Bisa jadi! Foto-foto di atas saya ambil akhir Januari 2010 kemarin saat saya berada di Bali untuk mengurusi pabrik kaos Jangkrik dan Museum Kartun, bersama GM Sudharta, Pramono dan Mas Pri.
Apa yang dulu-dulu tahun ‘90-an kita bayangkan sudah menjadi kenyataan! Saat perusahaan setting tumbang satu-persatu di Bandung, karena kalah bersaing dengan Ventura Publisher [atau Adobe PageMaker di Jakarta] saya berpikir mungkin nantinya bikin lay-out majalah bisa gratis juga, karena kita kerjakan sendiri. Tadinya lay-out majalah atau buletin masih dihitung per-centimeter seukuran A4 atau folio, lalu hal ini lambat-laun mulai dilakukan oleh percetakan sebagai layanan gratis bagi klien.
Lebih miris lagi, pada era yang sama, ketika CorelDraw tiba-tiba muncul menjadi platform desain urang Bandung. Seorang rekan bahkan menghitung harga desain dengan model per-centimeter print-out! Sehingga anda tinggal bayangkan, satu lembar HVS-A4 bisa dipenuhi dengan berapa alternatif logo dan harganya kira-kira 50 ribu rupiah. Kata rekan saya tersebut, yang penting balik modal komputer dan printer-nya dulu. Saya memang sarankan ke dia untuk mulai menambahkan design fee juga, namun berhubung langganannya kebanyakan percetakan atau perusahaan kecil, ya apa boleh buat, 150 ribu saja mereka sudah protes. Dan pola ‘dagang desain’ semacam ini kemudian jadi model di Bandung.
Perusahaan sekelas Matari pernah coba masuk ke Bandung, tapi hanya sebagai pendukung below-the-line Jakarta. Pak Dedy yang jadi kacab-nya waktu itu pernah mengajak saya untuk mendatangi seorang klien Bandung yang mau re-design logonya. Dia bilang orang Bandung harus mulai menghargai logo seperti di Jakarta. Hanya butuh dua kali ketemu dengan Matari, pertemuan kedua soal harga, selanjutnya tidak ada kabar. Padahal harga yang disodorkan Matari sangat rendah dibanding Jakarta.
Makanya di Bandung tidak banyak perusahaan advertising yang bertahan, itupun tergantung klien dari Jakarta.
Kembali ke persoalan di atas, mungkin tidak perlu juga para desainer Bandung dan juga di seluruh Indonesia jadi resah, jangan-jangan desain memang akan jadi profesi gratisan. Gejalanya memang begitu. Tapi para pakar pendidikan atau pemasar pendidikan boleh sedikit pikir-pikir.
Masalahnya, seperti hitungan kasar rekan Hastjarjo dari Binus, sekitar 5000 lulusan DKV setiap tahun dihasilkan oleh Pendidikan Tinggi di Indonesia. Saya ragu dengan angka ini mengingat perguruan tinggi biasanya melakukan wisuda dua kali setahun, jangan-jangan malah lebih dari 5000 lulusan. Itu yang dari DKV, lalu yang dari jursan lain? Informatika atau Fikom yang notabene juga belajar mengoperasikan komputer grafis? Lalu anak-anak muda ini akan menyerbu Jakarta yang konon menghargai desainer lebih baik dari kota manapun di Indonesia. Nah lo!
Pengalaman saya di Bandung, banyak calon desainer muda yang punya modal, di Bandung, membuka usaha digital print yang lebih ‘jelas’ cash-flow-nya dibanding jadi desainer. Yang lain ada yang memilih jadi desainer kontrak pada beberapa perusahaan, yang gajinya dihitung sedikit di atas UMR. Atau ada juga yang memilih jadi pegawai tempat print lain, di mana dia harus bersaing juga dengan para lulusan jurusan lain yang mampu juga mengoperasikan komputer, di mana desain grafis hanya merupakan layanan gratis bagi klien.
Oke, ini memang potret muram dari profesi kita. Mudah-mudahan tidak terjadi di seluruh Indonesia. Namun boleh tetap jadi pemikiran kita semua. Nantinya akan terjadi seleksi alam, dimana hanya desainer yang berkualitas bagus yang akan bertahan.
Dan bagi yang belajar asal-asalan harus siap-siap terkena seleksi alam. Madesu, masa depan susah alias gratisan!
Bandung, Awal Februari 2010
Komentar-komentar dari page DGI (Desain Grafis Indonesia) di facebook, periode 11.2.10:
Komentar-komentar dari page Jurus Grafis di facebook, periode 12.2.10:
•••
Sama kayak di malang donk, “Desain Gratis, Biaya Cetak
Rp 3500,-/m2.”
Sbener’y, keahlian seseorang di bidang desain sangat banyak mas admin, ga cuma yg ada di jurusan a, b, atau c.. (sy aja suka pdhl jurusan sy ga nyambung. Hhe)
inti’y di setiap individu punya jiwa seni. Hanya saja mungkin, mereka ga bs n ga tau via apa mengapresiasikan & menerapkannya.
Oia.. Sy suka nih bait kedua dari t’akhir.
Dan memang hanya yang berkualitas saja yang mampu bertahan.
Lebih baik lagi, antara orang awam dan desainer slalu sinkron, soal’y orang awam banyak banget ide kreatif’y.
Salam kenal mas admin.
Sukses slalu.
Hahaha, akhirnya muncul juga tulisan ini. Emang waktu tahun 90 an dulu kita kan udh pernah mlesetin disain grafis jd disain gratis :D.
Konyol emang, tapi saya yakin seleksi alam akan berlaku.
Dan ngomong2 soal bandung ho ho jangan ditanya emang ancurrrr.
disayangkan jika hasil jerih payah (meliputi: waktu, tenaga/pikiran/ide, listrik, komputer, transportasi, tingkat kesulitan, profesionalitas) dalAm membuat karya seni desain grafis, bahwa dibilang “desain gratis” wooowww… sungguh terlaluuuuu (mode on: roma irama).
“namun boleh tetap jadi pemikiran kita semua. nantinya akan terjadi seleksi alam, dimana hanya desainer yang berkualitas bagus yang akan bertahan.”
“tetap semangat, selalu berpikiran positif (terbuka, dewasa & kreatif), tetap berusaha yg terbaik, ikhtiar & penuh istiqomah… :D”
seleksi memang berlaku, tetapi pola pikir orang (calon klien/klien) terhadap design yang under appreciated seperti ini akan bertahan berapa lama?
sebagai desainer muda saya sendiri merasakan hal itu..
oversupply lulusan baru dan sedikitnya demands untuk desainer, bukannya tidak percaya diri dengan kemampuan dan keahlian untuk bersaing tapi menghadapi realita seperti itu rasanya apa yang dikatakan madesu sudah terealisasi saat ini juga, seperti tidak ada design grafis lagi di Indonesia melainkan design gratis.
Bisa jadi baliho di atas adalah sebuah trik marketing… toh biasanya mereka para pengusaha2 banner dan baliho juga punya setter2 atau desainer2 internal yang digaji. Pastinya dengan harapan kalimat “desain gratis” bisa membawa lebih banyak kustomer yang datang. Yang sangat disayangkan adalah kalimat tersebut terus terang menyinggung sebuah profesi yang juga membuat saya marah dan tertegun. Saya juga berharap bahasa2 marketing yang dapat menyinggung sebuah profesi apapun itu, wajib… kudu… dihapuskan… Bisa saja kalimat tersebut diganti dengan “Banner Murah” atau “Hanya 20ribu/m2!”
Buat kita “desainer grafis” juga teman2 yang masih kuliah, jangan pernah takut… kreativitas itu sepadan dengan bentuk dan nilainya. Begitupun nilai sebuah “kita”…
Turut sedih membacanya, dan ini sangat nyata… ibarat buah simalakama, dikasi harga disain klien lari, dikasi gratis kitanya mati sendiri… Sepertinya Asosiasi perlu perhatian lebih, pemerintah juga… para disainer perlu perlindungan, perlu rate fee desain… dan perlu sekali memberi wawasan ke masyarakat luas perlunya ‘penghargaan’ atas karya kreasi (harus ada kampanye nyata).
Buat sekarang sih seperti kata masje diatas, teteup berpikiran positif, perkaya nilai lebih & smangat terus dalam berkarya ^_^V
ini lah akibat sistem pendidikan yg tidak didukung oleh perangkat yg bisa melindungi profesi desainer grafis, dan jauh2 hari para dedengkot yg berada di perguruan tinggi dan profesi tdk mau dan tidak peduli dengan keilmuan desain grafis itu sendiri, sehingga ketika kapitalisme pendidikan dan seenaknya menjual “ijazah” mengakibatkan tingginya lulusan desain yg tidak berkualitas, pertannyaannya adalah apakah mau dan mampu keprofesian ini dilindungi secara legal? analoginya adalah profesi dokter dengan tukang/pengobatan alternatif?
semua kembali kepada nilai estetika yang ditampilkan kalau untuk sekedar layout lulusan SMA pun bisa tapi menambahkan nilai estetika didalamnya itu pendidikan, pengalaman dan wawasan. jadi gak usah takut bersaing, kembali kepada nilai tambah dalam setiap hasil kerjaan kita.
Mungkin itu masalah kualitas… karena konsumen akan berfikir ulang juga utk membayar standart desainer kalau ternyata kualitas masih payah… meski sebenarnya banyak juga konsumen yang pelit dengan alasan menekan biaya…
Semua itu kembali ke kita menakar dan melihat posisi kita.
Jujur dengan kemampuan akan sedikit mambantu rasa sakit hati karna adanya istilah “desain gratis” tersebut… Kalau kita memang berkualitas orang juga akan menghargai kita kok…
Seperti komentar teman2 diatas… seleksi alam akan menjawabnya.
bukan mungkin lagi… tapi memang arahnya akan menuju “desain gratis”… dan yang berkualitas dan mahal akan menemukan marketnya… tapi bukan di indonesia melainkan di luar negeri…
tetap semangat desainer indonesia.
wah saya juga merasakan hal yang sama mas cahyo, creative brand agency saya kebetulan juga bergerak di malang.
mereka yang bersaing dengan harga mempunyai segmen sendiri, (mungkin) juga dengan tingkat pengetahuan sang klien tentang proses pengembangan desain yang terbatas, yang biasanya datang dari klien2 retail dan bukan korporat. meskipun tidak sebesar jakarta, klien2 korporat daerah perlahan mengerti bahwa desain itu salah satu stuktur utama untuk membangun dalam brand. hal ini memerlukan edukasi yang sinergis dari semua pihak, sekali lagi semua pihak (dari mereka yang bergerak di digital printing hingga brand/advertising agency). sulit memang merubah mengontrol paradigma yang bergerak liar seperti itu, namun bukannya tidak mungkin.
bandung miris banget..
padahal banyak desainer handal muncul dari kota ini tapi malah tidak bisa berkembang di kotanya sendiri.
saya sangat setuju dengan tulisan singkat mas toni ini. dulu memang di bandung lagi ancur2nya nih. & gejalanya di jktra sekarang sudah mau menuju desain secara gratisan juga. tapi memang tidak separah dan sekronis di bandung.
mari kita melihat dari sudut pandang lain tentang persoalan di atas. dalam pandanganku fenomena desain gratis menunjukkan praktik desain di beberapa kota di indonesia, bahkan hampir bisa dikatakan seluruh kota nantinya. jika kita lihat fenomena tersebut sebagai praktik sosial, di sana akan terbeber berbagai modal yang melatarinya, antara lain: modal sosial, ekonomi, simbolik, dan budaya. nah, pada modal budaya inilah desainer bisa bertahan mengingat di sini diperlukan pengetahuan yang mesti diraih. ini sejalan dengan pernyataan mas toni bahwa “hanya desainer yang berkualitas bagus yang akan bertahan.”
Harga, termasuk perilaku pasar, sepenuhnya tak bisa ditebak. yang perlu diperjuangkan ialah tentang apresiasi. jadi, fenomena desain gratis barangkali potret muram minimnya kajian desain grafis itu sendiri, juga minimnya desain grafis dipandang sebagai disiplin ilmu yang mengandung pengetahuan estetik dan budaya. jangan-jangan praktik desain gratis juga dimulai dari dunia pendidikan itu sendiri, yaitu di sana hanya diajarkan, maaf, kemampuan praktis bukan pada soal gagasan, apresiasi, dan pemecahan masalah.
fenomena desain gratis bagaimanapun membantu kita untuk mengoreksi diri bahwa masih ada pekerjaan rumah yang tertinggal. berterimana kasihlah pada fenomena desain gratis karena satu pekerjaan rumah terkerjakan : mendekatkan desain grafis ke masyarakat.
maka dari itu, tetaplah tenang sambil memperkaya modal budaya. sisanya, kita bergiat di wilayah apresiasi seperti menerbitkan buku kajian, ajang perlombaan, dan terutama pameran yang semestinya dihadiri khalayak ramai.
nah, siapa mau memulai dan mengisi kerja budaya di atas mengingat kebutuhan akan desain grafis bagi masyarakat telah diciptakan dan masif digelontorkan. salam
[…] sumber : forumdesaingrafisindonesia […]
di surabya juga begitu keadaannya, yang dihargai cetakannya bukan idenya… tinggal pilihannya aja, mau kaya jangan jadi disainer jadi pedagang aja hehehe… tapi yang punya kualitas pasti bertahan kok
memang begini keadaannya, itulah kenapa desainer harus bisa memanfaatkan internet sebaik2nya.. jadilah desainer global bukan lokal..
kL gn…
para desaigner grafis..
bs turun tahta dunk…or cm project terima kasih saja..
hehehheh
nuhun tanggapan para rekans, saya tetap berharap pemikiran ringkas saya ini hanya me’remind’ rekans tentang betapa ringkihnya situasi profesi kita saat ini, dan kalau bukan kita sendiri yang menghargai siapa lagi?
juga bagi insan pemasar pendidikan, cobalah mulai berpikir tentang nasib para siswa kita yang ‘asal’ diterima dan ‘asal’ belajar, ketika mereka lulus, profesi kita tergantung di pundak mereka juga, sehingga kalau kerja mereka ‘asal’, profesi ini pula yang jadi korban.
sejalan dengan itu, coba lihat di detik.com hari-hari ini, seorang seniman di bandung kehilangan kesabaran dan membakar sekitar 200 karyanya karena kesal, karena tidak ada perhatian dan apresiasi yang baik pada ‘art center’ yang ada di dekat kebon binatang bandung. saya sangat sedih [apa boleh buat] terhadap kejadian itu. ini saudara kita juga. kenyataannya bandung tidak se-apresiatif yang dibayangkan semua orang.
saya rasa kalimat terakhir kuarng cocok jika di bilang, “hanya desainer yang berkualitas yang akan bertahan” mungkin kata yang lebih tepat adalah, “hanya desainer yang ‘mau’ dibayar murah yang akan bertahan”.
kenapa saya berani mengatakan itu karena secara tidak langsung, kita sendiri yang mengakibatkan desain itu dibayar murah atau bahkan menjadi gratis. dengan berbagai alasan seperti, ‘balik modal’, ‘klien langganan’, ‘order pertama’, biar menang pitching’, kita dengan tidak sadar melacurkan profesi kita sebagai desainer ke tahap yang terendah.
jika kita ingin dihargai, kita harus mulai dari diri sendiri dengan menghargai semua karya kita. jangan kita senang karya kita dipilih klien karena ‘harga’ kita yang murah tapi karena karya kita yang berkualitas.
seandainya kita semua kompak, mungkin kita dapat menentukan sendiri nilai yang layak bagi profesi desainer dan karya2nya. kita dapat menolak semua yang kita anggap tidak layak. namun yang terjadi sekarang memang nilai ditentukan oleh klien yang seringkali menganggap mendesain itu ‘mudah’
tapi dilaen hal, kita juga tidak dapat memungkiri. kadang kebutuhan perut mendahulukan loyalitas kita sebagai profesional. jadi selama masyarakat kita masih membutuhkan yang namanya ‘sembako’. kita hanya akan selalu dipermainkan oleh klien yang menuntut harga murah….. salam
Yach… nasibku desainer… memang sdh begitu kenyataannya… sekarang segala sesuatu tinggal surfing di google… mau ide apa saja disitu… yang penting bisa photoshop hmmm jadilah bentuk baru… tinggal print… semuanya siapapun bisa… murah… murah… dan murah…
Optimis saja kawan… kita asah terus kemampuan kita “buat sesuatu yang lain/unik/terobosan baru di dunia kita… buat orang melirik dan tertarik”… atau kalau rajin surf di internet masih banyak kesempatan lain yg terbuka untuk kita para desainer…
Ora et labora… hehe katanya rejeki sdh ada porsinya untuk tiap orang…. hahaha… maju teruss desainer…. GBU.
Ini sih hukum pasar, over supply artinya akan membuat harga makin murah. Kl murah maka yg gak butuh pun akan bikin desain… alhasil desainer ditawar semurah-murahnya.
Tapi yg takut dgn kondisi spt ini berati dia tidak siap bersaing dan pasrah dianggap sebagai komoditi saja.
Desainer yg berkualitas tentu mampu ‘menjaga’ pasarnya.
Desainer harus punya mental yg lebih dari sekedar tukang desain.
Maju terus kawan2 desainer!
Di bidang fotografi hal ini sudah terjadi, akibat tidak langsung dari digitalisasi. Membuat foto jadi lebih mudah, juga untuk memolesnya menjadi lebih dramatis. Motret aja yang banyak, nanti ada photoshop yang ‘ngebenerin’, beres kan? Jadi buat apa pake tenaga fotografer yang mahal, yang penting tukang photoshop nya yang pinter….Salam jepret!
hahahha… sy sendiri sudah jau- jauh wkt lalu (thn 90 an) sudah melihat ini mulai dari settingan sablon sampai designer kantor yg penting bisa mengoperasikan komputer sudah pasti jadi design grafis… yaa… sekarang tinggal pintar2… cari peluang… mmm…
gimana saya usulkan buka sekolah profesi desainer grafis biar bisa membedakan… ini cuma usul aja… salam.
…bisa d bayangkan klo yg d bandung & jakarta aja desainer udah ga di hargai, apalagi kita yg tinggal d daerah..alias kota kecil….lebih ancur lg…ni…
permasalahan ini sangat kompleks, dari pandangan saya…saya temui hal2 yg mendjadikan desain makin terpojok al :
1. ulah makelar / marketing (maaf bukan brmaksud menjelekan suatu profesi) desain, yaitu orang yg sama sekali ga bisa & ngerti tentang mendesain tp krn ada peluang mendapat uang sebagai tambahan penghasilan, lalu mereka berkompetisi secara “ngawur” yaitu dengan menjatuhkan harga desain hanya utk mendapatkan job.
2. ulah orang yg bisa menjalankan program desain melalui otodidak / ikut kursus singkat, mereka menyebut dirinya desainer…yaitu dengan metode & motif yg sama dengan makelar…secara teknis orang2 ini lumayan mumpuni…tp mereka tidak mengetahui sisi desain yg lain,..yaitu komunikasi…jd pokoknya asal bagus secara estetis…
3. ulah para pelaku industri printing, cetak, media….krn demi kelancaran produksi dan penyewaan media yg rutin…mereka membanting harga jasa desain….
4. ulah desainer grafis sendiri….yaitu terlalu sibuk dengan masalah teknis baik program2 komputer desain samapi ke maslah gaya desain….tp tidak pernah berupaya utk bisa memberikan “nilai” pada klien atau pengguna jasa desainer….bahkan saya sering melihat para desainer melakukan “malpraktek”….yiatu melakukan proses desain selalu di depan komputer….yg akan sangat membatasi kreatifitas dan eksplorasi imajinatif desainer…., bukankah kata desainer berasal dari kata dasar desain yg berarti “merancang”, mana mungkin kita bisa merancang dengan baik klo tergantung pada tool2 yg ada d komputer..??
So, mari kita benahi diri…kembali ke dasar lg…
itu saja menurut saya….
wah saya jg tuh biar katany saya cuma lulus sma ttp bukan berarti disain grafis merupakan hal yg instan krn untuk dpt membuat suatu karya yang disain di butuh kan Unsur shape, bentuk (form), tekstur, garis, ruang, dan warna.yang membentuk prinsip keseimbangan (balance), ritme (rhythm), tekanan (emphasis), proporsi (“proportion”) dan kesatuan (unity),emang sih persaingan sekarang ketat ttp bukan berarti menutup peluang klo desain grafis dah banyak kok Komik indonesia,animasi indonesia,game indonesia tidak booming berarti msh sedikit kan…
setuju mass…
saya rasa distro/indie clothing/streetwear dan semacamnya adalah salah satu contoh yang sangat baik di dalam menghadapi masalah ini, desainer harus mulai berfikir untuk menciptakan/berkarya sesuatu yang menyenangkan, berhubungan dengan profesinya dan bernilai ekonomis, jadi tidak terpaku dengan ruang dan dunia yang itu-itu saja. Intinya adalah cobalah untuk berdiri sendiri, masalah ada yang sampai ‘membakar’ karyanya sendiri, saya pikir itu adalah tindakan yang ‘terburu-buru.’
Klo bilang nya “profesi gratisan” ga enak juga…..
padahal banyak yang minat (ambil profesi designer) loh!
Hehehehe… Sejak kami membuka usaha desain thn 2001 di JAKARTA kami malah sering menggratiskan desain kami krn mmg klien kami gak punya budget desain. Kami pikir ini adl usaha mendidik klien supaya jauh2 hari bikin Anggaran Tahunan dg mencantumkan biaya desain dan ilustrasi. Sejak itu kami2 berseloroh… kyknya usaha kita ini bukan DESAIN GRAFIS deh tp DESAIN GRATIS! hehehe…
emang sering kok ditemuin promo2 yg kayak gitu, rasanya jd miris
Memang benar grafik masa depan desain komunikasi visual sedang menuju pada titik terendah, kenapa? karena akar dari masalahnya adalah berbicara tentang mental. Banyak dari kita yg pada dasrnya tdk menghargai sebuah karya.
Contohnya beli DVD bajakan, terus terang saya enggan kalau tidak terpaksa kalo beli film DVD yang bajakan karena kualitas filmnya sudah parah.
Begitu pula bicara soal desain komunikasi visual, banyak dari pengusaha-pengusaha yang berani memberikan “servis” gratis jasa desain kepada konsumennya karena:
1.mereka juga sudah buta akan USP(Unique Selling Preposition) usaha mereka dan mereka cuma mau jadi pengikut saja supaya aman. Padahal strategi dalam usaha cetak tidak harus memberikan jasa desain gratis, tapi bisa juga memberikan gratis kupon potongan harga utk cetak sekian banyak, itu misalnya.
sayangnya banyak pengusaha di Indonesia yang piawai dalam hal hitung-hitungan untung rugi dalam jualan tapi “rendah IQ” dalam menyiasati USP bagi usaha mereka dan tidak mau ambil resiko rugi.
2. Berbicara tentang citra yang kabur mengenai “desainer grafis/desain komunikasi visual” banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan antara desainer grafis sama dengan tukang setting/juru ketik.
Saya jadi ingat sewaktu dikampus, ada sebuah unit komupter yang memiliki masalah dengan PC mereka. Salah satu karyawan dalam ruangan tersebut keluar ruang dan bertemu saya lalu dia bilang dan minta tolong ke saya dengan kata ” eh tologindong betulin tuch komputer…kamu kan dari desain grafis pasti bisa membetulkan komputer….”
Saya serasa ingin tertawa campur kesal mendengar kalimat tersebut dan apa yang ada dalam pikiran saya adalah desainer grafis adalah disama dengankan mekanik komputer. Tetapi begitulah image dimasyarakat sala satunya tentang desain grafis.
3. Berbicara mengenai kekompakan dan standarisasi harga desain yang tidak jelas dalam masyarakat membuat desain grafis itu tidak mempunyai posisi jual yang baik.
Dan akhirnya saya sependapat dengan Pak To Mas alias Toni Masdiono, hanya yang kreatif dan yang baik yang akan selamat dari seleksi alam terhadap profesi dunia desain grafis. Ini juga jadi cambuka bagi para mahasiswa/wi Desain Komunikasi Visual untuk lebih berkompeten, kreatif dan tekun dalam studi belajarnya di kampusnya. Bukan hanya kerjanya datang ke kampus hanya untuk “cepika-cepiki” dan mengejar target absensi saja. Shalam…:)
Edy Chandra, S.Sn
Staff Pengajar Desain Komunikasi Visual dan Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanagara.
*menyimak*
kalo yg dicari memang cuman cetakan ya cukup pake pesuuh, cukuplah pakai tukang, sisanya pake mesin (digital)
kalo yg dibutuhin teman memecahkan masalah grafis, itulah yg dilakukan desainer grafis, konsultan komunikasi grafis.. Yg begitu biasanya keluaran sekolah.
Itulah bedanya pesuruh dan sejawat…
tetap semangat, jangan khawatir.. kualitas akan menentukan.
Buruh aja ngamuk kalo gak dibayar. !!!
Sebetulnya tak ada yang salah dr iklan itu (tolok ukur kesalahannya belum jelas). Melihat kasus ini, nampaknya lebih condong ke strategi marketing. Seperti ungkapan “tidak ada makan siang yang gratis”, begitu pula dengan iklan itu. Namun menjadi runyam persoalannya ketika disandingkan dengan design grafis sebagai sebuah profesi. Singkat kata profesi design grafis akan butuh waktu yang sangat lama untuk mendapatkan tempat yang layak dimata klien bila penghargaan pelaku profesi ini terhadap dirinya sendiri, demikian rendah.
Buruh aja ngamuk jika telat bayarnya
strategi menggratiskan pekerjaan desain memang pantas dilakukan perusahaan yang berharap dapur produksinya jalan terus. dari strategi ini tercermin bahwa desain adalah ‘kendala’ yang menutup pintu kemungkinan calon kliennya langsung datang menghampirinya.
klien juga dalam hati kecilnya tahu bahwa desain itu berpengaruh besar terhadap daya jualnya, tapi apa daya ia belum sanggup investasi dalam hal ini. jenis klien spt ini yg menyambut desain gratis itu.
hubungan produser (desainer ada di dalamnya) dan klien seperti ini akan membawa mereka ke dalam bentuk proses desain (kreasi) yang instan juga. kemungkinan besar tak ada riset mendalam, tak ada investasi waktu untuk menempa masalah dengan argumentasi, sehingga hasil desainnya tidak matang. yang paling dirugikan dengan proses ini adalah klien.
jadi, strategi desain gratis kesannya menguntungkan klien, padahal realitanya justru merugikan. keunikan klien, potensi strategi yang lebih kreatif dan keuntungan2 lain yang bisa timbul dari proses desain yang matang justru diabaikan. klien cukup puas dengan kondisi seadanya, sehingga mengubur potensi dirinya sendiri.
bisnis desain gratis atau perusahaan yang mengumbar harga murah adalah cermin dari beragamnya pemahaman thd desain grafis. mereka yang terpengaruh dg mudahnya membuat cetakan digital, membuat brosur dan logo itu gampang –apalagi sdh banyak template yang gratisan–, tak perlu sekolah/pendidikan khusus utk jadi desainer, pastilah menilai dirinya berdasar kemudahan itu. jadi, sampai kapanpun akan ada jenis bisnis seperti ini, karena tingkat pemahaman tak akan mungkin sama.
salah satu cara untuk membangun iklim penghormatan dan edukasi profesi desain adalah dengan memperbesar kesempatan proyek desain yang pro-bono (alias gratis juga). bedanya, desainer/produser bekerja sama dg klien di atas biaya yang minim tanpa mengurangi porsi proses desain dan dialog yang maksimal.
keuntungan ‘desain gratis’ model ke-2 ini bagi desainernya adalah pola pembelajaran yang penuh, selain menambah portofolionya. setelah lulus dari proyek ini, klien jadi mengerti manfaat desain. harapannya selanjutnya ia akan mengerti nilai desain. tanpa ada gerakan yang besar hati dari desainer untuk melakukan program ‘desain gratis’ ini, masyarakat/klien sulit mengakses manfaat sesungguhnya dari desain.
jadi, kalau dibilang bandung, malang atau kota2 lain masyarakatnya belum menghormati desain, yang bertanggung jawab utk merubah itu adalah desainernya. jangan berharap publik/klien berubah dg sendirinya.
kalau “designer learning by doing” maka “desain hanya bisa dipelajari/dipahami apabila diterapkan.”
jadi, ayo kita sama2 belajar terus! terima kasih mas Toni, makasih pak Hanny, hidup dgi
ini lah yang dapat menjatuhkan para disainer indonesia malah tidak dihargai……..bahkan dikesampingkan bagi kalangan awam…… malah sebenarnya sekolah disain grafis makin mahal………itu perlu di perhatikan hendahnya……………
tenang aja seleksi alam pasti terjadi, 5000 lulusan binus paling nggak ada setengahnya yang menonjol. berlaku jg di kampus lain.
memang sangat disayangkan desain di gratiskan, tetapi kl kita punya karya layak jual pasti jg dihargai..
hidup desain grafis Indonesia…
strategi menggratiskan desain adalah strategi GOBLOK & strategi bunuh diri/membunuh profesi desainer.
…
ok sekarang gini, apakah nggak mikir nasib bagi para desainer yg lain? iya dia bisa dapat untung dengan strategi itu.. tapi mbok ya mikir EFEKnya……
nanti ketika ornag awam mau pesen desain taunya gratis ato mungkin malah bisa saja berfikir karya yg menang di pinastika itu jg gratis..tis…
wakakakakaaaaaa……..
“kalau kita sendiri nggak menghargai diri kita sendiri, gimana orang lain mau hargai kita”
apakah butul???
sebenarnya, tukang seting berbeda dgn desain grafis. desain grafis adalah orang yang membuat ide dan menciptakannya. sedangkan tukang seting hanya mencetak untuk mewujudkan penciptaan desain grafis.
kesalahan kita: kita belum membuat suatu komunitas desain grafis yang mempunyai kekuatan hukum untuk melindungi profesi desain grafis agar tidak gratis. Jika ada poster atau baliho yang mencantumkan kata “gratis biaya desain”, perusahaan tersebut bisa dituntut. Bagaimanapun, sesuatu itu tidak semuanya bisa gratis. Karena ide itu adalah anugerah yang bisa menciptakan imajinasi seseorang. Imajinasi itu mahal, karena imajinasi membuat orang disekelilingnya bisa senang ataupun sedih.
Jika Anda beranggapan setuju untuk “gratis biaya desain”, berarti Anda telah menghilangkan salah satu profesi yang telah menciptakan berbagai karya maestro dunia.
Bagaimanapun juga, uang bisa membuat manusia menjadi pintar, karena ia bisa bersekolah lagi, membuat karya lagi, serta bisa membuat pesawat luar angkasa karena dari imajinasinya. dari imajinasinya itu, dia membutuhkan juga banyak Insyinyur dan Astronot untuk mewujudkan pesawat luar angkasa. berarti UANG UNTUK BIAYA DESAIN JUGA MEMBERIKAN NAFKAH UNTUK SESAMA MANUSIA YANG PUNYA OTAK BRILIAN.
Untuk temen2x DG, mari kita mulai bikin penawaran yang harus mencantumkan biaya desain terpisah dengan biaya cetak, biaya foto, biaya scan, biaya2x yang lainnya. Kalo klien nya gak mau terima, yaaahhh sudah kita cari klien yang lain, yang mau menghargai sebuah karya desain.
Biaya cetak tidak bisa digabungkan dengan biaya desain, karena memang sudah berbeda. Kalau ada desainer grafis yang menggabungkannya dengan alasan itu sebuah strategi marketing, maka saya katakan itulah strategi bodoh.
ada pengalaman sebuah agency dari bandung, yang menerima desain katalog untuk mall di bandung dan di jkt, penawaran sudah plus cetak, foto, model, copywriter, setelah jadi hasilnya ancur dari desain sampai kualitas cetak, pengalaman ini baru saja terjadi di januari 2010.
Kalo menurut gw sih udah gak waktunya lagi melihat desain grafis sebagai solusi terpisah dari keseluruhan solusi komukasi untuk saat ini. Fungsi desain grafis saat ini sudah berbeda (atau bergeser) dari tahun-tahun yang dicontohkan pada tulisan di atas. Kalaupun suatu perusahaan memberikan jasa desain grafis seolah ‘gratis’ karena terkait dengan jasa lainnya sebagai suatu integrasi, toh desainernya tetap digaji.
Untuk beberapa desain yang baru terjun sebagai freelancer, jasa gratisan kadang harus diterima sebagai bagian dalam proses berkarya, kalau dia memang desainer yang berkualitas , dia akan segera menemukan standar harga yang lebih sesuai seiring perjalanan waktu.
Beruntunglah kalian yang diberkati dengan banyak uang, bisa memilih kampus yang bagus, punya modal untuk bikin portfolio yang bagus ( gratis juga kan..? tekor malah) dan bisa melanjutkan S2 di seberang lautan, kemudian balik ke negeri tercinta dan leluasa memilih agency atau mendirikan usaha dengan modal yang kuat. Setahu gw malah lebih banyak yang kurang beruntung seperti itu, biarlah mereka berproses, mbok ya dibantu saja supaya lebih kompeten, ribut aja soal duit nih! Ngomong-ngomong soal gratisan atau low price, coba ngacung, desainer mana nih sejak dulu kala hingga kini yang gak pernah kasih harga miring?
Lainnya, perusahaan besar dengan modal besar pasti mampu membayar jasa desain dengan sangat layak. Gimana dengan perusahaan kecil atau ingin memberbaiki citra tapi terbentur ‘standar harga desain’ ?
Lagian gw blom mendengar (mungkin gw kuper) upaya yang maksimal dari asosiasi desain grafis untuk membuat standar harga desain grafis dan standar gaji desainer grafis yang diupdate berkala dan mensosialisasikannya ke pelaku industri dan pemerintah / depnaker.
Standar harga desain cuma dicekokin ke mahasiswa DKV dan desainer-desainer pemula. Kenyataannya di lapangan di mana gaji desainer kadang tidak sebesar kuli bangunan atau penjual pecel lele, yah..seringkali harus dihadapi sendiri.
design gratis itu trik tapi sebenernya dah dihitung ongkos printing kali, trus kalo gak pakai design yah tetep diitung ongkos printing.
Pengalaman saya di bandung saat ngedesain memang kadang2 klien mintanya murah kecuali pabrik2 besar, pernah saya bikin annual report lumayanlah tapi kalo logo wah saya sering bikin ga dibayar coz dah termasuk gaji bulanan hehehe maklum biro kecil! Makanya mending bikin event aja sekarang di jogja hehehe… design ma order ke temen, lagi-lagi designnya gratis cuma biaya cetak aja!
Tapi tetep semangat jagoan2 design!
hidup desain gratissss eh hidup tukang grafissss eh hidup desain grafissss…..
nah lho! kalo uda kyak gtu kan repot.
klo jadi urang (bandung) GRAFIS aja susah gimana nasibnya urang DKV?
kumahak atu kang???!
GRAFISMAN the visualiser and DKVMAN the conceptor also visualiser, arn’t they?
jangan sampe ada tiba2 muncul pekerjaan DKV as graphics, apa kata dunia?!
bedain didkit dong antara DKVer dengan GRAFISer (visualiser)!
pelaku bisnis di negri ini kurang mernghargai sebuah desain. penginya cari yang gampang, ya gratisan itu tadi. yg penting banner jadi, spnduk terpasang, kartu nama ada no tlpnya, undangan tebel..soal desain, itu kan gratis. pola pemikiran ini yang harus diberantas. setuju…?
Menurut saya memang itu kenyataan yang ada, tapi buat saya itu gak masalah, sampai saat ini saya yakin tetap ada orang-orang ataupun klien-klien yang bisa dibuka pikirannya dan menghargai karya kita. Oleh sebab itu referensi akan karya kita itu sangat diperlukan, sebagai pengakuan mereka pada karya -karya kita.
Saya segera akan tinggalkan jika bertemu klien model P alias “picik” (buang-buang waktu aja). Dan jika mereka bilang disana lebih murah bikin Logo cuma 150 rb, ya saya jawab ” berarti Anda kesana saja, tapi yang jelas ada perbedaan untuk kualitas desain dari seorang setingan dan seorang Desainer Grafis.
Saya freelance, dan setiap ada klien baru biasanya justru dari rekomendasi klien-klien saya yang terdahulu yang pernah dan sampai sekarang masih bekerjasama bersama saya. Makanya saya selalu tunjukan referensi saya untuk dilihat oleh mereka, seberapa besar kapasitas saya untuk bisa dihargai desainnya. Dengan begitu kita sudah punya tolok ukur ataupun standart harga yang kita mau. Karena menurut saya standart harga karya desain dilihat dari referensi yang ada, saya masih ingat kala saya pertama kali menjual hasil karya desain broshur seharga Rp. 150 rb (tapi tidak selamanya segitu, secara bertahap harga mulai saya naikan) Dan menurut saya itu adalah proses, dengan semakin banyak karya yang kita buat maka referensi akan bertambah dan harga kita juga mulai menemukan standart terbaiknya, sekali lagi proses. saat ini saya telah bisa bergerak ke angka 800rb - 2jt untuk pembuatan desain leflet ataupun broshur tergantung nilai kerumitan dan bobot dari sebuah karya serta riwayat sang klien (klien perusahaan top atau biasa). Bahkan untuk Logo saya tak pernah main-main untuk menentukan harganya, saya bersikukuh punya standart sendiri dengan senjata referensi karya yang saya miliki dan selama ini gak ada masalah mengenai harga.
Jangan pernah meragukan atau tidak bangga akan profesi yang kita cintai, karena dengan kita menghargai karya kita sendiri tentunya orang lain juga akan menghargai karya kita dan mereka memberikan nilai yang pantas untuk itu.
Saya bukan menggurui loh, cuma bagi-bagi pengalaman dan ingin melihat profesi kita makin maju dan sangat dihargai di Negeri ini.
Sekian & Terimakasih.
good service + cheap = won’t be fast
good service + fast = won’t be cheap
fast service + cheap = won’t be good
yg gratis belum tentu manis & laris! ^__^
Stuju bnged bang eka…dengan mengemas pesan dan mengembangkan strategi kreatif akan menambah nilai seorang desainer di mata klien.
The most expensive ad is the bad ad….
Nuhun ah….
sangat menyedihkan melihat kondisi desain saat ini…
5-8 tahun ysng lalu untuk membuat sebuah compro atau annual report, perusahaan mau dan mampu utk neghargai konsep desain, LO & FA yang bisa mencapai 20-40jt. bandingkan dengan harga skg yg super murah atau bahkan gratis…
ini semua kadang salah kita sendiri.
karena agency saya pernah mengalami kalah pitching dikarenakan hanya karena harga. karena sudah kedekatan dengan klien, klien sampai memperlihatkan surat penawaran dari agency saingan yang harganya jaauuuuuuhhhh di bawah yang kami tawarkan. pada saat itu padahal klien telah menegaskan kalo mereka sangat menyukai konsep yang kami sampaikan tapi berhubung harga yang ada jauh berbeda dan agency kami tetap memegang teguh dan menghargai karya kami sendiri. akhirnya tetap yang termurah lah yang terpilih.
memang seharusnya asosiasi desainer harus membuat standar dalam pricing desain. jika tidak harga desain dan karya desain negri ini akan hancurrr…..
salam
desain grafis semula adalah profesi sampingan saya, sedangkan profesi utama “pelatih boxer”.. perlahan tapi pasti sekarang kebalik! profesi utama sekarang adalah desainer grafis dan (tidak tanggung-tanggung) saya nobatkan bahwa saya adalah “raja desain” di Bontang Kalimantan Timur, tempat semula saya membuka dan memperkenalkan Olahraga Boxer..kenapa? karena di daerah (seperti Bontang) dan sekitarnya, profesi DG ini termasuk LANGKA! walaupun kenyataannya banyak bermunculan “Tukang Setting” berubah papan nama menjadi “Desain Grafis”, tapi belum sanggup men-desain seperti permintaan klien (perusahaan), contoh: Perusahaan Pupuk Kaltim (PKT Bontang) masih juga mendesain di Jakarta (alasan: karena sudah langganan), juga PT.Badak NGL, (tapi belakangan PKT dan PT Badak mulai terbuka matanya bahwa desain grafis Bontang sekarang tidak kalah dengan DG Jakarta), nah buat para pemuda/i ahli desain yg masih berkutat nyari kerja di JAWA, segera penuhi daerah2 yg pastinya BUTUH ANDA! Jaman sekarang jaman duit, tapi di daerah pun jangan dikira desain dibayar murah, saya pribadi kadang memasang tarif GRATIS kalau sekaligus cetak di saya, karena harga cetak di saya termasuk mahal, tapi kalau hanya men-desain tarif saya di Bontang Rp.50.000,- per jam. (tarif paling mahal di Bontang-kalau mau agak murah bisa dilayani murid2 saya, tarifnya setengah dari tarif saya). Ini sebagai gambaran bahwa desainer grafis di daerah adalah tetap profesi bergengsi!
Kirain makin kesini desain makin dihargai dengan banyaknya alumni DKV, ternyata….
duh, semoga usaha yang saya rintis di bidang ini sejak hampir 5 tahun yang lalu bisa bertahan….
saya tau nie tempatnya… kebetulan saya dari bali… apa perlu saya tegur ne mas mas sekalian? hihi…
Bukan salah masyarakat.
Justru kita harus educate mereka (klise memang, tapi itu jalannya)
Caranya?
Tidak ada cara manten. Dan tidak ada cara yang benar2 mencegah, atau sama sekali meniadakan praktek semacam ini.
Namun ada jalan dimana bisa melindungi industri dan para pekerjanya.
Yaitu ada semacam badan atau asosiasi yang benar-benar mewadahi dan melindungi serta membuat program yang nyata-nyata memberi impact buat kesehatan industri ini.
Masalahnya semua para praktisi (umumnya yang perorangan sampai menengah) tidak punya kekuatan dibidang hukum apabila klien berulah ataupun pasar sudah tidak wajar lagi (seperti gambar diatas)
Perlu dibuat undang-undang perlindungan hak dan hak cipta insan kreatif. Baik dari sisi bisnis sampai ke ranah yang bersifat kompetisi terbuka.
Contohnya, bagaimana melindungi insan kreatif dari klien yang pura-pura buat pitching namun hanya untuk window shopping, fee comparison ataupun curi ide.
buat regulasi yang didukung juga oleh pemerintah.
Untuk kompetisi?
Buat standar tata cara kompetisi yang beretika dan menghargai karya dan waktu para peserta.
Yaitu, tidak ada syarat pengiriman file high-res atau vector dan hilangkan juga syarat “semua materi yang masuk menjadi milik penyelenggara”.
Sungguh miris melihat para penyelenggara sangat serakah. Apa yang mereka dapat adalah databank design siap pakai.
Terlepas dari kualitas individu, itu tidak bisa ditakar.
Pada akhirnya ada harga ada kualitas.
Belajarlah dari AIGA dan American Designers Guild
salam,
SH in
Desain Grafis: Desain Gratis, dulu ada mengenai ini di Harian Surya Surabaya edisi Minggu 27 Desember 2009.
Dalam setiap kesempatan saya selalu sharing dengan klien dan menjelaskan bahwa desain bukan hanya dilihat dari visual saja, tetapi juga dari tema dan konsep. Sebuah desain adalah campuran dari art/seni, psikologi, komunikasi dan filosofi, entah itu logo ataupun desain poster atau iklan. Dan yang membuat sebuah desain itu mahal adalah konsep dan perencanaannya. Jika ingin sebuah desain itu murah saya bisa memberi tetapi bukan murni ide saya, sebagian besar saya ambil dari template2 di internet. Sebuah dilema memang, seorang desainer harus menggunakan template2 tetapi seperti itulah kenyataan di sekitarnya. Sekelas digital print juga menggunakan template dalam kerja desain.
“Anda Ingin Murah Kami Beri Template, Anda Bayar Mahal Kami Beri Ide Brilian”
sedih denger kyak gitu, jd capek-capek kuliah buat apaaan klo kalah ama operator DP yang istilahnya cuma tau desain grafis cangkangnya doang (maaf bukan sombong).
ini emg jadi satu masalah ketika orang tak tahu apa itu desain grafis dan apa itu karya desain.
singkatnya ini cuma karma bagi para DESAINER GRAFIS INDONESIA yang marak pake CD BAJAKAN.. hahaha.. termasuk gue.. coba kalo dirazia.. mungkin cuma 10% desainer yang pake software licenced.. itu juga di perusahaan2 besar.. semoga COREL & ADOBE cepet2 ngerazia software di Indonesia.. amien.. resikonya ya.. beli dah.. hahaha.. udah lah nikmatin aja.. REZEKI bukan kita yang ngatur..
dari Tibor Kalman:
‘If you believe in your ideas, money will follow. If you pursue money you should fail’.
tapi kok “desain grosir” bisa laris manis kaya gitu yah….nah lo
ya murah yang murah. memang negeri kita tercinta ini murahan. manusianya juga murah2.
Mendidik desainer aja susahnya minta ampun, apalagi mendidik klien. =)
positioning dalam profesi desain grafis sangat perlu? keprofesionalitasan dalam menciptakan karya, dan memanajemen profesi sebagai desainer kepada client… ketakutan2 akan selalu membayangi mengisi sisi dari keburukan kemajuan jaman… terus berkarya dan terus berpikir untuk kemajuan desain grafis Indonesia…
terimakasih mas masdiono.
dari sudut pandangan positif: sebenarnya biaya desainnya tidak gratis juga, hanya saja sebagai daya tarik dipajang spt itu. Biasa desain sudah dimasukkan dalam biaya operasional dan ongkos pembuatan produknya. hehehe. jangan pesimis gitu, ah.
Mungkin di sebabkan oleh maraknya sofware grafis dan gratis yang beredar luas di masyarakat kita dan dengan harga terjangkau antara 10.000 ribu perak sampai dengan harga 15.000 perak. Jadinya mungkin mereka akan sangat2 meremehkan sebuah harga desain.
Sebagai contoh :
A: Desain ini harganya 1 jt
B: Mahal amat sih, BT ah kan gak jadi ah, cari yang murah meriah aja toh harga sofware DVD nya hanya 25 ribu perak kok…
A: Sial parah amat, beli dimana tuh harga segitu ?, pasar loak ya ? , asal tau aja ya harganya 900 dolar .
Waduh sy juga lulusan desain… kebetulan sy kerjanya di salah satu percetakan besar yang sudah tekenal mencetak majalah concept itu tuh mas… Klo disini sebutanya sih operator seeting Bukan Desainer…. terkadang saya juga miris ya mas… masa buat 1 logo perusahaan sekaligus stationarynya dihargain 100 rb sm perusahaan… parah gak tuh… setelah saya tau dihargai segitu saya jadi males setting bagus2… bikin aja apa yang dia bilang ga perlu mikirin konsep warna bentuk ato apalah segala macemnya.. biarpun menurut saya jeyg penting customernya suka… trus bikin kalender dihargain 150 rb…. males juga jadinya kalo gini terus…
Trus bukan cuma desain yg perang harga lo mas…. di daerah jakpus perang habis habisan dua perusahaan Digital printing saling bersaing harga digital printing sampe Rp. 900 / lembar Print A3+ dengan mesin printer Hp Indigo yg udah dikenal kualitasnya sadis gak tuh… tapi gak ada yang bergerak buat naganin masalah ini mas… kalo begini terus persaingan sudah mulai gak sehat memang. hahahahaha…… yang lucunya lagi salah satu perusahaan digital printing yang bersaing tersebut membuat sebuah spanduk yg bunyinya ” KURSUS DESAIN GRAFIS GRATIS” emangnya ngedisain itu cuma modal bisa mengoperasikan software grafis aja apa….
huffttt….. dah ah cape ceritanya…
wuih.. kalo desainer softwarenya udah licenced.. hal ini gak mungkin terjadi.. betul-betulbetul????
emang udah kayak gini kok indonesia, gak ada yang mau menilai suatu citra rasa seorang desainer, mintanya yang bagus, tapi harga murah, ato gratis sekalian…
ada juga tuh..saat saya tamat kuliah DKV, beberapa teman saya membuka usaha, seperti cafe, dll… mereka minta saya mendesainkan, brand nya sampai ke interiornya…setelah semua selesai..tinggal pengajuan dana..eh malah gak jadi..dia ngomong “masa sama2 teman pake bayar juga sih yan, ntar gw yang sukses lo juga yang bangga dengan desain lo”
saya aja sampe gak abis pikir, what the f**k they say?…apa guna saya kuliah??apa guna saya menciptakan ide buat dia??
bener juga tu beberapa teman bilang, “kencing aja bayar masa desain gratisan”…
dan akhirnya…mau dimana kita bawa nilai desain kita di INDONESIA INI??sepertinya semua desainer harus bersatu..memikirkan bagaimana cara menumbuh kan citra sebuah desain.
oh… faktanya seperti itu ya? oke deh…
kalo kaya gini sekarang gimana nasib designer kedepan…
perlu komitmen setiap designner indonesia tuk jaga harga design,ga pake gratisan lagi,,,dan jadi lah designer yang punya kualitas yang great karena makin banyak peminat dkv skarang,
bagi info dong,himana kabarnya dkv-animasi?
gua dkv animasi binus,gua pilih serius animasi karena gua lumayan tau keadaan design grafis mulai ga ng’enakin..
5000 lulusan binus setiap taun? Hoax ah..1 kelas 50, adanya 9 kelas, sekitar 450 donk.. itu jg paling yg lulus tepat waktu cm 300 orang…dan 300 orang itu terbagi lg jadi 2 peminatan, 175 new media dan sekitar 125 animasi….
kalo saya sih lulusnya jadi animator , saya pikir prospeknya bakal lebih cerah krn animasi di indonesia itu masih hijau2nya, blom terlalu banyak lulusan animasi..
bahkan univ yg nyediain peminatan animasi di jkt masih sangat amat sedikit…jadi otomatis animator adl job langka di indonesia…
eh atas gw anak PGU, gw anak PFU nih
hidup animasi!
Ane punya usul, sori dobel post, gimana kalo desainer2 indonesia bikin software yg lebih canggih dr sotosop dll, trus buat buka tuh software butuh PIN kelulusan kita dr perguruan tinggi?? wakakkakaka
PIN? kyk BB aja
setuju, disitulah salah satu letak peran penting asosiasi!
Input aja sih…ditampung? Ya syukur…kagak juga ga apalah…namanya juga ikut forum…
Kalo nyalahin software bajakan…bau2nya, cuma ngandelin duit doang dong profesi DG ya?? kalo ente beli yang asli, ente adalah desainer “sejati”…WTF??!! Tambah ketawa aja orang luar liat kite…dodong…ga ada kedewasaan…iya kalo bener fasih; ini masih kental sama tutorial di PSDTUTS dsb aja udah koar-koar soal software…haduh…
Sekalian aja tunjukkin merek pensil/spidol/penghapus/kertas/bangku/GPU/CPU yang kita pake ke klien biar lebih syur nego harga kite…hahay…plus kemasan asli-nya…biar oke…
Kalo nyalahin jatah “jebolan” sama “otodidak”, kok kelihatan sekali kalau para “jebolan” (tidak semua sih) seperti tidak sanggup bersaing, kecuali dengan jurus “adu ijazah yuk…”; itu juga sama aja, dodong…klien dodong (mungkin) bayar ijazah (per nego akreditasi)…klien cerdik, mana mau?? Trus, gimana juga kalo ada usulan, tarif harga disesuaikan sama kredibilitas tiap2 universitas?? Tambah lagi dengan usulan (super dodong) IPK nentuin bayaran minimum?? tambah dodong..dong? haha…
Ngaku aplikator seni, tapi mental kayak tukang gambar anak SD dengan gaya: “Ini gunung, ini pohon kelapa, ini sawah, ini matahari…bagus kan pak guru? mirip sama tugas yang bapak kasih kan? dapet nilai 8 kan pak guru?”
Cuma lewat asosiasi masalah begini bisa dapet solusi. Tambah daya jangkau asosiasi yang ada…kita TIDAK butuh peraturan buat para praktisi, kita butuh perlindungan buat setiap praktisi (apapun latar belakangnya)…itu dua hal yang berbeda!!!
Biarkan kaum KLIEN dilindungi oleh YLKI, kita sebagai praktisi jangan malah saling teken2an dong ah…apalagi mulai tunjuk2 jari dengan dasar2 yang absurd…
Itu Depdikbud apa kagak faham kata: Pendidikan dan Budaya yang mereka kelola tidak muter2 di urusan UAN anak SMP dan SMA doang apa?! Ampun deh…ngurusin soal ujian aja musti Polisi ampe turun tangan…F*CK!!! Pendidikan Publik tentang berbagai aspek kehidupan bermasyarakat juga urusan mereka kan? dan HAK kita sebagai warga Negara toh?
Banyak cara yang secara etika lebih demokratis dan edukatif ketimbang (lagi-lagi) bikin undang2…lama2 jadi sosialis ni negara kalo kebanyakan UU…sadar hukum bukan cuma takut ditilang, tapi juga faham kalo ngebut2 bisa nyelakain diri sendiri dan orang lain…kalo ga bawa SIM berarti kita ga mau bertanggung jawab sama kemampuan mengemudi kita sendiri…kalo ga bawa STNK kita ga beda sama maling curanmor…BUKAN gara2 tilang goban, yang ujung2nya mencak2 para Polisi…
FYI: kabarnya Desain Grafis adalah salah satu profesi yang berwatak “problem solving”…gue geleng2 kepala sama beberapa usulan “solusi” yang ada di kolom komentar…OMG!! Sepertinya memang ga mau perduli lebih sama keadaan yang ada…Jadi males nuangin usulan solusi yang kongkrit dah…haduuhhh….
bukan maslaah gengsinya menurut saya…sebuah profesi designer..memiliki filosofi sangat dalam…dan maslaah “jaman sekarang jaman duit” cukup lucu jg….hehekrn bila anda kompeten…duit bakal ngalir seperti air …
thanks.
Setujuuuuuuuuuuuuuuuuuu..skli..loved it!!!…yupe..belajar dr AIGA..atau ICOGRADA….
mereka2 sudah membuat rules yg sangat kuat badan hukumnya….itu yg kita butuhkan d Indonesia sekarang ini….sebuah sertifikasi keprofesian designer (semua design major)…seperti halnya profesi dokter , ada izin / lisence khusus untuk membuka praktik design….dan berprofesi sebagai designer…jd masyarakat dapat membedakan antara tukang setting percetakan/jalanan sama seorang designer….jangan pernah d sama2kan…jangan metang2 mereka bs menggunakan software grafis mereka disebut designer….nga segampang itu!!!
bener..jd geregetan saya….
bener juga yach…klo softwarenya nga segampang sekarang ini d dapetnya dengan harag 35rb bs dapet software grafis dan install deh….wah semua org bs membrand dirinya sebagai designer deh..eheh..bgm klo d buat loket khusus untuk softwarenya….ehhehtp jgn sampe pekerjaan org dalem jg..eheh
@ joelaban : nice…..
ehm..liat koment2 d atas..jd mules deh…heeh
yang satu usul itu..yang satu usul ini…huhuu….jd mana yg mau d realitaskan….bukan hanaya sekedar usul2 doang..sekarang kt treat d comment ky gni…tp pas d masyarakat eh…ehe….malah kt sendiri pelakunya….hhahaha
makanya bg para designer/org yg mengaku dirinya designer… mesti sama2 saling menghargai profesi kt….malah sekarang akibat jumlah peminat DKV itu ky gunung…malah nimbul konflik dalam internal designer sendiri…saling menjatuhkan,mencap..”ah dy mah nga jago gambar,,,ah dy mah nga jg pk photoshop,or all the f*ck stuff…..
kt tuh d tertawain sama designer2 luar atau malah mereka sedih kali yach melihat designer2 indonesia masih berkutat d masalah2 yg harusnya menjadi pondasi bidang design….
nice point!
ayolah masbro, jangan males dong, segera tulis usulan solusi konkritnya itu ya. kan td katanya profesi problem solving nih ya. hehehehe…
semoga bisa bermanfaat.
Thanx…got a cup of cold water?
hehe…are you teasing someone? hehe…
gini masbro
semua ilmu pengetahuan memang ditujukan untuk “problem solving”, ketika ilmu tersebut berkembang menjadi sebuah disiplin di sebuah tatanan masyarakat…(gila…tuir banget kalimat pembukaannya)
mo itu perdukunan (itu juga ilmu pengetahuan ternyata…metafisika, katanya…katanya, hehe), pemasaran, MIPA, bahkan desain grafis (oh, ya? hihi..) semua cuma bagian dari manusia untuk senantiasa beradaptasi dengan tantangan hiduppp…bentar-bentar…ni kok gue malah jadi kotbah gini sih??…cut the bullsh*t and roll the weed…
ambil satu produk desain apa saja yang sudah di-approve dari “desainer” vs. hasil kerjaan “tukang setting” (pembedaan ini demi mengikuti klaim banyak pihak “imma’real designers yo”)
kesan anda? ya, bener…ga ada bedanya…karena klien dan audience di kita, memang masih sebegitu daya cerna-nya…
ambil magazine non desain kita vs luar? jauh banget…lalu koran? apalagi…kenapa? karena klien dan audience di kita, memang masih sebegitu daya cerna-nya…
rada eropa2/amrik dikit? fiasco!! mo ori? monggo…podo wae..
Point 1:
Klien di negeri ini boleh dibilang buta desain, mo dia kaya atau tidak (kaya raya)…jadi buat yang berasa melek desain, jadilah penuntun…jangan pilih2 klien (kalau ada itu juga sih…haha)
yes, to some…that means stop begging your mama’s pocket to afford your childish idealisms…and stop pretend that you’re not…and stop pretend that others don’t know about it…
POINT 2: Why the f*ck arranging tomatoes, chillies and oranges shaping letter “A” or “Z” should be so amazing?? or hobo version of all-woody-roof-table-and-chair must be claimed done by a creative “Who Shocks Indonesian Creative Field”?? Stop another “creative” plethora, please!!…why not just smoke the pot and let our imagination plays the show…that’s amazing…and definitely not to serious…
All i’m trying to say is…buat para “petinggi” dunia kreatif Indonesia, mulai dong pake “influence dan connections”-nya buat minta 1/2 kolom aja kek di koran2 publik, rather than “prestige designers only magazine”…semakin tinggi poon, kudu makin kelihatan buahnye..hehe…
Para heroes (of course not me or anybody here), mulailah bicara ke publik dan wakili (setidaknya) profesi ini; wakili tentang hal-hal basic aja;…apa arti logo, dan apa saja contoh logo usaha yang tidak baik dan mengapa, topik2 keseharian aja dah…ga perlu ngikut-ngikut topik2 bule dulu (keliatan wannabe juga kok)
hentikan potret2 “jago2 kung fu dari gym2 sport, monolog soal jurus seribu bayangan…di tahun 2010, dan Iron Man 2″ //
“Be serious, so you’ll get both serious fun and serious reality, or at least…a serious problem”
Point #3: Mari kita lihat bukti eksistensi DG dan semacamnya…hehe…ups, sori bapak2 dan ibu2 para petinggi asosiasi?? biasaa anak2 muda…tau apalah kami ini…:)
There…i’m done with this…no more care needed…haha
wah ga nyangka respon mas joelaban ini ternyata susah dicerna ya, gaya bahasanya “hip-hop” bgt… jd kaga paham, tp saya suka yg ginian. huehehehe…
poin 1: edukasi klien. pasti.
poin 2: kalo poin ini biar mas Irwan Ahmett & mbak Tita Salina, dan petinggi2 dunia kreatif Indonesia, dan para heroes aja yg ngeresponnya. hehehehe…
poin 3: ADGI sendiri sudah punya program2 jangka pendek & panjang. pengurus2nya pasti syibuk bgt. jelas ini masih tahap proses menuju cita-cita ADGI. hehehehe… *sok tau*
gimana kalo mengurangi menuntut perubahan dan mulai menciptakan perubahan aja?
I’m on it, bro…haha…i’m on it…everybody does, isn’t?
“no free designs, but affordable designs? It is..”
“no IDR 20grand per design no more, 20grand per hour? It is”
that’s what makes my life more serious to deal with…:) and a bit neurotic with “why so serious? stuff”…hehe
my respectful apology to Mr. Ahmett & mbak Tita Salina, if my whining seems to drag both of you into this “low level designers discussion”…no offence, never was…:)
nevertheless, this is an emotional issue for years…but, if it’s just: “mungkin seleksi alam yang akan menjawab semua..”, then that’s just rubbish…
Lihat kebun binatang…semua hewan predator terancam punah…bukan karena alam…karena “daya ekonomisasi” manusia…
yak…udah ah…cari makan lagi…haha;
Komentar-komentar yang di post di Forum FGD (Forum Grafika Digital) menanggapi artikel “Apakah Desain Grafis Sebuah Profesi Gratisan?”:
Betul sekali, saya kebetulan menjalani bisnis digital Printing, bila ada customer yang mau bikin spanduk/kartu nama/brosur atau sekedar mengetikan surat pernyataan di kantor saya, muka si calon customer akan langsung berkerut2 kalau saya mengenakan fee design. Padahal untuk design kan butuh waktu dan tenaga, tapi bagi kebanyakan orang Bandung jasa intangible (yg tidak berwujud seperti design) sepertinya kurang dihargai. Memang tidak semua tapi rata2 mind set orang Bandung sudah seperti itu.
Langkah apakah yang bisa kita tempuh untuk mengatasi hal tersebut? Apa pagarsih di bubarkan saja gitu? hehehe
salam
Antonius Widjaja
. . . . . . . . .
Menurut gw ini sangat mungkin terjadi.. bakan gejalanya mulai ada sejak akhir tahun 90 an.. ketika mulai masuk era digital.. saat ini dikala “kue-kue” semakin kecil karena dampak global, porsi belanja grafis sangat terjepit terlebih sekarang marak dengan system informasi yang sudah on-line seperti facebook, sms, dan lainnya yang biayanya jauh lebih murah dan cepat….
bayak temen2 di percetakan yang sudah melakukan “grafis for free” karena buat mreka itu hanyalah service betapapun sebenarnya desainya itu bagus mreka hanya mengincar benefit di proses cetakannya saja….
Ada baiknya kita semua sesama pelaku grafis maupun percetak berkumpul untuk memusyawarahkan apa yang akan terjadi.. mengingat sangat di sayangkan jika hubungan simbiosis mutualisme antara pelaku grafis dan percetakan menjadi kurang harmonis.. akhirnya yang di rugikan akan banyak sekali.. terutama dunia grafika Indonesia…
Maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan….
Salam,
Piter Prihutomo
. . . . . . . . .
Sama, di Medan juga demikian. Pelanggan di sini kurang bisa menerima bila dikenakan charge pada jasa setting atau design logo.
Indah Color
. . . . . . . . .
Dear teman2 FGD,
Terkejut membaca tanggapan dari Medan & Bandung.. Tapi tidak sepenuhnya terkejut juga..
Sudah lama saya mengamati ada kesalahkaprahan pengertian profesi desainer grafis di Indonesia. Menurut saya ada dua profesi yang disalahartikan yaitu desainer grafis & operator komputer grafis.
Dalam deskripsi saya, seorang desainer grafis harus memiliki kemampuan yang baik dalam ketrampilan visual (tipography, photography, ilustration, image editing, & lay-out). Selain itu juga dibekali kemampuan dalam memahami konsep marketing, komunikasi, philosophy, sejarah, budaya dll. Jadi memang aspek pengetahuan yang dicakup tidak sesederhana seperti yang dipikirkan orang kebanyakan. Sedangkan profesi yang lain adalah seorang operator komputer grafis yang dituntut menguasai program komputer grafis dengan baik & membantu menterjemahkan serta membuat F/A sesuai brief dari desainer grafis.
Selama ini kalau saya membaca banyak lowongan kerja, banyak dibutuhkan desainer grafis, tapi kenyataannya yang dibutuhkan adalah seorang operator komputer grafis. Ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan ekspektasi dari pembaca iklan. Dalam artian seorang desainer grafis bisa menjadi kecewa karena gaji yang diharapkan tidak sesuai ekspektasi & operator komputer grafis juga menjadi kecewa karena dia dituntut beban pekerjaan berlebihan layaknya berpikir sebagai seorang desainer grafis dengan gaji yang tidak memadai.
Kebetulan saya sendiri seorang desainer grafis & food photographer freelance yang juga mengajar di salah satu perguruan tinggi yang cukup baik di Jakarta. Memang betul bahwa mungkin karena akibat dari kesalahkaprahan pengertian tersebut orang jadi meremehkan arti desain grafis (dianggap hanya sebagai suplemen gratisan dalam servis pelayanan untuk konsumen). Berkali2 saya mencoba menerangkan ini kepada para mahasiswa saya agar diluruskan dulu pengertiannya tentang profesi ini & membantu memberikan pengertian yang sebenarnya kepada orang lain diluar sana.
Tapi saya juga curiga mungkin ini juga salah satu trik dari para perusahaan memang sengaja dibuat rancu salah kaprah pengertiannya agar bisa mendapatkan tenaga kerja yang bersedia dibayar dengan gaji seminim mungkin tapi memiliki skill yang sebaik mungkin. Hehehe.. Ah hanya ini sekedar pemikiran saja..
Mohon maaf sebelumnya barangkali ada kata2 yang kurang berkenan.
Salam,
Ananda D.
. . . . . . . . .
Profesi desain Grafis BISA SAJA JADI profesi gratisan kalau tidak
didukung oleh ASOSIASI PROFESI yang kuat.
Profesi lawyer, notaris, dan dokter mendapatkan tempat yang sangat
terhormat di masyarakat kita sampai hari ini karena dukungan dan lobby ASOSIASI PROFESI yang sangat kuat. Contoh : kalau anda seorang dokter dan ingin berpraktek, maka anda wajib jadi anggota IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Diluar IDI, anda hanyalah seorang “dukun”. Kira2 begitulah analoginya.
Makanya buruan jadi anggota ADGI.
Trims,
Ardian Elkana
. . . . . . . . .
Memangnya ADGI sudah ada gerakan untuk membuat profesi Design Grafis menjadi sebuah profesi yang Profesional???? Apakah bisa??? Karena pada kenyataannya saat ini tidak bisa dipungkiri lebih dari setengah designer graphic Indonesia adalah orang yang bukan lulusan dari design grafis.
Saran saya bila memang bisa, semua designer grafis yang ada saat ini diminta untuk mengikuti sertifikasi designer grafis yang juga berfungsi sebagai Surat Ijin Praktek seorang Designer Grafis. Ya mungkin harus mengajukan proposal ke kementrian hukum dan ham kali ya…. tapi saya belum nemu nih landasan hukum dan dasar hukum yang pas untuk mendukung profesionalismean Designer Grafis.
Salam,
Husni Marpaung
. . . . . . . . .
Saya setuju sekali jika memang sudah ketemu landasan hukumnya untuk melakukan sertifikasi sebagai Desainer Grafis. Karena sejauh ini saya masih belum bisa melihat peran ADGI sebagai katalisator untuk meningkatkan gengsi profesi Desainer Grafis. Karena tetap saja banyak peserta kursus Photoshop yang sudah lulus dan memiliki referensi cukup dari banyak sumber termasuk internet, lalu memproklamirkan dirinya sebagai Desainer Grafis dan demi mempertebal portfolio-nya dengan sukarela menerima bayaran yang tidak masuk akal murahnya, bahkan kalau boleh dibilang hanya untuk ongkos jalan saja. Padahal kalau sudah banyak yang melakukan hal ini, maka konsumen akan merasa bahwa memang jasa seorang Desainer Grafis memang harganya rendah. Sehingga sangat sulit bagi Desainer Grafis untuk meningkatkan image (baca income) mereka karena paradigma yang sudah tertanam kuat di benak konsumen adalah jasa desain grafis memang murah. Ditambah lagi pelaku bisnis percetkana yang demi membuat mesin cetak mereka tidak berhenti berproduksi menggunakan jasa para pelaku bisnis ”Desain Grafis Murah Meriah” untk dijadikan tagline ”Desain Gratis” sebagai nilai tambah layanan mereka.
Tapi saya yakin belum bisa ditemukan dasar hukum yang cocok untuk hal ini mengingat di luar negeri juga tidak ada sertfikasi yang jelas tentang profesi ini. Namun yang saya tahu, memang perusahaan-perusahaan di sana yang akan menggunakan jasa Desainer Grafis, baik sebagai sub-kontraktor ataupun sebagai pengawai mereka (misalnya in-house desainer grafis), mereka akan memilih yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan bidang pekerjaannya, minimal lulusan dari sekolah yang terkait, bukan mencari tenaga yang murah seperti yang terjadi di Indonesia tercinta ini dengan latar belakang pendidikan yang berbeda sama sekali. Sehingga yang cuma bisa Photoshop baru dua minggu dan berani di bayar murah yang diterima sebagai tenaga Desainer Gratis…..
Salam,
Ariya Pramudiya
. . . . . . . . .
ironis ya, sebenarnya kecemasan juga muncul dari kami pihak prepress, ketika customer menuntut kami buat desain walaupun berulang-ulang saya jelaskan kami bukan desainer.
desainer berpikir kreatif -prepress berpikir teknis: dua sisi yang berbeda.
saya sendiri pernah membuat topik di satu forum grafika : akankah prepress digantikan desainer?
ini didasarkan perkembangan software desain sekarang yang memungkinkan pekerjaan prepress ditambah munculnya pelatihan2 teknik prepress untuk desainer
mungkin diam2 sudah terjadi evolusi : desainer merangkap prepress dan prepress merangkap desainer
just my 2 cent
fathur
http://www.duniagrafika.com
terima kasih pak hanny atas infonya.
apakah debat panjang ini semata2 tentang uang?
jika ini tentang profesi yg harus segera ditangani serius karena dpt berdampak sistemik kemajuan bangsa indonesia, maka apakah sebaiknya kita dikasih lihat referensi profesi desainer grafis yg dalam kondisi ideal.
jika kondisi ideal tersebut dpt menarik hati siapapun yg ingin masuk dlm profesi desain grafis, maka akan semakin banyak yg ingin berkonstribusi bagi DGI. DGI menjadi semakin kuat.
sering kali uang menjadi masalah yg tidak kunjung selesai dibahas dan menjadi jurang pemisah. perpecahaan.
uang adalah akibat logisnya, tapi di balik itu ada semacam tuntutan agar pekerjaan desainer grafis diapresiasi.
dulu ketika saya masih mengelola sebuah perusahaan desain grafis (namanya “citra indonesia”, berdiri tahun 1980), kami para pengelolanya sepakat untuk menjalankan bisnis perusahaan secara terbuka, yaitu dengan mengajukan penawaran harga desain yang terpisah dari biaya produksinya. strategi ini diharapkan akan mengedukasi klien bahwa bisnis jasa desain itu ada harganya. citra indonesia juga tidak pernah mengikuti pitching, karena menyadari bahwa lebih banyak kerugian daripada keuntungannya.
terima kasih kepada reactivator yang telah menggantungkan harapan tinggi kepada DGI, tetapi DGI tidak bisa bekerja sendirian, ada tuntutan-tuntutan yang lebih strategis dan politis yang harus dikerjakan secara sinergis dengan asosiasi terkait.
apakah DGI belum cukup menampilkan referensi yang ideal? barangkali reactivator mau mengusulkan nama-nama desainer grafis yang ideal untuk ditampilkan di DGI?
terima kasih sebelumnya, mudah-mudahan bersama kita bisa melakukan yang terbaik… dan salam DGI!
wah saya sekarang ini jg masih mengajukan penawaran harga desain yang terpisah dari biaya produksinya. meskipun ada bbrp klien yg enggan mengajukan proposal macem itu ke atasannya. hehehehe…
maksud saya tentang referensi idealnya profesi desainer grafis itu begini: misalkan kita ambil AIGA sebagai referensi yg paling cocok utk diadaptasi dlm membangun ADGI, maka ada baiknya blueprint kondisi ideal tsb dipublikasikan, biar semua insan kreatif tahu dan tergerak utk mewujudkannya.
menurut saya output yg diharapkan ketika kondisi ideal tsb tercapai, yaitu insan kreatif yg profesional jd semakin banyak sehingga terwujud industri kreatif yg profesional dan proporsional. hehehehe…
baiklah. terima kasih pak hanny.
Sudah Seharusnya para Designer Grafis mengembangkan kemampuannya sesuai dng perkembangan jaman … mungkin dng masuk ke dunia multimedia , IT atau CG artis’t … sehingga jika Bisnis mulai menindas profesi, kita tetap bisa bertahan. Salam DGI
walah……..w dah pernah kerja yang model “hargax mahal” & “hargax murah”. dulu thn 2004 logo dihargai 1jt lebih, skrng 15rb dah dapet!!!!. kykx desainer harus dibedain antara desainer percetakan ama desainer “lone wolf” hehehe(alias just desain doang, and menurut gw hargax lbh mahal ini, itw jaman dulu sih)….skrng ongkos cetak gratis ngedesainx….ckckck murah lg hargax…
makax q lebih milih “lone wolf” lebih value…
Hahaha baca - baca comment pada lucu - lucu, yah memang terdengar miris di negri kita tercinta ini desain hanya dianggap sebelah mata saja. Yang perlu kita garis bawahi tukang seting dan desain grafis itu mempunyai job desk yg jauh berbeda, tukang seting hanya setung dan desain grafis butuh konsep. So semangat terus ya kawan2, semoga di Indonesia desain grafis menjadi lebih maju..
Salam, http://www.mdesain.com