Oleh Ayip
Ungkapan “The World is Flat” oleh Thomas L. Friedman dan “The World is Spiky” oleh Richard Florida adalah argumentasi akan dinamika waktu yang memaksa manusia menyadari peluang dan kemudahan menjangkau dunia pada saat ini dengan segala tanggung jawabnya. Bagi seorang desainer grafis misalnya, sudah tak soal lagi untuk menjadikan dunia sebagai pasarnya termasuk dengan segala kemudahan dalam mempraktekannya. Namun sesederhana itukah kenyataannya? Jika tidak, berarti kita masih meyakini apa yang Colombus ungkapkan bahwa “The World is Round” (and far).
Apakah desainer grafis diajak mempercantik wajah kota atau mereka menuntut untuk andil?
Ukuran-ukuran yang kita pakai dalam membuat akselerasi dalam hidup kita memang selalu keseharian yang melingkupi kita. Contohnya ketika kita berpikir dan memandang kepatutan bagi profesi desainer grafis di negara ini membuat kebanyakan dari kita hanya melakoni saja apa adanya. Go with the flow. Artinya ada terpikir tentang upaya upaya perbaikan namun akan dianggap terlalu ideal atau pekerjaan menghabiskan waktu untuk mewujudkannya. Singkatnya, kita perlu memasuki sebuah situasi dimana kita akan merasa kritis dan tertekan. Kita perlu sebuah entry point untuk membicarakan dan mengupas tantangan tantangan serius yang dihadapi dalam profesi ini.
Dalam konteks “demi Masa” berarti menuntut adaptasi dan penguatan dari waktu ke waktu menempatkan kita sebagai bagian dari dinamika. Lebih dari sekadar wacana, kita segera diingatkan akan pentingnya memasuki wilayah wilayah yang kita belum kuasai untuk membangun industri desain grafis nasional lebih bernilai, bermartabat dan bermanfaat.
Dalam beberapa kesempatan ketika diundang menjadi nara sumber pada acara seminar, talk show atau diskusi tentang desain tak lupa selalu saya sempatkan menyampaikan soal pentingnya keberpihakan desainer kepada soal-soal kemasyarakatan baik dalam kapasitas & integritasnya sebagai professional maupun sebagai pribadi yang merepresentasi warga masyarakat. Tujuannya sangat jelas untuk membangun kepercayaan publik pada profesi desainer grafis dan keberpihakan ini dipakai sebagai alat perjuangannya. Namun belakangan disadari banyak hal penting lainnya yaitu mengenai masa depan profesi ini dan jalan yang akan dilaluinya menuju kesana. Kita perlu sebuah panduan menuju pencapaian pencapaian yang lebih tinggi.
Tantangan dan peluang
Untuk itu harus segera disadari pada masa sekarang ini profesi desainer grafis mesti lebih bergiat lagi menghadapi tantangan berat dalam perjalanannya. Seorang desainer grafis tidak bisa lagi hanya mengandalkan pemahaman dan ladang konvensionalnya dalam berekspresi dan bekerja. Ia harus mampu menempatkan tanggung jawab dan keahliannya dalam konteks yang lebih besar dari sekadar membangun pencitraan, komunikasi informasi atau bahkan beautifying. Sebagaimana profesi lain kiprahnya diapresiasi karena memiliki kelekatan dengan tanggung jawabnya terhadap fisik, jiwa, keselamatan, atau kenyamanan.
Berbicara persoalan tantangan kita akan menyadari betapa desain grafis secara keprofesian sangat tertinggal dalam penghargaan dan legitimasi jasanya. Soal keprofesian permasalahannya sangat kompleks. Selain sistem atau mekanisme yang belum menunjang untuk seorang desainer grafis dapat selayaknya dihargai, para desainer sendiri belum seragam menangkap esensi profesinya hingga kerap gagap dalam praktek profesinya. Banyak penyelesaian persoalan kembali kepada individu-individunya dan tak jarang jalan yang ditempuh malah perang harga atau desain gratis yang kontraproduktif.
Gratis, Bold & highlight. Potret desain sebagai daya jual?
Tentang keprofesian ini bukannya ingin menuntut sosok ideal seorang desainer grafis semata, karena setiap desainer bisa survive dengan cara masing masing. Diyakini ketika berbicara tentang orang per orang masalahnya dapat dipecahkan dengan survival kitnya sendiri. Yang kiatnya hebat, atau ada modal dan mau belajar, secara mudah kita melihat “kesuksesan” desainer grafis tersebut. Padahal perjalanan desainer grafis mencapai yang lebih baik itu harusnya disebabkan oleh sebuah sistem atau syarat keprofesian yang menuntutnya, bukan semata keahlian individu dalam troubleshootnya.
Kita tak hendak memasuki wilayah orang per orang tapi sesuatu yang lebih besar dan berjangka panjang. Kita harus melihat dalam dimensi yang lebih luas ke wilayah desain grafis sebagai industri, atau desain grafis yang merepresentasi kepentingan yang lebih besar soal pembangunan manusia Indonesia.
Ironisnya kondisi yang dihadapi profesi ini seakan tidak berhubungan sama sekali dengan minat generasi muda memilih sekolah desain grafis. Bagi mereka seolah tak menjadi soal untuk berada di wilayah ini karena begitu seksinya dunia ini dicitrakan. Faktanya, saat ini pendidikan desain komunikasi visual yang menjadi cikal bakal desainer grafis sangat diminati sehingga tercatat ada sekitar 12.000 orang yang tengah menempuh pendidikan dan akan segera terjun di dunia profesi. Kenaikannya dalam 5 tahun belakangan sangat signifikan.
Brand Nasional tanpa clear direction. Partisipasi mencemari estetika lingkungan
Konsekuensinya sarana dan prasarana harus dipenuhi, tenaga pengajar bertambah, gedung-gedung megah dibangun, berbagai jurus ditempuh demi melihat nilai bisnis dan uang sekolahnyapun tak murah. Sangat ironis karena justru yang berkembang adalah industri pendidikan desain grafisnya. Baiknya coba kita pertanyakan, mampukah jumlah mereka ini kelak dapat diserap oleh industri (yang belum sehat ini)? Atau dapatkah mereka membangun kemandirian dengan berwirausaha?
Pendidikan dan profesi sejatinya adalah sekeping mata uang, walau menjadi satu tapi masih berpunggungan. Transformasi pendidikan kepada profesi belum dapat sepenuhnya memperbaiki nilai secara signifikan, mata rantainya masih terputus namun seolah everything it’s ok! Katanya kesenjangan yang ada ketika memasuki dunia praktisi dapat segera dipenuhi dengan pengalaman dan improvement. Lagi lagi sebuah upaya sendiri-sendiri yang tak jarang penuh trial & error.
Tak jarang masalah masalah yang lahir melingkupi profesi desainer grafis dalam daya saingnya merupakan kesenjangan dari standar dan mutu pendidikan yang ada. Soal managerial skill, communications skill dan kewirausahaan adalah tantangan terbesar desainer grafis dalam memberdayakan profesinya dan materi ini seharusnya diperkenalkan lebih dini di bangku sekolah.
Is there any wayout?
Mencermati upaya-upaya yang dilakukan secara kolektif dan sebagai inisiatif sangatlah terpuji. Keberadaan asosiasi sebagai jembatan merupakan posisi strategis dalam membina keprofesian desainer grafis. Semangat baru dan hidupnya kembali Adgi sebagai asosiasi melanjutkan eksistensi Ipgi sangatlah tepat, eksistensi lain yang sangat menunjang peran ini adalah hadirnya FDGI yang memilih sebagai forum edukasi, lalu tak dapat dikesampingkan munculnya DGI yang mendokumentasi dan memetakan dinamika desain grafis Indonesia menjadi lebih monumental, terbitnya majalah-majalah dan buku desain grafis hingga acara acara diskusi-workshop-pameran-award semuanya memberikan pencerahan dan pembelajaran yang penting bagi desainer.
Menjadi Tamu di negeri sendiri. Antara tak diberi kesempatan dan belum mampu?
Tapi dinamika industri yang demikian pesat tetap harus diimbangi dengan pembangunan kapasitas dan profesionalisme yang cepat pula. Intensitas kerjasama dalam kesepahaman dengan membagi peran yang mengkonsentrasi pada pembangunan kapasitas serta berkelanjutan antara asosiasi, lembaga, forum atau institusi perlu diintensifkan dengan memperbanyak irisan kepentingan untuk satu tujuan: memajukan industri desain grafis nasional.
Yang harus disegerakan juga adalah memasuki wilayah Code of Ethics dan Professional Conduct yang mengatur tata laku desainer. Bagian ini adalah satu hal penting yang perlu diwacanakan seiring dengan standar kompetensi profesi yang baru saja usai dirumuskan dan tengah menanti pengesahan. Ini adalah sebuah akselerasi penting bagi industri desain grafis tanah air. Ketika masih banyak suara menganggap proses ini sebagai penyeragaman atau pemasungan desainer, artinya pengenalan dan kupas dimensinya perlu disosialisasikan secara gamblang dan jernih namun di sisi lain mereka yang tak sepaham sepatutnya juga melihat dengan bijak jauh ke depan bagaimana desainer grafis seharusnya membangun profesinya dengan penuh tanggung jawab, bermartabat dan memiliki peran penting.
Tanggung jawab desainer atau desainer responsibility yang meliputi tanggung jawab professional, kepada komunitas & sosial, kepada klien, dan kepada desainer lainnya adalah seperangkat peran yang seharusnya melekat. Dengan memahami dan menjalankan hal hal diatas menjadikan setiap desainer membangun profesionalismenya berdasarkan kepercayaan, kepastian serta pemahaman yang sama dan memiliki sense of togetherness yang tinggi.
Perayaan Kebanggaan Nasional Vs Proyek? Mahalnya sebuah peran profesional
Dengan demikian berarti kita dapat membangun industri desain grafis di tanah air ini dengan panduan dan ukuran yang jelas sehingga akhirnya dapat memberikan jaminan bagi profesi ini secara jangka panjang. Karena hanya dengan membangun profesi yang dipilihnya berarti telah mempergunakan kesadarannya untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Demi masa, Tak ada jalan lain bagi mereka, setiap orang yang telah memilih profesi desainer grafis –bukan sebagai sambilan- untuk selalu bersatu, berbenah dan berjuang untuk kemaslahatan “umatnya”. God Bless graphic designers!
“Where do [you] want to be in five or ten years? Do [you] want to die with the most toys, or do [you] want to die with the best life and experiences?” –Tibor Kalman
. . .
Seorang graphic designer, bukan penulis
Mendirikan Matamera Communications di Bali tahun 1991
Aktif di Komunitas Kreatif Bali
.
Code of Ethics dan Professional Conduct itu biar ga ada lg yg ngawur/sembarangan gitu ya mas?
God Bless me. hehehehe…
[…] This post was mentioned on Twitter by Aksaramedia. Aksaramedia said: Desainer Grafis Indonesia Demi Masa: http://bit.ly/b6ne2h via @addthis […]