan sebagian karakteristik kolase tradisional. Dalam karya-karyanya, terkesan tidak ada upaya menyembunyikan kenyataan bahwa karya-karya itu adalah citra rakitan yang tercipta dari berbagai sumber.
Ketimbang berusaha membuat montase halus “tanpa jahitan” (seamless), Singer mencurahkan perhatian pada upaya mengungkapkan pikiran-pikirannya, hal-hal yang tidak dapat difoto. Dengan fotomontase digital, Singer menunjukkan bahwa fotografi, sebagai medium yang terikat secara teknis dengan yang real, dapat dipakai sebagai wahana yang sempurna untuk bergerak melampaui realitas.

Foto-foto terkait: http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150501153142891.383199.706007890&type=1

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly