Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Dimensi Politis Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) dalam Pemberdayaan Desain Grafis sebagai Profesi (Industri) dan Disiplin Keilmuan (Akademis)

Oleh Hastjarjo Boedi Wibowo

Pendahuluan

Tulisan ini merupakan suatu pemikiran penulis yang pernah disampaikan dalam ZOOM IN ADGI Jakarta Chapter pada hari Kamis, 3 Desember 2009 di Anomali Café Jl. Senopati No. 35 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12190. Acara ini hanya dihadiri tidak lebih dari 15 orang anggota dan pengurus ADGI Jakarta Chapter. Untuk itu agar dapat lebih menyebarluaskan pemikiran ini kemudian ditulis kembali dan didistribusikan melalui situs DGI.

Pengertian Politik dan Profesi

Istilah politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota atau negara. Kemudian muncul kata-kata polities yang berarti warga negara dan kata politikos yang artinya kewarganegaraan. Politik adalah seni tentang kenegaraan yang dijabarkan dalam praktek di lapangan, sehingga dapat dijelaskan bagaimana hubungan antar manusia (penduduk) yang tinggal di suatu tempat (wilayah) yang meskipun memiliki perbedaan pendapat dan kepentingannya, tetap mengakui adanya kepentingan bersama untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Penyelenggaraan kekuasaan negara dipercayakan kepada suatu lembaga yang disebut pemerintah.

Politik juga diartikan sebagai as a power, politik adalah kekuasaan, politik selalu diorientasikan pada tujuan pencapaian kekuasaan. Manurut Miriam Budiardjo dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, definisi politik sebagai cara, metode, alat, seni bagaimana memperoleh kekuasaan, bagaimana menjalankan kekuasaan, serta bagaimana mempertahankan kekuasaan.

Politik lahir ketika manusia mengenal hidup bermasyarakat, bersosialisasi, berinteraksi satu sama lain, serta ketika sekelompok manusia mampu mempengaruhi kelompok atau elemen manusia lainnya. Jika demikian adanya, maka politik adalah kodrat, politik merupakan sifat manusia yang terbawa akibat sosial entitasnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) po·li·tik n 1 (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem pemerintahan, dasar pemerintahan): bersekolah di akademi -; 2 segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau thd negara lain: - dl dan luar negeri; kedua negara itu bekerja sama dl bidang — , ekonomi, dan kebudayaan; partai -; organisasi -; 3 cara bertindak (dl menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan: - dagang; — bahasa nasional.

Sementara itu menurut KBBI pengertian dari po·li·tis a bersifat politik; bersangkutan dengan politik.

Yang dimaksud dengan profesi adalah kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia.

Profesi mempunyai ciri-ciri, di antaranya:

  • Terlatih
  • Memberi jasa untuk umum
  • Bersertifikat
  • Anggota organisasi profesi

Di sini terlihat bahwa tidak semua pekerjaan dapat disebut profesi karena ada ciri-ciri yang harus dipenuhi. Desainer grafis di Indonesia belum dapat disebut sebagai profesi karena belum memenuhi semua kriteria tersebut. Ciri-ciri yang sudah dipenuhi desain grafis yaitu terlatih, memberi jasa untuk umum dan anggota asosiasi profesi. Sedangkan bersertifikat belum terpenuhi karena sertifikasi profesi masih dalam tahap persiapan dengan telah ditetapkannya Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Keahlian Desain Grafis oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI melalui Keputusan Menteri Nomor KEP. 109/MEN/VI/2010 tertanggal 11 Juni 2010. Saat ini ADGI harus mempersiapkan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Desain Grafis maupun Lembaga Diklat Desain Grafis untuk penerapan sertifikasi. Desain grafis dapat disebut sebagai profesi secara penuh ketika sertifikasi dapat dijalankan.

Kembali kepada bahasan semula, jika dilihat dari kepentingan ADGI sebagai organisasi keprofesian, politik dapat diartikan suatu cara bertindak ADGI dalam mencapai tujuannya membawa desain grafis sebagai profesi (industri) dan disiplin ilmu (akademis) yang bermartabat. Apakah ADGI sudah menjalankan politik organisasinya dengan efektif selama ini?

Dimensi Politis ADGI

Sebelum membahas mengenai dimensi politis dari ADGI, perlu diketahui terlebih dahulu fungsi atau peran dari asosiasi profesi, di antaranya sebagai berikut:

  • Sebagai lembaga yang merepresentasikan eksistensi dari profesi.
  • Sebagai sarana bagi profesi dalam memperjuangkan kepentingan profesi, misalnya dalam mempengaruhi atau memberikan masukan terhadap kebijakan pemerintah sehingga berpihak bagi profesi.
  • Menjalankan fungsi kontrol terhadap profesi untuk menjaga kualitas dari sumber daya insani misalnya melalui keterlibatan dalam proses akreditasi pendidikan, sertifikasi profesi, penerapan etika profesi dan etika perilaku berusaha (bisnis).
  • Menjalankan fungsi advokasi profesi dalam konteks HKI, perlindungan konsumen, mediasi perselisihan antar anggota maupun dengan dengan pihak-pihak lain dan masalah-masalah hukum terkait lainnya.
  • Sebagai medium pengembangan kapasitas antar anggota asosiasi melalui tukar pengalaman, tutoring, mentoring dan bentuk-bentuk program lainnya.
  • Sebagai medium untuk membangun jejaring internal dalam lingkup profesi sehingga menciptakan kerjasama kolaboratif yang produktif dan membangun jejaring eksternal lintas profesi dalam kesetaraan, saling menguntungkan dan saling menghormati antar profesi secara nasional maupun internasional.

Secara umum dimensi politis dari ADGI sebagai organisasi profesi memiliki dua sisi, yang pertama sisi politik internal yaitu bagaimana cara bertindak ADGI dalam menangani masalah-masalah pemangku kepentingan internalnya yaitu pengurus dan anggota. Yang kedua yaitu sisi politik eksternal di mana ADGI harus mampu menjangkau pemangku kepentingan eksternalnya sebagai mitra kolaborasi dalam mencapai tujuan organisasi. Pemangku kepentingan eksternal dari ADGI meliputi pemerintah, institusi pendidikan, industri terkait, asosiasi industri, asosiasi perdagangan, asosiasi profesi lainnya, komunitas sosial dan masyarakat

Dengan dinyatakan bahwa ADGI mempunyai visi menjadi asosiasi desainer grafis yang memiliki kredibilitas dan bereputasi dalam melindungi, melayani dan memajukan karir dan usaha anggotanya di seluruh Indonesia. Tanpa melakukan aktivitas politis mustahil ADGI dapat mewujudkan visinya.

Sehebat apapun program yang dibuat ADGI tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada kemauan dan tindakan politis dari pengurusnya maupun angotanya. Pengurus harus mempunyai langkah politis agar membawa ADGI menjadi asosiasi profesi yang menjadi kebutuhan bagi setiap desainer grafis di Indonesia. Demikian juga setiap anggota ADGI harus dapat memanfaatkan keberadaannya sebagai anggota asosiasi profesi dalam menjalankan profesi maupun usahanya.

Dalam perkembangannya ADGI sebagai organisasi profesi dapat dipaparkan dalam garis waktu sebagai berikut:

1980 – 1993

Masa Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) yang dibentuk pada tanggal 25 April 1980 oleh beberapa desainer, antara lain: Wagiono Sunarto, Karnadi, Didit Chris Purnomo, FX Harsono, S. Prinka (Alm), Tjahjono Abdi (Alm), Agus Dermawan T., Helmi Sophiaan (Alm), Hanny Kardinata, Sadjirun (perancang logotype IPGI) dan beberapa lainnya. IPGI diresmikan 24 September 1980 bersamaan dengan pembukaan pameran IPGI yang pertama Grafis ’80. Pada masa ini merupakan masa di mana desain grafis diperkenalkan dan dipromosikan sebagai profesi di Indonesia. IPGI sempat diterima sebagai anggota International Council of Graphic Design (ICOGRADA) dengan mendaftarkan diri di sekretariat ICOGRADA yang pada waktu itu berada di London. Momentum tersebut bertepatan dengan penyelenggaraan International Design Conference “Design Renaissance” di Glasgow Skotlandia pada tahun 1993.

1994 – 2004

IPGI berubah menjadi Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) pada Kongres IPGI di Jakarta Design Center tanggal 7 Mei 1994. Dalam Kongres ini pula disepakati program kerja utama ADGI yaitu Kode Etik Profesi, Sertifikasi Profesi dan Akreditasi Pendidikan Tinggi Desain Grafis. Pada masa ini hampir tidak ada kegiatan ADGI yang memberikan pengaruh berarti bagi perkembangan desain grafis di Indonesia. Program kerja juga tinggal program kerja tanpa implementasi. Kode Etik Profesi hanya menjadi konsep saja belum direalisasikan. Bahkan pada saat ini pun Kode Etik Profesi yang disempurnakan oleh ADGI hasil revitalisasi 2006 belum juga dipublikasikan. Program Sertifikasi Profesi dan Akreditasi Perguruan Tinggi masih jauh dari jangkauan. Pada intinya pada masa ini keinginan untuk membuat profesi desainer grafis menjadi lebih baik sudah ada dalam pemikiran para pengurus ADGI namun tidak terlaksana.

ADGI kehilangan kesempatan berkembang selama 11 tahun di mana pada kurun waktu tersebut industri desain grafis sempat mengalami masa kejayaan dan sekaligus masa suram dengan munculnya krisis moneter tahun 1997.

2005 – 2006

Munculnya Memorandum ADGI 2005 yang menugaskan Danton Sihombing, Gauri Nasution, Hastjarjo B. Wibowo dan Mendiola B. Wiryawan untuk melakukan revitalisasi ADGI menjadikan titik terang bagi kemunculan ADGI Baru. Penerima Memorandum ini membentuk Tim Revitalisasi yang bekerja selama 6 bulan untuk menyiapkan platform ADGI baru dan melaksanakan Kongres ADGI pada tanggal 19 April 2006 di Ballroom Le Meridien Hotel Jakarta. Dalam Kongres ini disepakati kepemimpinan kolektif berupa Presidium yang akan efektif berjalan selama 1 tahun sampai terpilihnya Ketua Umum ADGI pada Kongres berikutnya pada tahun 2007. Presidium ADGI terdiri dari: Andi Surya Boediman, Danton Sihombing, Hastjarjo B. Wibowo, Hermawan Tanzil dan Lans Brahmantyo. Pada masa Presidium ADGI lebih banyak melakukan konsolidasi internal.

2007 – 2010

Diawali dengan Kongres ADGI ke-2 pada tanggal 19 April 2007 di Galeri Nasional yang memilih Danton Sihombing sebagai Ketua Umum ADGI. Pada masa ini ADGI meletakkan kembali pondasi organisasinya dengan Program Lokomotif nya dan memperluas jejaring dengan membuka beberapa chapter di Jakarta, Bali, Yogyakarta dan Surabaya. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pelayanan kepada anggota dapat dijalankan dengan baik, namun kegiatan yang strategis secara politis belum dapat secara optimal dijalankan. Pencapaian penting dalam periode ini yaitu telah disahkannya RSKKNI Bidang Keahlian Desain Grafis bakuan hasil Konvensi Nasional menjadi SKKNI Bidang Keahlian Desain Grafis oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI melalui Keputusan Menteri Nomor KEP. 109/MEN/VI/2010 tertanggal 11 Juni 2010. SKKNI Bidang Keahlian Desain Grafis ini akan menjadi parameter bagi sertifikasi profesi desainer grafis. Bagaimanapun pondasi yang telah diletakkan ADGI pada masa 2007-2010 dapat dijadikan modal penting kepengurusan selanjutnya.

2010 – 2012

Kongres ADGI ke-3 baru selesai dilaksanakan tanggal 20 Mei 2010 yang telah memilih Arief “Ayip” Budiman dari ADGI Bali Chapter sebagai Ketua Umum. Saat ini kepengurusan baru terbentuk dalam ADGI Summit pada tanggal 26-27 Juni 2010 di Yogyakarta . Dalam kepengurusan ini diharapkan dinding-dinding dari bangunan ADGI dapat segera didirikan pada pondasi yang telah dibangun oleh kepengurusan sebelumnya.

Keberadaan ADGI selama 31 tahun belum mampu menjadi asosiasi profesi yang solid dan bermanfaat disebabkan di antaranya oleh:

• Paradigma di kalangan desainer grafis Indonesia yang menganggap bahwa berasosiasi tidaklah penting.

Cara pandang ini mengakibatkan posisi asosiasi tidak pernah terbangun dengan kuat karena selalu diukur dari manfaat apa yang diberikan asosiasi terhadap anggotanya. Padahal dibutuhkan suatu komitmen bersama untuk membangun asosiasi hingga pada akhirnya manfaatnya dapat dipetik semua pihak. Kemauan membangun ini tidak ada pada sebagian besar para desainer grafis Indonesia karena sikap egosentris bahkan masa bodoh, berprasangka negatif dan berpikir pendek. Kondisi ini seharusnya dapat dicermati oleh pengurus ADGI dengan memperbanyak sosialisasi pentingnya suatu asosiasi profesi, merangkul komunitas-komunitas desain grafis yang ada, menciptakan benefit yang terukur bagi anggotanya dan yang terpenting yaitu memperkuat posisi ADGI secara politis sehingga menciptakan kebutuhan terhadap ADGI.

Pengurus ADGI tidak mampu membangun benefit untuk dirinya sendiri sehingga tidak dapat mendedikasikan dirinya sesuai komitmen.

Pengurus ADGI menjadi tidak dapat menempatkan kepentingan ADGI pada prioritasnya dengan dalih tersirat tidak mendapatkan bayaran atau ADGI belum mampu membayar atas jabatannya, sehingga tidak dapat dipaksa meskipun hanya untuk hadir dalam rapat rutin. Pimpinan asosiasi pun merasa tidak mempunyai kekuatan untuk meminta pengurus menjalankan kewajibannya dengan baik. Sikap seperti ini terjadi karena pengurus sendiri tidak mampu melihat peluang yang ada sebagai pengurus asosiasi profesi. Pengurus ADGI memang tidak dibayar saat ini, namun banyak intangible benefit yang dapat diperolehnya dan hal tersebut tidak pernah dapat dimanfaatkan karena tidak pernah menyadarinya. Pengurus merupakan jabatan yang terhormat sebagai ambassador yang mewakili profesi desainer grafis Indonesia. Pengurus berada di garis terdepan dalam hubungannya dengan semua pemangku kepentingan terkait untuk itu pengurus harus mampu membangun eksistensi ADGI melintas disiplin profesinya tidak hanya dikenal di komunitasnya saja. Ketika pengurus mampu membawa ADGI melintas batas baik profesi maupun geografis semakin banyak benefit yang akan diperoleh pengurusnya. Menjadi pengurus ADGI tidak sekedar menjadi selebriti desain grafis Indonesia, namun melekat kewajiban dan hak yang telah diamanatkan oleh anggota ADGI melalui kongres.

• ADGI tidak ubahnya seperti Event Organizer (EO)

Sebagai organisasi profesi ADGI akhirnya terjebak hanya memikirkan bagaimana melayani anggotanya karena kekuatiran ditinggalkan anggotanya. Kegiatan ADGI hanya dari acara ke acara hampir tidak ada langkah politis untuk memperkuat posisi desainer grafis sebagai profesi. Diperlukan paradigma baru di jajaran pengurus ADGI untuk dapat berpikir dan bertindak secara politis. ADGI tidak bisa dijalankan dengan sekedar merekrut anggota dan kemudian melayaninya.

Hampir semua kegiatan ADGI akhirnya bersifat keprofesian yang eksklusif, misalnya pameran poster, seminar desain grafis, gathering anggota dan semacamnya. Kegiatan-kegiatan seperti tersebut di atas hanya sebagai bentuk ekspresi menyenangkan diri sendiri. Meskipun kegiatan-kegiatan tersebut penting namun ADGI tidak cukup hanya menjadi fasilitator ruang ekspresi bagi anggotanya. Jaman sudah berubah sehingga diperlukan pendekatan yang berbeda. Sebagai profesi, desainer grafis hidup di antara profesi yang lainnya, hidup di antara industri lainnya, hidup dalam masyarakat dan hidup dalam lingkup kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara. ADGI harus mampu menjadi jembatan dalam hubungannya dengan semua pemangku kepentingan tersebut.

ADGI belum optimal dalam menjalin komunikasi dengan pemerintah, dunia akademis, media, industri dan asosiasi industri terkait, asosiasi profesi lainnya, komunitas kreatif bahkan dengan desainer grafis non ADGI untuk membangun saling pengertian dan terutama untuk memperjuangkan kepentingan profesi desainer grafis.

ADGI dengan Pemerintah

Pemerintah di sini meliputi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (propinsi, kota/kabupaten) yang terdiri dari kementerian, badan-badan pemerintah. Jika dicermati banyak kementerian maupun lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan dengan kepentingan ADGI. Sebagai contoh ADGI telah mencoba menjalin kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam penyusunan RSKKNI bidang Desain Grafis, dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai lembaga pemerintah yang mengesahkan RSKKNI menjadi SKKNI, juga bekerja sama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) nantinya dalam pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Sedikit langkah yang telah diambil tersebut telah membawa dampak pro maupun kontra di kalangan desainer grafis. Hal ini menunjukkan dinamika bahwa langkah yang diambil ADGI dirasakan akan membawa dampak terhadap kepentingan desainer grafis hingga pada level akar rumput. Sebagai representasi yang mewakili profesi desainer grafis, ADGI tentunya harus mengambil sikap yang berpihak pada kemartabatan profesi.

Langkah lain yang harus diambil yaitu dengan memetakan semua institusi pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan ADGI. Pada Inpres No. 6 tahun 2009 yang diterbitkan pada 5 Agustus 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif di mana desain grafis menjadi bagian dari sub sektor industri desain, lembaga pemerintah yang terlibat sebagai berikut: Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pertanian, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Kementerian Negara BUMN, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, BPPT, LIPI, Badan Standarisasi Nasional, Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Di samping itu masih banyak lembaga-lembaga terkait yang ada di bawah koordinasi kementerian maupun lembaga independen misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Pusat Grafika Nasional (Pusgrafin), KPK dan sebagainya.

Lembaga-lembaga tersebut dapat ditelusuri keterkaitannya dengan ADGI dalam pengembangan desain grafis baik sebagai profesi maupun akademis. Sebagai contoh hubungan ADGI dengan Kementerian Pendidikan Nasional: Selama ini ADGI sebagai asosiasi profesi tidak pernah dilibatkan dalam proses akreditasi perguruan tinggi desain grafis baik sekedar memberikan masukan maupun secara langsung dilibatkan. Hal ini mungkin disebabkan ketidaktahuan dari Kementerian Pendidikan Nasional terhadap keberadaan ADGI. Agar ADGI dikenal oleh lembaga-lembaga pemerintah tentunya ADGI harus memperkenalkan diri sebagai representasi dari profesi desainer grafis. Sungguh ironis sebagai organisasi para ahli komunikasi visual namun ADGI tidak mampu mengkomunikasikan dirinya. Kementerian Pendidikan Nasional merupakan lembaga pemerintah yang strategis karena di dalamnya di antaranya terdapat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) sebagai institusi yang bertangung jawab terhadap seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kejuruan (Dikmenjur) sebagai penanggung jawab pendidikan menengah kejuruan, Direktorat Pendidikan Luar Sekolah (PLS) sebagai penanggung jawab pendidikan luar sekolah seperti kursus-kursus. Selain itu BAN-PT juga berada di bawah koordinasi Kementerian Diknas. ADGI harus dapat memberikan pengaruh positif terhadap lembaga-lembaga terkait Kementerian Diknas yang berkaitan dengan desain grafis. ADGI tidak mungkin berteriak-teriak sendirian menyatakan kemerosotan kualitas pendidikan di bidang desain grafis (baca: DKV) di Indonesia. ADGI harus dengan cerdas menggandeng lembaga-lembaga seperti Dikti, Dikmenjur, PLS dan BAN-PT sebagai mitra untuk memperbaiki kualitas pendidikan desain grafis. Karena lembaga-lembaga tersebutlah yang mempunyai otoritas dalam bidang pendidikan yang terkait dengan kepentingan ADGI.

Contoh lainnya terkait dengan kusutnya industri desain grafis yang marak dengan free pitching, pitching massal, pitching fiktif, undertable dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut sebetulnya dapat diselesaikan dengan bekerjasama dengan misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ketika ADGI belum mampu membiayai riset industri desain grafis secara mandiri. Hal itu dapat disiasati dengan bermitra dengan litbang kementerian terkait, misalnya dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Profesi suatu unit pada Badan Penelitian dan Pengembangan SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melakukan pemetaan profesi maupun industri desain grafis. Instrumen-instrumen yang ada di pemerintahan dapat digunakan oleh ADGI dalam memberdayakan profesi.

Hampir semua kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah dapat dirangkul dalam memperjuangkan kepentingan profesi desainer grafis. Cari titik temu antara kepentingan ADGI dan kepentingan lembaga pemerintah sehingga dapat dikolaborasikan. ADGI sangat mungkin bekerja sama dengan BAPPENAS dan asosiasi konsultan misalnya dalam perumusan standar harga jasa desain grafis maupun mengusulkan persyaratan tertentu dalam tender jasa desain grafis.

Melalui hubungan yang baik dengan penyelenggara negara, ADGI dapat mengoptimalkan benefit berupa fasilitasi dari pemerintah untuk kepentingan pengembangan desain grafis, misalnya fasilitasi kredit murah, pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas, pengurangan pajak, fasilitasi promosi dan sebagainya. Manfaat seperti inilah yang pada akhirnya membuat keberadaan ADGI dibutuhkan. Masih banyak produk hukum maupun program dalam kementerian dan lembaga pemerintah yang dapat dimanfaatkan, untuk itu sikap proaktif dari ADGI dibutuhkan dalam hubungannya dengan pemerintah.

ADGI dengan Dunia Akademis

Dunia Akademis sebagai produsen sumber daya insani industri desain grafis merupakan pemangku kepentingan yang strategis bagi ADGI. Selama ini ADGI masih belum maksimal dalam merangkul kalangan akademis, meskipun pada kenyataannya banyak praktisi industri desain grafis yang juga meletakkan sebelah kakinya di dunia akademis. Jika dicermati pendidikan desain grafis saat ini tidak hanya berkembang pada tingkat sarjana (S-1/D-4) saja namun juga pada level Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), lembaga Pendidikan Luar Sekolah (kursus). Pada tingkat SMK mengalami perkembangan yang sangat cepat. Dikmenjur sangat progresif dalam mengembangkan sekolah-sekolah kejuruan desain grafis bahkan gencar melakukan kampanye melalui televisi. Hal ini harus dicermati oleh semua pemangku kepentingan dalam dunia akademis karena akan memperbesar suplai tenaga kerja. Jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas, perluasan lapangan kerja dan persebaran wilayah kerja akan menjadi masalah di kemudian hari. Sangat mungkin nantinya lulusan S-1/D-4 harus bersaing dengan lulusan SMK secara frontal karena terjadi overlapping dengan sempitnya lapangan kerja dan pemusatan wilayah kerja di kota-kota besar. Meskipun secara konsep pendidikan berbeda, pada kenyataannya banyak pendidikan S-1 yang mengingkari jatidirinya sebagai pendidikan berbasis academic stream namun lebih menekankan pada kemampuan praktis bukan lagi akademis (knowledge). Sementara dari sisi professional stream ada program diploma dan SMK. Akan terjadi suatu masa di mana akan terjadi kekurangan pemikir desain grafis sementara di level pekerja suplai berlebihan. Saat ini ribuan lulusan desain grafis dihasilkan industri pendidikan setiap tahun, sementara kesenjangan kualitas pendidikan juga semakin lebar. Menjadi tugas berat bagi ADGI untuk menjadi jembatan antara dunia akademis dengan dunia industri. Kondisi ini sudah pernah saya tulis dalam “Mengkritik Pendidikan DKV di Indonesia”

ADGI dengan Media

Media merupakan saluran strategis yang harus dimanfaatkan secara optimal. Bekerja dengan media merupakan salah satu keahlian yang dimiliki oleh desainer grafis. Dalam bahasan di atas sudah saya sebutkan betapa ironisnya ADGI yang notabene merupakan kumpulan desainer grafis tidak dapat memanfaatkan keahliannya untuk mempromosikan profesi dirinya sendiri. Terbukti dengan sedikitnya tulisan-tulisan mengenai desain grafis di media umum. Saat ini kalaupun menggunakan media selalu media yang mempunyai relevansi langsung dengan bidang desain grafis semata, sehingga yang menjadi pintar dan paham hanyalah komunitas desainer grafis itu sendiri sementara khalayak umum tidak terjangkau. Padahal khalayak umum juga harus dipintarkan dan dipahamkan mengenai desain grafis.

ADGI sebagai representasi profesi desainer grafis harus berperan aktif melakukan “dakwah” melalui semua saluran media baik cetak maupun elektronik baik konvensional maupun non konvensional dengan berbagai cara kreatif dalam mengemas pesan. ADGI membutuhkan para penulis dan kreator desain grafis yang aktif menulis dan berkarya dengan pesan kampanye profesi desain grafis secara positif. Keberagaman media yang ada saat ini dapat menjadi peluang bagi ADGI dalam memperjuangkan aspirasinya.

ADGI dengan Industri dan Asosiasi Industri Terkait

Sebagai industri, desain grafis mempunyai rantai nilai (value chain) yang saling terkait dengan industri lainnya. Industri desain grafis selayaknya industri kreatif lainnya merupakan industri added value (pemberi nilai tambah) bahkan dapat mengambil posisi sebagai industri value creation yang menciptakan nilai-nilai baru. Peranan penting desain grafis sering kali tidak disadari oleh industri yang didukungnya. Untuk itu ADGI harus dapat berfungsi sebagai jembatan dalam mengkomunikasikan peran industri desain grafis terkait dengan industri lainnya. Esensinya yaitu ADGI harus dapat mengawal desain grafis sebagai industri yang bermartabat dalam perannya sebagai penunjang industri terkait maupun sebagai industri yang berdiri sendiri. Hal ini dilakukan agar industri desain grafis tidak menjadi inferior sekedar menjadi pelengkap bagi industri lainnya. ADGI harus dapat mendudukkan industri desain grafis setara dan penting dalam rantai nilai industri . Untuk itu ADGI harus secara pro aktif dan intensif berkomunikasi membangun kesepahaman dengan asosiasi perdagangan dan industri seperti KADIN Indonesia baik di tingkat pusat maupun di daerah dan menjalin komunikasi dengan asosiasi-asosiasi industri spesifik lainnya yang ada karena hampir semua industri berkepentingan dengan desain grafis baik disadari maupun tidak.

ADGI dengan Asosiasi Profesi Lainnya

Sebagai profesi desainer grafis berada di antara profesi-profesi yang lain baik yang bersinggungan secara langsung maupun tidak. Di era yang menuntut kolaborasi lintas profesi, menjadi kebutuhan mutlak untuk menjalin hubungan dengan profesi-profesi lainnya. Hubungan yang diharapkan tentunya dalam kesetaraan dan rasa saling menghargai antar profesi. Untuk membangun kesepahaman ini ADGI perlu membuka hubungan lintas profesi melalui asosiasi-asosiasi profesi yang ada.

Hampir semua profesi ada hubungannya dengan desain grafis karena semua profesi membutuhkan media komunikasi visual. Di mana ada media komunikasi visual seharusnya desainer grafis berada dalam proses penciptaannya. Profesi mulai dari insinyur, arsitek, dokter, humas, fotografer, pedagang kelontong, guru, artis, politisi, pengacara, manajer, militer dan sebagainya membutuhkan desain grafis. Namun apakah mereka menyadarinya? Apakah mereka menganggap penting desain grafis? Apakah mereka menghargai desainer grafis? ADGI harus menjadi ambassador profesi desainer grafis dalam hubungannya dengan profesi-profesi lain melalui asosiasi-asosiasi profesinya.

ADGI dengan Komunitas Kreatif

Berkembangnya komunitas-komunitas di bidang kreatif yang sangat aktif dengan berbagai inisiatif dan kegiatan pada masa sekarang harus dicermati oleh ADGI. Kondisi ini dapat membantu ADGI dalam melaksanakan program-programnya. Komunitas-komunitas yang berhubungan langsung dengan desain grafis baik yang masif seperti Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI) maupun yang maya (online) seperti DGI (Desain Grafis Indonesia) dapat menjadi mitra yang saling menguntungkan dari ADGI. Sebagai contoh FDGI sejak awal berdirinya mempunyai ikatan yang kuat dengan dunia pendidikan desain grafis. Di sini ADGI dapat melakukan kolaborasi dengan FDGI untuk program-program yang dekat dengan dunia pendidikan sehingga tidak perlu terjadi tumpang tindih antara kegiatan FDGI dan ADGI. Di samping komunitas-komunitas yang berhubungan langsung dengan desain grafis masih banyak komunitas-komunitas kreatif lainnya yang potensial untuk berkolaborasi dengan ADGI. Diharapkan dapat terjadi hubungan yang harmonis antara ADGI dengan komunitas-komunitas kreatif yang ada.

ADGI dengan Desainer Grafis Non ADGI

Bisa dikatakan ADGI merupakan custodian dari profesi desainer grafis di Indonesia oleh karena itu secara moral ADGI mempunyai tanggung jawab terhadap pembinaan desainer grafis di luar keanggotaan ADGI. Dengan itikad baik ADGI harus merangkul para desainer grafis non ADGI untuk membangun industri desain grafis secara sehat. Sebagai profesi yang terbuka menyebabkan desainer grafis secara populasi jumlahnya cukup besar dan sebagian besar bukanlah berada dalam wadah ADGI. Hal ini menyebabkan diperlukan suatu usaha keras bagi ADGI untuk mengajak komponen tersebut menuju pada suatu pemahaman keprofesian yang bermartabat.

Agar ADGI menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut di atas harus diambil langkah yang tepat, antara lain:

  • Secara internal ADGI harus melakukan perbaikan-perbaikan dalam organisasinya.
  • Membuka jalur komunikasi dan kemitraan dengan pemerintah, lintas profesi, industri dan asosiasi industri.
  • Secara pro aktif melakukan sosialisasi mengenai ADGI dengan segala aktivitasnya dalam membangun dan mengembangkan desain grafis melalui semua saluran media yang tersedia.
  • Fokus pada pengembangan program yang berdampak strategis terhadap desain grafis sebagai profesi maupun disiplin keilmuan untuk menciptakan kebutuhan desainer grafis terhadap ADGI dalam berbagai aspek.
  • Pengurus ADGI harus mampu menciptakan benefit sebagai imbalan atas kontribusinya pada organisasi sehingga dedikasinya dapat diharapkan.

Penutup

Tulisan ini hanyalah sebagai sumbang saran bagi ADGI dalam membawa desain grafis menuju kemartabatan di mana salah satunya melalui langkah-langkah yang bersifat politis. Dapat diyakini masih banyak dibutuhkan masukan dari para pemangku kepentingan yang lain agar ADGI dapat menjadi asosiasi profesi yang diharapkan. Selamat bekerja pengurus ADGI 2010-2012.

Download di sini: Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No KEP. 109/MEN/VI/2010 tentang Penetapan SKKNI Sektor Komunikasi dan Informatika Sub Sektor Teknologi dan Informatika Bidang Keahlian Desain Grafis

Artikel terkait: Sejarah ADGI-Asosiasi Desainer Grafis Indonesia

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. Suatu sumbang saran yang baik bagi Adgi dan komunitas industri desain grafis di Indonesia… dan saya setuju dan meyakini bahwa semua tujuan dan harapan-harapan tersebut hanya akan bisa dicapai apabila kita melakukannya bersama-sama. Berbagai langkah, tahapan dan tantangan sudah dilalui oleh teman-teman di Adgi, memang jauh dari kata sempurna, akan tetapi saya pecaya “The first thing in doing anything is get started” walaupun cuma sekedar wacana.. its ok.. yang penting sudah kita mulai…

    “Rome was not built in one day” says that we should not expect to build something great in a short period of time. You must work hard, keep working hard and overcome many challenges if you want to complete your goal. Together!!!

    Tetap Semangat!!!

  2. saran yang sangat bagus….semoga di masa depan ADGI sudah tidak menjadi simbol ke-ekslusive-an sekelompok orang saja…. tapi bisa melindungi dan memberi solusi para desainer grafis yang saat ini dibayar dibawah UMR yang jumlahnya ribuan….dengan jalan menciptakan aturan main yang jelas tentang profesi desain grafis

    semoga dimasa depan, tidak ada lagi :

    1. desainer grafis yang hidupnya “ngontrak rumah” bersama
    keluarganya

    2. desainer grafis yang memilih banting harga demi mencukupi kebutuhan ekonominya

    3. desainer grafis yang digaji tidak wajar

    4. desainer grafis yang harus menjilat/cari muka atasannya dengan harapan agar karyanya diterima

    5. dan masih banyak lagi yang lainnya

    semoga semua terwujud…amin

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly