Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Design Against Style: Melawan Penindasan Gaya dalam Desain Grafis

Karna Mustaqim

Komunikasi visual dalam jabaran terluasnya mempunyai perjalanan sejarah yang panjang, yaitu kalau saja boleh dikatakan semenjak adanya kehidupan manusia yang telah berupaya mengkomunikasikan ide-ide atau gagasan-gagasannya melalui sejumlah tanda-tanda dalam bentuk gambar yang sederhana, seperti lukisan goa di masa pra-sejarah. Semiotika, ilmu tentang tanda yang muncul sekian ribu tahun kemudian, niscaya menjadi bidang yang teramat penting bagi desain grafis untuk dipelajari sehingga memperluas cakrawala dan juga cara agar dapat menyampaikan komunikasi dengan bahasa visual, bahasa yang tentunya dipenuhi oleh beragam tanda-tanda pemaknaan.

Mengambil pengertian terluas namun sederhana, setiap orang dapat memainkan peran sebagai seorang desainer, setidaknya desainer bagi kebutuhan dirinya sendiri. Profesi desain grafis sendiri barulah menjadi demikian populer setelah melewati masa paruh abad keduapuluh yang salah satunya faktornya adalah berangkat dari adanya ‘artis komersial’ terutama dalam kegiatan promosi dan periklanan suatu produk atau jasa, yang kemudian karena kebutuhan-kebutuhan yang lalu berkembang lagi ke bidang-bidang lain.

Setelah berlangsungnya revolusi industri di abad kedelapanbelas, dimulai dari adanya gerakan Seni dan Kerajinan (Arts & Crafts Movement) kemudian disusul masa Art Nouveau hingga tiba di masa modern Art Deco di awal abad keduapuluh, dikala itu media desain grafis yang paling besar peranannya dalam menampilkan gaya-gaya desain adalah poster, baik yang bersifat komersial maupun propaganda sosial-politik-kebudayaan. Kemajuan teknik dan perkembangan gaya-gaya desain banyak mencuat lewat media yang satu ini dan telah mendorong penjelajahan yang luas ke media-media baru lainnya seiring perkembangan jaman.

Dalam bahasan semiotisnya, pada mulanya desain grafis mengeksplorasi bentuk-bentuk bahasa visual yang lugas dan cepat dikenali dan dipahami maksud atau pesan yang hendak dikomunikasikan kepada audiens yang dituju, sebuah bahasa yang mempunyai pemaknaan tunggal. Dimana meta-narasi yang berkembang kemudian adalah bahwa diklaim adanya sebuah cara pengolahan desain grafis yang bisa memenuhi kebutuhan komunikasi dalam bahasa visual yang sifatnya universal serta mudah dikenali.

Hal ini bisa kita lacak kembali melalui perkembangan desain grafis sejak Art Nouveau di Prancis yang kemudian secara bersamaan menyebar luas ke seluruh daratan Eropa. Penamaan gaya yang berbeda-beda seperti Jugendstil (Jerman/Skandinavia), Secession (Swiss/Austria), Glasgow (Inggris), dan Stile Liberty (Italia), namun tetap dalam satu nafas yang sama yaitu identik visual berupa bentuk organis, garis tumbuhan, dan garis liuk yang feminin. Pelbagai aliran senirupa turut pula memperkaya gaya art nouveau-an ini seperti impresionisme, nabisme dan simbolisme serta gaya lukis ukiyo-e Jepang yang dominan. Desain grafis Eropa masa ini mampu membawa gerakan atau gaya baru yang merupakan adaptasinya terhadap persinggungan dengan budaya timur. Mereka mampu menerjemahkan warna lokal dari kultur di luar dunianya untuk dipahami dalam warna lokal kulturnya sendiri, sehingga Art Nouveau menjadi seni komersial pertama yang secara konsisten dipakai untuk mempertinggi keindahan.

Perang Dunia I menjadi salah satu ajang pembuktian pentingnya desain grafis, seperti yang bisa kita saksikan dalam poster-poster propaganda, tanda dan simbol dalam identitas militer. Kemajuan dari revolusi industri yang kemudian tenggelam ke dalam hiruk-pikuk kekacauan suasana perang dunia pertama, telah pula mengilhami gerakan manifesto kaum futuris dan dadais.

Bersamaan dengan berbagai permasalahan sosial yang tumbuh pada masa-masa kisruh itu, muncullah aliran kubisme, konstruktivisme, de stijl, fauvis dan ekspresionis yang mempengaruhi perkembangan desain grafis selanjutnya, yang dikenal sebagai gaya desain Art Deco. Bahkan seni Ziggurat Mesir dan Indian Aztec turut meramaikan gaya desain ini pula. Dan Amerika yang belakangan mulai menampilkan ke-adikuasa-annya dengan memberi label tersendiri pada gaya yang berkembang luas ini di dalam masyarakatnya yang pluralis yaitu desain Steramline.

Tak lama berselang, berdirilah sekolah Bauhaus yang dengan upayanya memadukan seni dan teknologi, menambah kemajuan pertumbuhan berbagai gaya-gaya desain grafis, yang merupakan sintesis dari seni, desain dan teknologi. Pemahaman modernitas yang berupaya mengejar hal-hal baru dan gaya desain modern yang universal makin merebak.

Masyarakat industri modern yang membawa meta-narasi tentang kemajuan dan bahasa yang universal mencapai titik kulminasinya dengan hadirnya gaya desain dan tipografi Swiss International Style, yang memainkan peran terbesarnya pada industri desain grafis korporasi. Dimana desain sebagai seni terapan mendapatkan penjabaran rasional dan yang sedemikian ilmiahnya hingga bisa dirasakan bagai estetika yang terukur.

Bagi bangsa-bangsa dan negara-negara yang baru kemudian menikmati arus modernitas, maka gaya-gaya desain yang merebak dari masa ke masa di Eropa-Amerika, adalah merupakan kiblat dalam mempelajari desain grafis. Kecuali Jepang dan beberapa negara Asia kecil lainnya seperti Taiwan dan Hongkong, yang cukup tangguh dan mampu menerjemahkan kembali bahasa global yang dianggap universal itu ke dalam warna kultur mereka masing-masing.

Untuk dapat bersaing dalam kancah mitos globalitas, tulis Faruk dalam bukunya Beyond Imagination, maka masyarakat suatu lokalitas harus dapat mengartikulasikan tradisinya dengan ‘bahasa’ yang dapat dimengerti oleh masyarakat-masyarakat dari berbagai lokalitas yang lain, atau oleh masyarakat desa global (Marshall McLuhan). Atau sebaliknya, masyarakat suatu lokalitas harus mampu pula memasuki berbagai lokalitas lain dan mengartikulasikannya ke dalam dengan ‘bahasa’-nya sendiri. Dan menurutnya kemampuan seperti di atas tidak dapat diperoleh dengan mudah dalam waktu singkat, tetapi perlu penjelajahan dan penguasaan atas berbagai lokalitas-lokalitas tradisi di seluruh dunia. Jadi, sembari menggali ke akar budaya sendiri, sebagaimana tersirat dalam hal yang diungkapkan oleh Tjahjono Abdi, desainer grafis senior Indonesia, dalam Concept V01/01’04: Keindonesiaannya tak pernah berhenti memberikan warna pada karya-karyanya, desainer juga dituntut untuk melatih kepekaannya dengan menyerap beragam informasi global untuk dipelajari dan dimanfaatkan kembali.

Melalui rentang waktu sejarahnya yang panjang, teori dan pemikiran dalam disiplin desain grafis tampak tidak terlepas dalam menyerap pelbagai pendekatan disiplin-disiplin keilmuan lainnya. Selain seni sebagai dasar pemikiran utamanya, desain grafis juga banyak berutang pada perkembangan ilmu-ilmu seperti linguistik, komunikasi, pemasaran, sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, filsafat, sains dan teknologi serta keilmuan lainnya dimana secara sengaja tidak sengaja disentuhkan dengan desain grafis. Pertanyaannya adalah dengan melihat kenyataan-kenyataan yang ada didalam masyarakat, akan bagaimanakah desain grafis Indonesia kelak?

Tak dapat dipungkiri, desain grafis masih dianggap sebagai kebutuhan bagi kalangan ‘atas’, padahal kalangan ‘bawah’ pun banyak membutuhkan kecakapan sentuhan desain grafis. Sayangnya, pada kenyataannya masyarakat kebanyakan sendiri memang belum cukup apresiatif dan merasakan kebutuhan akan ‘desain grafis’ itu sendiri. Dengan demikian artinya, desainer grafis harus lebih banyak lagi menunjukkan peran aktifnya dalam memenuhi ‘kebutuhan’ masyarakat yang mana mereka belum begitu menyadarinya. Pendekatan-pendekatan ke kemasyarakatan menjadi penting bagi pembentukan identitas majemuk desain grafis Indonesia, karena dengan adanya pendekatan itu maka berbagai gaya dan teori desain yang masuk membanjir dalam dunia praktis maupun pendidikan dapat teruji di lapangan. Penyisiran dan penyaringan berbagai pengaruh gaya-gaya desain grafis, justru baru hanya akan berjalan bila para desainer grafis telah mampu melakukan perlawanan terhadap penindasan gaya-gaya desain itu dalam karya-karyanya.

Transformasi dalam pendidikan dan pengajaran dalam lembaga-lembaga pendidikan desain grafis sudah seharusnya menciptakan pola sistem adaptasi yang bukan sekedar bersifat kompromistis tapi sebuah perlawanan yang juga bukan berarti sekedar penolakan mentah-mentah yang sentimentil. Sulit rasanya untuk melakukan transformasi agar masyarakat sadar akan kebutuhan desain grafis, bila di dalam wilayah dunia praktisi dan lembaga pendidikan desain grafis itu sendiri, elemen-elemen di dalamnya juga belum mengalami transformasi seutuhnya. Elemen-elemen yang dapat dikatakan sebagai simulasi masyarakat kecil itu termasuk didalamnya ialah para praktisi dan kliennya, dosen dan mahasiswanya serta lingkungan para pekerja kreatif sendiri.

Perjuangan melawan penindasan gaya dalam desain grafis merupakan upaya titik balik untuk melihat kembali kondisi kultur masyarakat. Melalui pembelajaran kembali segala sesuatu tentang desain yang notabene masuknya dari luar, adalah berarti mengupayakan pengkajian dan penelitian terhadap apa yang berlangsung di dalam masyarakat sekeliling. Menempatkan kembali posisi desain grafis yang telah terbawa ke awang-awang kembali ke bumi dimana ia berpijak seharusnya. Kontaminasi dan mimikri yang terjadi dalam desain grafis tidak sepenuhnya dapat dihindari, tapi anggaplah bahwa perjuangan melawan penindasan gaya-gaya desain ini adalah suatu utopia komunitas kecil studi desain grafis untuk menggali dan mentranformasikan bentuk ideal desain grafis Indonesia sebagai bagian dari budaya dan manusianya.

Desain jalanan: Street Typographic
Lalu apakah kita hendak mencari bentuk identitas visual grafis atau katakanlah desain grafis ideal yang memenuhi kebutuhan masyarakat? Identitas yang menjawab apa itu keindonesiaan? Apakah pencarian itu tujuannya?

Tidak! Sekali lagi bukan itu, identitas telah diidentikkan dengan homogenitas atau kehanyasatuan bentuk. Gambaran mental budaya bangsa-bangsa di Indonesia sangat-sangat beragam. Semua orang juga tahu itu!

Tapi pertanyaannya adalah keberagaman macam apakah yang dibentuk oleh kekayaan budaya itu. Sub-sub kultur seperti apakah yang membentuk keberagaman itu, dari yang dikatakan “kampungan” sekali hingga yang menamakan dirinya “modern sekali” atau “kontemporer” atau trendi” atau apalah kata setiap re-generasi di tiap zamannya. Si udik dan si kota bertemu dan saling sapa di lintasan komunikasi massa. Masyarakat adat yang tak berdaya yang dianggap tolol berhadapan dengan buldozer-buldozer masyarakat modern yang rakus. Frustasi dan ekstasi masyarakat perkotaan yang disibukkan mengejar masa depan yang hampa. Keterputusan keputusasaan sebuah masyarakat lokalitas satu dan lainnya membaur dalam komunikasi yang sudah tak jelas lagi rambu-rambunya.

Mari kita lihat jalanan di kota-kota kita, lihat pula hutan-hutan gundul yang tersisa. Ada guratan-guratan yang ditinggalkan oleh para pelancong yang bertamasya, entah yang sehari dua hari, sebulan dua bulan, setahun dua tahun, atau bertahun-tahun sampai mati atau digusur oleh yang lainnya. Vandalisme yang dianggap kultur rendahan, merambah dimana-mana, di jalanan ibukota, dinding rumah, pagar, hingga pepohonan di cagar alam hutan. Apakah yang hendak mereka sampaikan? Keisengan belakakah? Atau sebuah bukti eksistensi diri di antara himpitan tanda-tanda lain?

Tata kota di indonesia yang lain dari pada yang lain, sebagai kata ganti dari ‘amburadul’, menciptakan pola pergerakan seni jalanan yang berbeda, yang sebetulnya biasa ditemukan di negara-negara berkembang yang siap jatuh miskin. Desain grafis, sepasang kata yang membuat miris karena lekat konotasinya dengan seni komersial, sebetulnya tanpa sadar telah bergeser menjadi seni praktis yang nyata diantara masyarakat kita. Desain grafis jalanan tidak mengenal apa itu lay out, apa itu tipografi, apa itu nirmana datar, apa itu teori warna, apa itu lettering, apa itu nirmana ruang, apa itu apa ini, tambahkan saja daftar perkuliahan Anda di sini.

Desain grafis jalanan lahir dari pemikiran bodoh dan absurd masyarakat kita yang buta tentang “pengetahuan seni”, tapi apakah kata-kata tadi dirasakan sebagai penghinaan? Kata-kata di atas tadi adalah pujian! Pujian yang tidak dibikin demi Tuhan. Mereka yang menjadi desainer grafis jalanan, telah melakukan pekerjaan terbaiknya. Mereka tak mengenal teori ini itu, mereka belajar dari, katakanlah alamnya, lalu apakah mereka siap dengan gempuran dari gaya-gaya desain dari anak-anak sekolahan desain grafis, yang merasa punya hak untuk mengklaim sesuatu desain yang baik dan mana yang tidak? Benarkah itu diri kita? Dapatkah kita benar-benar melupakan barang sejenak apapun yang telah kita pelajari di bangku sekolah, dan melihat dengan mata ketelanjangan pada desain-desain grafis jalanan di warteg, di rumah makan jalanan, agen-agen bus perjalanan antar kota antar propinsi, coretan-coretan di pagar dinding rumah-rumah?

Desain grafis jalanan, adalah potensi pembelajaran terbesar bagi kita untuk melihat ke dalam kultur visual masyarakat dimana kita berada. Desain grafis jalanan, seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa tidak mengenal lay out, teori warna, dan sebagainya dan sebagainya tapi telah menampilkan dengan ‘buruknya’ desain tipografi terbaik dari masyarakat awam kita. Apakah ini cercaan lagi? Tidak! Ini bukan cercaan, lupakan bahasa rendah yang pernah diajarkan di sekolah-sekolah. Pertukarkan kata ‘keindahan’ dengan ‘keburukan’, sehingga kita dengan mudah mengerti apa itu ‘keburukan’ yang terindah.

Masyarakat visual kita mempunyai standar keindahan sendiri-sendiri, yang sebetulnya mudah untuk dipahami, tapi sekolah-sekolah telah menjauhkan pengalaman kita dari keseharian yang dipahami oleh awam, dan kita pun dijejali oleh pengetahuan akan gaya-gaya desain terbaik dari negeri seberang sana dan negeri seberang situ. Apakah ada yang salah dari itu? Tidak, tak ada yang salah dari apa yang kita pelajari, demikian pula tak ada yang salah dari apa yang dipahami oleh masyarakat kita. Tapi adalah kesalahan kita bila tak mampu memahami kultur visual masyarakat di dekat kita sendiri, dan malah menuhankan kultur visual masyarakat yang kita pelajari lewat bangku sekolah dan buku-buku.

Lalu, kembali ke pertanyaan awal, apakah kita hendak mencari dan membentuk identitas diri? Sekali lagi, tidak! Melawan penindasan gaya-gaya dalam desain grafis, hanyalah sebuah keisengan belaka. Memperhatikan dan melihat-lihat desain grafis jalanan, dalam hal ini ajakan untuk meneliti tipografinya (street typographic) adalah sebuah upaya pemahaman tentang desain grafis itu sendiri. Lalu apakah pemahaman itu? Mungkin sederhana saja, sebuah pemahaman akan psikologis, sosiologis, kultural juga komersial yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural Indonesia. Tujuannya adalah proses memahami desain grafis itu kembali, bukan suatu hasil yang diharapkan. Jadi, lupakanlah tentang pencarian dan pembentukan identitas desain grafis nasional, mulailah dari akar, desain grafis adalah perkara melatih visual, maka lihat-lihatlah visual yang berada terdekat dengan kita karena sebenarnya disitulah letaknya proses individuasi aktif para desainer.

Bibliography
Barnard, M. (2005). Graphic Design as Communication. New York: Routledge.
Bierut, M., Drenttel, W., Heller, S. & Holland, DK. (1997). Looking Closer 2: Critical Writings on Graphic Design. New York: Allworth Press.
Bierut, M., Drenttel, W. & Heller, S. (2006). Looking Closer 5: Critical Writings on Graphic Design. New York: Allworth Press.
Poynor, R. (2006). Designing Pornotopia: Travels in Visual Culture. London: Laurence King Publishing.
Shaugnessy, A. & Sagmeister, S. (2005). How to be A Graphic Designer Without Losing Your Soul. London: Laurence King Publishing.

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. g suka,walau cukup subjektif, tapi ini sesuatu yang ngebuat sebagai desainer gak ngerasa sendirian (terutama dalam hal kurang uang), tapi desain itu memang sebuah ke idealisan yang terpacu oleh ke realisan, dan semoga pengusaha2 semua pada sadar bahwa desainer juga menjadi bagian dari simbiosis mutualisme kesuksesan mereka.

    N g setuju kalo desainer hasil sekolahan harus menghormati pendahulu-pendahulunya, dan pendahulu2 nya harus membimbing dan menghargai serta merelakan diri pada jaman yang terus berkembang

    Thanx & Best Regards
    HendrikWang
    CreativeDesigner

    Keep on movin’

  2. Salam pak Karna
    Tertarik dengan istilah desain grafis jalanan … tapi kesannya kok mengkotak-kotakkan ya ???
    Kenapa tidak dilihat dari hasil karyanya saja ?? berkualitas dan tidak berkualitas ???
    Typografy, nirmana dsb bisa didapat dari banyak sumber kok pak..misal dari buku, kawan atau bahkan internet kayak di forum ini. Tinggal daya tangkap masing2.

    Salam
    http://sukartoen.blogspot.com/

  3. memang cukup menarik apabila kita menengok sejenak coretan2 di jalanan. keindahan dlm ketidakrapian.

    (^_^)v

    tengok saja bagaimana aparat kepolisian memanfaatkan seni jalanan ini untuk mengampanyekan perilaku berlalu lintas yg baik. masyarakat desain indonesia, apa apresiasinya untuk mereka??

  4. Mas Karna makasih banget udah menuliskan ini semua di DGI, pas banget dengan diskusi majalah Versus yang terakhir yang akan kita muat di edisi awal kita nanti. Saya yakin ini bisa memperkaya tulisan tersebut.
    Kita jadi berpikir mau undang Mas Karna nih u jadi salah satu panelis, kalau lagi di jakarta tolong kabari ya, rencana diskusi ketiga kita setelah lebaran mas sekitar akhir oktober. Ditungu ya =)

    Saya ada beberapa hal yang agak bingung dengan tulisan mas Karna nih, maklum lagi belajar berpikir kritis nih, jadi masih suka lambat mencerna, untk itu mohon untuk dijelaskan ya.

    Pertama bahasan yang ada di paragraf 13-15 mengenai desain grafis yang kini dipersepsi hanya untuk kalangan atas saja.Dikatakan bahwa para insan grafis sebaiknya melakukan pendekatan ke masyarakat karena hal ini perlu untuk membentuk identitas majemuk desain grafis indonesia. Pertanyaannya adalah perlukah kita membentuk identitas majemuk, apa korelasi langsung dengan meningkatnya apresiasi masyarakat akan perlunya desain grafis dalam hidup mereka. Saya pernah mendengar seorang graphic designer mengatakan (sudah saya interpretasikan juga) “justru sang desainer harus meletakkan style dan preferensi pribadinya ke dalam produk rancangannya. Ciri designer sebagai insan kreatif sebaiknya terlihat pada desainnya.

    Berkaitan ini saya punya opini pribadi, buat saya memang profesi ini cenderung diposisikan untuk masyarakat atas, karena apapun yang harus didesain itu sudah lebih dari sekedar memiliki fungsi. Kursi asal bisa duduk sudah cukup, tidak perlu indah, demikian halnya di grafis dengan papan nama, petunjuk plang ojek, spanduk warteg, yang penting ada identitas dan terbaca, letak strategis sehingga mudah dicari pelanggan. Desain dalam kaitan memkirkan aspek estetis bukan kebutuhan utama, malah masuk diatas tertier lebih ke lux. Kalau perusahaan sudah mapan sudah ada budget baru bisa meminta jasa designer. Graphic design secara spesifik jadi masuk ranah elit. Namun bagaimana supaya masyarakat yang belum memiliki daya beli untuk membeli jasa designer profesional bisa tersentuh? mungkin ini bisa dimasukan ke program CSR para designer. Melakukan “bakti sosial” mendesainkan media promo untuk rakyat kebanyakan. Yang tentu saja pro bono. Saya ingat kegiatan mahasiswa ITB kalau tidak salah menghias kapal2 di pelabuhan ratu. Wah keren banget tuh kegiatan itu.
    Ini pendapat pribadi saya mas.

    Yang kedua masih di paragraf yang sama, dkatakan bahwa, dengan pendekatan2 yang dilakukan itu maka berbagai gaya dan teori desain yang masuk dan membanjir di dunia praktisi dan akademisi dapat teruji di lapangan. Hal ini saya setuju mas namun juga ingin menanyakan apakah hubungan pernyataan ini dengan kalimat selanjutnya. sebelum masuk ke kalimat tersebut, saya coba simpulkan, yang saya tangkap dari tujuan melakukan pendekatan selain membentuk identitas majemuk kemudian adalah mengujii bagaimana menerapkan teori dan gaya desain di lapangan. Apakah hal ini benar?
    Jika ya, selanjutnya dikatakan penyaringan gaya desain baru dapat dilakukan jika kita lepas dari penindasan gaya2 yang tersebut dalam karya2nya.
    Yang ingin saya tanyakan, mengapa kita langsung diposisikan sudah “terjajah” padahal kita sedang akan melakukan pengujian apakah teori dan gaya yang selama ini kita kenal dan kita pakai teruji atau tidak di lapangan. Jika kita sudah merasa diri “terjajah” maka buat apa kita menguji lagi.
    Atau memang itu maksudnya, sebelum kita melakukan pendekatan, kita bebaskan diri dulu dari penjajahan tersebut? Jadinya kita coba kosongkan semua yang sudah kita tahu, seolah kita tidak pernah kenal gaya dan teori apapun? Mohon penjelasan untuk hal ini.
    Maaf kalau saya sulit menangkap, karena memang saya jujur lemah secara teori mas :) biasa lewat pengalaman, learning by doing, intuisi aja.

    thx sebelumnya u pencerahannya mas Karna.

  5. makasih kembali oline. Kalau boleh saya tawarkan supaya mengundang Mas Rio Adiwijaya aja, lebih dekat. Ada fotonya di acara award piala lebah itu, dan mas Eko fdgi juga mengenalnya.
    saya mungkin tidak akan menjawab langsung pertanyaan oline.

    utk yg pertama, saya pikir ada 2 issue yg sedang berkembang di dunia, yaitu sustainable design dan conscientious design. Sekedar contoh tokoh2 yg peduli dgn hal beginian adl Victor Papanek dan Stefan sagmesiter. Esai2 dlm buku Citizen Designer di-edit oleh steven heller mungkin menarik utk dikaji dan disesuaikan dgn kondisi lokal.

    Yg kedua, soal ‘jajah2an’, sederhana saja, apakah orang yg tidak sadar dirinya sedang di-‘jajah’ bisa punya hasrat utk me-merdeka-kan diri? Ini bukan soal posisi, tp kesadaran utk berjarak dgn pengetahuan kita sendiri.

    Teori dalam desain itu cuma formulasi dari pengalaman2 empiris yg tidak rigid spt rumus eksakta. setiap saat bisa mengalami perubahan. Tulisan ini dibuat ketika saya masih menjadi tukang desain di sekitar tahun 1999-2000. jadi, apa yg saya ungkapkan di tulisan ini bukan hal baru dan terjadi karena benturan2 yg dialami secara pribadi antara teori/praktek di sekolah yg notabene merupakan formulasi dari teori/praktek bauhaus/swiss/amerika/dll dgn kenyataan lapangan (klien & audiens).

  6. bila saya pahami dari tulisan yang mas karna uraikan, saya melihatnya suatu bentuk ingin keluar dari tekanan gaya-gaya desain yang kebanyakan dari riset barat, oke-lah anda tidak berusaha membawa ke arah pembentukan identitas desain nasional. tapi menurut saya bangsa kita memiliki permasalahan yang cukup dasar, yaitu tidak tahu pada dirinya sendiri itu siapa, dengan kata lain kehilangan jati diri. itulah sebabnya Indonesia seperti yang anda katakan tata kota yang kacau, tata pemerintahan yang kacau, tata hukum yang kacau dsb. ini semua mengacu pada budaya, dimana kita tidak berangkat pada apa yang kita miliki, tapi berangkat dari apa yang kita terima. itulah sebabnya generasi kita adalah generasi yang bingung. generasi kita sudah jatuh dalam pelukan riset atau budaya luar yang dianggap paling jitu dan sesuai dengan kata “modern”. mau gak mau kita punya masalah identitas di dalam kekayaan budaya kita. ironis!. saya sering menyebut Indonesia sebagai “eksotis tapi ironis”. dan kalau ingin melawan tetap mau gak mau kita harus kembali pada urusan identitas diri atau jati diri. kalaupun kita sekarang melihat realitas sekitar kita mungkin sudah terkontaminasi oleh barat, lalu yang kita bisa lakukan adalah kita meriset gaya desain kita sendiri dan memulai dari apa yang kita miliki meski mungkin tidak 100%

  7. Salam mas Sukartoen, maaf, kl sebelumnya saya salah letak ‘oe’-nya. Soal mengkotak2an, bukankah kita sering dengar jargon klise ttg kreatifitas,”Get out of the box?” Berpikir diluar(keluar) dari kotak.
    Nah, sebelum kita bisa keluar dari kotak tsb, tentu ada baiknya kita mengenal kotak-kotak itu dulu. Jadi, sebenarnya istilah itu tinggal istilah, upaya mengenal ‘kotak’ itu dlm hal ini desain grafis yg diwakili tipogragi jalanan sbg contohnya, bukan bermakna membentuk kotak, tetapi ‘mengenal’. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Meskipun Shakespeare sanking kecewanya karena orang2 lebih mengenal lakonannya daripada namanya sendiri sehingga mengatakan,”Apalah arti sebuah nama’, tapi ketika kita jatuh cinta yg ingin kita ketahui pertama adalah ‘nama’ sang pemilik wajah atau tubuh yg aduhai. dan budaya nusantara punya kesejarahan ttg ‘nama’ yg mendalam.
    Melawan determinasi (penindasan) gaya desain itu sendiri mungkin awal dari sebuah percintaan dengan desain jalanan milik budaya visual di sekeliling kita sendiri.

  8. terima kasih kasih telah mengetahui apa yang terjadi bagian design graphic jalanan sangat penting merupakan kumpulan karya hasil kreatif diri sendiri melalui ide diri sendiri merupakan paksa atau tidak paksa mungkin kali ni hehe…. Ferdy DKV 2005 Indonusa Esa Unggul ( cacat tuna Runggu ) aku punya kekurangan Bahasa Typography, lettering, layout, mohon bantuan cara mendapat bisnis melalui web. saya mencukup mendapat apabila aku ketakutan bila aku sering dimanfaatkan krn kerja gak dibayar. cara jalan keluar untuk menjadi pekerjaan profesional. ferdyDesign Visual Box

  9. Well, can anybody help our little fellas here?
    I Design Therefore I Am.

  10. =))

  11. Desain terbaik adalah karya seni terbaik

  12. Desain terbaik adalah karya seni terbaik

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly