Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Dari Acara Pembukaan Pameran “Wonderground by Nafka”

Oleh: Wira Satya

Pada hari Sabtu 4 Juni 2011 bertempat di Danes Art Veranda Denpasar diselenggarakan pembukaan “Wonderground” pameran prototipe produk “Responsible Lifestyle” oleh Nafka. Pameran ini menampilkan karya 18 seniman dan desainer Indonesia dari Bandung, Jakarta, Yogyakarta dan Bali yang melakukan eksplorasi dan eksperimentasi dengan materi limbah dan organik. Kelak, produk desainer ini akan berada dibawah label “Nafka” yang mengkhusus menyajikan aneka produk “Responsible Lifestyle” karya desainer dan seniman yang bermitra dengan perajin dan UKM dalam produksi karyanya.

Seperti yang diungkapkan oleh Ayip selaku penggagas Wonderground bahwa Nafka yang akan menaungi karya-karya ini merupakan laboratorium kreatif tempat seniman dan desainer mengembangkan minatnya dalam sustainable design terutama dalam hal mengolah limbah atau materi organik menjadi desain yang memiliki fungsi dan sekaligus estetika. Pembukaan Wonderground dilakukan oleh desainer Kanada penulis buku “Do Good Design” David B. Berman. Dalam sambutannya David mengungkapkan rasa bangga atas upaya desainer Indonesia mengolah limbah menjadi produk berfaedah yang memiliki karakter design yang kuat. Desainer Indonesia dapat berbangga akan hal ini tanpa harus mengacu kepada Milan atau New York.

Sebelum pembukaan pameran dilakukan workshop music oleh One Dollar For Music Foundation dengan memberikan pendidikan musikal pada anak-anak panti asuhan “Seeds of Hope” yang dipandu band Nostress. Pada saat pembukaan keduanya menampilkan lagu dengan memainkan instrumen botol yang sangat memukau bahkan membuat David B. Berman berkaca-kaca. Seusai pembukaan band Khatulistiwa yang menggunakan instrumen tradisional plus plastik juga menyuguhkan musik yang inspiratif.

Pameran ini diminati oleh berbagai kalangan terutama para desainer dan seniman. Terbukti banyaknya komentar dan pertanyaan mengenai bagaimana agar dapat terlibat dalam proyek ini atau dapat memfasilitasi pengembangan proyek ini di kemudian hari. Beberapa yayasan yang mengkhusus dalam waste management serta recycled juga mendukung dan memohon untuk diajak berpartisipasi dalam pengembangan produk dengan menggunakan materi limbah yang akan mereka fasilitasi.

Pameran yang akan berlangsung hingga 10 Juni ini membuat nuansa baru yang menyegarkan. Memberikan inspirasi untuk mengolah limbah dengan kreatifitas. Beberapa desainer dan seniman mengaku lebih terpacu lagi untuk membuat desain yang inovatif setelah pameran ini. Beberapa seniman dan desainer beserta karya yang dipamerkan dalam “Wonderground” diantaranya adalah:

Veny Lydiawati yang desainer produk dari Bali menciptakan “Kid’s Dream Lamp” dimana orang tua dan anak bisa menggambar diatasnya dan membuatnya lebih unik. Lampu ini membuat anak- anak dapat berkreasi dengan imajinasi diatas lampu mereka sendiri.

Lampu yang terbuat dari kain t-shirt polyester sisa dari pabrik, kawat besi, mica dan bolam lampu hemat energi ini mudah dipisahkan sehingga mudah di daur ulang kembali.

Sementara Indah Esjepe, desainer grafis dari Jakarta membuat “Tissue Tempo Doelo alias sapu tangan yang semakin dilupakan karena sudah tergantikan oleh tissue. Dengan desain yang unik dan menarik, Tissue Tempo Doeloe diharapkan bisa membuat orang kembali memilih dan menyukai saputangan dibanding kertas tissue yang kurang ramah lingkungan. Selain itu Indah juga membuat “Kain Bungkisan” atau kepanjangan dari pembungkus bingkisan dan hantaran. Bungkisan adalah kain ramah lingkungan yang diharap bisa menggantikan peran kertas dan kantong plastik yang hanya bisa digunakan sekali pakai. Semakin banyak kain Bungkisan dipakai orang, semakin besar upaya kita menjaga bumi dari pencemaran limbah plastik.

Peserta lain, Iqbal Rekarupa dari Yogyakarta menampilkan “Sunar Lamp”. Pengetahuannya tentang materi logam mendorong Iqbal memanfaatkan gir tak terpakai menjadi sesuatu yang bernilai. Rangkaian gir yang ditata sedemikian rupa menjadi alat penerang bercahaya sunar. Sangat berbeda dengan pendekatan Desain 9 yang menampilkan “Kobazumi Lamp” yang berbahan dasar materi kayu limbah “generasi ke tiga” dan “Matango Lamp” yang terinspirasi dari tumbuhan jamur terbuat dari limbah kaca.

Satu-satunya peserta yang bukan desainer adalah seorang gadis berbakat berusia 19 tahun dari desa di tepi danau Batur - Songan, Kintamani, Bali. Sebuah wilayah di Bali Utara dengan jumlah penduduknya sekitar 15 ribu jiwa. Ia bernama Putu Restiti yang mengalami gangguan pertumbuhan tulang sehingga harus bergantung pada Ibu dan kursi rodanya sejak ia lahir. Hidupnya tak seberuntung keluarga lainnya. Minimnya informasi memperlakukan anak-anak dengan difability membuat Restiti manis kehilangan kesempatan berharga untuk pergi ke sekolah. Namun Restiti memiliki semangat kreatif yang tinggi. Ia menjahit banyak busana mini yang indah seukuran boneka kecil. Karya seni buatan tangan Restiti, sebagian besar adalah Kebaya Bali yang cocok untuk dikenakan pada boneka Barbie. Kebaya ini terbuat dari berbagai kain sisa berupa poliester, taffeta, chiffon, voile, satin, dan lainnya. Kreatifitas Restiti seakan mimpinya yang terwujud. Mempercantik Barbie dengan busana khas Bali.

Sementara keikutsertaan desainer fashion senior Ika, perancang mode Indonesia yang menetap di Hong Kong dan Bali ini sangat mengundang decak kagum. Daya cipta busana Ika melahirkan Dressence yang diilhami demikian banyaknya kain sisa potongan yang berukuran minim. Dengan gaya dan ekspresinya yang khas Ika menjadikan kain-kain tersebut gaun-gaun yang indah menyerupai sebuah karya seni. Pada saat pembukaan salah satu busana Ika dikenakan oleh seorang model semampai yang semakin menunjukkan nilai dari karyanya itu.

Aty Budiman yang merupakan desainer interior di Bali karyanya mampu menjadi perhatian karena menggunakan materi yang banyak terdapat di sekitar kita. Majalah bekas yang bertumpuk disulapnya menjadi sebuah kabinet. “Umacab” adalah “used magazine cabinet” yang menggunakan susunan majalah bekas sebagai dinding penganti kayu. Dalam imajinya, kayu dan kertas berasal dari sumber yang sama yaitu pohon. Eksperimentasinya menjadikan ketebalan kertas sebagai dinding diwujudkan dalam berbagai bentuk desain produk.

Duet Alma dan Roy menggunakan kain karung terigu yang diolah menjadi desain busana casual yang fun dan pewarnaan celup. Busana yang diciptakannya adalah kreasi untuk dikenakan wanita muda dan memadu padankan dengan busana lain. “Away to Wear” adalah judul karya mereka.

Ilustrator muda Monez Gusmang dari Bali memberi aksen baru pada tas belanja yang sederhana dan ringkas yang dapat memuat banyak dengan tema astronot. Astronot baginya adalah simbol eksplorasi dunia baru yang menantang dimana setiap manusia dapat memasukinya. Seperti layaknya memahami bentuk kepedulian desainer pada lingkungan yang harus dipelajari dan segera dimasuki agar mengenalnya dengan baik. “Bagstronout” adalah judul karyanya.

Sedangkan DP Arsa, desainer yang juga peminat fotografi seni membuat artwork menggunakan aneka limbah seperti tas plastik, pelat bekas cetakan atau vinyl bekas billboard yang dicetak kembali dengan karya fotonya sehingga menimbulkan nuansa baru yang dapat dipergunakan sebagai artwork dalam berbagai bentuk dan ukuran. Eksperimennya ini merupakan pengembangan dari apa yang ditekuninya di dunia fotografi

Tak semua karya yang dipamerkan di Wonderground berasal dari materi limbah. Achmad Sopandi yang merupakan aktifis di ISEND-UNESCO sebuah komunitas internasional yang kegiatannya berupa simposium, pameran, dan workshop seputar warna alami menampilkan tekstil yang terbuat dari serat tumbuhan dengan pewarnaan alam yang formulanya ditemukan sendiri. Karya Sopandi terlahir dari semangat petualangan. Berasal dari estetika budaya-budaya etnis di Indonesia. Dalam eksplorasinya, lingkungan alam dan tradisi suku etnis di Indonesia menginspirasi untuk mentransformasi dan menghidupkan kembali pembuatan kain berbahan serat tumbuhan dan penggunaan warna alam tradisional sebagai karya seni kontemporer. Hampir sama dengan Sopandi, Emma Indrawati juga menghadirkan karyanya berupa Sutera alam yang diberi pewarnaan alam nan menawan. Memadukan sutera alam dengan pewarnaan alam menjadi kain bercita seni memberikan nuansa baru yang kaya ekspresi.

Desainer produk muda Fitorio melakukan eksplorasi dan eksperimentasi dan menjadi tema melekat dalam desain yang membawanya kepada rangkaian pameran desain eksperimen di beberapa negara. Karyanya “Smile Stool” adalah bangku yang dibuat dari limbah industri mebel kayu yang dirangkai dengan konstruksi batang logam tertanam. Karya ini menunjukkan bahwa terbatasnya ketersediaan kayu lengkung di Indonesia tidak menghalangi untuk menciptakan desain furnitur elegan. Proses manufaktur Smile Stool mencakup pengumpulan dan pemilihan limbah. Setelah itu, membentuk modul, menggabungkannya, menanam konstruksi dan melakukan proses finishing menggunakan minyak nabati.

Bram Satya desainer dari Yogyakarta menciptakan “Benzo Chair” yaitu kursi yang dibuat dari kayu limbah namun efisien dalam pengerjaan. Sistem knock down memungkinkan sederhana dalam kemasan dan pengangkutan yang berdampak pada efisiensi biaya pengiriman serta minim carbon footprint. Finishingnya menggunakan “water based” coating yang non kimiawi.

Sedangkan Ayip menciptakan cermin “Mirror-Mirror on The Wall”. Berangkat dari eksplorasi limbah, pertemuannya dengan daun-daun jendela bekas pakai merupakan inspirasi yang menggabungkannya dengan aksara dalam sebuah perlakuan desain sederhana. Pilihan bingkai berkaca dengan ungkapan “Miror mirror on the wall who’s the most beautiful girl in the world” merupakan potret kesahajaan kaum Hawa ketika berkaca, sebuah gumaman yang tak pernah diucapkan.

Finishing natural menampakkan serat kayu dengan minyak kemiri menjadi elemen yang menyempurnakan syarat untuk tidak menggunakan unsur kimia.

Dan Irwan Ahmett, seorang desainer grafis Indonesia yang tengah berada di Belanda untuk serangkaian perjalanan dan berkarya ini mengirimkan karya berjudul “Bee Station” yaitu modul rak yang dapat disusun menyerupai sarang lebah untuk menyimpan pernak pernik. Karyanya ini terbuat dari kayu limbah yang dipadu powder finishing.

Karya Tegep Octaviansyah, seorang desainer produk asal Bandung adalah “Begs U Can!” sebuah tas casual merupakan gabungan bahan kulit organic dan kaleng bekas yang dipadu sedemikian rupa menjadi sebuah tas yang khas.

Fotografi: Album Aikonia

Artikel terkait:
Utilitarian dengan Gaya, Dada dengan Tujuan – Transformasi Deklarasi Individualitas

Ayo, Brand Berbuat Baik

Press Release: Pameran “Wonderground by Nafka”

Pameran Nafka: “Wonderground”

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly