Wedangan babak ke 2
DKV Semarang Jadi Mayat, Siapa Sepakat?
Pembicara Bapak Sumbo Tinarbuko
Motivator Berpikir Kreatif, Konsultan Desain, dan Dosen Komunikasi Visual
Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana
ISI Yogyakarta
Jumat 18 Pebruari 2011
Syukurlah setelah Jumat pagi kemarin terlihat mendung menggantung tipis di langit Semarang, akihirnya sore itu cuaca tidak jadi hujan, malah sempat diwarnai dengan bulan purnama.
Acara dimulai pada pukul 19.45 dengan sedikit kata pembuka dari tuan rumah Adamuda Klinikdesain. Dengan jumlah peserta yang sedikit bertambah dengan kehadiran beberapa praktisi desain beserta dosen Unika dan Udinus, acara dengan tema lumayan “berat” inipun berjalan dengan suasana penuh gelak tawa dan canda oleh materi yang disampaikan oleh Bapak Sumbo Tinarbuko.
Berikut kutipan beberapa hal yang disampaikan pada acara wedangan kemarin:
1. Bukannya menakut-nakuti realitas sosialnya, dekave mati suri.
Indikatornya, posisi dekave Indonesia di tengah percaturan karya dekave di kawasan Asia Tenggara rankingnya paling bontot.
Karya dekave Indonesia jauh tertinggal dari sisi kreativitas, daya ungkap, aplikasi media, dan konsep pemecahan masalah komunikasi visual.
Semuanya itu mengkristal akibat dosa asal kita yang senantiasa membanggakan diri menjadi ‘tukang desain’ bukan ‘pemikir desain’.
2. Lebih bangga jadi tukang setting ketimbang desainer kalau pun desainer, posisinya bagaikan desainer ‘tukang cukur rambut’ lebih bahagia jadi makelar cetak, belum lagi terpaan sindrom demokratisasi desain, buta tipografi & miskin layout.
Cara berpikir seperti itu membawa konsekuensi logis pada pendekatan: bentuk, isi pesan verbal dan visual dekave Indonesia. Dampaknya, fee design jauh panggang dari api.
3. Bagaimana agar dekave tidak mati suri?
Sebagai ‘pemikir desain’ memerankan seseorang yang bertugas memecahkan masalah komunikasi visual. Tugas mulia semacam itu menuntut konsekuensi harus merunut suatu proses mental, proses berpikir yang mampu memunculkan ide baru dan bila diaplikasikan secara praktis akan menghasilkan cara yang efisien, efektif, unik, persuasif, dan komunikatif.
Keberhasilan seorang ‘pemikir desain’ dalam proses berpikir kreatif dan inovatif dapat dilihat dari kemampuannya yang peka terhadap berbagai permasalahan komunikasi visual, lancar dan original dalam proses berpikir, fleksibel dan konseptual, cepat mendefinisikan dan mengelaborasi berbagai macam persoalan yang sangat dibutuhkan.
Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di berbagai bidang seorang pemikir desain:
Harus bisa memecahkan masalah komunikasi visual dengan berpikir secara verbal dan visual, dia harus dapat memecahkan masalah komunikasi visual dengan berpikir gambar maupun teks.
Kembangkan diri dengan menambah referensi, di antaranya: tinjauan dekave, kritik dekave, semiotika dekave.
4. Wedangan kreatif ala semarangan semacam ini diyakini sanggup menumbuhsuburkan apresiasi masyarakat terhadap anggitan kreatif insan dekave semarang khususnya, dan Indonesia umumnya.
Wedangan kreatif ala semarangan ini berupaya untuk mengasah proses berpikir desain dan pembelajaran kreativitas dalam menuangkan gagasan dengan mengedepankan aspek komunikasi yang komunikatif dan persuasif serta menjunjung tinggi aspek lokalitas budaya lokal yang artistik dan estetik.
Manfaat yang pasti lebih menggembirakan, manakala wahana wedangan kreatif ala semarangan seperti ini dapat melahirkan forum dialogis antar insan dekave, konsultan desain, pengamat desain, pelaku industri komunikasi visual, lembaga pendidikan desain komunikasi visual, akademisi, mahasiswa, parapeneliti, dan masyarakat luas.
Ketika desainer komunikasi visual Indonesia mengabdikan dirinya menjadi ‘pemikir desain’ diharapkan senantiasa mengedepankan lokalitas budaya lokal dalam upaya memecahkan masalah komunikasi visual.
Jika hal itu dapat diejawantahkan dan dijadikan gerakan bersama, maka akan semakin membuncahkan ciri khas dan keunikan karya dekave Indonesia, dampak turunannya, akan memunculkan gerakan dekave Indonesia yang mengedepankan konsep berpikir kreatif dengan pendekatan kebudayaan lokal Indonesia.
Untuk itu, sudah saatnya keluar dari zona nyaman, senantiasa berpikir kreatif, dan think different…
Sebuah semangat baru mulai menjangkit pelaku-pelaku DKV di Semarang, dan bahwa ternyata masih banyak insan DKV yang peduli di Semarang yang sungguh-sungguh menunggu sebuah moment wedangan seperti ini dan akan berlanjut kepada pertemuan-pertemuan yang akan menstimulus terus menerus roh DKV Semarang.
Terima kasih: Eko Edi Sucipto, Tonno Desain, Artwan, Arief Peanut, Bernard, Jonet Yuli (praktisi), Bayu Widiantoro, Godham Eko, Daniar Wikan (dosen), Uje, Anto, teman-teman di Playon, DKV Unika, DKV Udinus, rekan di Klinikdesain (Guruh-Vayo-Nandar-Arif-Wawan-Ning-Sari dll) dan rekan-rekan lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Matur suwun banget:
Mas M. Arief Budiman dan Pak Sumbo Tinarbuko (semoga bisa hadir di babak-babak selanjutnya).
Sebuah jalan sunyi yang akan dilewati oleh rekan-rekan di Semarang, namun mereka yakin bahwa sebuah kemajuan harus dimulai sekarang juga dan itu berawal dari sebuah langkah kecil ini.
Artikel terkait:
Talkshow: “DKV Semarang Jadi Mayat, Siapa Sepakat?” – Babak II
Dari Wedangan Desainer Grafis Semarang 11 Februari 2011: “Dekave Jadi Mayat, Siapa Sepakat?”
Talkshow: “DKV Semarang Jadi Mayat, Siapa Sepakat?” – Babak I
•••
saya sempat mendesain di semarang. atas pengalaman itu, saya tak terburu memayatkan desain(er) di semarang. kadang, jalan dkv in use tak senantasa sama untuk tiap kota, ada field kontestasi yang berbeda. semarang, sejauh pengalaman saya, tak seperti di jogja di mana pusat pergerakan berada di ruang-ruang seni/desain, entah itu pameran, biro, komunitas, dll. sedangkan di semarang, ruang desain berada di level produksi. pada medan-medan yang demikian desain(er) terasa (di)hadir(kan). maka dari itu, menjadi desainer di semarang bisa melalui ruang tersebut. ini seperti desain sampul buku jaman londo di mana desain masih menyatu di bagian produksi (maka kerap dijumpai sampul buku yang sederhana, sebatas tulisan ataupun simbol-simbol yang kerap ada di alat setter cetak). dan tak aneh jika semarang masih menyimpan bentuk/mekanisme desain yang demikian, yang bergerak di ruang produksi (mengingat semarang merupakan pusat pada masa londo dan masih menyimpan jejak hingga sekarang yaitu eksisnya ruang produksi)
saran saya untuk menggerakkan desain(er) di semarang maka bisa menyelami desain di level produksi. dari sana kita akan menjumpai begitu terasa kontestasi desain. maka dari itu, jangan terburu me-mayat-kan dkv di semarang jika realitas kontestasi atau eksistensi dkv di semarang tak/belum dikenali. tak apa, ini kekurangan dkv di indonesia yang terasa melimpah di kajian teks namun miskin di kajian lapangan, merayakan penafsir namun melupakan pentingya penyisir.
sukses untuk dkv di semarang. salam dari sesama cah semarang yang setahun bikin biro desain di semarang dengan pengalaman yang membuktikan bahwa “me-mayat-kan dkv semarang bisa jadi statemen yang tergesa”. salam (koskow)