Desain Grafis Indonesia

Desain Grafis Indonesia

Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society

BCF 2011 | Kelas Kreatif, Bersatulah

Perspektif Bali sebagai destinasi wisata harus diberi batas sembari meningkatkan posisi sebagai destinasi kreatif.

18 Oktober 2011, Presiden Yudhoyono mengetok palu hasil kocok ulang (reshuffle) susunan Kabinet Indonesia Bersatu II. Salah satu perubahan nomenklatur atau tata penamaan adalah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Anasir kebudayaan dikembalikan lagi seperti masa lalu, satu atap dengan pendidikan.

Ekonomi kreatif sebenarnya bukan barang baru dalam urusan kabinet. Sebelumnya urusan ekonomi kreatif di bawah Kementerian Perdagangan yang dikomandani Mari Elka Pangestu. Ketika ditunjuk untuk memimpin Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Mari seperti memboyong sebagian pekerjaan lamanya ke pos baru.

Penyapihan ekonomi kreatif untuk ditangani satu kementerian bisa jadi angin segar bagi para insan kreatif di Indonesia yang sedang membuncah semangatnya. Tapi laporan Global Creativity Index (GCI), hasil riset The Martin Prosperity Institute (MPI) yang dirilis Oktober lalu bisa memerahkan telinga. Dari 82 negara yang diriset oleh MPI, Indonesia berada pada posisi 81 untuk indeks kreativitas global dengan poin 0,037, di atas Kamboja yang mencatat poin 0,020.

Swedia yang mencatat poin 0,923 masih bertengger pada posisi puncak GCI sejak tahun 2004. Amerika Serikat menempati posisi kedua. Finlandia posisi ketiga, diikuti oleh Denmark. Australia kelima, dan Selandia Baru keenam. Negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi yang disebut poros BRIC (Brasil, Rusia, India, China) belum bisa menembus 10 besar GCI. Rusia rangking 31, Brasil 46, India 50 dan China 58.

MPI adalah lembaga think-tank di bawah University of Toronto yang mengaji peran faktor sub-nasional –lokasi, tempat, dan kota-daerah- pada kemakmuran ekonomi global. Riset MPI menekankan perlunya cara pandang baru terhadap kemakmuran yang terintegrasi, dengan melihat lebih luas daripada ukuran ekonomi tradisional. Dengan begitu, bisa tergambar pentingnya kualitas lokasi dan pengembangan potensi kreatif masyarakat.

Kelas kreatif
MPI mempromosikan kelas baru masyarakat yaitu kelas kreatif. Profesor Richard Florida, kepala MPI, mengidentifikasi kelas ini sebagai kekuatan penyetir perkembangan ekonomi di beberapa kota pasca-industrial di Amerika Serikat. Istilah ini dilontarkan oleh artis Mattison Fitzgerald untuk menyebut pelaku aktivitas rekaman dan seni di era jejaring diskusi usenet di era 1994-1998.

Florida menyebut kelas kreatif sebagai pekerja yang membuat bentuk baru yang penuh arti. Fungsi ekonomi mereka menghasilkan ide-ide baru, teknologi baru, atau konten kreatif. Mereka adalah pekerja di lapangan sains dan teknologi, bisnis dan manajemen, kesehatan dan pendidikan, seni, budaya, dan hiburan.

Kelas kreatif membentuk 40 persen atau lebih angkatan kerja di 14 negara. Singapura berada pada rangking tertinggi negara yang memiliki kelas kreatif paling banyak, diikuti Belanda, Swiss, Australia, Swedia, Belgia, Finlandia, Norwegia, dan Jerman. Kanada urutan ke-12 dengan 40,84 persen angkatan kerjanya adalah kelas kreatif. AS pada rangking ke-27 dengan jumlah 34,99 persen dari total angkatan kerja. Indonesia berada pada urutan 76 dengan jumlah kelas kreatif 4,3 persen.

Jangan lupakan toleransi
Krisis ekonomi global telah mengubah konsep populer tentang pertumbuhan ekonomi, baik tentang definisi maupun bagaimana menghitungnya. Peningkatan partisipasi gender dan melejitkan daya saing masih agenda penting pertumbuhan ekonomi. Tapi perhatian mendesak dialihkan kepada penciptaan lapangan pekerjaan, menaikkan upah, perbaikan ketidaksetaraan, dan mendorong kemakmuran jangka panjang yang lestari. GCI menyediakan lensa yang ampuh untuk menembus masalah ini.

GCI melakukan kajian pada prospek kemakmuran berkelanjutan di 82 negara dengan mengombinasikan pondasi ekonomi, sosial, dan faktor budaya. MPI merumuskan pentingnya 3T dalam perkembangan ekonomi, yaitu Technology, Talent dan Tolerance (Teknologi, Talenta dan Toleransi). GCI juga dikomparasi dengan sejumlah pengukuran daya saing dan kemakmuran dari pengukuran pertumbuhan ekonomi yang konvensional ke pengukuran alternatif dari kesetaraan ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, kebahagiaan dan kesejahteraan.

Teknologi adalah faktor kunci dalam kemajuan ekonomi. Dari penemuan baru seperti perangkat lunak dan robotik untuk meningkatkan sistem dan proses manufaktur, teknologi membuat ekonomi dan masyarakat jadi lebih efisien dan produktif. GCI menghitung kapasitas teknologi melakui tiga alat ukur: belanja riset dan pengembangan, riset dan pengembangan angkatan kerja, dan pematenan inovasi. Finlandia mengambil urutan pertama untuk teknologi, diikuti Jepang, dan AS ketiga, Israel keempat, Swedia 5. Indonesia berada pada urutan 74.

Talenta sangat esensial untuk memelihara kesuksesan ekonomi. Sebuah negara harus punya kemampuan untuk menghasilkan, memikat dan mengelola manusia. GCI mengukur talenta sebuah negara sebagai kombinasi dua faktor: tingkat rata-rata pencapaian pendidikan, dan persentase angkatan kerja di kelas kreatif. Negara-negara Skandinavia mengisi puncak pada rangking talenta, Finlandia pada posisi satu dan dua, Denmark posisi keempat. Singapura pada posisi ketiga, dan Selandia Baru posisi kelima. Indonesia pada posisi ke-80 dari 82 negara.

Kemampuan untuk menarik talenta dan teknologi mengarah pada keterbukaan pada ide-ide baru dan keterbukaan pada orang lain. GCI mengukur toleransi sebagai kombinasi dua variabel, berdasarkan survey Gallup, yaitu keterbukaan pada etnis serta dan ras minoritas, dan keterbukaan pada kaum gay dan lesbian.

Kanada mengisi posisi puncak indeks toleransi, diikuti Irlandia, Belanda, Selandia Baru dan Australia. Spanyol, Swedia, Amerika Serikat, Uruguay dan Inggris masuk 10 besar. Sudah bisa ditebak untuk urusan toleransi, Indonesia juga di nomor buncit, urutan 78, di atas Arab Saudi, Kamboja dan Pakistan.

Destinasi kreatif
Bila Presiden Yudhoyono membentuk kementerian ekonomi kreatif, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy membentuk sebuah lembaga elit, Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress. Komisi yang diketuai pemenang Nobel ekonomi Joseph E Stiglitz dan Amartya Sen ini dalam laporannya menantang pengukuran pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. “Apa yang diukur memengaruhi apa yang dilakukan,” sebut Stiglitz ketika merilis laporan komisinya. “Jika kita memakai ukuran yang salah, kita mendapat hasil yang salah.”

Komisi itu mengusulkan sejumlah pengukuran tambahan untuk kesejahteraan sosial dan ekonomi, dari pembangunan sosioekonomi, konsumsi yang berkelanjutan, produksi dan pengembangan, sampai inklusi sosial, kesehatan publik, dan transportasi. Alat ukur baru ini lebih menyediakan parameter kemajuan ekonomi dan sosial.

Teori ekonomi klasik yang dipengaruhi mazhab Adam Smith mengidentifikasi tiga faktor kunci dalam produksi yang menjadi pondasi perkembangan ekonomi. Tiga faktor itu adalah tanah, buruh dan modal. Tapi faktor fisik saja tidak cukup lagi membentuk kemajuan ekonomi modern. Teknologi, inovasi, pengetahuan, dan kemampuan manusia lebih memainkan peran.

Kreativitas membedakan cara pandang mendasar dari faktor produksi tradisional yang terlihat seperti tanah atau bahan mentah. Ini bukan benda yang bisa habis, tapi sumber daya terbarukan yang bisa ditingkatkan. Setiap orang berpotensi kreatif.

Kemajuan di masa depan dan kemakmuran bukan bergantung pada upaya segelintir elit cerdas tapi bagaimana memeras kreativitas dari setiap manusia. Kreativitas bisa bergerak dan bisa dipindahkan. Orang tidak diam di satu tempat, mereka bisa berpindah. Teknologi dan talenta yang mereka bawa adalah faktor bergerak, yang bisa ikut mengalir dari kota, daerah dan negara.

Ide-ide baru dihasilkan secara lebih efisien di tempat-tempat dimana perbedaan pola pikir ditoleransi. Perbedaan cara berpikir berhubungan dengan keragaman demografi. Keterbukaan pada keberagaman sejalan dengan pergeseran kultural dari nilai-nilai materialis tentang uang dan benda ke nilai-nilai yang pos-materialis. Nilai-nilai baru ini lebih menekankan ekspresi pribadi dan pencarian yang lebih luas pada kebahagiaan dan kesejahteraan. Toleransi –keterbukaan pada keberagaman- menghasilkan sumber daya baru manfaat ekonomi yang bekerja bersama teknologi dan talenta.

Tempat-tempat yang sangat terbuka pada ide-ide baru akan memikat talenta dan orang-orang kreatif dari seluruh dunia bersama teknologi dan kemampuan talenta mereka. Tempat-tempat ini akan mendapat manfaat ekonomi yang substansial.

Bali Creative Community akan menggelar Bali Creative Festival yang kedua pada 25-27 November 2001. Festival ini mengusung identitas program A (journey to) Bali Creative Destination (ABCD).

Bali adalah salah satu destinasi wisata premium dunia, dimana seni, tradisi dan budaya menjadi representasi kreativitas yang penting. BCF ingin mengemas artikulasi baru terhadap pemaknaan kreativitas yang berdimensi luas dan menjadikannya kesempatan untuk mencapai manfaat lebih bagi Bali di masa depan.

Kondisi aktual, Bali tengah dirongrong eksploitasi fisik yang seperti tanpa batas. Bali mulai menuai akumulasi degradasi lingkungan. Denpasar dan Badung seperti dipaksa untuk menjadi metropolis namun infrastruktur perkotaannya masih dengan identitas “Bali sebagai desa besar”.

Daya tampung Pulau Bali jelas terbatas sementara kepungan pengembangan fisik mengabaikan itu. Bila sebelumnya komoditas Bali adalah produk seni, kini telah tergeser posisinya oleh properti. Insan kreatif Bali terutama yang bersinggungan dengan industri turisme harus menyadari penghambaan pada eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.

BCF menjadi ajakan untuk mencari cara alternatif membuat kehidupan yang lebih baik. Caranya dengan memaksimalkan pengembangan potensi pada manusia, seni, budaya dan alam. Intinya adalah mengeksplorasi, bukan lagi mengeksploitasi.

Tugas Bali Creative Festival adalah memaksa kreativitas menjadi nilai lestari melalui penciptaan wahana pembelajaran, jaringan dan dialog, memupuk minat dan bakat. Wahana ini juga ingin mendukung kolaborasi serta mengampanyekan penciptaan produk yang fungsional, berkualitas dan memiliki estetika (design for value).

Gagasan “Bali Creative Destination” adalah mendorong Bali menjadi model sekaligus gerbang bagi terciptanya kreativitas Indonesia yang mengglobal. Perspektif Bali sebagai destinasi wisata harus diberi batas sembari meningkatkan posisi sebagai destinasi kreatif seperti identitas Bali Creative Festival.

Sumber: Bali Creative Festival

Artikel terkait:
Coming Soon: “Bali Creative Festival (BCF) 2011″
BCF 2011 | Kelas Kreatif, Bersatulah
BCF 2011 | Press Release Bali Creative Festival 2011 (1)
BCF 2011 | Press Release Bali Creative Festival 2011 (2)
BCF 2011 | Agenda Bali Creative Festival 2011
BCF 2011 | Creative Development in Creative Product Creations
BCF 2011 | Inisiatif “Branding” untuk Destinasi
BCF 2011 | Creative Publications in the Era of Creative Industry
BCF 2011 | Inspirasi Lifestyle Kebaya Bali
BCF 2011 | Challenges and Approaches in Urban Documentary Filmmaking
BCF 2011 | Pecha Kucha Night: “Bali #8″
BCF 2011 | Pengembangan Industri Kreatif di Desa Wisata Berbasis Ekowisata
BCF 2011 | Warna dan Tekstil Organik. Dari Tanah Turun Ke kain

•••

« Previous Article Next Article »

  • Share this!
  • delicious
  • mail
  • tweet this
  • share on facebook
  • Add to Google Bookmarks
  • Add to Yahoo! Buzz

COMMENT

  1. Dari Deden Maulana, DKV Universitas Pembangunan Jaya, 28.11.11:

    Selamat dan semoga bisa berjalan, perlu di buat program link antar
    terkait. Trims.

    DKV Universitas Pembangunan Jaya / Deden Maulana

Add Your Comments

© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by Henricus Kusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly