Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

Brand Spicy*

Oleh: Edy SR

Ceritakan merek kita, biarkan orang mengingatnya. Pepsodent bercerita Dika dan Ayah saat menggosok gigi. Lalu sebagian kita jadi mengenang saat awal belajar menyikat gigi. Sesederhana itulah merek disemai dalam ingatan. Dan iklan hanya salah satu cara untuk bercerita, bukan satu-satunya.

Sejarah panjang periklanan berawal dari para saudagar menjajakan barang. Dan para pekerja yang menawarkan jasa. Mereka keliling berbagi cerita indah dan menggoda, tentang barang dan jasanya. Itulah kenapa “story telling” dan “word of mouth” tetap digdaya hingga kini.

Kopi Joss Lik Man di Jogja jelas tidak memiliki strategi komunikasi serapi Starbucks. Kekuatan kapitalnya pun sangat timpang. Namun, mereka memiliki punk marketing untuk mengaktivasi mereknya: menambahkan arang membara, ke dalam segelas kopi siap saji, joss! Impaknya, semua orang penasaran. Semua orang menceritakan.

Mie Aceh Titi Bobrok. Tempatnya bukan di Banda Aceh tapi di Medan, Bang! Bagi generasi tua, dia dikenal karena “Titi Bobrok”-nya. Nama yang diambil dari jembatan rusak dekat warungnya. Dalam bahasa lokal, “titi” berarti jembatan, dan “bobrok” berarti rusak. Sedang bagi generasi muda, dia lebih dikenal karena racikan rempah dan tentu saja: pedasnya. Sungguh jembatan komunikasi yang unik antar generasi. Benar-benar “brand spicy”!

Ad vs Clutter

Ingatkah anda, iklan apa yang pertama kali anda lihat hari ini? Maaf, kalau saya memang sudah lupa.

Tak ada yang bisa menggaransi agar iklan tidak dilupakan. Karena itu, iklan disajikan berulang untuk mengingatkan. Beberapa iklan memainkan waktu tayangnya. Iklan yang lain memilah medianya. Ada juga yang menyajikan beberapa versi iklannya. Tujuannya, menghindari clutter.

Clutter menjadi alasan penting untuk memaksimalkan key word, key sound, dan key visual. Ketiganya akan memaksa iklan beradaptasi dengan strategi komunikasi detik ini. Key word telah melahirkan “Generasi Twitter” yang membatasi iklan 140 karakter saja. Sedang key sound dan key visual, melahirkan “Generasi Youtube” yang merevisi televisi dengan potensi interaktifnya.

Kehadiran generasi baru tersebut, akan mendorong lahirnya periklanan yang lebih segar dan ceria. Karena itu, kita butuh strategi kreatif berbeda. Kita tidak bisa hanya men-tweet naskah iklan. Atau sekedar mengunggah iklan televisi ke Youtube. Mie Aceh Titi Bobrok mengajarkan kelihaian mereka berkomunikasi beda generasi.

Publicity vs Spam

Periklanan yang dihantui clutter, membangunkan kesadaran publisitas. Story telling menjadi kekuatan menyampaikan pesan, merawat ingatan, dan membuka ruang lebih luas bagi tanggapan. Publisitas menjadi generator bagi testimoni. Inilah sebenarnya yang diidamkan merek: pengakuan.

Publikasi tentang penghargaan merek misalnya, merupakan hatrick pengakuan: juri, media, dan publik. Penilaian juri memberi pengakuan kepakaran. Apresiasi media sebagai pengakuan trajektoris (lintas perspektif). Sedang kepuasan publik menunjukkan kecocokan DNA produsen dengan konsumen. Sehingga, rangkaian publisitas ini akan menjadi story telling selanjutnya.

Kontinyuitas publisitas layaknya iklan yang tayang berulang. Pada satu fase berguna untuk mengingatkan. Tapi pada fase lain hanya menjadi spam. Ada ungkapan jurnalisme yang menarik kita aplikasi di strategi publisitas, “Jika tulisan kita terlalu sedikit, mungkin kita tidak punya bahan. Tapi bila tulisan kita terlalu banyak, bisa jadi kita hanya mengarang”.

Activate: User Spicy

Aktivasi merek tidak hanya memberi user experience. Tapi lebih jauh dari itu: user spicy. Layaknya menyantap cabe, yang mengesankan bukan pengalaman makan cabenya. Tapi pedasnya. Merek juga harus punya “sisi pedas” agar konsumen merasakannya. Mengingatnya. Lalu menceritakannya.

Bank menyediakan simulasi kredit rumah, itu biasa. Kontraktor membuat estimasi biaya pembangunan rumah, itu juga biasa. Tapi jika semen melakukan keduanya, itu baru pedas. User spicy ala Solusi Rumah Holcim ini adalah cerita semen yang bahu membahu bersama toko bangunan, bank, dan ahli bangunan, untuk mendirikan rumah bagi pelanggan.

Kita sedang demam sepeda. Dan Polygon memanaskannya. Mengadopsi konsep test drive di pasar otomotif, Polygon menyajikan user spicy berupa test ride. Sederhana, tapi Polygon bakal meninggalkan jejak pedasnya di bisnis technology bike di Indonesia. Seolah, mereka selalu ingat nasehat bijak strategi sampling, “Tidak ada pengalaman lebih mengesankan, kecuali mencoba lalu menyukainya”.

*) Disajikan pada Kuliah Umum Periklanan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 07 Oktober 2011

Edy SR
Desainer Logo
Tinggal di Yogyakarta

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENTS

  1. Dari Diane Novita, 12.10.11:

    Keren banget… Thanks DGI!

  2. Salut dengan energi Pak Han menebar inspirasi. Semoga ini jadi pengingat kami untuk terus berenergi.

  3. sama-sama, berterima kasih juga kepada pak edy yang telah berbagi.

  4. benar, kini brand, ataupun seni dan disain, berada dalam era narasi, pengisahan, dan bukan perkara benar-salah di sana, namun kisah kisah.

    omong omong soal narasi, Edy SR juga punya narasi/kisah yang dibangunnya: jika sudah diterima di sebuah kampus/jurusan yang diinginkannya, DKV ISI misalkan, maka ia akan lama lulusnya, bukan karena malas atau apa namun karena luar biasa sibuknya.

    Oke bung Edy, giliran kisah “pedas” brand digulirkan di kampus sampeyan, sewon, jogja selatan. salam

  5. Hahaha, saya terharu membaca kisah Mas Koskow tentang proses belajar saya. Semoga saya tidak pernah lulus dari kampus DGI-Indonesia.Com, agar selalu memiliki hak untuk terus belajar dari para desainer grafis yang luar biasa.

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly