Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

DeKaVe Mati Suri?

Oleh Sumbo Tinarbuko

Menilik tema ‘Culture X-pansion’ yang diusung Panitia Diskomfest #4 Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, muncul kegelisahan yang membuncah dalam sanubari saya. Kegalauan itu bersumber pada pertanyaan besar, apakah budaya lokal Indonesia sudah bergeser dari porosnya? Apakah keberadaan DeKaVe (Desain Komunikasi Visual) menjadi salah satu pemicu lengsernya budaya lokal dari haribaan Ibu Pertiwi? Apakah nafas kehidupan DeKaVe sudah berhenti dalam pengertian yang sebenarnya?

Berdasarkan pertanyaan besar yang berkelindan di atas, ditengarai proses anggitan karya DeKaVe sedang mati suri untuk tidak mengatakan DeKaVe tewas! Kenapa demikian? Karena posisi DeKaVe Indonesia di tengah percaturan karya DeKaVe di kawasan Asia Tenggara menempati ranking paling bontot. Karya DeKaVe Indonesia jauh tertinggal dari sisi kreativitas, daya ungkap, aplikasi media, dan konsep pemecahan masalah komunikasi visual. Semuanya itu mengkristal akibat dosa asal kita yang senantiasa membanggakan diri menjadi ‘tukang desain’ bukan pemikir desain. Cara berpikir seperti itu membawa konsekuensi logis pada pendekatan, bentuk, dan isi pesan verbal-visual DeKaVe Indonesia.

Terhadap sinyalemen semacam itu, lalu bagaimana sikap pemikir dan praktisi DeKaVe Indonesia, khususnya Yogyakarta dalam menyikapinya? Jawabannya, sebagian besar pemikir dan praktisi DeKaVe Indonesia mengakui fenomena semacam itu. Bahkan ada yang berkomentar secara ekstrim bahwa DeKaVe Indonesia tengah dilanda krisis kreativitas dan akan berujung pada wafatnya DeKaVe Indonesia.

Berpaling pada Budaya Lokal

Apa yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi mati surinya anggitan karya DeKaVe akibat kemiskinan kreativitas? Yang paling gampang, kita harus berpaling pada budaya lokal bangsa Indonesia. Sebab dengan menyandarkan diri pada budaya lokal Indonesia, di situlah letak kekuatan pesan verbal-visual karya DeKaVe. Dengan mengedepankan budaya lokal, akan menumbuhkan keberagaman sudut pandang komunikasi visual dan berujung pada outcome ide dalam balutan desain komunikasi visual yang ciamik dengan mengedepankan aspek moralitas, kearifan budaya lokal, dan adat istiadat asli bangsa Indonesia.

Mengapa hal itu perlu digarisbawahi? Sebab dengan mengadopsi adat istiadat yang berlaku, menjunjung tinggi moralitas, dan mengedepankan kearifan budaya lokal untuk kemudian diangkat menjadi inspirasi, sumber ide, dan gagasan, serta sebagai perangkat lunak untuk mengkomunikasikan beragam pesan verbal dan visual yang bersifat komerisal, sosial, atau pun moral kepada masyarakat luas, maka berbagai anggitan karya DeKaVe yang dihasilkan oleh tangan-tangan kreatif akan menjadi penanda zaman yang cukup kuat atas keberadaan sebuah karya DeKaVe yang memberikan aksentuasi perikehidupan masyarakat. Ujungnya diharapkan mampu mencerahkan pemikiran dan perasaan umat manusia yang hidup dan mengisi kehidupannya sesuai dengan talenta masing-masing.

Dengan memanfaatkan potensi budaya lokal Indonesia, alam raya (gunung, bukit, gua, lautan, dataran tinggi, dataran rendah, danau, sungai), alam pedesaan yang eksotis (sawah, ladang, hutan, perkebunan), dan jejak-jejak kebudayaan peninggalan nenek moyang (arsitektur heritage, adat istiadat, beragam jenis kuliner dan upacara tradisional) dan kesenian tradisional sebagai sumber energi kreatif penciptaan karya DeKaVe, maka keunikan yang dimunculkan dari lokalitas budaya lokal berikut masyarakat pendukungnya akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan jagat DeKaVe Indonesia. Selain itu, ketika parakreator dan desainer komunikasi visual Indonesia senantiasa mengedepankan lokalitas budaya lokal semakin membuncahkan ciri khas dan keunikan karya DeKaVe Indonesia. Dampak turunannya akan memunculkan gerakan DeKaVe Indonesia yang mengedepankan konsep kreatif dengan pendekatan kebudayaan lokal Indonesia yang berbudaya.

Berpikir Konvergen dan Divergen

Fenomena penciptaan seni atau proses kreatif menurut Saini KM (2001) masih dianggap sebagai sesuatu yang misterius, dan irasional. Dengan demikian positioningnya berada di luar jangkauan kajian ilmiah. Para seniman dianggap sebagai orang yang mendapatkan bakat alamiah. Ia mampu mencipta karya seni di luar pengendalian diri. Oleh karena itu, ia tidak perlu pemahaman tentang kemampuannya. Dan tidak butuh latihan untuk memelihara ketrampilannya.

Premis semacam itu sulit ditemui di jagat DeKaVe Indonesia. Sebab dalam aktivitas perancangan desain komunikasi visual, para desainer komunikasi visual terbelah menjadi dua kelompok besar, masing-masing ada di kubu ‘tukang desain’ dan pada kelompok pemikir desain. Ketika fokusnya diubah ke arah pemikir desain, maka para desainer komunikasi visual harus mengedepankan lelaku memecahkan masalah komunikasi visual dengan bantuan senjata pamungkasnya berupa unsur kreativitas dan inovasi. Artinya, sebagai pemikir desain yang memerankan seseorang yang memecahkan masalah komunikasi visual, maka mereka akan merunut suatu proses mental, proses berpikir yang mampu memunculkan ide baru dan bila diaplikasikan secara praktis akan menghasilkan cara yang efisien, efektif, unik, persuasif, dan komunikatif.

Seorang pemikir desain adalah orang kreatif dan inovatif, ia senantiasa berpikir secara konvergen dan divergen. Ia akan melahirkan fantasi dan imajinasi cemerlang yang sangat berguna untuk menelurkan berbagai macam ide pada karya desain komunikasi visual yang komunikatif dan persuasif.

Keberhasilan seorang pemikir desain dalam proses berpikir kreatif dan inovatif tersebut bisa terlihat dari kemampuannya yang peka terhadap berbagai permasalahan komunikasi visual, lancar dan original dalam proses berpikir, fleksibel dan konseptual, cepat mendefinisikan dan mengelaborasi berbagai macam persoalan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di berbagai bidang (Tinarbuko, 2002 & 2008).

Lalu, bagaimanakah berpikir kreatif secara konvergen dan divergen dalam konteks desain komunikasi visual?

Bekerja dan berpikir dengan dua pendekatan kreatif konvergen dan divergen sangat signifikan bagi para pemikir desain komunikasi visual. Hal itu diyakini benar oleh Imam Buchori Zainuddin (1991).

Berdasar kenyakinan teoretis itulah, maka lebih jauh Imam Buchori menjelaskan pendekatan kreatif konvergen dan divergen yang dinilai sangat signifikan dalam memecahkan masalah komunikasi visual. Pertama, pendekatan konvergen. Konsep ini senantiasa mengedepankan ketrampilan sebagai panglimanya. Keberadaannya diramu dengan intuisi dan citarasa yang tinggi untuk mengolah bahan. Cara semacam ini tidak terlalu mempermasalahkan faktor eksternal selain yang ia kuasai. Pendekatan konvergen menisbikan masalah-masalah material dengan berbagai macam kemungkinan bentukkannya. Tujuannya hanya satu: mencari keunikan dan keindahan. Oleh kaum metodologis, ungkap Iman Buchori, cara seperti itu disebut dengan pendekatan tradisional.

Pendekatan kedua, secara divergen. Artinya, ia bekerja dengan merumuskan (menganalisis) seluruh permasalahan yang ada. Mencari sintesisnya, dan melakukan evaluasi.

Kedua pendekatan ini dapat dianggap tidak ada bila dilihat dari kenyataan sejarah bahwa pendekatan divergen itu merupakan estafet pendekatan konvergen. Hal itu terjadi karena pendekatan pertama dianggap tidak dapat memecahkan persoalan desain yang lebih kompleks.

Dalam dogma kreatifnya, Imam Buchori Zainuddin yang merupakan Guru Besar Desain dari FSRD ITB (2010) ini menegaskan bahwa pendekatan kreatif konvergen dan divergen merupakan gabungan proses berpikir kreatif yang mengkawinkan pendekatan tradisional dengan mengedepankan ketrampilan sebagai panglimanya yang diramu pendekatan modern dengan acuan analisis, sintesis dan evaluasi sebagai ujung tombaknya. Penggabungan kedua kekuatan ini memperlihatkan spesifikasi dari fitrah desainer komunikasi visual yang memiliki kemampuan linuwih, peka terhadap berbagai permasalahan, lancar dan original dalam proses berpikir, fleksibel dan konseptual, cepat mendefinisikan dan mengelaborasi berbagai macam persoalan komunikasi visual yang dipecahkan dalam bentuk solusi konkrit desain komunikasi visual yang komunikatif dan persuasif.

Di sisi lain, parameter keberhasilan sebuah proses kreatif dan inovatif di lingkungan pendidikan tinggi desain komunikasi visual bisa dilihat manakala para peserta didik mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap pemecahan masalah komunikasi (verbal dan visual), lancar dan orisinal dalam berpikir kreatif, fleksibel dan konseptual, cepat mendefinisikan dan mengelaborasi berbagai macam persoalan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di segala lini hidup dan kehidupan ini.

Culture X-pansion’ Diskomfest #4

Melihat masalah yang cukup krusial tersebut mahasiswa Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta menggagas festival karya desain mahasiswa DeKaVe yang berjuluk Diskomfest. Tujuan dari Diskomfest adalah menciptakan jaringan komunikasi antar mahasiswa DKV di Indonesia. Wahana bersama untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan di antara para pakar, desainer, akademisi, dan masyarakat umum. Selain itu sebagai sebentuk wacana, pendidikan, hiburan, dan apresiasi desain komunikasi visual secara luas.

Diskomfest itu sendiri sebenarnya sebuah aktivitas kreatif para mahasiswa DeKaVe yang didedikasikan untuk memberi aksentuasi dan keberagaman nilai verbal visual atas karya desain komunikasi visual yang tumbuh berkembang di Indonesia. Kemudian karya desain mahasiswa DeKaVe tersebut dipresentasikan dalam ajang festival dan dipamerkan dalam ruang pameran yang representatif. Untuk Diskomfest #4 digelar di Gedung Utama Jogja National Museum Lt. 1 & 2 Jl. Amri Yahya No. 1, Gampingan Yogyakarta, sejak 22 - 26 Januari 2011.

Kultur dan atmosfer yang ditiupkan aktivis Diskomfest #4 diharapkan mampu menghidupkan sukma kehidupan bagi insan DeKaVe dari keadaan mati surinya selama ini. Di sudut lain Diskomfest #4 dapat memberi koridor waktu, fasilitas dan penghargaan yang cukup untuk sebuah proses kreatif yang berlandaskan pada pemikiran divergen dan konvergen.

Selain itu, keberadaan Diskomfest #4 sanggup menumbuhsuburkan apresiasi masyarakat terhadap anggitan kreatif insan DeKaVe Yogyakarta khususnya, dan Indonesia umumnya dalam upaya mengasah proses berpikir desain dan pembelajaran kreativitas dalam menuangkan gagasan dengan mengedepankan aspek komunikasi yang komunikatif dan persuasif serta menjunjung tinggi aspek lokalitas budaya lokal yang artistik dan estetik.

Manfaat yang pasti lebih menggembirakan, ternyata wahana kreatif Diskomfest #4 dapat melahirkan forum dialogis antarinsan DeKaVe, konsultan desain, pengamat desain, pelaku industri komunikasi visual, lembaga pendidikan desain komunikasi visual, akademisi, mahasiswa, parapeneliti, dan masyarakat luas.

Selamat berfestival di jagat Diskomfest #4 sambil mengabarkan warta gembira kepada sekalian umat perihal kebangkitan DeKaVe dari kondisi mati suri selama ini …

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) Konsultan Komunikasi Visual dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta.


Artikel terkait:
DiskomFest #4 DKV FSR ISI Yogyakarta: “Culture Expansion”

Mewujudkan Desain Grafis Indonesia yang Beridentitas
Sikap Budaya: Identitas Desain Grafis Indonesia

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. Menurut saya yang harus diperhatikan bukanlah ‘kematian’ kreatifitas. Justru kreatifitas melanda cukup luarbiasa. Dekave tidak memiliki RUMAH untuk pulang. artinya, yang urgent dan krusial dipikirkan ([oh, saya lupa, apakah desainer dkv itu masih bisa berpikir atau hanya terjebak dgn paradigma ‘pekerja kreatif’?]) adalah mengubah atau membangun terlebih dulu paradgima atau asumsi filosofis di sebalik kerja-kerja dekave.

  2. mas sumbo, saya pikir sih situasi dekave tidak mati suri, tapi mati ide, problemnya selama lebih dari 30 tahun bidang yang dulunya dinamai desain grafis atau reklame ini belum punya buku pegangan LOKAL yang memadai, semua masih mengandalkan buku-buku impor, akibatnya tren atawa style kita masih ikut luar, padahal, menilik usianya, harusnya udah punya tren sendiri, sedangkan yang kita lakukan sekarang juga cuma TEMPELAN BUDAYA LOKAL, ini gaya amerika, tempel saja corak batik sudah jadi gaya indonesia, ya tentu saja gak cukup. ada beberapa buku menarik karya rekan-rekan, tapi masih bersifat adaptasi, belum memiliki RAMBU-RAMBU LOKALITAS sendiri, saya pikir kok perlu ya? kalo soal buku yang ngomong soal SEMIOTIKA DESAIN sih, saya pikir levelnya untuk memenuhi tugas s2 saja kan? yang lebih penting di tingkat lapangan, yang kebutuhannya lebih banyak dan praktis, mungkin, dari namanya [dekave] juga kita perlu kaji ulang, tidak sekedar ikut aturan saja… ya ini sekedar urun rembug aja, manggaaa…

  3. Fenomena Diskonwis yg bermakna desain ditawar hingga harga murah itu juga karena perilaku pasar di Indonesia (consumer behaviour) yang masih price sensitive, sehingga perlu diedukasi juga.
    Lalu pertanyaannya, menjadi tugas siapakah edukasi market itu?

  4. ya itu karena “anu” bro karena itu, segala , maka dan sebahagian dari mereka “anu”,sangat berketiak dan sebuah nuansa untuk meng edukasi..paham? maksud saya?

  5. ya kata”tukang Desain” memang agak sedikit mengganggu, dan saya akui dengan jujur, profesi saya sebagai seorang desain yang sedang saya lakoni sekarang ini ibarat seorang akuntan yang mengerjakan soal- debit-kredit dan “nyaris” enggak ada bedanya, karena hanya, kalo seorang akuntan mengerjakan dalam bentuk angka sedang saya dalam bentuk visual, tapi ritme kerja-nya, sama saja, sehingga pekerjaan desain yang seharusnya menyenangkan menjadi menegangkan (perasaan takut salah, ketika mendesain, sebagaimana perasaan takut salah seperti seorang akuntan, takut salah ngetik angka), kehilangan rasa freedom sebagai seorang desainer, karena hanya sebatas “tukang desain”, belum merdeka.

  6. Dari mas Wedha:

    Sering aku membaca/mendengar kegelisahan semacam ini dari para pakar senirupa kita.

    Ini yang terbaru dari Pak Sumbo. Sebelumnya dari Pak AD. Pirous pada pidato kebudayaannya di acara IGDA belum lama ini. Pengen banget aku merasakan kegelisahan itu, secara aku juga selama ini berkiprah di bidang seni rupa.

    Perasaan tidak memiliki kegelisahan seperti Pak Sumbo inilah yang sekarang jadi kegelisahanku.

    Gelisah pada kenyataan bahwa generasi muda kita sudah tidak lagi berporos pada budaya bangsa, tidak mengenal karakter budaya bangsa dan bahkan sinyalemen bahwa kita sudah terokupasi oleh budaya bangsa lain ketika berkarya, Itulah kegelisahan yang sering aku temui. Celakanya, ini yang tidak aku rasakan, samasekali.

    Kadang aku berpikir, apa ada yang salah pada diri ini, secara aku juga termasuk bangsa Indonesia? Apakah karena aku tidak pernah menimba ilmu sekolahn di perguruan seni rupa resmi? Tapi biarlah pertanyaan itu jadi PRku sendiri saja. Aku hanya pengen sharing pikiranku tentang hal2 yang membuat para pakar itu gelisah. itupun hanya karena aku kasihan melihat orang2 muda yang tertunduk dalam2 ketika mendengar petuah para pakar. Mereka tertunduk kuyu seolah lagi ‘didukani’ oleh para sesepuhnya.

    Pikiranku yang sederhana bilang begini:

    - Tidak ada satu cabang seni pun yang sepanjang masa bisa disebut sebagai seni adi luhung, karena seni itu nggak bisa dan nggak boleh berhenti. Adi luhung pada masanya, setelah lewat masanya ya lewat aja. Generasi berikut tentu akan menemukan yang baru.
    - Bahwa kita harus menghargai seni2 ‘lawasan’ itu, aku setuju. Tapi dalam arti, kita memang harus menghargai orang yang lebih tua dari kita, apalagi orang2 itu pada masanya telah menciptakan karya seni yang pada masanya dianggap pol-polan.
    -Kita menghargai karya2 jaman dulu, ya itupun aku setuju, karena itu adalah jejak2 perjalanan budaya suatu kelompok manusia yang kita sebut sebagai bangsa.
    - Melumernya budaya lokal, aku anggap wajar2 saja di era dimana komunikasi dan transportasi sudah bisa dibilang tanpa batas. Dulu memang seni tradisional sebagai anaknya budaya lokal bisa hidup subur di lokasinya. Tapi itu dulu, pada masa orang2 tidak begitu ‘mobile’ seperti sekarang. Di masa radio/televisi belum memasuki setiap ruang tamu. Di masa yang punya telepon itu hanya para ndoro tuan. Sekarang kan beda jauh. Itulah kenapa aku biang wajar.
    -Tentang karakter bangsa, aku koq jadi bingung, yang mana sih yang khas Indonesia itu? Sejak kecil ibuku nasihati jadi orang harus jujur, sopan santun,hormati yang lebih tua, suka menolong orang, ramah tamah tapi harus berani karena benar,dsb,dsb. Pokoknya yang baik2 lah. Dan sifat2 itulah yang sering kita denger sebagai karekter bangsa. Tapi bukankah itu suatu karakter idaman yang jadi target semua bangsa, bahkan target semua umat manusia? Sementara di sekeliling kita, benarkan semua itu yang kita dapati?

    Sudah ah, ntar makin nambah dosa budaya untuk negri tercinta ini….kapan2 tak sambung lagi. Salaaam > Wedha Abdul Rasyid.

  7. kenapa insan kreatif masih byk yg cenderung jd “tukang desain” dibanding “pemikir desain”??? karena dari sejak sekolah tingkatan paling dasar/SD kita sudah ditanamkan pemikiran “anak pintar selalu nurut guru/orang tua”, tanpa disadari kata “iya” merupakan sebuah ‘paksaan’ yg dbungkus oleh norma kesopanan dan ketaatan, dari awal sistem pendidikan formal kita memang sudah mematikan kreativitas kita, sekolah tidak lain hanyalah sebuah pabrik dan murid adalah produknya, sedangkan industri adalah kurikulumnya.

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly