Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Dalam Kenangan: Priyanto Sunarto (1947-2014)

10 copy

RS Santo Borromeus, Bandung, Rabu, 17 September 2014, pukul 13.00 wib. Hari ini dunia seni rupa Indonesia dirundung duka mendalam. Seorang putera terbaiknya, Priyanto Sunarto telah berpulang kembali ke Penciptanya. Sebagai seorang perupa multi-talenta, yang tidak saja piawai sebagai desainer, kartunis, ilustrator, tipografer, tapi juga sebagai guru yang berdedikasi tinggi di bidangnya, Priyanto telah mewariskan berbagai nilai baik yang berharga bagi kehidupan.

Mewakili pengurus Desain Grafis Indonesia (DGI), saya menyampaikan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya kepada keluarga besar Sunarto, juga keluarga besar Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), tempat dimana Priyanto mengabdikan dirinya selama beberapa dekade terakhir ini.

Saya mengenalnya pertama kali pada akhir 1970-an sewaktu bersama-sama mempersiapkan berdirinya Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI), yang belakangan dikenal sebagai Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (Adgi). Seiring berjalannya waktu, bersama Priyanto-juga Wagiono dan S. Prinka (alm.)-kesenjangan yang terjadi selama puluhan tahun antara perupa Yogyakarta dan Bandung, menjadi semakin merapat dan segera bertukar dengan keakraban. Suasana kebersamaan yang berlangsung semasa persiapan pendirian IPGI, juga persiapan penyelenggaraan pameran besar IPGI yang pertama di Mitra Budaya, jalan Tanjung, Jakarta (24-30 September 1980), tak bisa dipisahkan dari kehadiran Priyanto yang kocak dan selalu membawa suasana segar.

Pri-demikian saya memanggilnya-memang adalah pribadi yang jenaka. Ia segera saja menjadi sahabat yang tidak saja baik hatinya, tapi juga penuh perhatian. Kepribadiannya yang lurus, cepat akrab, tak berjarak, dan membumi, selalu mengundang rasa nyaman siapa saja yang berada di dekatnya. Ia adalah magnet bagi setiap orang, yang menarik dan mendekap mereka di sekitarnya dengan penuh kehangatan. Ia dikirim ke dunia untuk menerangi, membawa serta garis-tangannya sebagai guru bagi ratusan anak didiknya. Sepanjang hidupnya, sesungguhnya ia telah menyentuh kehidupan begitu banyak orang.

Pri juga ringan tangannya. Belum pernah ada permintaan saya yang tak dipenuhinya. Sejak berdirinya Desain Grafis Indonesia (DGI) pada 2007, terbitnya Majalah Versus pada 2008, hingga diselenggarakannya ajang penghargaan Indonesian Graphic Design Award (IGDA) pada 2009-2010, saya telah melibatkannya dengan berbagai kerepotan. Daftarnya bisa panjang, mulai dari menulis artikel, menjadi pembicara, menseleksi karya, memimpin penjurian, dan seterusnya. Semuanya dilakukannya dengan senang hati, dan tentu saja secara suka-rela; kalkulasi jarak Bandung-Jakarta seperti tak pernah singgah di benaknya, walau tentu tidak mudah dijalankan oleh orang seusianya.

Demikian juga ketika DGI sedang menata kembali struktur kepengurusannya pada 2013, dan saya meminta kesediaannya untuk menjadi salah seorang penasehat, dengan serta merta hal itu diterimanya, tanpa pikir panjang, walau ia mungkin menyadari bahwa hari-hari pensiunnya bakal kembali terisi dengan berbagai aktivitas, dari satu rapat ke rapat lainnya. Bahkan talk show DGI di FGDexpo 2013 di JCC, Jakarta tetap dihadirinya, walau dengan kondisi kesehatan yang kurang baik. Demikian juga halnya saat DGI menyelenggarakan talk show pada ulang tahunnya yang ketujuh di Dia.Lo.Gue Artspace pada bulan April yang lalu. Isterinya, Euis yang amat setia mendampinginya kemana saja, sempat berbisik: “Han, Pri sedang tidak sehat, tapi dia memaksa ke Jakarta”. Itulah Pri, ia tak pernah memperlihatkan kondisi fisiknya yang sebenarnya.

Pri selalu merasa prihatin dengan memudarnya semangat kebersamaan, yang sempat tumbuh dan berkembang pada masa-masa IPGI (1980-1994). Selalu terbersit kerinduan di hatinya, pada timbulnya kembali kebersamaan di antara sesama desainer grafis, sesuatu yang selalu diingatkannya sejak IGDA hingga ketika DGI melanjutkan program ‘Saya Seorang Desainer Grafis’ (yang diluncurkan pertama kali di ajang FGDexpo 2013). Layaknya seutas tali yang terjalin dari untaian benang emas, Pri menjadi pengikat batin, atau pemersatu poros Jakarta-Bandung-Yogyakarta. Bila kita semua sayang kepadanya, marilah kita bersama-sama mengupayakan kembali kehadiran kebersamaan dan persatuan di antara para desainer grafis Indonesia. Karena, hanya dengan demikianlah kita bisa membangun desain grafis yang lebih membumi dan tidak elitis, menuju Indonesia Baru yang lebih baik.

Selamat jalan, Pri.

Terima kasih atas semua hal baik yang telah kau wariskan kepada kami selama ini. Hormat kami mengiringi perjalananmu menuju ke Rumah Abadi.

Hanny Kardinata
Tangerang Selatan, 17 September 2014

Ki-ka (belakang): Hanny Kardinata, S. Prinka, Wagiono Sunarto, Karnadi Mardio, F.X. Harsono, dan di depannya: Suyadi ‘Pak Raden’, Priyanto Sunarto dan Tjahjono Abdi beserta mahasiswa-mahasiswa DKV Studio Desain Grafis, Jurusan Desain, Departemen Seni Rupa, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, Institut Teknologi Bandung di depan pintu masuk Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta, di mana pameran Grafis ‘80 diadakan (foto koleksi: Risman Zihary).

Ki-ka (belakang): Hanny Kardinata, S. Prinka, Wagiono Sunarto, Karnadi Mardio, F.X. Harsono, dan di depannya: Suyadi ‘Pak Raden’, Priyanto Sunarto dan Tjahjono Abdi beserta mahasiswa-mahasiswa DKV Studio Desain Grafis, Jurusan Desain, Departemen Seni Rupa, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, Institut Teknologi Bandung di depan pintu masuk Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta, di mana pameran Grafis ‘80 diadakan (Foto koleksi: Risman Zihary).

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. selamat jalan mas pri… “thank you for everything sir, you will surely be missed!”

  2. meskipun belum mengenalnya secara langsung, saya ikut kehilangan … karya beliau akan bermanfaat bagi generasi penerus… selamat jalan.

  3. Selamat jalan Pak Pri. Terimakasih atas bimbingan dan support ketika membimbing tesis saya… Tak kenal lelah dan sabar, lucu dan low profile..

  4. terima kasih atas artikelnya, manfaat sekali :)

  5. Betapa jenakanya ia, tergambar pada momen ulang tahun DGI di Dia.Lo.Gue Artspace, 15 April 2014. Pada saat jeda setelah acara talk show-nya bersama Yongky Safanayong dan Iwan Gunawan, ia menyampaikan kado yang dikemasnya seperti permen, bertuliskan: “Selamat ulang tahun ke-7 DGI. Pri S.”, yang setelah dibuka ternyata isinya… borondong!*

    Menurut isterinya, Euis Sukmadiana, kalau Priyanto sudah punya keinginan, meskipun hanya borondong, isterinya akan dimintanya untuk mencarinya sampai ketemu. Penjual borondong itu akhirnya baru ditemukan sekitar jam 07.00 malam di Leuwipanjang.

    *borondong = makanan khas Jawa Barat

  6. Selamat jalan, Pak.
    BTW saat sekolah dulu, benak saya sering terkacaukan oleh Prijanto S. dan T. Sutanto karena karya mereka sama jenanakanya. :D
    Waktu masih belasan tahun saya melihat katalog pameran Decenta dan kemudian beberapa karya Decenta membuat saya menyukai seni grafis – cuma bisa suka, tak bisa menjadi kreator

  7. selamat jalan mas Pri. Terima kasih atas bimbingan formal maupun informalnya serta persahabatan tulus tanpa pandang usia. You are still my favourite teacher !

  8. Ah jadi ingat Sartempe…salah satu ide orisinil Pak Pri..meskipun saya hanya jumpa lewat karyanya saya juga ingin ucapkan selamat jalan Pak Pri….

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly